Pagi itu Calista terbangun dari tidurnya, udara dingin begitu membuatnya terganggu hingga menembus pori-pori kulitnya.
Ia merasakan tubuhnya begitu berat, seakan-akan tulangnya remuk, padahal ia tidak sedang beraktivitas.
“Kenapa tubuhku letih sekali.” Masih dengan mata terpejam, ia bisa merasakan tubuhnya yang begitu terasa berat, tidak seperti biasanya.
Perlahan dia merenggangkan tubuhnya, dan merasakan ada beban berat yang melilit tubuhnya di dalam selimut. Ia mengerutkan keningnya, dengan sangat pelan-pelan dia membuka selimutnya.
“Shit!” Seketika matanya langsung melotot.
Sebuah tangan kekar tengah memeluknya dari belakang. Bola matanya tertuju pada tubuhnya yang dalam keadaan polos tanpa memakai sehelai benang pun.
“Argh ...! Apa yang sudah kulakukan?!”
Calista mencoba untuk mengingat-ingat apa yang sudah terjadi padanya malam itu. Samar-samar ia mengingat seorang pria membawanya ke sebuah hotel dan melakukan hubungan layaknya suami istri dengannya.
“Astaga ...! Aku benar-benar sudah gila!”
Calista menahan diri agar tidak panik, walaupun hatinya sudah ingin menjerit. Begitu cerobohnya ia sampai merelakan harga dirinya dinikmati oleh pria yang bukan miliknya, sedangkan ia sendiri sudah menerima perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya.
“Sial! Kenapa jadi begini? Aku sudah seperti perempuan murahan saja!”
Calista merutuk dengan raut mukanya gelisah. Perlahan-lahan ia beranjak dari ranjang untuk segera pergi dari tempat itu sebelum pria yang menidurinya itu terbangun.
Ia mengambil dompet di dalam tas dan meletakkan tiga lembar uang seratus ribu di atas nakas. Calista menduga pastilah pria itu adalah pria bayaran yang telah menemaninya tidur.
“Ini adalah pertemuan pertama dan terakhir. Jangan sampai aku bertemu denganmu lagi.”
Dengan penampilan yang masih acak-acakan, Calista keluar dengan wajahnya menunduk. Ia takut jika ada orang yang mengenalinya.
Setibanya di rumah, Calista dikejutkan oleh keberadaan sebuah mobil Alphard yang bertengger manis di halaman rumahnya.
Dia pikir, itu saudara sepupunya yang sering datang untuk menemuinya.
Calista menoleh ke arah spion mobil yang ada di halaman rumahnya. Ia memutuskan untuk merapikan rambutnya yang masih berantakan. Setelah itu, Calista mengendap-ngendap seperti maling memasuki rumahnya.
“Dari mana saja kamu!”
Calista terlonjak kaget mendengar suara tegas ayahnya. Matanya memindai tamu yang tengah duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya.
Gadis itu mengerjap bingung. Sial, ternyata bukan sepupunya yang bertamu! Calista tidak mengenali pasangan paruh baya dan seorang pria tampan dengan wajah datar yang duduk di sana.
“Emm, aku tadi malam menginap di rumah teman, Pa. Dia lagi ulang tahun, karena kemalaman, aku diminta untuk menginap. Maaf, aku lupa tidak mengabari kalian, aku ...”
“Duduklah.”
Bayu dan Riana, tamu itu, menatap gadis cantik yang baru saja memasuki rumah. Mereka tersenyum menatap kecantikan gadis muda itu, walaupun keadaannya tampak sedikit berantakan, namun masih terlihat jelas kecantikannya.
“Pak Geraldi, apa dia yang namanya Calista?”
Orang tuanya mengangguk sambil mengulas senyum. “Iya benar, Bu Riana. Dia Calista, putri kami satu-satunya,” jawab ayahnya. “Calista! Ayo salaman sama Tante Riana dan juga Om Bayu. Mereka ini calon mertuamu. Kamu harus bersikap baik pada mereka.”
Deg!
Detak jantung Calista seakan terhenti ketika mendengar penjelasan dari orang tuanya. Ia merasa sangat kacau. Masalah pertama belum kelar, kini ada lagi masalah kedua yang jauh lebih mengerikan.
“Ca ... calon mertua?”
“Dan ini Alka, calon suamimu,” kata Riana, mengenalkan pemuda yang duduk di sebelahnya.
