Sebuah Harapan
Raya menatap Devon dengan pandangan tajam menusuk, sangat tajam. Dia benar benar penasaran dengan apa yang ingin Devon sampaikan."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Raya."Aku ingin menyampaikan bahwa ibu Rahma ingin bicara empat mata denganmu," ucap Devon."Hah? benarkah? apa kamu membujuknya?" tanya Raya dengan wajah sumringah."Tentu, aku berusaha keras untuk membujuknya, pagi, siang, malam, akhirnya ibu Rahma bersedia, padahal aku tidak tahu informasi apa yang ingin kamu dapat darinya," ucap Devon dengan membanggakan dirinya."Benarkah?" tanya Raya menelisik.Devon terdiam, melihat ke arah Raya dengan pandangan mendalam, lalu tertawa."Tidak mungkin itu, tidak ada yang bisa membujuk atau memaksa ibu Rahma," ucapDevon."Kamu ini," ucap Raya seraya menyentuh pundak Devon, tepatnya mentoelnya pelan."Selama di rumah sakit, tidak ada yang bisa mendekatinya, dia hanya dekat dengan pak kepala rumah sakit. Kadang mereka terlihat tertawa bersama, sepertinya mereka sudah saling mengenal sejak lama," ucap Devon."Ya, dia dulu perawat di sana, wajar mereka saling mengenal," ucap Raya."Aku melihat sepertinya ibu Rahma orang yang baik, sepertinya. Entah apa yang membuatnya melakukan semua itu padaku, aku tidak mengerti. Aku menangkap kejujuran, kebaikan di matanya, sebenarnya," ucap Raya."Apa kamu sepandai itu menilai orang lain?" tanya Devon."Ya, aku cukup jago membedakan barang asli dan tidak, begitu juga dengan manusia, aku bisa melihat orang yang asli dan tidak walaupun itu cukup sulit. Hati manusia itu adalah perkara yang begitu sulit untuk dipahami, mudah berubah, namun ada pula yang bertahan dengan ketangguhan," ucap Raya."Benarkah? kamu sehebat itu?" tanya Evan menelisik."Lihat dirimu, kamu memiliki tubuh yang bagus, tinggi, otot terbentuk cukup baik, paras yang ya lumayanlah, sebenarnya dari sudut manapun kamu tidak pantas menjadi perawat di rumah sakit," ucap Raya seraya melihat ke arah Devon. Mendengar itu, Devon tertawa cukup keras."Kamu tahu, ibuku hanya wanita miskin dan ayahku adalah ODGJ, orang dengan gangguan jiwa. Bertahun tahun aku hidup dengan mereka, berusaha memahami mereka luar dan dalam. Aku sudah terbiasa dengan pandangan orang mengenai keluargaku, menghadapi kondisi ayahku yang sulit di tebak. Setelah ayahku meninggal sembilan tahun lalu, aku memutuskan untuk menjadi perawat, aku akan melakukan segala yang terbaik," cerita Devon mengenai hidupnya."Wah, kamu memiliki jalan hidup yang cukup berat. Maafkan aku harusnya aku tidak mengatakan itu," ucap Raya."Tidak apa apa, kamu bukan orang pertama yang mengatakannya. Dulu aku adalah atlit basket, aku berpikir aku tidak mungkin selamanya menjadi atlit yang tanpa masa depan dan penghasilan," ucap Devon."Pantas saja, kamu sering olah raga, otot itu tidak mungkin terbentuk dengan sendirinya," ucap Raya seraya tersenyum."Sebenarnya aku ingin menjadi dokter, tapi kamu pasti juga tahu, pendidikan kedokteran cukup mahal dan aku juga harus memiliki otak yang bagus, di tambah lagi fakultas kedokteran yang bagus menganut sistem dinasti," ucap Devon."Dinasti?" tanya Raya."Ya, harus memiliki