Tatapan Penuh Pesona
Devon duduk di samping Raya yang masih memejamkan mata, di tempat tidur pasien, salah satu ruangan kosong yang ada di rumah sakit itu.Devon terlihat mengamati wajah Raya, jika diamati lebih dalam, sungguh Raya memiliki kecantikan alami. Mata bulat, alis sedikit tebal dengan lengkungan yang unik. Hidung mancung dengan tulang tegas. Kulit putih mulus, bahkan seperti porselen tanpa noda. Rambut panjang sebahu dan hitam berkilau.Raya juga memiliki tinggi badan bak model profesional, berat tubuh ideal, kebanyakan orang menganggapnya memiliki body goals.Devon memukul mukul wajahnya, dia tidak ingin terlena dengan kecantikan Raya."Ada apa denganku, lupakan, jangan sampai kamu terhasut perasaan itu Devon, lupakan," ucap Devon seraya terus memukul mukul pipinya sendiri."De-Devon," bisik Raya setelah membuka mata."Ra-Raya, kamu baik baik saja? jantungku hampir lepas, kamu membuatku khawatir," ucap Devon."Apa itu serangan panik? apa yang terjadi?" tanya Devon tanpa henti seolah tidak membiarkan Raya menjawab satupun pertanyaannya."Bolehkah aku menjawabnya?" tanya Raya."Tentu saja, oh tapi sebaiknya kamu istirahat dulu, kamu masih sangat lemah, atau minumlah dulu," ucap Devon gugup seraya mengambilkan segelas air putih yang ada di atas meja."Sudah, aku bisa sendiri, terimakasih," ucap Raya yang kemudian bangkit dari posisi tidurnya."Aku harus pergi," ucap Raya."Kamu yakin, kamu baru saja pingsan dan tubuhmu masih lemah," ucap Devon khawatir."Tidak apa apa, aku sudah biasa seperti ini dan aku bisa mengatasinya. Aku akan datang lagi besok," ucap Raya."Kau hutang penjelasan padaku," ucap Devon yang melihat Raya berjalan meninggalkan ruangan itu."Wanita itu selalu berpura pura tangguh," ucap Devon kesal.Raya terlihat memakai helmnya, mengendarai motor besar yang sudah menemaninya selama lima tahun terakhir. Dia menuju ke salah satu restoran makanan cepat saji yang menjual ayam goreng, di sana dia akan menjadi kurir pengantar makanan."Selamat siang," sapa Raya."Raya, tumben sekali kau terlambat?" tanya kepala restoran."Ma-maaf, ada sedikit masalah," ucap Raya."Baiklah, kamu langsung saja bantu Angga menyiapkan makanan, siang ini harus segera diantar," ucap kepala restoran yang bernama Umay, pria bijaksana berusia lebih dari lima puluh tahun, selalu bersikap baik pada Raya karna menganggap Raya seperti putrinya sendiri.Raya segera memakai masker medis dan juga sarung tangan plastik."Apa kamu selalu memakai masker medis itu?" tanya Angga, rekan kerja Raya di restoran ayam cepat saji, laki laki muda berusia dua puluh tuju tahun, tampan, dengan rambut lurus mengembang, kadang dikuncirnya ke belakang, membuat beberapa pelanggan terpesona dengan ketampanannya."Ya, tidak apa apa, aku tidak suka aroma ayam yang baru matang," ucap Raya."Kamu ini, oh iya, hari ini kita akan meluncurkan menu baru, cobalah," ucap Angga yang memberi Raya sepotong kecil ayam dengan taburan keju bubuk. Raya membuka maskernya, meletakkan masker itu di samping posisinya berdiri. Dia terlihat memegang sepotong ayam menu baru ituldan langsung memakannya."Enak sekali, kamu tidak pernah gagal membuat hal baru," puji Raya.Dari sisi lain terdengar seseorang memanggil namanya."Raya, Raya, tolong bantu aku mengantar makanan ini ke depan, ada pelanggan yang sudah menunggu, aku harus ke kamar mandi," ucap Anna yang merupakan salah satu pelayan penyaji makanan di restoran cepat saji itu."Baiklah," ucap Raya."Kamu harus membayarku lebih," lanjut Raya seraya tersenyum.Anna dengan gugup meletakkan sepiring ayam goreng, di meja dapur, tanpa