"Berani sekali kau ingin menggodanya, Varo! Apa tidak ada wanita lain di luar sana, hingga kau ingin mengganggu calon istriku!"
Alka berjalan mendekat pada mereka berdua dengan sorot mata elangnya.
"Hey, Bung! Kau sudah salah paham, aku tidak menggodanya."
Alvaro mengelak tak ada niatan untuk mengganggu Calista. Namun, wajahnya tampak mengeras begitu mendengar Alka mengklaim Calista sebagai 'calon istrinya', meskipun itu memang benar adanya.
Jantung Calista berdetak begitu cepat, ia dibuat terkejut dengan kemunculan Alka secara tiba-tiba tanpa diketahuinya.
'Kalau saja malam itu aku tidak mabuk, mungkin kejadian gila itu tidak akan pernah terjadi. Ini salahku.'
Calista menjadi salah tingkah. Alvaro terlalu nekat, dan itu tidak membuatnya senang.
"Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau tidak percaya dengan ucapanku?"
Terang saja Alka menaruh kecurigaan pada mereka. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat adiknya dan juga calon istrinya bertatapan begitu intens, bahkan bibir mereka nampak begitu dekat.
"Tentu saja aku tidak percaya! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kau tengah merayu Calista. Bukannya kau sudah tahu kalau dia ini calon istriku, kenapa kau masih mengganggunya! Tak bisakah kau mencari perempuan lain?!"
Alvaro berdecak tak suka dengan tuduhan yang dilayangkan oleh Alka. Untuk menutupi kesalahannya, ia pun berdalih. "Memangnya apa yang tengah kau lihat? Kau bahkan tidak melihat apa-apa. Aku tadi melihat kecoak berjalan di rambut Calista, dan aku berniat untuk membantu mengusirnya. Apa aku salah, jika aku membantunya?"
Alka menyeringai. "Kecoak kau bilang? Di mana ada kecoak? Kau pikir aku percaya dengan alasanmu itu? Aku bukan anak kecil yang mudah untuk kau bohongi, Varo!"
"Terserah! Kau mau percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Yang jelas aku tidak melakukan apa-apa pada Calista. Kau berkata seperti itu seolah-olah kau orang yang paling baik. Kau pikir aku tidak tau seperti apa keseharianmu!"
"Tutup mulutmu!"
Alka langsung membentaknya, tak ingin Calista mendengar cerita mengenai dirinya.
Tak ingin melihat kakak beradik saling berdebat karena dirinya, Calista langsung beranjak dari tempat duduknya, dan menengahi perdebatan mereka berdua.
"Sudah hentikan! Kalian ini apa-apaan sih. Ini hanya salah paham! Tolong jangan diperpanjang lagi!"
Tatapan kesal Calista tertuju pada calon suaminya. Ia sangat kesal, Alka yang mengajaknya datang ke rumah orang tuanya, namun setibanya di sana malah diabaikan. Lalu sekarang malah marah-marah saat melihat Calista bersama adiknya sendiri.
"Alka! Harusnya kau menemaniku di sini, bukan meninggalkanku begitu saja. Aku datang ke sini karena kau yang sudah menjemputku, jadi tolong jangan abaikan keberadaanku di sini."
Alka makin kesal saja. Calista menunjukkan bahwa dirinya bukan wanita baik-baik. Pertama kali mereka bertemu, Calista tidak pulang ke rumah semalaman dan ia juga mengetahui ada bekas kemerahan di sekitar lehernya. Sekarang dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Calista bersama dengan Alvaro bertatapan intens, seolah-olah mereka berdua sudah saling mengenal.
"Apa kau pikir aku tidak punya pekerjaan lain sehingga harus duduk bersantai menemanimu? Sebagai perempuan, kau juga harus bisa menjaga diri, jangan kegatelan."
Refleks Calista memelototi laki-laki itu. "Heh! Jaga bicaramu, ya!"
Tak terima dengan ucapan kasar Alka, Calista langsung melawannya.
"Memang benar kan, apa yang kukatakan ini. Kemarin saja waktu aku datang ke rumahmu, kau tidak pulang. Kau ini memang perempuan liar!"
"Tutup mulutmu!" seru Calista kesal. Ia tak ingin mendengar apapun lagi. "Kalau kehadiranku di sini tidak diinginkan, lebih baik aku pergi."
Calista mengambil tas selempangnya yang ada di sofa. Saat kakinya hendak melangkah, tiba-tiba calon mertuanya memanggil.
"Calista! Mau ke mana, Sayang?"
"Saya mau pulang, Tante," jawab Calista, memaksakan seulas senyum.
Riana menatap kedua anak laki-lakinya yang sama-sama diam dengan tatapan datar.