koneksi yang bagus, uang yang cukup atau kalau tidak memiliki itu semua minimal harus memiliki otak jenius yang mengalahkan mereka semua," ucap Devon."Ya, itu sudah menjadi rahasia umum," ucap Raya."Tapi setidaknya selalu ada tempat untuk otak otak yang bagus," lanjut Raya."Aku sudah banyak menceritakan kehidupanku, bagaimana denganmu?" tanya Devon ingin tahu."Aku?" tanya Raya seraya menunjuk ke arah dirinya sendiri."Tidak ada yang menarik, seperti yang telah kamu ketahui, aku bekerja di toserba, juga sebagai kurir pengantar makanan," ucap Raya."Kamu tingal dengan keluargamu?" tanya Devon."Ibuku sudah meninggal ketika melahirkanku, ayahku menikah lagi, aku harus tinggal dengan ibu tiri yang hanya berjarak usia satu tahun denganku, bahkan orang orang memanggilnya kakak tiri, hidup memang tidak bisa ditebak," ucap Raya."Apa ibu tirimu menyiksamu?" tanya Devon. Mendengar hal itu, Raya menatap ke arah Devon, lalu tersenyum."Tidak, itu hanya ada di cerita dongeng, aku sudah besar. Hanya saja dia sedikit kecewa dengan diriku karna tidak bisa seperti yang dia inginkan," ucap Raya."Oh iya, aku sedikit tidak nyaman dengan nama toserba tempatmu bekerja, toserba 69," ucap Devon. Raya menatap ke arah Devon, memicingkan mata, memajukan kepalanya ke arah Devon."Dasar mesum," ucap Raya."Hah, aku bicara yang sebenarnya," ucap Devon."69 itu terinspirasi dari Yin dan Yang, konsep dalam filosofi Tionghoa yang biasanya digunakan untuk mendeskripsikan sifat kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan di dunia ini serta bagaimana mereka saling membangun satu sama lain, pemiliknya adalah koh Ahong, orang Cina, dia sangat baik," penjelasan Raya."Ya, aku melihatnya tadi," ucap Devon."Kamu betah bekerja di toserba itu?" tanya Devon."Ya, sudah hampir empat tahun, apa itu tergolong betah?" tanya Raya."Tentu saja, aku saja baru dua tahun bekerja di rumah sakit itu, sebelumnya sempat berpindah pindah. Ya, mencari pengalaman. Sebenarnya aku juga berniat pindah, tapi karna ada sesuatu, aku memutuskan bertahan," ucap Devon seraya tersenyum.Sesuatu yang Devon maksud adalah bertemu dengan Raya, pagi itu, tepatnya tiga bulan yang lalu.****Sore tadi, sebelum Devon memutuskan untuk menemui Raya.Di rumah sakit, terlihat ibu Rahma menatap indahnya matahari terbenam. Dia mulai menghela nafas panjang."Sepertinya ini saatnya setelah tiga puluh tahun," bisiknya lirih. Ibu RahmaIbu Rahma mengingat semua kenangannya, tidak ada yang terlewat sedikitpun, bahkan dia bisa menceritakan semuanya dengan rinci.Peristiwa tiga puluh tahun lalu ketika dia menukar dua orang bayi perempuan yang tidak berdosa hanya karena alasan kesal. Dia melihat salah satu bayi itu sangat mirip dengan putrinya, putrinya yang sudah meninggal. Dia tidak rela putrinya diasuh oleh keluarga miskin, keluarga pak Bondan yang seiring waktu bisa menempatkan status ekonomi keluarganya menjadi lebih baik.Bukan hanya miskin, namun juga tanpa ibu. Dia menukar putri kandung pak Bondan dan istrinya dengan bayi lain, yang sekarang menjadi Raya dewasa, yang seharusnya menjadi putri dari keluarga kaya raya.Ibu Rahma terlihat menghela nafas