sengaja menyenggol masker medis milik Raya dan menjatuhkannya."Raya, mana pesanannya," teriak pak Umay, kepala restoran."Cepatlah, aku sudah tidak tahan," ucap Anna yang kemudian segera berlari ke arah kamar mandi.Raya mencari cari maskernya namun tidak ketemu, dia harus segera mengantar makanan ini."Ayo Raya, antar makanan itu, apa kamu harus menunggu Anna keluar dari kamar mandi?" ucap Angga."Ah, sudahlah," gumam Raya yang kemudian berhenti mencari dan memutuskan mengantar makanan tanpa memakai masker.Masker itu terjatuh, tepat di atas plastik berwarna putih, menyamarkan warnanya karna memiliki warna yang hampir sama.Raya berjalan ke luar, menghampiri pelanggan yang sudah menunggu pesanannya."Terimakasih," ucap pelanggan itu."Selamat menikmati," ucap Raya yang kemudian berbalik utuk kembali ke dapur.Pelanggan itu terdiam, dia merasa sudah tidak asing lagi dengan suara yang baru di dengarnya."Raya? Raya Aura?" ucap pelanggan itu. Mendengar namanya di panggil, Raya terlihat menelan ludah. Dia harus mengambil keputusan, meneruskan langkahnya atau berbalik memperlihatkan wajahnya."Raya, iya itu pasti kamu," ucap pelanggan itu."Ma-maaf, anda salah orang," ucap Raya gugup tanpa melihat ke arah orang tersebut, lalu dia segera melanjutkan langkahnya menuju ke arah dapur."Tunggu, aku belum selesei bicara, kamu pasti Raya," ucap pelanggan itu yang telrihat berdiri dari posisi duduknya dan mengejar Raya."Tunggu, tunggu, anda tidak diperbolehkan masuk, hanya kariawan yang boleh masuk, Silahkan nikmati saja makanan anda," ucap pak Umay."Ta-tapi, saya harus bertemu dengannya," ucap laki laki itu.ucap pelanggan yang ternyata adalah Tantowi, teman kuliah dan juga teman magang ketika menjadi co-asisten di rumah sakit yang berada di Jakarta."Apa dia Raya? Raya Aura, saya pasti tidak salah lihat. Dia seorang dokter, Raya, iya, kenapa belerja di sini?" ucap Tantowi pada pak Umay."Maaf anda salah orang, sebaiknya anda segera duduk, jangan membuat keributan di sini," ucap pak Umay."Tidak, saya tidak salah orang, dia Raya, saya sangat mengenali suaranya," ucap Tantowi tidak menyerah."Saya lebih tahu anak buah saya, dia bukan orang yang anda kenali, sebaiknya anda duduk atau saya terpaksa memanggil satpam karna anda sudah membuat keributan," ancam pak Umay. Mendengar hal itu Tantowi mulai kesal, lalu dia lembali ke mejanya."Aku yakin, aku tidak salah, itu suara Raya," ucap Tantowi dengan yakin."Aku akan memberi tahu Radit, dia pasti senang dengan kabar ini," ucap Tantowi.Raya terliat masuk ke dalam dapur, dia menghimpitkan tubuhnya ke dinding, memeluk nampan yang baru saja dia gunakan untuk mengantar makanan. Raya mulai menarik nafas panjang."Maafkan aku Tantowi, tidak aeharusnya kamu mengetahui keadaanku," ucap Raya.Pak Umay yang berdiri di depan pintu dapur bagian luar terlihat mengerutkan dahi."Dokter? Dokter Raya? apa itu benar, hah,ada ada saja," gumam pak Umay yang belum mempercayai mengenai informasi yang di dengarnya."Sepertinya kamu memang harus selalu memakai masker," ucap Angga seraya memasangkan masker medis milik Raya yang ditemukannya."Te-terimakasih," ucap Raya pada Angga.Jam menunjukkan pukul tiga sore, Raya mengendari motor besarnya menuju ke arah rumahnya. Raya memarkirkan motornya, melepas helm dan mengibaskan rambutnya. Hari ini benar benar hari yang cukup melelahkan.Tiba tiba dia melihat ada gelas keramik yang melayang dan jatuh tepat di sebelah kakinya, gelas itupun pecah."Masih berani kamu pulang, kamu harus bekerja sebagai dokter dan mengembalikan semua uang yang sudah aku keluarkan, juga tiga puluh