"Kau mau pulang? Kenapa Lista? Baru saja sampai kok udah mau pulang saja. Apa di sini ada yang membuatmu tidak nyaman?" tanya Riana dengan menatapnya bingung.
Calista tidak menjawab. Ia hanya menggigit bibir dengan gelisah sambil berusaha menahan air matanya. Situasi ini benar-benar membuatnya pusing!
"Alka! Apa yang sudah kau lakukan padanya?" Riana bertanya pada anak sulungnya, karena sudah pasti Alka yang membuat Calista tidak nyaman.
Alka melirik sekilas pada Mamanya. "Tuh, tanya saja sama mereka berdua. Mereka yang tau!"
Alvaro memelototinya. "Tau apa! Kau itu suka banget cari masalah. Aku sama dia nggak ngapa-ngapain, kau itu sudah salah paham."
"Salah paham gimana! Jelas-jelas aku melihat kedekatan kalian!" Alka tetap tidak percaya dengan ucapan adiknya.
Calista sudah tidak tahan lagi mendengar perdebatan itu. Semakin lama berada di sana akan membuat keadaan semakin runyam.
"Tante, lebih baik saya pulang saja, ya? Saya masih banyak pekerjaan, kasian Papa bekerja sendirian."
Riana menggeleng dengan menatapnya sedih. "Jangan Lista! Mereka ini hanya salah paham. Sini duduklah dulu, jangan buru-buru pulang. Masih banyak hal yang ingin Tante ceritain sama kamu."
Dengan sangat terpaksa Calista kembali duduk di sofa diikuti oleh Riana yang juga menghenyakkan panggulnya di dekat Calista.
"Kalian berdua juga duduk!" Riana menatap kedua anaknya yang masih berdiri sama-sama memasang muka datar.
Mereka menurut dan duduk berhadapan dengan Calista dan juga Riana.
"Sekarang jelaskan pada Mama, kenapa kau tiba-tiba marah pada Calista?"
Tatapan Riana tertuju pada anak sulungnya, meminta Alka untuk menceritakan apa yang membuatnya emosi.
"Aku mendapati kedekatan mereka berdua berdua," jawab Alka dengan muka datarnya.
Riana membuang napas. "Ya, memang Mama yang meminta Varo untuk menemaninya. Kau sendiri juga sibuk dengan pekerjaanmu sendiri. Apa salahnya jika Varo menemaninya?"
Alvaro mengulas senyuman tipis mendapatkan pembelaan dari Mamanya.
"Tuh, Mama sendiri yang bilang, aku di sini diminta untuk menemani Calista, bukan keinginanku sendiri. Lain kali kalau tidak suka calon istrinya bersama orang lain ya ditemani, jangan diabaikan," balas Alvaro.
Calista hanya diam menunduk. Ia tidak suka dengan sikap Alvaro yang terlalu sembrono. Dengan Alvaro selalu mengganggunya, yang ada semua orang akan menaruh kecurigaan pada mereka.
"Aku sih, nggak masalah kalau kau hanya sekedar mengobrol sama dia, masih aku maklumi. Tapi melihat kedekatan kalian berdua dengan tatapan intens, apa masih dibilang wajar. Kau itu adikku, seharusnya kau bersikap sopan, bukan berlebihan seperti itu!"
Alvaro menahan emosi menghadapi Alka yang selalu saja menyudutkannya.
"Kau bersikap seolah-olah sangat mencintai Calista!" sentak Alvaro kesal. Suasana langsung menegang mendengarnya.
"Bukankah sejak awal kau menentang perjodohan ini? Lalu kenapa sekarang kau bersikap sangat posesif padanya hanya karena melihat kami lebih dekat?"
Alvaro menyunggingkan seulas senyum miring melihat wajah Alka mengeras dengan tatapan tajam yang tertuju padanya.
Atmosfer permusuhan membuat suasana di ruangan itu menjadi tidak nyaman. Kakak-beradik itu masih beradu pandang dengan sengit.
"Sudah, hentikan ..." Calista mencoba menengahi.
"Apa kau takut kalah dariku?" tanya Alvaro dengan wajah penuh kemenangan.
"Apa katamu?"
Alvaro mengedikkan bahu sembari berdiri dari duduknya. "Kalau kau menginginkannya menjadi pendampingmu, sebaiknya perlakukan dia dengan baik atau kau akan menyesalinya."
Setelah berkata demikian, Alvaro beranjak dan melenggang pergi meninggalkan ruang keluarga.