panjang, mungkin dia harus mengambil jalan ini, membongkar semuanya, dengan orang yang tepat, yang tidak pantang menyerah.Dia melihat kegigihan Raya, yang terus menemuinya selama tiga bulan terakhir. Mencari informasi tentang dirinya, bahkan sejak bertahun tahun lalu. Ibu Rahma mulai memiliki simpati yang luar biasa, dia harus menyerah.Ibu Rahma melihat ke arah Devon yang berjalan menghampirinya."Ibu Rahma, mari kita masuk, sudah sore," ucap Devon. Tanpa menjawab apapun, ibu Rahma berdiri dari kursinya, berjalan ke arah kamarnya dibantu oleh Devon.Di dalam kamarnya, dengan telaten Devon membantu ibu Rahma duduk di atas tempat tidur."Bisakah kamu memberi tahu gadis itu, aku bersedia bicara dengannya," ucap ibu Rahma pada Devon."Raya? pasti Raya akan sangat bahagia mendengarnya," ucap Devon."Dia sangat gigih," ucap ibu Rahma."Iya, dia tidak mudah menyerah, bahkan dia rela tidur di rumah sakit demi bisa menemui ibu yang tidak ingin menemuinya," ucap Devon."Kamu menyukainya?" tanya Ibu Rahma. Mendengar hal itu Devon tersenyum."Saya akan segera memberi tahu Raya, terimakasih bu," ucap Devon yang kemudian meninggalkan kamar ibu Rahma."Bahkan kamu berterimakasih padaku karna bersedia menemui gadis itu. Apa kamu akan tetap berterimakasih setelah kamu tahu apa yang telah aku lakukan pada gadis itu tiga puluh tahun lalu? aku tidak yakin kamu akan memaafkanku," ucap ibu Rahma seraya melihat Devon berjalan semakin menjauhinya.Bersambung...Hasil Tidak Menghianati UsahaRaya masuk ke dalam rumahnya, dengan pelan dan hati hati, mengendap endap seolah masuk ke rumah orang lain, berusaha tidak membangunkan ibu tirinya yang terlelap tidur di ruang tengah sembari ditonton televisi yang masih menyala."Kamu sudah pulang?" tanya Rohaya, sang ibu tiri yang sepertinya mendengar langkah kaki anak tirinya itu.Raya mendekat ke arah ibu tirinya, meletakkan sebuah amplop berisi uang sepuluh lembar seratus ribuan. "Jangan habiskan sekaligus," ucap Raya, lalu dia kembali melangkahkan kakinya ke arah kamar.Rohaya terlihat mengangkat tubuhnya, meraih amplop itu seraya menghela nafas panjang."Harusnya kamu bisa menghasilkan lebih, kamu investasi masa depan dan masa tuaku, aku bisa gila melihatmu seperti itu. Aku memang ibu tirimu, yang selalu menuntutmu, tapi aku juga memiliki kasih sayang padamu," gumam Rohaya lirih, berharap Raya tidak mendengar apa yang dia ucapkan. "Apa kamu harus mengambil uang dari putrimu sendiri," tanya pak Bo
Pelukan yang tersemat di hatiRaya melihat ibu Rahma duduk di kursi taman belakang, menghadap ke arah timur, menunggu matahari terbit. Tiba tiba jantung Raya berdegup kencang, seperti seseorang yang ingin menemui kekasihnya. "Ayo, temui dia," ucap Devon, lalu Raya mengangguk pelan.Raya mendekat ke arah ibu Rahma, duduk di sebelahnya, belum mengucapkan sepatah katapun."Selamat pagi," sapa Raya. "Kamu sudah mendengarnya dari perawat itu?" tanya ibu Rahma tanpa melihat ke arah Raya."I-iya, terimakasih, terimakasih sudah mempercayaiku," ucap Raya."Aku boleh tanya sesuatu padamu?" tanya ibu Rahma."Tentu saja," ucap Raya."Apa kamu marah padaku?" tanya ibu Rahma.Mendengar pertanyaan itu, Raya melihat ke arah ibu Rahma dengan pandangan tajam."Tentu saja, awalnya, sangat marah, namun saya berusaha memahami, mungkin ibu memiliki alasan di balik itu semua. Jujur saya sangat marah, tapi saya yakin, dosa sudah mengikuti ibu sejak lama, bahkan karma pun sudah ibu dapatkan," ucap Raya."Ka
