“Tidak, Pa, aku tidak mau menikah. Aku masih belum siap!”
“Calista, tolong mengertilah keadaan kita saat ini. Papa mengalami kerugian besar. Kalau sampai kita bangkrut ....”
Calista menggelengkan kepala, menolak keinginan orang tuanya. Umurnya yang baru memasuki angka dua puluh tiga tak membuatnya ingin buru-buru berumah tangga. Dia masih nyaman sendiri, masih banyak hal yang ingin ia kejar.
“Mama tahu bagaimana perasaanmu, Nak. Memang tidak mudah bagimu untuk menerima perjodohan ini, tapi apa kamu nggak kasihan sama Papa kamu? Kalau sampai bisnis kita gulung tikar, bagaimana dengan kehidupan kita? Kamu nggak boleh egois, Nak.”
Calista menggigit bibir gelisah. Dia tahu keadaan mereka sangat terjepit. Tapi haruskah ia mengorbankan dirinya sendiri?
“Pasti ada cara lain untuk bisa keluar dari masalah ini, Ma. Nggak harus menjodohkanku dengan pria yang bahkan tidak kukenal.”
Gadis itu menatap sekeliling ruangan yang besar, namun terasa begitu hampa, tak seperti dulu di saat masa kejayaan orang tuanya. Matanya yang sayu mulai berkaca-kaca.
“Tidak ada cara lain, Calista! Papa dari kemarin sudah mencoba untuk mencari pinjaman pada rekan-rekan Papa, tapi nggak ada yang mau bantu, tapi Pak Bayu mau membantu kita, dan beliau mengajak Papa berbesanan.”
Helaan napas kasar dirasakan oleh gadis berusia dua puluh tiga tahun itu, rasanya ingin menjerit, namun lidahnya kelu. “Dan Papa menyetujuinya?”
Papanya mengangguk. “Ya. Beliau punya anak laki-laki yang sudah mapan, dan kemungkinan besar, anaknya itu yang akan turun tangan untuk membantu kita. Gimana Calista? Kamu mau kan, bantuin Papa?”
Sang ayah menatap Calista dengan wajah memohon. Binar matanya yang redup menunjukkan betapa putus asanya ia saat ini.
Calista membuang muka dengan air mata yang mengalir, tak tega melihat orang tuanya memohon-mohon padanya. Tapi dia sendiri juga masih belum siap untuk dijodohkan, apalagi dia juga belum mengetahui seperti apa sosok laki-laki yang akan dijodohkan dengannya.
“Calista! Bagaimana, Nak? Apa kamu nggak kasihan pada kami?” Ibunya memegang pundak Calista dan menatapnya sedih.
Tidak ada cara lain yang bisa dilakukannya. Calista pun mengangguk pelan, memutuskan untuk menuruti keinginan orang tuanya, walaupun hatinya sangat berat.
“Baiklah. Terserah kalian saja,” ujar Calista tersenyum miris, lalu beranjak meninggalkan kedua orang tuanya di ruang tamu.
Malam harinya, Calista memutuskan untuk keluar melepaskan penat. Berada di dalam rumah dalam kondisi yang buruk membuat hatinya semakin kacau. Dia ingin sedikit mengurangi kegelisahannya.
“Tolong berikan Vodka padaku,” kata Calista dengan nada datar pada seorang bartender. Ia duduk di deretan kursi yang ada di bar.
“Baik, Nona.” Bartender menatapnya sekilas. Wajah cantik alami itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di sekelilingnya.
Calista menghabiskan malamnya di Phoenix Club, bertepatan di kota Surabaya, daerah Kenjeran.
“Ini pesanannya, Nona,” ucap si bartender, menyerahkan minuman yang sudah dipesan oleh Calista.
“Terima kasih,” ucap Calista menerima minuman itu dan langsung menenggaknya dengan rakus.
Calista menenggak minuman keras itu sampai tiga gelas dalam waktu singkat. Tujuannya hanya satu, ingin tenang melupakan semua permasalahan yang tengah dihadapinya.
