Share

BAB 3 Tatapan Penuh Pesona

Tatapan Penuh Pesona

Devon duduk di samping Raya yang masih memejamkan mata, di tempat tidur pasien, salah satu ruangan kosong yang ada di rumah sakit itu.

Devon terlihat mengamati wajah Raya, jika diamati lebih dalam, sungguh Raya memiliki kecantikan alami. Mata bulat, alis sedikit tebal dengan lengkungan yang unik. Hidung mancung dengan tulang tegas. Kulit putih mulus, bahkan seperti porselen tanpa noda. Rambut panjang sebahu dan hitam berkilau.

Raya juga memiliki tinggi badan bak model profesional, berat tubuh ideal, kebanyakan orang menganggapnya memiliki body goals.

Devon memukul mukul wajahnya, dia tidak ingin terlena dengan kecantikan Raya.

"Ada apa denganku, lupakan, jangan sampai kamu terhasut perasaan itu Devon, lupakan," ucap Devon seraya terus memukul mukul pipinya sendiri.

"De-Devon," bisik Raya setelah membuka mata.

"Ra-Raya, kamu baik baik saja? jantungku hampir lepas, kamu membuatku khawatir," ucap Devon.

"Apa itu serangan panik? apa yang terjadi?" tanya Devon tanpa henti seolah tidak membiarkan Raya menjawab satupun pertanyaannya.

"Bolehkah aku menjawabnya?" tanya Raya.

"Tentu saja, oh tapi sebaiknya kamu istirahat dulu, kamu masih sangat lemah, atau minumlah dulu," ucap Devon gugup seraya mengambilkan segelas air putih yang ada di atas meja.

"Sudah, aku bisa sendiri, terimakasih," ucap Raya yang kemudian bangkit dari posisi tidurnya.

"Aku harus pergi," ucap Raya.

"Kamu yakin, kamu baru saja pingsan dan tubuhmu masih lemah," ucap Devon khawatir.

"Tidak apa apa, aku sudah biasa seperti ini dan aku bisa mengatasinya. Aku akan datang lagi besok," ucap Raya.

"Kau hutang penjelasan padaku," ucap Devon yang melihat Raya berjalan meninggalkan ruangan itu.

"Wanita itu selalu berpura pura tangguh," ucap Devon kesal.

Raya terlihat memakai helmnya, mengendarai motor besar yang sudah menemaninya selama lima tahun terakhir. Dia menuju ke salah satu restoran makanan cepat saji yang menjual ayam goreng, di sana dia akan menjadi kurir pengantar makanan.

"Selamat siang," sapa Raya.

"Raya, tumben sekali kau terlambat?" tanya kepala restoran.

"Ma-maaf, ada sedikit masalah," ucap Raya.

"Baiklah, kamu langsung saja bantu Angga menyiapkan makanan, siang ini harus segera diantar," ucap kepala restoran yang bernama Umay, pria bijaksana berusia lebih dari lima puluh tahun, selalu bersikap baik pada Raya karna menganggap Raya seperti putrinya sendiri.

Raya segera memakai masker medis dan juga sarung tangan plastik.

"Apa kamu selalu memakai masker medis itu?" tanya Angga, rekan kerja Raya di restoran ayam cepat saji, laki laki muda berusia dua puluh tuju tahun, tampan, dengan rambut lurus mengembang, kadang dikuncirnya ke belakang, membuat beberapa pelanggan terpesona dengan ketampanannya.

"Ya, tidak apa apa, aku tidak suka aroma ayam yang baru matang," ucap Raya.

"Kamu ini, oh iya, hari ini kita akan meluncurkan menu baru, cobalah," ucap Angga yang memberi Raya sepotong kecil ayam dengan taburan keju bubuk. Raya membuka maskernya, meletakkan masker itu di samping posisinya berdiri. Dia terlihat memegang sepotong ayam menu baru ituldan langsung memakannya.

"Enak sekali, kamu tidak pernah gagal membuat hal baru," puji Raya.

Dari sisi lain terdengar seseorang memanggil namanya.

"Raya, Raya, tolong bantu aku mengantar makanan ini ke depan, ada pelanggan yang sudah menunggu, aku harus ke kamar mandi," ucap Anna yang merupakan salah satu pelayan penyaji makanan di restoran cepat saji itu.

"Baiklah," ucap Raya.

"Kamu harus membayarku lebih," lanjut Raya seraya tersenyum.

Anna dengan gugup meletakkan sepiring ayam goreng, di meja dapur, tanpa sengaja menyenggol masker medis milik Raya dan menjatuhkannya.

"Raya, mana pesanannya," teriak pak Umay, kepala restoran.

"Cepatlah, aku sudah tidak tahan," ucap Anna yang kemudian segera berlari ke arah kamar mandi.

Raya mencari cari maskernya namun tidak ketemu, dia harus segera mengantar makanan ini.

"Ayo Raya, antar makanan itu, apa kamu harus menunggu Anna keluar dari kamar mandi?" ucap Angga.

"Ah, sudahlah," gumam Raya yang kemudian berhenti mencari dan memutuskan mengantar makanan tanpa memakai masker.

Masker itu terjatuh, tepat di atas plastik berwarna putih, menyamarkan warnanya karna memiliki warna yang hampir sama.

Raya berjalan ke luar, menghampiri pelanggan yang sudah menunggu pesanannya.