Calista memberanikan diri menatap pria yang duduk di depannya. Namun pria itu langsung membuang muka, tak mau ditatap oleh perempuan yang hendak dijodohkan dengannya.
‘Ih! Jutek amat! Apa mungkin aku bisa bertahan dengan laki-laki macam ini? Wajahnya menyebalkan!’ gerutu Calista dalam hati, agak kecewa bertemu dengan calon suaminya.
“Alka, kamu jangan diam saja dong. Masa nggak mau kenalan sama calon istrimu? Sebaiknya kalian mengobrol berdua, agar kalian bisa saling mendekat.”
Bayu memberikan teguran pada anak laki-lakinya, yang dianggap angkuh dan tidak menunjukkan sikap baiknya pada Calista dan juga calon mertuanya.
Alka menoleh sekilas pada orang tuanya dengan berdecak. “Ck! Papa itu apa-apaan sih. Kan udah kenalan tadi, anggap saja kami sudah kenal. Buat apa ngobrol berdua, nggak perlu,” selorohnya dengan raut wajah kesal. “Lagian nggak ada hal penting yang mau diomongin. Mendingan Papa lekas katakan tujuan Papa datang ke sini, dan ayo segera pulang.”
Ucapan Alka membuat orang tuanya dan keluarga Calista terkejut.
“Alka! Jaga ucapanmu!”
Bayu melotot geram dengan sedikit membentak putranya.
“Papa! Tenanglah, jangan buat malu.” Riana menekan setiap ucapannya agar suaminya tidak tersulut emosi.
Mereka sengaja mengajak Geraldi berbesanan, agar hubungan kerjasama di antara mereka semakin erat. Apalagi Alka memiliki kebiasaan yang buruk, suka berfoya-foya, menghabiskan banyak uang hanya untuk mabuk dan main perempuan. Mereka berinisiatif untuk menjodohkannya dengan anak Geraldi, berharap Alka bisa mengubah kebiasaan buruknya setelah menikah dengan Calista.
“Pak Geraldi, saya minta maaf atas ucapan anak saya. Saya ...”
“Tidak apa-apa, Pak. Dimaklumi saja, mereka juga baru pertama kalinya bertemu. Mungkin nak Alka masih butuh waktu untuk bisa dekat dengan Calista. Begitupun juga dengan Calista, dia memang masih terlalu polos, tidak memiliki pengalaman di luar.”
Meski suasana masih canggung, obrolan itu kemudian berlanjut.
“Jika kita lakukan pertunangan ini minggu depan bagaimana Pak Geraldi? Apa kira-kira Pak Geraldi setuju? Bagaimana juga dengan Calista, apa dia juga ...”
“Calista sudah memutuskan, Pak. Dia setuju-setuju saja. Iya, kan, Calista?”
Dengan cepat Geraldi memotong ucapan Bayu. Ia tidak ingin pertunangan anak mereka gagal jika Bayu bertanya langsung pada Calista. Sudah pasti anaknya itu akan mengulur-ngulur waktu untuk bisa menerima pertunangan itu.
“Syukurlah kalau Calista sudah setuju.”
Setelah cukup lama mereka mengobrol membahas pertunangan Calista dengan Alka, akhirnya Bayu dan keluarganya berpamitan. Mereka merasa lega karena tidak ada hambatan saat membahas hubungan di antara mereka, dan yang paling penting Alka tidak membuat ulah.
“Terima kasih banyak Pak Bayu. Saya sangat bersyukur karena Anda banyak membantu di saat saya mengalami keterpurukan.”
Bayu tersenyum menepuk pundak calon besannya itu. Dia cukup mengetahui bagaimana kondisi perusahaan Geraldi saat ini yang banyak mengalami kerugian.
“Calista, jaga dirimu baik-baik ya? Minggu depan kalian akan bertunangan. Kami pamit pulang dulu.”
Calista mengangguk dan menyalami calon mertuanya. “Baik, Om, Tante.”
Bayu dan Riana sangat ramah dan mencoba untuk mendekatkan diri pada calon menantunya. Mereka yang sangat mengharapkan kehadiran anak perempuan, kini sudah mendapatkan Calista.
“Kalau begitu mari saya antar ke depan.”
