Calista menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu setelah diantarkan pulang oleh Alka.
Suasana hatinya masih juga tidak tenang. Ia hanya memikirkan cara, bagaimana untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Tak mungkin juga menyetujui ide konyol Alka, menerima tawaran bantuannya dengan syarat harus tidur bersamanya."Benar-benar gila! Kakak dan adiknya memiliki pikiran yang kotor. Udah tidur dengan adiknya, sekarang malah diminta untuk tidur dengan kakaknya, nikah aja belum, udah ngajak yang aneh-aneh. Bikin kesel, aja."Kedua tangannya memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Setelah menenggak jus jeruk di rumah calon mertuanya, ia merasakan kepalanya agak pening, dan memutuskan untuk diantarkan pulang."Loh! Kamu udah pulang, Lista?"Kamila memasuki rumah setelah mengantarkan bekal makan siang untuk suaminya. Kondisi Geraldi memang kurang sehat, tak diperbolehkan untuk memakan sembarang makanan. Kamila harus mengontrol pola makan suaminya."Baru aja nyampe, Ma," jawab Calista.Kamila tak mendapati siapapun di rumahnya. Ia pikir Calista diantarkan pulang oleh calon suaminya. Kebetulan pagi itu saat Calista dijemput oleh Alka, ia sedang tidak ada di rumah. Ia juga ingin mengenali calon menantunya lebih dekat lagi."Mana Alka? Apa dia tidak mengantarkanmu?" tanya Kamila dengan menghenyakkan panggulnya di sebelah Calista.Ia meletakkan rantang nasi di atas meja, memutuskan untuk istirahat sejenak sebelum kembali beraktivitas."Dia langsung pulang, Ma. Katanya masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Ya, udah, biarin aja. Aku sendiri juga capek, mau istirahat."Calista masa bodoh walaupun Alka tidak mampir masuk ke dalam rumahnya, dan mengobrol dengan orang tuanya. Akan lebih baik kalau pria arogan itu tidak berlama-lama berada di rumahnya, karena hanya akan mengundang emosi saja, omongan Alka suka bikin nyelekit di hati."Emm, tapi kamu sama dia baik-baik saja kan? Dia nggak ngapa-ngapain kamu, kan?"Kamila masih mengkhawatirkan jika putrinya diperlakukan tidak baik oleh calon suaminya. Mengingat pertama kali calon menantunya datang ke rumah, sikapnya tidak begitu sopan."Tadinya sempat debat, Ma. Dia udah nuduh aku dekat sama adiknya. Dia salah paham tadi, berantem juga sama adiknya. Untung ada Tante Riana yang menengahinya. Kalau saja Tante Riana nggak ada di rumah, mungkin mereka udah adu jotos gara-gara aku."Calista menceritakan semua yang dialaminya di rumah calon mertuanya. Memang awalnya tidak baik-baik saja. Ia bahkan tidak pernah menyangka dipertemukan kembali dengan orang yang sudah menidurinya, tapi ia tutup rapat-rapat rahasia itu agar tidak semua orang mengetahui kecerobohannya, termasuk orang tuanya sendiri."Ya ampun ..., segitunya Alka. Apakah adiknya itu cowok?" tanya Kamila dihinggapi rasa keingintahuannya.Calista mengangguk. "Iya, Ma. Adiknya cowok."Kamila terkekeh menertawakan putrinya, baru saja datang ke rumah calon mertuanya sudah membuat kakak beradik beradu mulut."Kok Alka bisa nuduh adiknya dekat sama kamu gimana ceritanya? Apa kamu memang udah mengenali adiknya?" tanya Kamila.Calista melirik sekilas pada Mamanya. "Ya enggak lah Ma. Aku bahkan baru sekali datang ke rumahnya. Gimana aku bisa mengenali adiknya, itu kan mustahil," jawab Calista beralibi, padahal Ia sudah di unboxing oleh calon iparnya."Ya siapa tahu aja sebelumnya kamu pernah ketemu di luar," balas Mamanya. "Terus bagaimana di sana? Apakah mereka ada yang menanyakan tentang keluarga kita? Maksudnya perusahaan kita yang seperti ini. Bagaimana tanggapan mereka? Mereka akan membantu kita beneran, kan?"Calista menghela napas dan membuangnya perlahan. Ia menatap dalam-dalam wajah wanita yang sudah mulai menua seiring bertambahnya usia. Ia ingin menjelaskan tentang kegundahan dihatinya mengenai perusahaan keluarga yang kini