Ibu Tiri Seperti Kaka Tiri
Raya berjalan cepat, sedikit gugup, keluar dari rumahnya. Dia buru buru, namun juga terlihat seperti menghindari seseorang. Beberapa detik setelahnya, ada derap langkah seseorang yang sepemengejarnya.Dia terlihat memakai jaket kulit hitam, celana jeans yang juga hitam. Dipadukan dengan sepatu boots dengan tinggi sedang, di atas mata kaki. Raya juga menyematkan helm, helm full face warna hitam pekat miliknya, lalu bergegas mengendarai motor sport Kawasaki 4 silinder 948cc, motor yang kebanyakan dipakai kaum Adam penyuka booster adrenalin jalanan.Dia bersiap menarik gas motornya, tidak mempedulikan apapun yang ada di belakangnya, sang ibu tiri yang terus saja berteriak, mengomel tidak karuan."Raya, kamu harus bekerja, apa kamu tidak tahu malu, kamu benar benar produk gagal di keluarga ini, aku menyesal sudah membantu kuliahmu, bahkan aku menggunakan seluruh uangku untuk pendidikanmu, kamu benar benar keterlaluan Raya," teriak Rohaya, ibu tiri Raya.Mendengar ocehan itu, Raya seperti tidak bergeming sedikitpun, dia menatap Rohaya dengan pandangan sinis, lalu menarik tuas gas motornya, tanpa memberi salam, tanpa ucapan apapun."Berhenti kamu Raya, anak tidak tahu diri, anak tidak tahu diuntung, anak kurang ajar, Raya!" teriak Rohaya.Rohaya melemparkan piring keramik ke arah Raya. Piring itu pun pecah, namun tidak mampu menjangkau target lemparan. Rohaya hanya bisa terdiam, melihat motor Raya melaju semakin menjauhinya, semakin lama tidak lagi bisa terlihat."Dasar anak tidak berguna, aku menyesal telah menginvestasikan seluruh uangku untuk keperluan kuliahmu, anak tidak berguna, tidak berguna, kamu membuatku bangkrut," teriak Rohaya seraya memegangi kepalanya, terlihat begitu kesal dan penuh amarah.Nama gadis itu adalah Raya Aura, gadis manis yang merupakan lulusan kedokteran dengan nilai tertinggi. Itu membuatnya lulus dengan predikat terbaik di kelasnya, cumlaude.Setelah lulus dari universitas ternama di Jakarta, Raya menjalani ko-asisten di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta, dan saat itu pula dia mendapatkan sesuatu yang menjadi bayang bayang hitam, terus menghantui kemanapun dia pergi, traumanya. Trauma itu membuatnya mengidap PTSD, Post-Traumatic Stress Disorder, Serangan Panik Karena Trauma Masa Lalu.Raya mengendarai motornya, ada satu tempat yang akan dituju dan tempat itu sudah dia datangi selama tiga bulan terakhir ini. Pekerjaan paruh waktu kesekian, pekerjaan paruh waktu yang tidak ada hubungannya dengan dunia kedokteran.***“Sudahlah bu, jangan terlalu keras pada Raya,” ucap pak Bondan, ayah kandung Raya, laki laki berusia enam puluh tahun, pemilik salah satu toko kelontong terbesar di pasar induk kota.“Pak, Raya harus belajar bertanggung jawab, mana mungkin bapak biarkan Raya menjadi gelandangan. Dia dokter, dokter pak, kuliahnya mahal,” teriak Rohaya. Ibu tiri yang usianya selisih satu tahun lebih tua dari Raya. Rohaya masih begitu cantik, muda, bersemangat, orang orang sering menyebutnya kakak tiri Raya, bukan ibu tiri.Penampilan Rohaya yang modis, mengikuti trend membuatnya terlihat sangat cantik, khas ibu ibu kota yang menawan.