Sebuah AwalRaya sudah berada di kedai ayam cepat saji, dia berada di ruangan pak Umay, kepala restoran yang bertugas mengurus segala hal yang ada di restoran, juga mengatur karyawan, tiang utama berjalannya sebuah bisnis restoran. "Ada apa Raya? tumben menemuiku pagi pagi begini," tanya pak Umay."Pak, saya ingin mengundurkan diri," ucap Raya seraya menyerahkan surat pengunduran dirinya."Apa? kenapa mendadak sekali, apa kamu sudah mendapat pekerjaan lain? apa aku ada salah terhadapmu?" Ucap pak Umay dengan berondongan pertanyaan."Ti-tidak pak, saya hanya memiliki alasan lain, saya takut yang saya kerjakan akan mengganggu pekerjaan saya di sini," ucap Raya. Pak Umay terdiam, dia menatap Raya dengan pandangan mendalam."Apa itu? apa sangat penting?" tanya pak Umay."Iya, sangat penting, bagi hidup saya," ucap Raya."Kamu sudah memiliki jadwal pasti untuk mengerjakannya?" tanya pak Umay."Saya harus mengerjakannya selepas makan siang, saya tidak mungkin bekerja hingga sore hari," uca
Kenyataan MengerikanJam makan siang selesai, Raya sudah berada di depan rumah sakit, rumah sakit swasta yang melayani pasien umum, rumah sakit yang dulunya adalah milik sebuah yayasan.Rose akan segera masuk, untuk menemui ibu Rahma. Hatinya bergetar hebat, berdebar tidak karuan, antara gugup, takut dan khawatir. Hari ini Raya akan banyak mengobrol dengan ibu Rahma, dia berharap mampu mengendalikan diri, setiap emosi manusiawi yang mungkin saja akan dia miliki dan keluar dengan sendirinya. Ibu Rahma, orang yang seolah tidak mempedulikan kehadirannya selama tiga bulan terakhir, namun dia pasti tersiksa, melihat bayi yang dulu dia tukar tumbuh dengan begitu sehat dan cantik, datang seolah meminta pertanggung jawaban.Raya berdiri di depan pintu kamar ibu Rahma, terlihat mengambil nafas, lalu mengetuk pelan."Masuklah," terdengar suara itu lirih. Raya memberanikan diri memegang dagang pintu, lalu membukanya. "Kamu sudah datang, duduklah," ucap ibu Rahma yang terdengar begitu hangat, s
Sebuah Perhatian KecilJam menunjukkan pukul tiga sore, Raya duduk di depan toserba 69, terlihat menghela nafas panjang, lalu duduk di lantai yang menyerupai tangga. "Kamu sudah selesei?" tanya Devon yang tiba tiba datang dan menyodorkan sebotol air mineral."Terimakasih," ucap Raya seraya menerima botol itu. Devon terlihat ikut dudu di samping Raya."Aku tidak menyangka akan seberat ini," ucap Raya."Benarkah? apa kamu mengangkat sesuatu?" tanya Devon. Raya melihat ke arah Devon, seraya mata yang memicing dan bibir sedikit maju, lalu memukulnya lembut."Kamu ini," ucap Raya."Baru hari pertama aku mengunjunginya setelah kesepakatan, cerita yang kudengar begitu menyesakkan," ucap Raya."Benarkah?" tanya Devon."Devon, kamu tahu, ada seseorang yang kadang melakukan sesuatu yang menurutnya menyenangkan tanpa memikirkan orang lain," ucap Raya."Benarkah?" tanya Devon."Ya, ada orang seperti itu," ucap Raya.Devon terlihat menatap ke arah depan."Kamu tahu, dulu pernah ada pasien yang d