"Terimakasih," ucap pelanggan itu.

"Selamat menikmati," ucap Raya yang kemudian berbalik utuk kembali ke dapur.

Pelanggan itu terdiam, dia merasa sudah tidak asing lagi dengan suara yang baru di dengarnya.

"Raya? Raya Aura?" ucap pelanggan itu. Mendengar namanya di panggil, Raya terlihat menelan ludah. Dia harus mengambil keputusan, meneruskan langkahnya atau berbalik memperlihatkan wajahnya.

"Raya, iya itu pasti kamu," ucap pelanggan itu.

"Ma-maaf, anda salah orang," ucap Raya gugup tanpa melihat ke arah orang tersebut, lalu dia segera melanjutkan langkahnya menuju ke arah dapur.

"Tunggu, aku belum selesei bicara, kamu pasti Raya," ucap pelanggan itu yang telrihat berdiri dari posisi duduknya dan mengejar Raya.

"Tunggu, tunggu, anda tidak diperbolehkan masuk, hanya kariawan yang boleh masuk, Silahkan nikmati saja makanan anda," ucap pak Umay.

"Ta-tapi, saya harus bertemu dengannya," ucap laki laki itu.

ucap pelanggan yang ternyata adalah Tantowi, teman kuliah dan juga teman magang ketika menjadi co-asisten di rumah sakit yang berada di Jakarta.

"Apa dia Raya? Raya Aura, saya pasti tidak salah lihat. Dia seorang dokter, Raya, iya, kenapa belerja di sini?" ucap Tantowi pada pak Umay.

"Maaf anda salah orang, sebaiknya anda segera duduk, jangan membuat keributan di sini," ucap pak Umay.

"Tidak, saya tidak salah orang, dia Raya, saya sangat mengenali suaranya," ucap Tantowi tidak menyerah.

"Saya lebih tahu anak buah saya, dia bukan orang yang anda kenali, sebaiknya anda duduk atau saya terpaksa memanggil satpam karna anda sudah membuat keributan," ancam pak Umay. Mendengar hal itu Tantowi mulai kesal, lalu dia lembali ke mejanya.

"Aku yakin, aku tidak salah, itu suara Raya," ucap Tantowi dengan yakin.

"Aku akan memberi tahu Radit, dia pasti senang dengan kabar ini," ucap Tantowi.

Raya terliat masuk ke dalam dapur, dia menghimpitkan tubuhnya ke dinding, memeluk nampan yang baru saja dia gunakan untuk mengantar makanan. Raya mulai menarik nafas panjang.

"Maafkan aku Tantowi, tidak aeharusnya kamu mengetahui keadaanku," ucap Raya.

Pak Umay yang berdiri di depan pintu dapur bagian luar terlihat mengerutkan dahi.

"Dokter? Dokter Raya? apa itu benar, hah,ada ada saja," gumam pak Umay yang belum mempercayai mengenai informasi yang di dengarnya.

"Sepertinya kamu memang harus selalu memakai masker," ucap Angga seraya memasangkan masker medis milik Raya yang ditemukannya.

"Te-terimakasih," ucap Raya pada Angga.

Jam menunjukkan pukul tiga sore, Raya mengendari motor besarnya menuju ke arah rumahnya. Raya memarkirkan motornya, melepas helm dan mengibaskan rambutnya. Hari ini benar benar hari yang cukup melelahkan.

Tiba tiba dia melihat ada gelas keramik yang melayang dan jatuh tepat di sebelah kakinya, gelas itupun pecah.

"Masih berani kamu pulang, kamu harus bekerja sebagai dokter dan mengembalikan semua uang yang sudah aku keluarkan, juga tiga puluh persen dari gajimu setiap bulan, aku sudah menginvestasikan seluruh uangku, kamu tidak bisa gagal seperti ini," ucap Rohaya, ibu tiri Raya. Mendengar hal itu, Raya menghela nafas panjang, sepertinya masalah yang dia hadapi belum akan menemukan titik akhir, dia masih harus menghadapi ibu tirinya.

"Menjadi dokter ataupun tidak, aku akan mengembalikan uangmu, biarkan aku masuk," ucap Raya kesal, lalu dia bergegas masuk ke dalam rumah.

"Anak itu benar benar tidak tahu diuntung, apa tidak puas membuat keluargamu malu. Semua orang sudah tahu kamu lulusan terbaik dari fakultas kedokteran, berani beraninya bekerja sebagai pelayan, dasar kamu Raya!" ucap Rohaya kesal.

Raya melempar tubuhnya ke atas tempat tidur, hari ini sungguh hari yang melelahkan. Mulai dari serangan panik yang dia alami, bertemu dengan Tantowi dan sekarang harus mengajadpai ibu tirinya. Raya menghela nafas panjang.

"Sepertinya aku harus kembali mengkonsumsi obat penenang, aku sudah lama tidak mendapat serangan panik, aku tidak menyangka hari ini akan merasakannya lagi. Setiap kali melihat seorang ibu kehilangan anaknya, aku akan mengalami hal buruk itu lagi," gumam Raya.

Dari luar kamarnya, terlihat ayah Raya mengamatinya, dengan perasaan yang bercampur. Sia hanya diam saja setiap kali istrinya memperlakukan Raya dengan kasar, dia seperti suami yang begitu takut pada istrinya.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status