“Aku akan mencari cara supaya Raya kembali bekerja sebagai dokter, jangan panggil aku Aya, jika tidak bisa melakukannya, dia harus kembali menjadi Raya si dokter hebat,” ucap Rohaya dengan mata tajam.Rohaya menyodorkan kopi panas pada pak Bondan, suami yang lebih seperti ayahnya. Orang orang sering menggunjingkan mereka, banyak yang beranggapan bahwa Rohaya menikah dengan pak Bondan hanya untuk menguasai hartanya, rumah juga toko kelontong terbesar di pasar induk kota.***Raya memarkir motornya, lalu menatap gedung tua yang merupakan rumah sakit umum di daerah Istimewa Yogyakarta."Aku akan meyakinkanmu lagi, aku tidak akan menyerah, lagi dan lagi," ucap Raya dengan penuh keyakinan. Dia segera masuk ke dalam rumah sakit itu."Kamu datang lagi? Ini sudah kunjunganmu ke kesekian kalinya, kau tidak akan berhasil mendapatkan informasi apapun," ucap Devon, salah satu perawat di rumah sakit itu.Laki laki berusia dua puluh Lima tahun, cukup tampan untuk seorang perawat. Mungkin dia lebih pantas bekerja sebagai model foto, atau bahkan artis yang sering wara wiri di televisi."Ya, aku akan menyerah, setelah dia mau memberi informasi mengenai siapa orang tuaku yang sebenarnya. Itu dosa masa lalunya, dosa yang harus ditebus sebelum meninggal," ucap Raya yang kemudian segera menuju ke arah kamar perawatan khusus.Kamar itu milik ibu Rahma, salah satu pasien di rumah sakit itu, dia sudah berada di rumah sakit itu sejak satu tahun lalu, dengan diagnosa demensia.Raya mendapat informasi bahwa dirinya bukan anak kandung dari dua orang yang sudah merawatnya sejak masih bayi.Dua bayi di tukar, di sebuah rumah sakit, akibat kemarahan seorang Bidan yang bernama Rahma Fatmawati.Saat itu Rahma yang menjadi bidan di sebuah rumah sakit terlibat pertengkaran besar dengan suaminya, dia kesal, karena selalu dianggap mandul dan tidak bisa menjadi istri yang sempurna. Untuk melampiaskan kemarahan, dia menukar dua bayi yang baru saja dia bantu dalam proses persalinannya.Salah satu Bayi itu adalah Raya Aura, dia menyelidiki semua kemungkinan, hingga mengarah pada bidan Rahma yang saat ini mengidap demensia, menjadi lansia sendirian, kesepian, di rumah sakit yang dulu merupakan tempatnya bekerja.Raya berdiri di depan pintu kamar perawatan khusus itu, terlihat menarik nafas panjang, lalu memutuskan untuk masuk ke dalam."Kamu datang lagi? kamu tidak menyerah rupanya," ucap ibu Rahma."Tidak, aku tidak akan menyerah, seberapa kali pun kamu mengusirku, mengumpatku, menjatuhkan hatiku, aku akan terus datang," ucap Raya dengan berani."Aku tidak akan menyerah sepertimu, yang berdiam diri di dalam kamar ini karena dosa masa lalu, harusnya kamu bisa memberitahuku, di mana orang tua kandungku," ucap Raya."Kamu sudah berani rupanya," ucap ibu Rahma yang masih mengarahkan pandangannya ke arah luar, mengintip halaman samping rumah sakit lewat jendela kaca yang ada di kamarnya.Ibu Rahma belum menoleh ke arah Raya, dia langsung bisa menebak itu adalah Raya tanpa harus melihatnya."Kamu pasti tidak memiliki keluarga, hanya aku yang mengunjungimu," ucap Raya dengan berani.Ibu Rahma terdiam, dia melirik ke arah Raya tanpa melihatnya, namun lirikan itu tajam."Dosa dosamu akan terus membayangi," ucap Raya."Kamu menukar dua bayi yang tidak berdaya, apa itu membuatmu puas?" tanya Raya dengan kesal."Aku bisa saja melaporkanmu ke kantor polisi, namun melihat kondisimu yang memprihatinkan, aku tidak akan tega," ucap Raya.