Dentuman musik DJ menyeruak hampir memecahkan gendang telinga. Calista menatap lautan manusia yang tengah berdisco menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang.
“Mereka hidupnya enak, memiliki kebebasan, bisa bersenang-senang, sedangkan aku ...,”
Calista menertawakan dirinya sendiri. Setelah menyelesaikan kuliahnya, dia mulai menggeluti dunia bisnis bersama orang tuanya. Mereka memiliki bisnis decoration dan furniture yang cukup besar di Surabaya. Namun kini mulai meredup, bahkan hampir mengalami kebangkrutan, karena kecerobohan orang tuanya sendiri. Ayahnya ditipu mentah-mentah oleh orang kepercayaannya, uang perusahaan raib dibawa dengan jumlah yang tidak sedikit.
“Huh! Kenapa hidupku begini amat. Kalau saja Papa nggak salah langkah, mungkin nasibku nggak bakalan seperti ini.”
Calista mengerutkan keningnya dan mengamati gelas berisi Vodka yang sudah membuatnya mulai tidak nyaman. Kepalanya terasa berat, bahkan pandangannya mulai kabur.
“Kenapa kepalaku jadi pusing gini ya? Apa aku terlalu banyak minum? Perasaan cuma habis tiga cangkir saja.” Calista bergumam dengan satu tangan memijit pelipisnya.
Ia meletakkan gelas berukuran kecil itu di atas meja setelah tandas menghabiskan satu botol Vodka tanpa sadar.
“Tolong berikan whisky.”
“Baik, Bos.”
Kali ini bukan Calista yang memintanya, tapi seorang laki-laki dengan suara berat duduk di sebelah Calista, meminta bartender untuk melayaninya.
Calista menoleh pada pemilik suara berat yang duduk di sebelahnya. Ia mengulas senyuman manis mengagumi ketampanan pria itu.
“Pria yang tampan.” Diam-diam Calista tersenyum tipis menatapnya kagum.
Pria itu menoleh dan mendapati Calista yang tengah menatapnya dengan senyuman. Dia menautkan alis dengan memberikan teguran padanya.
“Kenapa kau menatapku terus, Nona? Ada apa denganmu?” tanya pria itu memberikan tatapan aneh pada Calista.
Pria berwajah lokal dengan netra hitam itu tahu, wanita yang ada di sebelahnya tengah mabuk. Nampak jelas ada satu botol Vodka dengan gelas yang berdiri di atas meja di depannya.
“Kau tampan sekali.” Secara terang-terangan Calista mengungkapkan kekagumannya pada pria asing itu.
Pria itu tersenyum dengan menaikkan ujung bibirnya. “Iya, dari dulu aku memang tampan.”
Tak lama kemudian, seorang bartender memberikan sebotol whisky dan juga gelas kecil pada pria itu.
“Nona! Apa kau masih ingin minum bersamaku?” Pria itu menawari Calista untuk minum bersamanya.
Calista menggeleng dan menolak dengan sopan. Tangannya sibuk memijit pelipisnya yang berdenyut. “Tidak … tidak, sudah cukup, terima kasih.”
“Boleh aku tau namamu, Nona?” tanya pria itu dengan memandangi wajah cantik alami Calista yang mulai gelisah dengan tangannya mengusap tengkuk.
“Calista.”
Calista mengulurkan tangan satunya pada pria itu.
“Nama yang bagus. Namamu sesuai dengan kecantikan wajahmu,” rayunya dengan membalas jabatan tangan Calista.
“Kalau kau sendiri, siapa namamu?”
Calista berdecak kecewa karena pria itu tak juga mengenalkan dirinya.
“Untuk apa? Kurasa nggak penting kau mengetahui namaku, Nona Calista!”
Bibir Calista mengerucut. “Nggak adil! Bahkan aku sudah memberitahu namaku!”
Nampak kekecewaan terpancar di wajah Calista.
Pria itu terkekeh. “Apa kau mau bersenang-senang denganku?” tawar pria itu dengan suaranya parau mendekatkan dirinya di wajah Calista.