Kedua orang tua Calista mengantarkan tamu mereka keluar dari dalam rumah, sedangkan Alka tidak buru-buru keluar, tetap berada di dalam bersama Calista yang berdiri menatap ke arah pintu depan.
Tiba-tiba saja Alka mendekat padanya dan berbisik, membuat Calista terlonjak kaget.
“Sebaiknya jagalah sikapmu mulai dari sekarang,” kata Alka sambil menatap sepasang mata jernih Calista.
Gadis itu mengernyit bingung dengan ucapan calon tunangannya itu. “Apa maksudmu?”
Alka mengulas sebuah seringai yang membuat Calista bergidik ngeri. Tatapan tajam yang semula tertuju pada wajah cantik itu kini turun hingga berhenti pada satu titik di samping lehernya.
Melihat itu, Calista langsung menjaga jarak dan mengusap leher dengan tidak nyaman.
“Tidak kusangka calon istriku ternyata wanita liar.”
Usai mengatakan kalimat tajam itu, Alka berlalu pergi begitu saja, meninggalkan Calista yang membeku.
Calista cepat-cepat mengambil cermin kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana dan melihat titik yang membuat wajah Alka tampak kesal tadinya.
Ternyata, ada bekas merah keunguan di lehernya!
Pagi itu, Alka diminta untuk menjemput Calista. Keluarga besarnya ingin mengenal calon istrinya. Awalnya Alka menolak, tapi karena ayahnya keburu emosi, akhirnya ia terpaksa menjemput Calista untuk dibawa ke rumahnya.Setibanya di rumah Calista, Alka mendapati Geraldi yang hendak pergi ke kantor. Dia tidak berbasa-basi pada pria paruh baya itu, langsung meminta izin untuk menjemput Calista.“Lista! Ada Alka di sini. Dia mau menjemputmu untuk dibawa ke rumahnya.”Calista yang baru saja melangkahkan kakinya keluar dari kamar, seketika terhenti setelah mendengar nama Alka disebut. ‘Alka? Ngapain itu orang datang ke sini? Bikin kesel aja!’ gerutunya dalam hati sambil menutup pintu.Calista masih kesal dengan ucapan Alka yang menganggapnya seperti perempuan liar waktu pertama kali bertemu.“Pa, aku masih belum siap untuk datang ke rumahnya. Apa ini tidak terlalu terburu-buru? Nanti saja ya, Pa, kalau kami sudah bertunangan.” Calista berjalan menghampiri ayahnya dan mencoba untuk merayunya
“Calista! Kamu kenapa, Sayang? Apa kamu lagi nggak enak badan?” tanya Riana khawatir saat melihat Calista yang mematung dengan wajah pucat. Dia takut membuat Calista tidak nyaman berada di rumahnya.Calista tersenyum paksa menoleh pada Riana yang tengah memberikan tatapan khawatir padanya.“Enggak kok Tante, saya nggak apa-apa,” jawab Calista berusaha untuk tetap terlihat tenang.Calista meremas ujung kemeja yang dipakainya sampai membuatnya kusut. Tatapan Alvaro tak pernah teralihkan, selalu tertuju padanya.“Ya sudah. Kalau gitu kamu duduk dulu. Tante akan ambilkan minuman buat kamu. Ayo sini Sayang.”Riana meminta Calista untuk duduk di sofa, berhadapan langsung dengan Alvaro yang tengah memangku laptop.Riana tidak menaruh kecurigaan pada gadis yang akan dijadikan sebagai menantunya. “Varo! Calista ini calon kakak iparmu. Ajak dia mengobrol, biar dia nggak canggung berada di sini,” kata Riana pada anak bungsunya itu. “Minggu depan Alka akan segera bertunangan dengan Calista, jadi
"Berani sekali kau ingin menggodanya, Varo! Apa tidak ada wanita lain di luar sana, hingga kau ingin mengganggu calon istriku!"Alka berjalan mendekat pada mereka berdua dengan sorot mata elangnya."Hey, Bung! Kau sudah salah paham, aku tidak menggodanya."Alvaro mengelak tak ada niatan untuk mengganggu Calista. Namun, wajahnya tampak mengeras begitu mendengar Alka mengklaim Calista sebagai 'calon istrinya', meskipun itu memang benar adanya. Jantung Calista berdetak begitu cepat, ia dibuat terkejut dengan kemunculan Alka secara tiba-tiba tanpa diketahuinya. 'Kalau saja malam itu aku tidak mabuk, mungkin kejadian gila itu tidak akan pernah terjadi. Ini salahku.'Calista menjadi salah tingkah. Alvaro terlalu nekat, dan itu tidak membuatnya senang. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau tidak percaya dengan ucapanku?"Terang saja Alka menaruh kecurigaan pada mereka. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat adiknya dan juga calon istrinya bertatapan begitu intens, bahkan bibir mereka n