“Laporkan saja, aku tidak akan memberimu apapun. Aku tidak melakukan apapun, aku tidak melakukannya,” ucap ibu Rahma.“Jangan menghabiskan waktu untuk mencari sesuatu yang tidak ada,” lanjut ibu Rahma.Bersambung...Mencari KebenaranPeristiwa kecelakaan yang menjadi penguak fakta. Raya mendapati golongan darahnya tidak sama dengan ayahnya, juga ibu kandungnya. Raya merahasiakan semua temuannya itu, dan bertekad mencari tahu kebenarannya sendiri dengan caranya sendiri.Dia berkenalan dengan Devon, salah satu perawat di rumah sakit itu. Berusaha mencari informasi sebanyak mungkin mengenai ibu Rahma, namun sayang, informasinya benar benar terbatas. Raya keluar dari ruang perawatan ibu Rahma, dia terlihat menutup pintu kamar perawatan itu, menghela nafas panjang, dengan ekspresi kekecewaan tinggi."Kamu tidak berhasil? sudah kuduga, setidaknya aku senang karena kamu akan terus datang," ucap Devon."Ayo ke Kantin, aku akan mentraktirmu makan dan minum," ucap Devon seraya berjalan ke arah kantin, dia terus menunjukkan ekspresi ajakan, berharap Raya akan mengikuti langkahnya. Sekali lagi Raya menghela nafas, lalu berjalan mengikuti langkah Devon."Menyerahlah, kamu harus menyerah," ucap Devon yang sud
Tatapan Penuh PesonaDevon duduk di samping Raya yang masih memejamkan mata, di tempat tidur pasien, salah satu ruangan kosong yang ada di rumah sakit itu.Devon terlihat mengamati wajah Raya, jika diamati lebih dalam, sungguh Raya memiliki kecantikan alami. Mata bulat, alis sedikit tebal dengan lengkungan yang unik. Hidung mancung dengan tulang tegas. Kulit putih mulus, bahkan seperti porselen tanpa noda. Rambut panjang sebahu dan hitam berkilau. Raya juga memiliki tinggi badan bak model profesional, berat tubuh ideal, kebanyakan orang menganggapnya memiliki body goals.Devon memukul mukul wajahnya, dia tidak ingin terlena dengan kecantikan Raya."Ada apa denganku, lupakan, jangan sampai kamu terhasut perasaan itu Devon, lupakan," ucap Devon seraya terus memukul mukul pipinya sendiri."De-Devon," bisik Raya setelah membuka mata."Ra-Raya, kamu baik baik saja? jantungku hampir lepas, kamu membuatku khawatir," ucap Devon."Apa itu serangan panik? apa yang terjadi?" tanya Devon tanpa h
Kabar PentingJam delapan malam, di toserba 69, Raya terlihat melaksanakan tugasnya sebagai pramuniaga, mulai dari mendisplay produk di rak, mendata produk jualannya, menjaga kebersihan area toserba, memberikan label harga, menulis laporan penjualan, dan yang pasti harus dilakukan adalah memberikan pelayanan pada pembeli. Dia menguasai semua itu, sangat trampil dan cekatan. Bahkan dia bekerja sendirian untuk jam kerja malam, shif paling sibuk, dimana banyak orang keluar rumah untuk berbelanja.Raya terlihat berada di belakang meja kasir, menunggu pelanggan datang. Dari pintu masuk toserba terlihat seorang anak laki laki masuk ke dalam toserba dan berhenti di depan meja kasir."Berikan aku rokok itu," ucap anak laki laki yang berusia sekitar sepuluh tahun. "Apa kamu bisa menunjukkan kartu tanda penduduk milikmu?" tanya Raya."Apa sekarang membeli rokok harus menunjukkan kartu tanda penduduk? setahuku hanya membeli alkohol," ucap anak laki laki yang sepertinya cukup cerdas."Ini atur