"Sebaiknya kalian berdua luangkan waktu buat mengobrol. Kasian Calista di sini kesepian. Kamu sih, terlalu sibuk dengan pekerjaanmu."Riana beranjak dari tempat duduknya, berniat untuk meninggalkan Alka dengan Calista. Sedangkan Alvaro langsung keluar untuk menenangkan diri setelah berdebat dengan kakak laki-lakinya."Calista! Tante mau ke dapur dulu. Kalau Alka marah-marah lagi, bilang saja sama Tante, biar Tante jewer telinganya." Calista mengulas senyum manisnya. "Siap Tante, apa perlu saya bantu di dapur?" tanya Calista.Merasa tidak enak hati, di saat calon mertuanya sibuk memasak, ia malah enak-enakan mengobrol dengan calon suaminya."Tidak usah, Lista, biar Tante saja yang memasak, toh, ada bibi juga yang bantuin. Udah, kamu duduk manis aja di sini."Calista mengangguk, masih terasa canggung berada di kediaman calon mertuanya. Apalagi hanya berdua saja dengan Alka, pria dingin dan terkesan arogan.Riana melenggang pergi menuju dapur untuk menyiapkan makan siang, meninggalkan m
Calista menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu setelah diantarkan pulang oleh Alka.Suasana hatinya masih juga tidak tenang. Ia hanya memikirkan cara, bagaimana untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Tak mungkin juga menyetujui ide konyol Alka, menerima tawaran bantuannya dengan syarat harus tidur bersamanya."Benar-benar gila! Kakak dan adiknya memiliki pikiran yang kotor. Udah tidur dengan adiknya, sekarang malah diminta untuk tidur dengan kakaknya, nikah aja belum, udah ngajak yang aneh-aneh. Bikin kesel, aja."Kedua tangannya memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Setelah menenggak jus jeruk di rumah calon mertuanya, ia merasakan kepalanya agak pening, dan memutuskan untuk diantarkan pulang."Loh! Kamu udah pulang, Lista?"Kamila memasuki rumah setelah mengantarkan bekal makan siang untuk suaminya. Kondisi Geraldi memang kurang sehat, tak diperbolehkan untuk memakan sembarang makanan. Kamila harus mengontrol pola makan suaminya."Baru aja nyampe, Ma," jawab Calista.Kamila tak
Keberadaan Calista kini di toko Furniture miliknya. Walaupun masih sepi, ia tetap saja membukanya. Masih ada beberapa jenis barang-barang bermerk, berkualitas tinggi, disuguhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tidak terlalu banyak pegawai yang masih bertahan, namun ia masih bersyukur, bisa menggaji mereka yang tersisa bekerja untuknya."Ada beberapa orang yang berkunjung dan melihat barang-barang kita di sini. Tolong layani mereka dengan baik.""Baik, nona," jawab beberapa pegawai yang tengah bersih-bersih di dalam toko.Ada beberapa orang yang masuk ke dalam tokonya, dan melihat barang-barang yang terpajang di depan. Calista sangat berharap, ada orang yang masih mau mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang miliknya."Permisi Bapak, Ibu, ada yang bisa kami bantu?"Calista turun tangan sendiri untuk menyambut tamu yang datang, dan berharap mereka berniat untuk membeli barang-barang miliknya."Emm, ini neng, kami mau lihat-lihat dulu, barang kali ada yang cocok," jawab mereka
"Nekat gimana maksudnya? Jangan macam-macam, ya? Jangan buat orang tuaku kecewa, Varo! Orang tuaku lagi sakit, kondisinya tidak baik, jadi tolong jangan membuat ulah."Calista dilanda kecemasan, takut Alvaro akan menceritakan tentang apa yang sudah dilakukannya malam itu. Jika sampai hal itu terjadi, ia yakin, keluarga Alka maupun orang tuanya akan sangat kecewa, dan bisnis kerjasama mereka bisa hancur."Siapa yang membuat ulah, aku tidak berulah, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa itu salah, Calista?"Alvaro nampak tenang, ia bahkan tidak peduli kalaupun Alka akan melihat kedekatannya dengan Calista."Ya jelas salah. Kau itu seperti anak kecil. Kau masih muda, Varo! Kau bisa mencari penggantiku. Lagian malam itu kita melakukannya karena sama-sama tidak sadar, kan? Jadi anggap saja malam itu kita tidak melakukan apa-apa. Kau bisa melupakanku dan bebas memilih perempuan lain sebagai penggantinya."Keberadaan Alvaro hanya menambah pening di kepalanya. Kini hidupnya disuguhkan ole