Calista menggeleng pelan dengan bibir mengerucut. “Aku mau pulang saja.”
Calista beranjak dari tempat duduknya dengan sempoyongan.
BRUK!
Belum sempat melangkahkan kakinya, tiba-tiba tubuhnya limbung.
Dengan sigap pria itu menangkapnya. “Kau tidak apa-apa?” tanya pria itu langsung memberikan bantuan dan mendudukkannya di kursi kayu tempat Calista duduk. "Apa kau masih pusing?" Tangan pria itu membantu memijit pelipisnya.
"Iya, sangat pusing."
Dalam keadaan pusing, tapi berada di dekat pria itu membuat tubuhnya menghangat. Calista menatap wajah tampan yang begitu dekat dengan wajahnya. Tanpa berpikir panjang, tiba-tiba Calista meraih tengkuk pemuda itu dan menyatukan bibir mereka.
Meski sempat terpaku, pria itu membalasnya dengan lembut.
"A-aku ..." Calita menjauhkan wajahnya untuk meraup oksigen. "Ma-maafkan aku ..." Pagutan bibir pria itu telah membuat Calista melemah.
"Bibirmu manis sekali, Calista."
Alih-alih menyudahinya, pemuda itu justru kembali melanjutkan pagutan yang sempat tertunda. Calista tanpa sadar langsung melingkarkan tangannya di leher pria itu, memejamkan matanya menikmati sentuhan lembut yang membuatnya melayang.
Kedua insan itu sudah dipengaruhi oleh alkohol yang membuat mereka kehilangan akal sehat.
"Ikutlah denganku." Pria itu berbisik lirih di telinga Calista.
Calista mengerutkan keningnya. "Kita mau ke mana?"
"Kau nanti juga akan tau sendiri." Pria itu membopong tubuh mungil itu keluar dari club menuju sebuah hotel yang tak jauh dari sana.
Di dalam kamar hotel, Calista dibaringkan di atas ranjang dengan pria itu yang tengah melucuti pakaiannya.
Calista pasrah, saat pria itu menindihnya dan meninggalkan banyak jejak kemerahan di sekitar leher jenjangnya.
Lenguhan demi lenguhan memenuhi kamar hotel mewah itu. Kedua insan itu berbagi kehangatan dan kenikmatan seolah tiada hari esok.
Pria itu membawa tangannya membelai bagian bawah Calista, dan seketika itu si gadis meloloskan desahannya. Dirasakan bagian bawah sana sudah basah, pria itu langsung menerjang benda pusakanya.
"Argh ...." Dengan jemarinya Calista mencengkeram punggung pria itu untuk menahan rasa sakitnya.
Pria itu mengulas senyuman tipis. "Ternyata kau masih perawan ...."
Pagi itu Calista terbangun dari tidurnya, udara dingin begitu membuatnya terganggu hingga menembus pori-pori kulitnya.Ia merasakan tubuhnya begitu berat, seakan-akan tulangnya remuk, padahal ia tidak sedang beraktivitas.“Kenapa tubuhku letih sekali.” Masih dengan mata terpejam, ia bisa merasakan tubuhnya yang begitu terasa berat, tidak seperti biasanya.Perlahan dia merenggangkan tubuhnya, dan merasakan ada beban berat yang melilit tubuhnya di dalam selimut. Ia mengerutkan keningnya, dengan sangat pelan-pelan dia membuka selimutnya.“Shit!” Seketika matanya langsung melotot.Sebuah tangan kekar tengah memeluknya dari belakang. Bola matanya tertuju pada tubuhnya yang dalam keadaan polos tanpa memakai sehelai benang pun.“Argh ...! Apa yang sudah kulakukan?!”Calista mencoba untuk mengingat-ingat apa yang sudah terjadi padanya malam itu. Samar-samar ia mengingat seorang pria membawanya ke sebuah hotel dan melakukan hubungan layaknya suami istri dengannya. “Astaga ...! Aku benar-benar