"Sebaiknya kalian berdua luangkan waktu buat mengobrol. Kasian Calista di sini kesepian. Kamu sih, terlalu sibuk dengan pekerjaanmu."Riana beranjak dari tempat duduknya, berniat untuk meninggalkan Alka dengan Calista. Sedangkan Alvaro langsung keluar untuk menenangkan diri setelah berdebat dengan kakak laki-lakinya."Calista! Tante mau ke dapur dulu. Kalau Alka marah-marah lagi, bilang saja sama Tante, biar Tante jewer telinganya." Calista mengulas senyum manisnya. "Siap Tante, apa perlu saya bantu di dapur?" tanya Calista.Merasa tidak enak hati, di saat calon mertuanya sibuk memasak, ia malah enak-enakan mengobrol dengan calon suaminya."Tidak usah, Lista, biar Tante saja yang memasak, toh, ada bibi juga yang bantuin. Udah, kamu duduk manis aja di sini."Calista mengangguk, masih terasa canggung berada di kediaman calon mertuanya. Apalagi hanya berdua saja dengan Alka, pria dingin dan terkesan arogan.Riana melenggang pergi menuju dapur untuk menyiapkan makan siang, meninggalkan m
Calista menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu setelah diantarkan pulang oleh Alka.Suasana hatinya masih juga tidak tenang. Ia hanya memikirkan cara, bagaimana untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Tak mungkin juga menyetujui ide konyol Alka, menerima tawaran bantuannya dengan syarat harus tidur bersamanya."Benar-benar gila! Kakak dan adiknya memiliki pikiran yang kotor. Udah tidur dengan adiknya, sekarang malah diminta untuk tidur dengan kakaknya, nikah aja belum, udah ngajak yang aneh-aneh. Bikin kesel, aja."Kedua tangannya memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Setelah menenggak jus jeruk di rumah calon mertuanya, ia merasakan kepalanya agak pening, dan memutuskan untuk diantarkan pulang."Loh! Kamu udah pulang, Lista?"Kamila memasuki rumah setelah mengantarkan bekal makan siang untuk suaminya. Kondisi Geraldi memang kurang sehat, tak diperbolehkan untuk memakan sembarang makanan. Kamila harus mengontrol pola makan suaminya."Baru aja nyampe, Ma," jawab Calista.Kamila tak
Keberadaan Calista kini di toko Furniture miliknya. Walaupun masih sepi, ia tetap saja membukanya. Masih ada beberapa jenis barang-barang bermerk, berkualitas tinggi, disuguhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tidak terlalu banyak pegawai yang masih bertahan, namun ia masih bersyukur, bisa menggaji mereka yang tersisa bekerja untuknya."Ada beberapa orang yang berkunjung dan melihat barang-barang kita di sini. Tolong layani mereka dengan baik.""Baik, nona," jawab beberapa pegawai yang tengah bersih-bersih di dalam toko.Ada beberapa orang yang masuk ke dalam tokonya, dan melihat barang-barang yang terpajang di depan. Calista sangat berharap, ada orang yang masih mau mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang miliknya."Permisi Bapak, Ibu, ada yang bisa kami bantu?"Calista turun tangan sendiri untuk menyambut tamu yang datang, dan berharap mereka berniat untuk membeli barang-barang miliknya."Emm, ini neng, kami mau lihat-lihat dulu, barang kali ada yang cocok," jawab mereka
