PRIA LUAR BIASA Di depan pintu sudah ada Rohaya yang berdiri di depan pintu dengan tangan menyilang di depan perut.“Kamu tidak membawa sesuatu untukku?” tanya Rohaya.“Hanya porsi berdua,” ucap Raya yang kemudian segera masuk ke dalam rumah, berjalan menuju ke kamarnya.“Kamu pelit sekali,” gumam Rohaya yang mengikuti langkah kaki Raya.“Kamu kembali berkencan dengan laki laki kaya itu?” tanya Rohaya.“Dia sangat kaya, kamu harus mengikatnya dengan kuat, supaya dia tidak lari dibawa pelakor gila,” ucap Rohaya yang terus mengikuti Raya hingga ke kamarnya.“Aku belum memutuskan apapun,” ucap Raya.“Apa yang kamu tunggu, dia datang kepadamu, begitu menginginkanmu, kamu bisa menjadi istri calon presdir rumah sakit mewah, itu sempurna,” ucap Rohaya yang kemudian duduk di tempat tidur Raya.“Apa kamu menyuruhku menjatuhkan hati hanya karena harta?” tanya Raya.“Kamu harus realistis, jika
Pria Pria Menawan Raya berjalan ke arah aula hotel Santika, hotel di mana seminar diadakan. Tiba tiba dia berpapasan dengan seseorang yang tidak asing lagi. “Lucas,” ucapnya, lalu dia bergegas menyembunyikan wajahnya dengan paper bag yang dibawanya. “Bagaimana ini, ah, kenapa ada dia di sini, ah merepotkan saja,” ucapnya kesal. “Dia berusaha menepi, menghindari Lucas yang juga berjalan ke arah tempat seminar. “Apa jangan jangan Lucas juga hadir ke seminar Radit? Wah ini tidak bisa dibiarkan, aku harus segera pergi dari sini,” ucap Raya yang mengendap endap, mencoba kabur dan menghilang. Baru beberapa langkah, tubuhnya menabrak tubuh seseorang, Raya mendongak ke atas, ternyata itu adaah Devon. “Raya, kamu juga datang ke seminar ini? Wah kamu pasti mendapatkan tiket gratis dari Radit, dia juga memberikannya kepadaku. Ayo kita segera masuk, seminar akan segera di
Kakak Beradik Pagi harinya, Raya sudah berada di kedai ayam cepat saji.“Bagaimana liburannya? Kamu pasti sangat menikmatinya,” ucap Anna.“Ya, lihat kulitnya menghitam, kamu pasti berjemur seharian,” ucap Angga seraya melihat ke arah Raya.“Ah, kalian tidak akan menyangka, liburanku sama sekali tidak menyenangkan, sama sekali,” ucap Raya seraya menghela nafas panjang.“Bahkan aku ingin tidur, liburan tidak membuat tubuhku mengisi ulang daya,” gerutu Raya.“Raya, ada pesanan yang harus kamu antar pagi ini,” ucap pak Umay.“Baiklah, aku sudah siap pak kepala kedai, tugasku akan selesai dengan baik,” ucap Raya seraya memberi hormat.“Kamu gunakan mobil kantor, karna kamu harus mengantar dua puluh paket ke dua puluh tempat, pemesan sudah membayar ongkos kirimnya,” ucap pak Umay.“Apa? Dua puluh?” tanya Raya.“Ya, kamu habis liburan, kamu sudah memiliki tenaga untuk itu, seman
Ibu Tiri Seperti Kaka TiriRaya berjalan cepat, sedikit gugup, keluar dari rumahnya. Dia buru buru, namun juga terlihat seperti menghindari seseorang. Beberapa detik setelahnya, ada derap langkah seseorang yang sepemengejarnya. Dia terlihat memakai jaket kulit hitam, celana jeans yang juga hitam. Dipadukan dengan sepatu boots dengan tinggi sedang, di atas mata kaki. Raya juga menyematkan helm, helm full face warna hitam pekat miliknya, lalu bergegas mengendarai motor sport Kawasaki 4 silinder 948cc, motor yang kebanyakan dipakai kaum Adam penyuka booster adrenalin jalanan.Dia bersiap menarik gas motornya, tidak mempedulikan apapun yang ada di belakangnya, sang ibu tiri yang terus saja berteriak, mengomel tidak karuan. "Raya, kamu harus bekerja, apa kamu tidak tahu malu, kamu benar benar produk gagal di keluarga ini, aku menyesal sudah membantu kuliahmu, bahkan aku menggunakan seluruh uangku untuk pendidikanmu, kamu benar benar keterlaluan Raya," teriak Rohaya, ibu tiri Raya.Menden