Pagi itu, Alka diminta untuk menjemput Calista. Keluarga besarnya ingin mengenal calon istrinya. Awalnya Alka menolak, tapi karena ayahnya keburu emosi, akhirnya ia terpaksa menjemput Calista untuk dibawa ke rumahnya.Setibanya di rumah Calista, Alka mendapati Geraldi yang hendak pergi ke kantor. Dia tidak berbasa-basi pada pria paruh baya itu, langsung meminta izin untuk menjemput Calista.“Lista! Ada Alka di sini. Dia mau menjemputmu untuk dibawa ke rumahnya.”Calista yang baru saja melangkahkan kakinya keluar dari kamar, seketika terhenti setelah mendengar nama Alka disebut. ‘Alka? Ngapain itu orang datang ke sini? Bikin kesel aja!’ gerutunya dalam hati sambil menutup pintu.Calista masih kesal dengan ucapan Alka yang menganggapnya seperti perempuan liar waktu pertama kali bertemu.“Pa, aku masih belum siap untuk datang ke rumahnya. Apa ini tidak terlalu terburu-buru? Nanti saja ya, Pa, kalau kami sudah bertunangan.” Calista berjalan menghampiri ayahnya dan mencoba untuk merayunya
“Calista! Kamu kenapa, Sayang? Apa kamu lagi nggak enak badan?” tanya Riana khawatir saat melihat Calista yang mematung dengan wajah pucat. Dia takut membuat Calista tidak nyaman berada di rumahnya.Calista tersenyum paksa menoleh pada Riana yang tengah memberikan tatapan khawatir padanya.“Enggak kok Tante, saya nggak apa-apa,” jawab Calista berusaha untuk tetap terlihat tenang.Calista meremas ujung kemeja yang dipakainya sampai membuatnya kusut. Tatapan Alvaro tak pernah teralihkan, selalu tertuju padanya.“Ya sudah. Kalau gitu kamu duduk dulu. Tante akan ambilkan minuman buat kamu. Ayo sini Sayang.”Riana meminta Calista untuk duduk di sofa, berhadapan langsung dengan Alvaro yang tengah memangku laptop.Riana tidak menaruh kecurigaan pada gadis yang akan dijadikan sebagai menantunya. “Varo! Calista ini calon kakak iparmu. Ajak dia mengobrol, biar dia nggak canggung berada di sini,” kata Riana pada anak bungsunya itu. “Minggu depan Alka akan segera bertunangan dengan Calista, jadi
"Berani sekali kau ingin menggodanya, Varo! Apa tidak ada wanita lain di luar sana, hingga kau ingin mengganggu calon istriku!"Alka berjalan mendekat pada mereka berdua dengan sorot mata elangnya."Hey, Bung! Kau sudah salah paham, aku tidak menggodanya."Alvaro mengelak tak ada niatan untuk mengganggu Calista. Namun, wajahnya tampak mengeras begitu mendengar Alka mengklaim Calista sebagai 'calon istrinya', meskipun itu memang benar adanya. Jantung Calista berdetak begitu cepat, ia dibuat terkejut dengan kemunculan Alka secara tiba-tiba tanpa diketahuinya. 'Kalau saja malam itu aku tidak mabuk, mungkin kejadian gila itu tidak akan pernah terjadi. Ini salahku.'Calista menjadi salah tingkah. Alvaro terlalu nekat, dan itu tidak membuatnya senang. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau tidak percaya dengan ucapanku?"Terang saja Alka menaruh kecurigaan pada mereka. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat adiknya dan juga calon istrinya bertatapan begitu intens, bahkan bibir mereka n
"Sebaiknya kalian berdua luangkan waktu buat mengobrol. Kasian Calista di sini kesepian. Kamu sih, terlalu sibuk dengan pekerjaanmu."Riana beranjak dari tempat duduknya, berniat untuk meninggalkan Alka dengan Calista. Sedangkan Alvaro langsung keluar untuk menenangkan diri setelah berdebat dengan kakak laki-lakinya."Calista! Tante mau ke dapur dulu. Kalau Alka marah-marah lagi, bilang saja sama Tante, biar Tante jewer telinganya." Calista mengulas senyum manisnya. "Siap Tante, apa perlu saya bantu di dapur?" tanya Calista.Merasa tidak enak hati, di saat calon mertuanya sibuk memasak, ia malah enak-enakan mengobrol dengan calon suaminya."Tidak usah, Lista, biar Tante saja yang memasak, toh, ada bibi juga yang bantuin. Udah, kamu duduk manis aja di sini."Calista mengangguk, masih terasa canggung berada di kediaman calon mertuanya. Apalagi hanya berdua saja dengan Alka, pria dingin dan terkesan arogan.Riana melenggang pergi menuju dapur untuk menyiapkan makan siang, meninggalkan m