"Nekat gimana maksudnya? Jangan macam-macam, ya? Jangan buat orang tuaku kecewa, Varo! Orang tuaku lagi sakit, kondisinya tidak baik, jadi tolong jangan membuat ulah."Calista dilanda kecemasan, takut Alvaro akan menceritakan tentang apa yang sudah dilakukannya malam itu. Jika sampai hal itu terjadi, ia yakin, keluarga Alka maupun orang tuanya akan sangat kecewa, dan bisnis kerjasama mereka bisa hancur."Siapa yang membuat ulah, aku tidak berulah, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa itu salah, Calista?"Alvaro nampak tenang, ia bahkan tidak peduli kalaupun Alka akan melihat kedekatannya dengan Calista."Ya jelas salah. Kau itu seperti anak kecil. Kau masih muda, Varo! Kau bisa mencari penggantiku. Lagian malam itu kita melakukannya karena sama-sama tidak sadar, kan? Jadi anggap saja malam itu kita tidak melakukan apa-apa. Kau bisa melupakanku dan bebas memilih perempuan lain sebagai penggantinya."Keberadaan Alvaro hanya menambah pening di kepalanya. Kini hidupnya disuguhkan ole
"Terlambat?"Geraldi menautkan kedua alisnya menatap Alvaro, dan membuat Calista jadi salah tingkah."Iya. Maksudnya terlambat nggak ikut datang ke rumah waktu itu." Bukan Alvaro yang menjawab, tapi Calista. Ia tidak ingin Alvaro mengatakan bahwa dirinya memiliki hubungan khusus dengannya di depan orang tuanya."Kamu bilang tadi ada meeting pagi ini, segeralah berangkat, nanti kamu akan terlambat."Calista mengerjab-ngerjabkan bola matanya mengkode Alvaro untuk segera pergi dari tempatnya bekerja."Jangan sampai Alka marah. Bukannya hari ini adalah hari pertama kamu masuk kerja? Usahakan jangan menunda-nunda waktu. Aku sendiri juga sibuk di sini, dan nggak bisa mengobrol denganmu. Papa juga sibuk ya kan, Pa?"Geraldi langsung menegur Calista yang sudah tega mengusir Alvaro. Ia menganggap putrinya kurang sopan."Kamu ini gimana sih, Lista! Orang main kok malah diusir. Bukannya kamu tadi juga dibawain makanan? Jangan cuman mau sama makanannya doang, nggak sopan kamu ini."Geraldi tidak
Acara makan malam bersama keluarga besar membuat keluarga Bayu sangat bahagia. Kedua besannya diundang datang ke rumah untuk menikmati hidangan yang sudah mereka sajikan dalam acara ulang tahun kedua bocah kembar anak dari Calista dan juga Alvaro beserta anak dari Alka dan juga Natasha yang memiliki tanggal kelahiran sama Namun beda bulan. Mereka sengaja ingin merayakan ulang tahun anak-anaknya di hari yang sama."Wah, meriah sekali ya malam ini. Baru kali ini kita bisa merayakan ulang tahun anak-anak bersama seperti ini. Biasanya kita nggak ada waktu luang untuk berkumpul bersama seperti ini."Malam itu Riana begitu bersemangat karena tidak lagi sendiri tapi ditemani oleh kedua besannya yang masih keterkaitan keluarga."Iya dong, Ma, kapan lagi kita bisa berkumpul bersama seperti ini. Aku sangat bersyukur sekali karena pada hari ini kita bisa berkumpul dalam keadaan sehat walafiat dan bisa menemani bocil yang sedang berulang tahun. Nggak nyangka, anakku kini sudah tumbuh besar."Tak
"Kalian ini dari mana saja? Kalian lagi jalan-jalan di luar ya?" tanya Calista saat suami dan anak-anaknya datang ke toko tempatnya bekerja.Di saat weekend, Calista diminta untuk membantu orang tuanya di toko, karena ada banyak barang yang harus dikirim ke luar kota. Dia meminta sang suami untuk menemani anak-anaknya."Enggak kok, kita dari toko terus beliin makanan buat kalian di sini," jawab Alvaro dengan menurunkan Ivy dari gendongannya."Aku tadi niatnya mau istirahat, tiduran sama mereka, nggak tahunya mereka malah bangun minta jajan. Sebenarnya di rumah juga masih banyak jajan, tapi mereka nggak mau, maunya beli di luar, terus mau beli makanan juga buat kamu. Ya udah, kita lanjut beli makanan dan mampir ke sini. Jujur aku sebenarnya capek banget pengen tidur sama mereka."Alvaro merenggangkan otot-otot pinggangnya yang berasa kaku."Ternyata masih enakan kerja daripada momong bocah. Kalau anaknya nggak terlalu aktif mungkin masih bisa dikendalikan, kalau anaknya macam mereka, di