diambang kebangkrutan."Ma. Tadi aku bicara sama Alka mengenai perusahaan kita. Alka bilang, aku tidak memiliki pengalaman bekerja di luar. Di saat perusahaan kita meredup, kita nggak bisa berbuat apa-apa, karena minimnya pengalaman. Memang benar sih, apa yang dikatakan Alka. Selama ini aku tidak mau belajar untuk mengenali dunia luar, maksudnya bekerja pada orang lain. Semenjak aku tumbuh remaja, Aku belajar bekerja sama Papa, dan hanya ingin bekerja di perusahaan sendiri, dan sekarang aku bisa ngerasain, di saat kita udah tidak berjaya seperti dulu, akan banyak membutuhkan banyak biaya untuk bisa kembali bangkit, dan aku rasa, aku memang harus bertindak untuk mencari pekerjaan di luar, nggak harus mengandalkan orang lain untuk membantu kita."Kamila terkejut mendengar penjelasan dari putrinya. Ia mulai berpikir, Alka dan keluarganya tidak mau memberikan bantuan pada suaminya. Mereka berniat untuk membohongi keluarganya."Maksud kamu Alka dan keluarganya nggak mau bantuin kita? Bukannya mereka sendiri yang sudah bilang sama Papa kamu kalau akan membantu kita untuk mengembalikan bisnis seperti dulu. Kenapa sekarang bicaranya berubah, atau mereka hanya ingin menertawakan kehancuran kita?"Kamila agak kecewa dengan keluarganya Alka yang menurutnya hanya memberikan harapan palsu pada keluarganya."Tidak Ma. Bukan seperti itu. Mereka tetap akan membantu kita, kok. Mereka itu sangat baik, dan om Bayu tidak melanggar ucapannya. Ini hanya pemikiranku saja dengan Alka. Nggak salah loh, Alka menasehatiku, jika ingin bangkit kita harus berusaha juga, nggak harus ngandelin orang lain, atau berpangku tangan."Kamila tidak suka dengan pendapat Calista. Sampai kapanpun Ia tidak akan pernah mengizinkan putrinya untuk turun tangan sendiri mencari pekerjaan di luar. Sudah ada yang membantunya, tidak perlu bersusah payah untuk mencari pekerjaan di luar yang hasilnya juga tidak seberapa."Calista! Mama sama Papa sengaja menjodohkanku dengan Alka, agar kami mendapatkan bantuan dari keluarga Alka, kenapa kamu malah berpikir untuk turun tangan sendiri. Sampai kapan kita akan bangkit dari keterpurukan kalau kamu lebih memilih bekerja yang tidak banyak menghasilkan uang. Kita butuh banyak dana, Calista. Jadi alangkah lebih baiknya jika kamu segera menikah dengan Alka, dan perusahaan kita akan terselamatkan. Terkecuali kalau mereka memang tidak berniat untuk membantu kita."Calista cukup kecewa dengan pemikiran Mamanya. Seolah-olah orang tuanya sengaja ingin menjual dirinya hanya untuk kepentingan mereka saja. Tidak pernah berpikir, bagaimana perasaannya saat ini."Andai saja perusahaan kita tidak lagi bangkrut, mungkin kalian tidak akan menjodohkanku seperti ini, kan? Mungkin aku masih bebas untuk bekerja dan kalian tidak memaksaku untuk menikah. Nasib, oh nasib. Kenapa jadi begini."Calista tersenyum getir menatap nanar Mamanya. Hatinya sangat teriris mendengar alasan orang tuanya yang lebih memikirkan perusahaan dibandingkan dengan kebahagiaannya. "Sayang, kenapa kamu jadi ragu begini, sih. Bukannya Alka baik sama kamu," tegur Kamila tak suka dengan sikap Calista yang masih juga meragukan Alka sebagai calon suaminya."Ya, memang Alka baik padaku, dan mau membantuku, tapi kan aku juga belum siap untuk menikah. Prinsipku, menikah itu hanya terjadi sekali dalam seumur hidup, dan kalau sampai pernikahanku gagal, apa kalian yang akan menanggung penderitaanku?"Calista beranjak bangkit dan berlalu meninggalkan Mamanya, memutuskan untuk menenangkan diri.Keberadaan Calista kini di toko Furniture miliknya. Walaupun masih sepi, ia tetap saja membukanya. Masih ada beberapa jenis barang-barang bermerk, berkualitas tinggi, disuguhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tidak terlalu banyak pegawai yang masih bertahan, namun ia masih bersyukur, bisa menggaji mereka yang tersisa bekerja