Kebingungan DevonRaya terlihat menyeruput kuah mie cupnya yang masih mengepul, lalu menunjukkan ekspresi kepanasan."Apapun niatmu, aku ucapkan terimakasih, aku harap kamu tidak menginginkan apapun dariku," ucap Raya yang terdengar blakblakan.Devon mengarahkan matanya pada Raya."Hah, apa yang kamu katakan, aku baik padamu karena kasihan, aku khawatir kamu akan sakit," ucap Devon."Baiklah, seperti yang pernah aku katakan, aku bisa mengenali barang asli dan tidak, juga termasuk seseorang," ucap Raya."Ya, tapi itu mustahil, butuh keahlian khusus untuk itu," ucap Devon."Coba lihat itu, dua orang pria yang berteduh di depan toserba,” ucap Raya seraya mengarahkan matanya pada orang yang dia tuju.“Mereka bekerja di butik yang letaknya tiga blok dari sini. Pria yang satu melepas sepatunya, mendekap di depan dada, seolah ingin melindungi sepatu yang baginya cukup berharga, daripada digunakan untuk melindungi kakinya. Sedangkan yang satunya, seolah tidak peduli, walaupun sepatunya basah
Apa Dia Dokter?Setelah ambulans pergi, Devon segera menemui Raya yang sudah berada di toserba."Sekali lagi kamu mengejutkanku," ucap Devon."Kamu melakukannya dengan baik," lanjut Devon."Hmmm, pramuka, ya pramuka, kamu harus ikut kegiatan pramuka supaya bisa melakukan apa saja, terutama keahlian bertahan hidup di situasi darurat," ucap Raya seraya mengulaskan senyum sempurna, lalu terlihat kembali menata beberapa barang."Pramuka, ya pramuka, aku akan berusaha untuk mempercayainya," ucap Devon. Devon terlihat meletakkan sesuatu di atas meja kasir, itu adalah obat yang baru saja dibelinya dari apotik."Ini untukmu," Devon terlihat menyodorkan sebotol minuman yang merupakan vitamin untuk daya tahan tubuh."Terimakasih," ucap Raya seraya menerima minuman botol itu.“Aku sudah menebus obat ibuku,” ucap Devon."Obat apa itu?” tanya Raya."Ini," ucap Devon yang kemudian memasukkan obat untuk ibunya ke dalam saku celana."Alprazolam, apa ibumu mengkonsumsi itu?" tanya Raya yang terlihat
Masa Lalu Datang Lagi Raya menjatuhkan tubuhnya, lalu mulai menangis sejadi jadinya. "Kenapa kamu harus datang lagi Radit, setelah aku berusaha mati matian untuk melupakan semuanya," gumam Raya yang terus saja menghujani pipinya dengan air mata. Pilu, sedih, semua perasaan bersatu padu. Ingatan masa lalu mulai bermunculan dan hal ini membuatnya tidak mampu menguasai dirinya. *** Jam makan siang tiba, Raya bersiap untuk segera meluncur ke rumah sakit untuk menemui ibu Rahma. Dia terlihat berjalan ke arah motornya, mengambil helm, lalu memasang di kepala. Raya segera naik ke atas motor kesayangannya itu, menaikkan standar samping, bersiap menekan knob starter motor. Tidak lama setelah itu, terdengar suara ponsel berbunyi. Suara ponsel berasal dari dalam tas ranselnya. Raya kembali menurunkan standar, lalu melepas helm yang sudah terpasang. Raya menarik tas ransel yang dipakainya, lalu mengambil ponsel yang terus saja berbunyi. Di layar ponsel muncul nama Devon, Raya mengerutkan