"Dad! Uang!"Dua bocah kembar terbangun dari tidurnya langsung memeluk daddy-nya dan meminta uang. Padahal matanya saja masih belum terbuka dengan sempurna."Kalian ini. Baru bangun tidur langsung minta uang. Buat apaan minta uang? Daddy masih belum punya uang, masih belum waktunya gajian," jawab Alvaro.Seketika bola mata Ivy membola. "Loh katanya Daddy itu bos. Kenapa Bos nggak punya uang? Bukannya Bos itu gudangnya uang?" Dengan selorohnya, gadis kecil itu tidak mempercayai, Ayahnya tidak memiliki uang."Siapa bilang Daddy itu Bos? Daddy tuh cuman karyawan biasa. Kalau belum waktunya gajian, ya nggak dapat uang. Itu artinya, kalian gak boleh jajan banyak-banyak."Dengan cepat Kenzo membalasnya. "Bohong! Daddy itu bohong dek. Daddy itu uangnya banyak. Kemarin aku tahu kok, Daddy taruh uang di dompet. Buruan dikasih dad, memangnya kalau nggak dikasih anaknya mau dikasih siapa? Mau dikasih cewek yang waktu itu?"Kenzo masih kesal mendapati keberadaan ayahnya bersama wanita lain, tanpa
"Ngapain kamu pulang pakai manyun gitu? Kalau marah nggak usah dibawa pulang, emangnya orang rumah jadi bahan pelampiasan orang marahan? Di rumah ada anak-anak, jangan lampiaskan kemarahanmu sama mereka. Mereka nggak tau permasalahanmu."Mendapati suaminya yang baru pulang kerja dengan muka tertekuk, Calista langsung mengomelinya. Dia sangat malas dijadikan pelampiasan kemarahan suaminya terus, padahal kemarahannya dia bawa dari kantor, dan pulang-pulang dilampiaskan pada setiap orang yang ditemuinya di rumah, sungguh menjengkelkan bukan?"Aku tuh capek, di kantor banyak masalah, ditambah lagi dibodohi sama orang," bantah Alvaro. Dia frustasi, hampir setiap hari dia mendapatkan masalah dari orang-orang yang berniat untuk mengajak kerjasama, tapi nyatanya dia hanya diberikan harapan palsu. Mereka tidak serius untuk bekerja sama dengannya."Andai saja aku punya pilihan lain, aku tinggalkan bisnisku. Aku sudah malas berbisnis kalau dipermainkan orang terus. Aku kok malah ingin menjadi pe
"Vera! Ngapain kamu ada di sini?" Alvaro dikejutkan oleh keberadaan Vera yang tiba-tiba saja ada di cafe tempatnya bertemu dengan seorang klien yang dia sendiri belum pernah bertemu sebelumnya. Dia mendapatkan pesan dari sekertarisnya, kalau dirinya diminta untuk datang ke sebuah cafe untuk menemui seseorang yang katanya dari salah satu perusahaan yang tengah bekerja sama dengan perusahaannya. Tidak pernah terlintas di pikirannya kalau dirinya ternyata dikibuli oleh seorang wanita yang sebelumnya diancam oleh Calista."Iya, memang aku yang datang kemari. Aku datang ke sini karena diutus oleh Pak Prayogo untuk mewakili meneruskan kerjasama antar perusahaan kita. Jadi di sini intinya aku datang kemari untuk alasan yang pertama, ingin melanjutkan kerjasama dengan kamu, dan yang kedua Aku ingin bertemu dengan kamu secara pribadi."Tanpa merasa malu, Vera langsung menyatakan bahwa dirinya ingin menemui Alvaro secara pribadi dan itu membuat Alvaro tersenyum iris."Hah! Apa kau bilang? Kamu