untuknya."Ada beberapa orang yang berkunjung dan melihat barang-barang kita di sini. Tolong layani mereka dengan baik.""Baik, nona," jawab beberapa pegawai yang tengah bersih-bersih di dalam toko.Ada beberapa orang yang masuk ke dalam tokonya, dan melihat barang-barang yang terpajang di depan. Calista sangat berharap, ada orang yang masih mau mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang miliknya."Permisi Bapak, Ibu, ada yang bisa kami bantu?"Calista turun tangan sendiri untuk menyambut tamu yang datang, dan berharap mereka berniat untuk membeli barang-barang miliknya."Emm, ini neng, kami mau lihat-lihat dulu, barang kali ada yang cocok," jawab mereka
"Nekat gimana maksudnya? Jangan macam-macam, ya? Jangan buat orang tuaku kecewa, Varo! Orang tuaku lagi sakit, kondisinya tidak baik, jadi tolong jangan membuat ulah."Calista dilanda kecemasan, takut Alvaro akan menceritakan tentang apa yang sudah dilakukannya malam itu. Jika sampai hal itu terjadi, ia yakin, keluarga Alka maupun orang tuanya akan sangat kecewa, dan bisnis kerjasama mereka bisa hancur."Siapa yang membuat ulah, aku tidak berulah, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa itu salah, Calista?"Alvaro nampak tenang, ia bahkan tidak peduli kalaupun Alka akan melihat kedekatannya dengan Calista."Ya jelas salah. Kau itu seperti anak kecil. Kau masih muda, Varo! Kau bisa mencari penggantiku. Lagian malam itu kita melakukannya karena sama-sama tidak sadar, kan? Jadi anggap saja malam itu kita tidak melakukan apa-apa. Kau bisa melupakanku dan bebas memilih perempuan lain sebagai penggantinya."Keberadaan Alvaro hanya menambah pening di kepalanya. Kini hidupnya disuguhkan ole
"Terlambat?"Geraldi menautkan kedua alisnya menatap Alvaro, dan membuat Calista jadi salah tingkah."Iya. Maksudnya terlambat nggak ikut datang ke rumah waktu itu." Bukan Alvaro yang menjawab, tapi Calista. Ia tidak ingin Alvaro mengatakan bahwa dirinya memiliki hubungan khusus dengannya di depan orang tuanya."Kamu bilang tadi ada meeting pagi ini, segeralah berangkat, nanti kamu akan terlambat."Calista mengerjab-ngerjabkan bola matanya mengkode Alvaro untuk segera pergi dari tempatnya bekerja."Jangan sampai Alka marah. Bukannya hari ini adalah hari pertama kamu masuk kerja? Usahakan jangan menunda-nunda waktu. Aku sendiri juga sibuk di sini, dan nggak bisa mengobrol denganmu. Papa juga sibuk ya kan, Pa?"Geraldi langsung menegur Calista yang sudah tega mengusir Alvaro. Ia menganggap putrinya kurang sopan."Kamu ini gimana sih, Lista! Orang main kok malah diusir. Bukannya kamu tadi juga dibawain makanan? Jangan cuman mau sama makanannya doang, nggak sopan kamu ini."Geraldi tidak
Alvaro tiba di kantor orang tuanya. Hari itu ia akan dikenalkan oleh Ayahnya sebagai pimpinan yang akan menggantikan posisi Alka di kantor, karena Bayu berniat untuk memindahkan Alka di kantor cabang.Setibanya di lobi, ia dikejutkan oleh keberadaan Alka yang tengah bersama dengan seorang perempuan. Nampak terlihat begitu dekat hingga perempuan itu memegangi pundaknya dengan berdiri di depannya."Alka! Benar-benar kurang ajar itu orang. Aku tidak masalah kalau dia bermain-main dengan wanita lain dan tidak sedang menjalin hubungan dengan Calista. Kalau sudah menjadi tunangan Calista, tapi masih bermain-main dengan perempuan lain, aku tidak akan bisa diam saja."Alvaro bergegas menemui Alka yang nampak bersenda gurau tanpa malu di dalam kantor. Entah apa hubungan Alka dengan perempuan itu, tapi yang jelas, Alka sudah menyalahi aturan."Oh! Jadi seperti ini kelakuanmu kalau di luar rumah. Ini kantor Bang, bukan warkop. Lagian kau sudah ditunangkan dengan Calista. Bisakah kau menghargai