Sebuah HarapanRaya menatap Devon dengan pandangan tajam menusuk, sangat tajam. Dia benar benar penasaran dengan apa yang ingin Devon sampaikan."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Raya."Aku ingin menyampaikan bahwa ibu Rahma ingin bicara empat mata denganmu," ucap Devon."Hah? benarkah? apa kamu membujuknya?" tanya Raya dengan wajah sumringah."Tentu, aku berusaha keras untuk membujuknya, pagi, siang, malam, akhirnya ibu Rahma bersedia, padahal aku tidak tahu informasi apa yang ingin kamu dapat darinya," ucap Devon dengan membanggakan dirinya."Benarkah?" tanya Raya menelisik.Devon terdiam, melihat ke arah Raya dengan pandangan mendalam, lalu tertawa."Tidak mungkin itu, tidak ada yang bisa membujuk atau memaksa ibu Rahma," ucapDevon."Kamu ini," ucap Raya seraya menyentuh pundak Devon, tepatnya mentoelnya pelan."Selama di rumah sakit, tidak ada yang bisa mendekatinya, dia hanya dekat dengan pak kepala rumah sakit. Kadang mereka terlihat tertawa bersama, sepertinya mereka suda
Hasil Tidak Menghianati UsahaRaya masuk ke dalam rumahnya, dengan pelan dan hati hati, mengendap endap seolah masuk ke rumah orang lain, berusaha tidak membangunkan ibu tirinya yang terlelap tidur di ruang tengah sembari ditonton televisi yang masih menyala."Kamu sudah pulang?" tanya Rohaya, sang ibu tiri yang sepertinya mendengar langkah kaki anak tirinya itu.Raya mendekat ke arah ibu tirinya, meletakkan sebuah amplop berisi uang sepuluh lembar seratus ribuan. "Jangan habiskan sekaligus," ucap Raya, lalu dia kembali melangkahkan kakinya ke arah kamar.Rohaya terlihat mengangkat tubuhnya, meraih amplop itu seraya menghela nafas panjang."Harusnya kamu bisa menghasilkan lebih, kamu investasi masa depan dan masa tuaku, aku bisa gila melihatmu seperti itu. Aku memang ibu tirimu, yang selalu menuntutmu, tapi aku juga memiliki kasih sayang padamu," gumam Rohaya lirih, berharap Raya tidak mendengar apa yang dia ucapkan. "Apa kamu harus mengambil uang dari putrimu sendiri," tanya pak Bo
Pelukan yang tersemat di hatiRaya melihat ibu Rahma duduk di kursi taman belakang, menghadap ke arah timur, menunggu matahari terbit. Tiba tiba jantung Raya berdegup kencang, seperti seseorang yang ingin menemui kekasihnya. "Ayo, temui dia," ucap Devon, lalu Raya mengangguk pelan.Raya mendekat ke arah ibu Rahma, duduk di sebelahnya, belum mengucapkan sepatah katapun."Selamat pagi," sapa Raya. "Kamu sudah mendengarnya dari perawat itu?" tanya ibu Rahma tanpa melihat ke arah Raya."I-iya, terimakasih, terimakasih sudah mempercayaiku," ucap Raya."Aku boleh tanya sesuatu padamu?" tanya ibu Rahma."Tentu saja," ucap Raya."Apa kamu marah padaku?" tanya ibu Rahma.Mendengar pertanyaan itu, Raya melihat ke arah ibu Rahma dengan pandangan tajam."Tentu saja, awalnya, sangat marah, namun saya berusaha memahami, mungkin ibu memiliki alasan di balik itu semua. Jujur saya sangat marah, tapi saya yakin, dosa sudah mengikuti ibu sejak lama, bahkan karma pun sudah ibu dapatkan," ucap Raya."Ka