"Puas kamu! Itulah kalau kamu ceroboh suka deketin cewek. Lagian, kamu itu udah tua masih juga kegenitan, mau jadi apa kamu! Belum puas juga sama satu wanita? Nggak malu kamu sama anak kamu? Awas aja kalau sampai aku tahu kamu main-main, jangan panggil aku Calista lagi, aku tidak sudi lagi bareng sama kamu, dan aku, akan meninggalkanmu."Karena geramnya, Calista memberikan ancaman pada suaminya. Selama hampir tiga tahun menemani dalam biduk rumah tangga, kini ada duri duri yang bermunculan di rumah tangga mereka. Calista akan membuang dan membakar duri-duri itu agar tidak menyakitinya. Dia tidak ingin rumah tangganya hancur karena kebodohan saja."Siapa juga yang main-main sama cewek sih, yang! Aku itu nggak pernah main-main sama cewek lain, cuman sama kamu doang waktu itu. Kalau kamu nggak nganterin diri kamu ke aku, aku juga nggak bakalan ngelakuin itu sama kamu. Kamu mabuk, dianterin pulang juga nggak tahu rumahnya, kan waktu itu." Alvaro mengingatkan Calista kembali pada kejadian
"Ada yang bisa dibantu mbak?" tanya Calista dengan berjalan mendekati seorang wanita yang duduk di ruang tunggu.Wanita itu menoleh dengan kedua alisnya tertaut. "Anda siapa ya mbak? Di mana atasan anda? Saya ingin bertemu dengan atasan anda.""Saya sendiri atasannya, memangnya anda perlu apa dengan saya? Sepertinya saya belum pernah bertemu dengan anda sebelumnya, kenapa anda tiba-tiba saja datang kemari?" tanya Calista membuat wanita yang bernama Vera itu seketika seperti orang cengo'"Apakah mbak serius? Pemilik perusahaan ini? Bukannya ini perusahaan Pak Alvaro?"Agak kecewa saat datang bukan Alvaro yang menyambutnya, tapi perempuan lain."Pak Alvaro itu kan suami saya, jadi intinya saya juga atasan di sini. Ada perlu apa anda mencari suami saya? Apakah suami saya sudah membuat janji dengan anda?" Kembali Calista bertanya dengan tatapan dingin. Dia sangat yakin kalau perempuan itu, memiliki rencana tidak baik untuk keluarganya.Tidak mendapatkan jawaban dari Vera, Calista pun lan
"Permisi Pak," ucap seorang perempuan mengetuk pintu ruangan Alvaro.Alvaro menoleh sekilas ke arah pintu, dan beralih menoleh pada istrinya yang duduk di sofa sembari menatap laptopnya yang menyala."Ya, silakan masuk," jawab Alvaro dengan tegas.Seorang wanita muda masuk ke ruangan itu berjalan dengan sopan, dan berakhir berdiri di depan meja kerja Alvaro."Maaf Pak, di luar ada tamu yang ingin bertemu dengan Bapak," ucap wanita itu."Siapa?" tanya Alvaro dengan menautkan kedua alisnya."Kalau itu saya kurang tahu Pak, dia hanya mengatakan kalau sudah mengenali Bapak, dan sedang menjalin kerja sama dengan Bapak. Dia tidak pernah datang kemari Pak, tapi sudah bertemu dengan Bapak sebelumnya," ucap Angeline, sekretaris Alvaro.Alvaro bahkan tidak sedang berjanjian dengan siapapun untuk bertemu. Sedangkan rekan kerjanya tidak hanya satu orang, tapi banyak orang, bahkan dari luar daerah."Baiklah, saya akan temui dia. Suruh tunggu sebentar. Jangan biarkan dia masuk ke sini. Saya tidak
"Wah! Ternyata kantor Daddy bagus juga ya? Kirain kantornya Daddy kecil kayak rumahnya keong." Kenzo mulai mengoceh saat tiba di lobby kantor.Baru pertama kalinya Alvaro mengajak anak-anaknya datang ke kantor, dan kini mereka menjadi pusat perhatian para pegawainya."Apa kau bilang tadi? Kantornya Daddy mirip rumahnya keong? Kamu itu keongnya. Kecil-kecil cabe rawit," seru Alvaro dengan menyentil hidung anak laki-lakinya.Mereka berempat memasuki lobby dan mendapatkan sambutan hangat dari para karyawan yang ada di dalam kantor itu."Selamat pagi Pak, Bu," ucap beberapa karyawan yang ada di lobby kantor."Pagi," jawab Alvaro dan juga Calista dengan mengulas senyuman tipis."Selamat pagi semuanya, tampan cantik," jawab kenzo dengan selorohnya.Semua karyawan tersenyum dengan menatap gemas anak kecil itu."Astaga, anakmu ini ya? Kenapa bisa jadi seperti ini bibitku," gerutunya. "Sebenarnya unggul nggak sih?" Alvaro bergumam dengan berjalan pelan menatap Kenzo yang melambai-lambaikan ta