Di ruang meeting, Bayu meminta kedua anaknya, dan juga pegawainya berkumpul. Dia ingin membahas tentang pergantian pemimpin di perusahaan cabang miliknya."Selamat siang semuanya."Bayu nampak tegas dan juga berwibawa menatap semua karyawan yang dikumpulkan di ruang meeting."Selamat siang Pak," jawab mereka dengan serempak.Para pegawai tidak tahu apa yang membuat Bayu memintanya untuk berkumpul di ruang meeting, karena tidak ada kabar apapun sebelumnya."Saya sengaja mengumpulkan kalian di sini dan ingin mengenalkan putra bungsu saya sebagai pemimpin di perusahaan ini. Ini namanya Alvaro, adiknya Alka. Dia akan menggantikan posisi Alka di sini, dan saya akan menempatkan Alka di kantor cabang yang lain."Tatapan mereka tertuju pada Alvaro yang berdiri tegak di sebelah Bayu. Wajah tampan berwibawa itu menjadi sorotan para pegawai, termasuk kaum hawa, yang terpesona oleh ketampanannya."Oh! Jadi Bapak Alvaro ini yang akan menjadi pemimpin kami di sini Pak?" tanya Arya, selalu manajer
"Lista! Ayo kita makan siang di luar, yuk?"Seina sepupu dari Calista datang menemui Calista di tokonya. Dia berniat untuk mengajak Calista makan siang. Sudah cukup lama mereka tidak keluar untuk menghabiskan waktu bersama. Dia pikir Calista juga butuh hiburan agar tidak terlalu jenuh berada di dalam tokonya."Aduh, gimana ya, Seina," jawab Calista dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kamu tahu sendiri kan, sekarang tokoku ada pembelinya lagi."Seina menatap ada beberapa orang yang mengelilingi toko melihat-lihat dagangan Calista."Ya syukur dong, kalau udah ada banyak pembelinya. Berarti perlahan-lahan kamu akan kembali bangkit. Memangnya kamu nggak suka kalau bangkit lagi?""Ck! Ya suka lah itu kan harapanku. Aku cuma nggak tega ninggalin Papa sendirian. Mama belum ada datang untuk mengantarkan makanan buat Papa. Takutnya papa nanti kecapean dan bisa kambuh sakitnya," balas Calista.Seina memutar bola matanya. "Calista, di sini Papa kamu nggak sendirian, di sini Papamu ada ya
"Akhirnya kamu dikasih izin keluar juga, kan?"Seina sangat senang, bujukannya mempan berhasil mengajak Calista keluar dari tokonya."Sebenarnya sih, aku males banget keluar. Aku nggak enak kalau sampai Alka akan mengetahuiku di luar. Takutnya dia salah paham lagi," jawab Calista.Calista sengaja keluar karena kasihan Seina tidak ada yang menemani, bukan karena keinginannya sendiri."Salah paham gimana? Nggak mungkinlah. Lagian kita tujuannya keluar hanya untuk makan, bukan untuk bermain-main," jawab Seina. Sebenarnya Seina agak kecewa karena Calista tiba-tiba dijodohkan sebelum dia mengenali calonnya lebih dekat. Tapi apalah dirinya yang tidak bisa memberikan bantuan pada Geraldi."Aku jadi penasaran banget sama calon tunangan kamu itu. Apakah dia posesif banget hingga kau tidak diizinkan untuk keluar? Kau kan saudariku, sebelum kehadirannya sudah ada aku yang menemanimu. Masa iya dia tidak percaya kalau kau keluar denganku?"Calista mengedikkan bahunya dengan berjalan ke arah mobi
"Jika tidak, aku akan selalu mengganggumu!"Lagi dan lagi pria itu selalu saja memberikan ancaman padanya."Ck! Mau Sampai kapan kau akan terus seperti ini. Anggap saja kalau kita ini tidak berjodoh, Aku tidak mau menyakiti kalian. Aku juga menikah dengan kakakmu bukan karena keinginanku. Tolong mengertilah!" Alvaro menarik kursi di sebelah Calista. "Aku mengerti kok. Kau mau dijodohkan dengan Alka karena terpaksa, bukan karena keinginanmu sendiri, maka dari itu aku memintamu untuk jangan buru-buru memutuskan untuk bertunangan, atau sampai menikah. Pikirkan juga perasaanmu!"Calista mendadak canggung dan bingung. "Aku nggak ada pilihan lain. Sekarang yang lebih penting adalah bagaimana caranya aku bisa menolong orang tuaku bangun dari keterpurukan." Calista beranjak dari tempat duduknya, namun langsung ditahan pergelangan tangannya oleh Alvaro."Mau ke mana, yang? Ditemani kok malah pergi. Duduklah," pinta Alvaro menatapnya dingin.Calista berdecak dengan memberikan tatapan kesal. "