Sebuah AwalRaya sudah berada di kedai ayam cepat saji, dia berada di ruangan pak Umay, kepala restoran yang bertugas mengurus segala hal yang ada di restoran, juga mengatur karyawan, tiang utama berjalannya sebuah bisnis restoran. "Ada apa Raya? tumben menemuiku pagi pagi begini," tanya pak Umay."Pak, saya ingin mengundurkan diri," ucap Raya seraya menyerahkan surat pengunduran dirinya."Apa? kenapa mendadak sekali, apa kamu sudah mendapat pekerjaan lain? apa aku ada salah terhadapmu?" Ucap pak Umay dengan berondongan pertanyaan."Ti-tidak pak, saya hanya memiliki alasan lain, saya takut yang saya kerjakan akan mengganggu pekerjaan saya di sini," ucap Raya. Pak Umay terdiam, dia menatap Raya dengan pandangan mendalam."Apa itu? apa sangat penting?" tanya pak Umay."Iya, sangat penting, bagi hidup saya," ucap Raya."Kamu sudah memiliki jadwal pasti untuk mengerjakannya?" tanya pak Umay."Saya harus mengerjakannya selepas makan siang, saya tidak mungkin bekerja hingga sore hari," uca
Kenyataan MengerikanJam makan siang selesai, Raya sudah berada di depan rumah sakit, rumah sakit swasta yang melayani pasien umum, rumah sakit yang dulunya adalah milik sebuah yayasan.Rose akan segera masuk, untuk menemui ibu Rahma. Hatinya bergetar hebat, berdebar tidak karuan, antara gugup, takut dan khawatir. Hari ini Raya akan banyak mengobrol dengan ibu Rahma, dia berharap mampu mengendalikan diri, setiap emosi manusiawi yang mungkin saja akan dia miliki dan keluar dengan sendirinya. Ibu Rahma, orang yang seolah tidak mempedulikan kehadirannya selama tiga bulan terakhir, namun dia pasti tersiksa, melihat bayi yang dulu dia tukar tumbuh dengan begitu sehat dan cantik, datang seolah meminta pertanggung jawaban.Raya berdiri di depan pintu kamar ibu Rahma, terlihat mengambil nafas, lalu mengetuk pelan."Masuklah," terdengar suara itu lirih. Raya memberanikan diri memegang dagang pintu, lalu membukanya. "Kamu sudah datang, duduklah," ucap ibu Rahma yang terdengar begitu hangat, s
Kakak Beradik Pagi harinya, Raya sudah berada di kedai ayam cepat saji.“Bagaimana liburannya? Kamu pasti sangat menikmatinya,” ucap Anna.“Ya, lihat kulitnya menghitam, kamu pasti berjemur seharian,” ucap Angga seraya melihat ke arah Raya.“Ah, kalian tidak akan menyangka, liburanku sama sekali tidak menyenangkan, sama sekali,” ucap Raya seraya menghela nafas panjang.“Bahkan aku ingin tidur, liburan tidak membuat tubuhku mengisi ulang daya,” gerutu Raya.“Raya, ada pesanan yang harus kamu antar pagi ini,” ucap pak Umay.“Baiklah, aku sudah siap pak kepala kedai, tugasku akan selesai dengan baik,” ucap Raya seraya memberi hormat.“Kamu gunakan mobil kantor, karna kamu harus mengantar dua puluh paket ke dua puluh tempat, pemesan sudah membayar ongkos kirimnya,” ucap pak Umay.“Apa? Dua puluh?” tanya Raya.“Ya, kamu habis liburan, kamu sudah memiliki tenaga untuk itu, seman
Pria Pria Menawan Raya berjalan ke arah aula hotel Santika, hotel di mana seminar diadakan. Tiba tiba dia berpapasan dengan seseorang yang tidak asing lagi. “Lucas,” ucapnya, lalu dia bergegas menyembunyikan wajahnya dengan paper bag yang dibawanya. “Bagaimana ini, ah, kenapa ada dia di sini, ah merepotkan saja,” ucapnya kesal. “Dia berusaha menepi, menghindari Lucas yang juga berjalan ke arah tempat seminar. “Apa jangan jangan Lucas juga hadir ke seminar Radit? Wah ini tidak bisa dibiarkan, aku harus segera pergi dari sini,” ucap Raya yang mengendap endap, mencoba kabur dan menghilang. Baru beberapa langkah, tubuhnya menabrak tubuh seseorang, Raya mendongak ke atas, ternyata itu adaah Devon. “Raya, kamu juga datang ke seminar ini? Wah kamu pasti mendapatkan tiket gratis dari Radit, dia juga memberikannya kepadaku. Ayo kita segera masuk, seminar akan segera di