Mencari KebenaranPeristiwa kecelakaan yang menjadi penguak fakta. Raya mendapati golongan darahnya tidak sama dengan ayahnya, juga ibu kandungnya. Raya merahasiakan semua temuannya itu, dan bertekad mencari tahu kebenarannya sendiri dengan caranya sendiri.Dia berkenalan dengan Devon, salah satu perawat di rumah sakit itu. Berusaha mencari informasi sebanyak mungkin mengenai ibu Rahma, namun sayang, informasinya benar benar terbatas. Raya keluar dari ruang perawatan ibu Rahma, dia terlihat menutup pintu kamar perawatan itu, menghela nafas panjang, dengan ekspresi kekecewaan tinggi."Kamu tidak berhasil? sudah kuduga, setidaknya aku senang karena kamu akan terus datang," ucap Devon."Ayo ke Kantin, aku akan mentraktirmu makan dan minum," ucap Devon seraya berjalan ke arah kantin, dia terus menunjukkan ekspresi ajakan, berharap Raya akan mengikuti langkahnya. Sekali lagi Raya menghela nafas, lalu berjalan mengikuti langkah Devon."Menyerahlah, kamu harus menyerah," ucap Devon yang sud
Tatapan Penuh PesonaDevon duduk di samping Raya yang masih memejamkan mata, di tempat tidur pasien, salah satu ruangan kosong yang ada di rumah sakit itu.Devon terlihat mengamati wajah Raya, jika diamati lebih dalam, sungguh Raya memiliki kecantikan alami. Mata bulat, alis sedikit tebal dengan lengkungan yang unik. Hidung mancung dengan tulang tegas. Kulit putih mulus, bahkan seperti porselen tanpa noda. Rambut panjang sebahu dan hitam berkilau. Raya juga memiliki tinggi badan bak model profesional, berat tubuh ideal, kebanyakan orang menganggapnya memiliki body goals.Devon memukul mukul wajahnya, dia tidak ingin terlena dengan kecantikan Raya."Ada apa denganku, lupakan, jangan sampai kamu terhasut perasaan itu Devon, lupakan," ucap Devon seraya terus memukul mukul pipinya sendiri."De-Devon," bisik Raya setelah membuka mata."Ra-Raya, kamu baik baik saja? jantungku hampir lepas, kamu membuatku khawatir," ucap Devon."Apa itu serangan panik? apa yang terjadi?" tanya Devon tanpa h
Kabar PentingJam delapan malam, di toserba 69, Raya terlihat melaksanakan tugasnya sebagai pramuniaga, mulai dari mendisplay produk di rak, mendata produk jualannya, menjaga kebersihan area toserba, memberikan label harga, menulis laporan penjualan, dan yang pasti harus dilakukan adalah memberikan pelayanan pada pembeli. Dia menguasai semua itu, sangat trampil dan cekatan. Bahkan dia bekerja sendirian untuk jam kerja malam, shif paling sibuk, dimana banyak orang keluar rumah untuk berbelanja.Raya terlihat berada di belakang meja kasir, menunggu pelanggan datang. Dari pintu masuk toserba terlihat seorang anak laki laki masuk ke dalam toserba dan berhenti di depan meja kasir."Berikan aku rokok itu," ucap anak laki laki yang berusia sekitar sepuluh tahun. "Apa kamu bisa menunjukkan kartu tanda penduduk milikmu?" tanya Raya."Apa sekarang membeli rokok harus menunjukkan kartu tanda penduduk? setahuku hanya membeli alkohol," ucap anak laki laki yang sepertinya cukup cerdas."Ini atur
Sebuah HarapanRaya menatap Devon dengan pandangan tajam menusuk, sangat tajam. Dia benar benar penasaran dengan apa yang ingin Devon sampaikan."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Raya."Aku ingin menyampaikan bahwa ibu Rahma ingin bicara empat mata denganmu," ucap Devon."Hah? benarkah? apa kamu membujuknya?" tanya Raya dengan wajah sumringah."Tentu, aku berusaha keras untuk membujuknya, pagi, siang, malam, akhirnya ibu Rahma bersedia, padahal aku tidak tahu informasi apa yang ingin kamu dapat darinya," ucap Devon dengan membanggakan dirinya."Benarkah?" tanya Raya menelisik.Devon terdiam, melihat ke arah Raya dengan pandangan mendalam, lalu tertawa."Tidak mungkin itu, tidak ada yang bisa membujuk atau memaksa ibu Rahma," ucapDevon."Kamu ini," ucap Raya seraya menyentuh pundak Devon, tepatnya mentoelnya pelan."Selama di rumah sakit, tidak ada yang bisa mendekatinya, dia hanya dekat dengan pak kepala rumah sakit. Kadang mereka terlihat tertawa bersama, sepertinya mereka suda