Calista menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu setelah diantarkan pulang oleh Alka.Suasana hatinya masih juga tidak tenang. Ia hanya memikirkan cara, bagaimana untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Tak mungkin juga menyetujui ide konyol Alka, menerima tawaran bantuannya dengan syarat harus tidur bersamanya."Benar-benar gila! Kakak dan adiknya memiliki pikiran yang kotor. Udah tidur dengan adiknya, sekarang malah diminta untuk tidur dengan kakaknya, nikah aja belum, udah ngajak yang aneh-aneh. Bikin kesel, aja."Kedua tangannya memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Setelah menenggak jus jeruk di rumah calon mertuanya, ia merasakan kepalanya agak pening, dan memutuskan untuk diantarkan pulang."Loh! Kamu udah pulang, Lista?"Kamila memasuki rumah setelah mengantarkan bekal makan siang untuk suaminya. Kondisi Geraldi memang kurang sehat, tak diperbolehkan untuk memakan sembarang makanan. Kamila harus mengontrol pola makan suaminya."Baru aja nyampe, Ma," jawab Calista.Kamila tak
Keberadaan Calista kini di toko Furniture miliknya. Walaupun masih sepi, ia tetap saja membukanya. Masih ada beberapa jenis barang-barang bermerk, berkualitas tinggi, disuguhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tidak terlalu banyak pegawai yang masih bertahan, namun ia masih bersyukur, bisa menggaji mereka yang tersisa bekerja untuknya."Ada beberapa orang yang berkunjung dan melihat barang-barang kita di sini. Tolong layani mereka dengan baik.""Baik, nona," jawab beberapa pegawai yang tengah bersih-bersih di dalam toko.Ada beberapa orang yang masuk ke dalam tokonya, dan melihat barang-barang yang terpajang di depan. Calista sangat berharap, ada orang yang masih mau mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang miliknya."Permisi Bapak, Ibu, ada yang bisa kami bantu?"Calista turun tangan sendiri untuk menyambut tamu yang datang, dan berharap mereka berniat untuk membeli barang-barang miliknya."Emm, ini neng, kami mau lihat-lihat dulu, barang kali ada yang cocok," jawab mereka
"Nekat gimana maksudnya? Jangan macam-macam, ya? Jangan buat orang tuaku kecewa, Varo! Orang tuaku lagi sakit, kondisinya tidak baik, jadi tolong jangan membuat ulah."Calista dilanda kecemasan, takut Alvaro akan menceritakan tentang apa yang sudah dilakukannya malam itu. Jika sampai hal itu terjadi, ia yakin, keluarga Alka maupun orang tuanya akan sangat kecewa, dan bisnis kerjasama mereka bisa hancur."Siapa yang membuat ulah, aku tidak berulah, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa itu salah, Calista?"Alvaro nampak tenang, ia bahkan tidak peduli kalaupun Alka akan melihat kedekatannya dengan Calista."Ya jelas salah. Kau itu seperti anak kecil. Kau masih muda, Varo! Kau bisa mencari penggantiku. Lagian malam itu kita melakukannya karena sama-sama tidak sadar, kan? Jadi anggap saja malam itu kita tidak melakukan apa-apa. Kau bisa melupakanku dan bebas memilih perempuan lain sebagai penggantinya."Keberadaan Alvaro hanya menambah pening di kepalanya. Kini hidupnya disuguhkan ole