PRIA LUAR BIASA Di depan pintu sudah ada Rohaya yang berdiri di depan pintu dengan tangan menyilang di depan perut.“Kamu tidak membawa sesuatu untukku?” tanya Rohaya.“Hanya porsi berdua,” ucap Raya yang kemudian segera masuk ke dalam rumah, berjalan menuju ke kamarnya.“Kamu pelit sekali,” gumam Rohaya yang mengikuti langkah kaki Raya.“Kamu kembali berkencan dengan laki laki kaya itu?” tanya Rohaya.“Dia sangat kaya, kamu harus mengikatnya dengan kuat, supaya dia tidak lari dibawa pelakor gila,” ucap Rohaya yang terus mengikuti Raya hingga ke kamarnya.“Aku belum memutuskan apapun,” ucap Raya.“Apa yang kamu tunggu, dia datang kepadamu, begitu menginginkanmu, kamu bisa menjadi istri calon presdir rumah sakit mewah, itu sempurna,” ucap Rohaya yang kemudian duduk di tempat tidur Raya.“Apa kamu menyuruhku menjatuhkan hati hanya karena harta?” tanya Raya.“Kamu harus realistis, jika
LUCASRaya menghentikan mobil tepat di tikungan jalan, cukup dekat dengan hotel Santika. Dia melihat ada seorang wanita berdiri di pinggir jalan, wanita yang sepertinya tidak asing. Wanita dengan gaun berwarna putih, rambut panjang sebahu, tinggi, langsing, dia berdiri menyamping, sehingga Raya tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Berapa detik setelah itu, muncul seseorang yang sepertinya tidak asing, sangat tidak asing.“Lucas,” bisik Raya, kemudian dia segera menyembunyikan tubuhnya. Raya mengintip, dia melihat Lucas dengan wanita itu, tiba tiba wanita itu melihat ke arah mobil Raya.“Fay?” bisik Raya yang sudah bisa mengenali wanita itu. Rupanya dia adalah Fay, teman satu fakultasnya dulu.“Jadi Lucas dengan Fey?” Tanya Raya pada dirinya sendiri.“Apa mereka sudah menikah? Atau berpacaran?” Tanya mengusik hati dan juga perasaan Raya.Raya terdiam, memikirkan kemungkinan bahwa Lucas mungkin saja sudah menikah dengan Fey. Dia ingat, pertama kalinya menginjakkan kaki di kampus el
KencanJam empat sore, Raya sampai di depan rumahnya, menurunkan standar motor, lalu melepas helm. Terdengar suara dering dari ponselnya, dia segera mengambil ponsel itu dari dalam tas ranselnya.“Angga,” gumam Raya ketika melihat nama yang muncul di layar depan ponsel pintarnya.“Halo Angga, ada apa?” tanya Raya setelah menempelkan ponsel itu di telinganya.“Raya, sebelumnya aku harus minta maaf dulu, tapi ini darurat,” ucap Angga dari seberang panggilan, terdengar gugup.“Ada apa? Apa kamu mau mengganggu waktu liburku?” tebak Raya.“Ya, be-benar sekali, aku minta tolong, tepatnya kedai minta tolong untuk diantarkan empat puluh paket ayam, pekerja paruh waktu yang membantumu tidak bisa mengendarai mobil dan kurir online penuh, kami harus menunggu satu jam lagi, itu tidak mungkin, pesanan ini harus segera sampai ke sana,” ucap Angga menjelaskan situasinya.“Ya, ya, ya, hari ini adalah cuti tahunanku dan besok adalah cuti bulananku, sebagai karyawan yang budiman, aku harus tetap memban