"Terlambat?"Geraldi menautkan kedua alisnya menatap Alvaro, dan membuat Calista jadi salah tingkah."Iya. Maksudnya terlambat nggak ikut datang ke rumah waktu itu." Bukan Alvaro yang menjawab, tapi Calista. Ia tidak ingin Alvaro mengatakan bahwa dirinya memiliki hubungan khusus dengannya di depan orang tuanya."Kamu bilang tadi ada meeting pagi ini, segeralah berangkat, nanti kamu akan terlambat."Calista mengerjab-ngerjabkan bola matanya mengkode Alvaro untuk segera pergi dari tempatnya bekerja."Jangan sampai Alka marah. Bukannya hari ini adalah hari pertama kamu masuk kerja? Usahakan jangan menunda-nunda waktu. Aku sendiri juga sibuk di sini, dan nggak bisa mengobrol denganmu. Papa juga sibuk ya kan, Pa?"Geraldi langsung menegur Calista yang sudah tega mengusir Alvaro. Ia menganggap putrinya kurang sopan."Kamu ini gimana sih, Lista! Orang main kok malah diusir. Bukannya kamu tadi juga dibawain makanan? Jangan cuman mau sama makanannya doang, nggak sopan kamu ini."Geraldi tidak
Alvaro tiba di kantor orang tuanya. Hari itu ia akan dikenalkan oleh Ayahnya sebagai pimpinan yang akan menggantikan posisi Alka di kantor, karena Bayu berniat untuk memindahkan Alka di kantor cabang.Setibanya di lobi, ia dikejutkan oleh keberadaan Alka yang tengah bersama dengan seorang perempuan. Nampak terlihat begitu dekat hingga perempuan itu memegangi pundaknya dengan berdiri di depannya."Alka! Benar-benar kurang ajar itu orang. Aku tidak masalah kalau dia bermain-main dengan wanita lain dan tidak sedang menjalin hubungan dengan Calista. Kalau sudah menjadi tunangan Calista, tapi masih bermain-main dengan perempuan lain, aku tidak akan bisa diam saja."Alvaro bergegas menemui Alka yang nampak bersenda gurau tanpa malu di dalam kantor. Entah apa hubungan Alka dengan perempuan itu, tapi yang jelas, Alka sudah menyalahi aturan."Oh! Jadi seperti ini kelakuanmu kalau di luar rumah. Ini kantor Bang, bukan warkop. Lagian kau sudah ditunangkan dengan Calista. Bisakah kau menghargai
Di ruang meeting, Bayu meminta kedua anaknya, dan juga pegawainya berkumpul. Dia ingin membahas tentang pergantian pemimpin di perusahaan cabang miliknya."Selamat siang semuanya."Bayu nampak tegas dan juga berwibawa menatap semua karyawan yang dikumpulkan di ruang meeting."Selamat siang Pak," jawab mereka dengan serempak.Para pegawai tidak tahu apa yang membuat Bayu memintanya untuk berkumpul di ruang meeting, karena tidak ada kabar apapun sebelumnya."Saya sengaja mengumpulkan kalian di sini dan ingin mengenalkan putra bungsu saya sebagai pemimpin di perusahaan ini. Ini namanya Alvaro, adiknya Alka. Dia akan menggantikan posisi Alka di sini, dan saya akan menempatkan Alka di kantor cabang yang lain."Tatapan mereka tertuju pada Alvaro yang berdiri tegak di sebelah Bayu. Wajah tampan berwibawa itu menjadi sorotan para pegawai, termasuk kaum hawa, yang terpesona oleh ketampanannya."Oh! Jadi Bapak Alvaro ini yang akan menjadi pemimpin kami di sini Pak?" tanya Arya, selalu manajer
"Lista! Ayo kita makan siang di luar, yuk?"Seina sepupu dari Calista datang menemui Calista di tokonya. Dia berniat untuk mengajak Calista makan siang. Sudah cukup lama mereka tidak keluar untuk menghabiskan waktu bersama. Dia pikir Calista juga butuh hiburan agar tidak terlalu jenuh berada di dalam tokonya."Aduh, gimana ya, Seina," jawab Calista dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kamu tahu sendiri kan, sekarang tokoku ada pembelinya lagi."Seina menatap ada beberapa orang yang mengelilingi toko melihat-lihat dagangan Calista."Ya syukur dong, kalau udah ada banyak pembelinya. Berarti perlahan-lahan kamu akan kembali bangkit. Memangnya kamu nggak suka kalau bangkit lagi?""Ck! Ya suka lah itu kan harapanku. Aku cuma nggak tega ninggalin Papa sendirian. Mama belum ada datang untuk mengantarkan makanan buat Papa. Takutnya papa nanti kecapean dan bisa kambuh sakitnya," balas Calista.Seina memutar bola matanya. "Calista, di sini Papa kamu nggak sendirian, di sini Papamu ada ya