Perhatian KecilSetelah sekitar sepuluh menit berjalan, akhirnya mereka sampai di kedai atas bukit, kedai bambu yang sederhana namun begitu indah dan sejuk dipandang mata.“Kenapa kalian lambat sekali,” gumam Raya.“Aku? Lamban?” kamu saja yang terlalu cepat, aku sudah berusaha menyusulmu, lagipula kenapa kita harus pindah ke tempat terpencil seperti ini,” ucap Devon.“Kalian tidak lihat, kalian sudah benar benar merusak liburanku, semua orang lebih tertarik pada kalian berdua ketimbang menikmati segarnya strawberry,” ucap Raya kesal.“Bukan salahku jika terlahir tampan,” ucap Radit yang terlihat berusaha menata nafasnya, dia benar benar kelelahan, dia membungkukkan tubuhnya, menyangga dengan kedua tangan yang memegang lutut.Devon melirik kearah Radit.“Wah, tadi dia tidak suka ketika aku menyombongkan ketampananku,” gumam Devon menggerutu.“Apa kamu tidak pernah berlari lagi di rumah sakit, kakimu sudah kaku, harusnya kamu lebih bisa cepat,” ucap Raya yang lebih terdengar seperti s
Tampan Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, mereka bertiga sampai di taman strawberry, ternyata tidak seperti dugaan Raya, taman strawberry di sana terlihat begitu padat, seperti lautan manusia.“Hah,” ucap Raya.“Sepertinya kamu harus berdesakan dengan semua orang untuk mendapatkan sebuah strawberry,” ucap Devon.“Ah, aku tidak akan menikmati semua ini, aku hanya ingin membeli sekeranjang strawberry dan memakannya di pinggir kebun, tapi pasti tidak ada yang menjualnya, mereka bahkan rela antri untuk memetiknya sendiri,” ucap Raya kesal.“Aku akan membelikanmu di mall, semua stock yang ada,” ucap Radit.“Mas, beda, ini segar, baru dipetik,” ucap Raya kesal. Radit terlihat menghela nafas panjang.“Baiklah, aku akan mewujudkannya, aku akan mendapatkan sekeranjang strawberry itu,” ucap Radit. Mendengar hal itu, Devon pun tidak mau kalah, dia juga berniat mendapatkan sekeranjang buah strawberry untuk
Penguntit Devon sudah ada di dapur, dengan mata yang berbinar.“Kamu sudah mandi?” tanya Raya seraya menatap Devon yang sebagian wajahnya masih terdapat sisa cipratan air.“Ya, kamu bisa lihat mataku, sudah terbuka sempurna,” ucap Devon.“Baiklah, ayo kita segera membuat masakan istimewa,” lanjut Devon.Devon terlihat menyiapkan semua bahan yang dibutuhkan, ayam segar yang dibawa Raya, kentang, wortel, daun bawang, bumbu dapur yang diperlukan seperti bawang merah, bawang putih, jahe, kemiri, daun secang, kayu manis, dan lain lain. Devon segera meramu masakannya, terlihat begitu terampil dan cekatan. Raya hanya bisa melihat Devon, dia tidak diijinkan untuk membantu apapun.Setelah sekitar satu jam, soup daging merah akhirnya tersaji, sungguh menggugah selera.“Wah, luar biasa, aku seperti melihat demo masak,” ucap Raya.“Cobalah,” ucap Devon seraya menyodorkan semangkuk kecil sup daging mera
Kekesalan Raya Cerita ibu Rahma.Pertengkaran demi pertengkaran membuatku semakin depresi, pertengkaran suami istri yang begitu menyudutkanku. Menukar botol susu yang sering aku lakukan untuk melegakan emosi suatu ketika sudah tidak lagi menarik, tidak lagi mempan. Aku mulai memikirkan sesuatu yang gila, bagaimana jika menukar bayi?.Suatu ketika aku melihat dua bayi laki laki yang terlihat sangat mirip. Aku menukar kedua bayi itu, namun aksiku diketahui rekan kerjaku, akhirnya berujung masalah yang menjadikan karir yang aku bangun susah payah berada di ujung tanduk. Aku bersikeras hal itu aku lakukan dengan ketidaksengajaan, akhirnya kedua orang tua itu memaafkan, tentu aku dan rumah sakit harus membayar kompensasi yang cukup besar. Aku menghabiskan uang simpananku, untuk menutup kasus itu dan melanjutkan karir sebagai bidan senior. Seiring waktu, rasa penasaran unt