persen dari gajimu setiap bulan, aku sudah menginvestasikan seluruh uangku, kamu tidak bisa gagal seperti ini," ucap Rohaya, ibu tiri Raya. Mendengar hal itu, Raya menghela nafas panjang, sepertinya masalah yang dia hadapi belum akan menemukan titik akhir, dia masih harus menghadapi ibu tirinya."Menjadi dokter ataupun tidak, aku akan mengembalikan uangmu, biarkan aku masuk," ucap Raya kesal, lalu dia bergegas masuk ke dalam rumah."Anak itu benar benar tidak tahu diuntung, apa tidak puas membuat keluargamu malu. Semua orang sudah tahu kamu lulusan terbaik dari fakultas kedokteran, berani beraninya bekerja sebagai pelayan, dasar kamu Raya!" ucap Rohaya kesal.Raya melempar tubuhnya ke atas tempat tidur, hari ini sungguh hari yang melelahkan. Mulai dari serangan panik yang dia alami, bertemu dengan Tantowi dan sekarang harus mengajadpai ibu tirinya. Raya menghela nafas panjang."Sepertinya aku harus kembali mengkonsumsi obat penenang, aku sudah lama tidak mendapat serangan panik, aku tidak menyangka hari ini akan merasakannya lagi. Setiap kali melihat seorang ibu kehilangan anaknya, aku akan mengalami hal buruk itu lagi," gumam Raya.Dari luar kamarnya, terlihat ayah Raya mengamatinya, dengan perasaan yang bercampur. Sia hanya diam saja setiap kali istrinya memperlakukan Raya dengan kasar, dia seperti suami yang begitu takut pada istrinya.Bersambung...Kabar PentingJam delapan malam, di toserba 69, Raya terlihat melaksanakan tugasnya sebagai pramuniaga, mulai dari mendisplay produk di rak, mendata produk jualannya, menjaga kebersihan area toserba, memberikan label harga, menulis laporan penjualan, dan yang pasti harus dilakukan adalah memberikan pelayanan pada pembeli. Dia menguasai semua itu, sangat trampil dan cekatan. Bahkan dia bekerja sendirian untuk jam kerja malam, shif paling sibuk, dimana banyak orang keluar rumah untuk berbelanja.Raya terlihat berada di belakang meja kasir, menunggu pelanggan datang. Dari pintu masuk toserba terlihat seorang anak laki laki masuk ke dalam toserba dan berhenti di depan meja kasir."Berikan aku rokok itu," ucap anak laki laki yang berusia sekitar sepuluh tahun. "Apa kamu bisa menunjukkan kartu tanda penduduk milikmu?" tanya Raya."Apa sekarang membeli rokok harus menunjukkan kartu tanda penduduk? setahuku hanya membeli alkohol," ucap anak laki laki yang sepertinya cukup cerdas."Ini atur
Sebuah HarapanRaya menatap Devon dengan pandangan tajam menusuk, sangat tajam. Dia benar benar penasaran dengan apa yang ingin Devon sampaikan."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Raya."Aku ingin menyampaikan bahwa ibu Rahma ingin bicara empat mata denganmu," ucap Devon."Hah? benarkah? apa kamu membujuknya?" tanya Raya dengan wajah sumringah."Tentu, aku berusaha keras untuk membujuknya, pagi, siang, malam, akhirnya ibu Rahma bersedia, padahal aku tidak tahu informasi apa yang ingin kamu dapat darinya," ucap Devon dengan membanggakan dirinya."Benarkah?" tanya Raya menelisik.Devon terdiam, melihat ke arah Raya dengan pandangan mendalam, lalu tertawa."Tidak mungkin itu, tidak ada yang bisa membujuk atau memaksa ibu Rahma," ucapDevon."Kamu ini," ucap Raya seraya menyentuh pundak Devon, tepatnya mentoelnya pelan."Selama di rumah sakit, tidak ada yang bisa mendekatinya, dia hanya dekat dengan pak kepala rumah sakit. Kadang mereka terlihat tertawa bersama, sepertinya mereka suda
Hasil Tidak Menghianati UsahaRaya masuk ke dalam rumahnya, dengan pelan dan hati hati, mengendap endap seolah masuk ke rumah orang lain, berusaha tidak membangunkan ibu tirinya yang terlelap tidur di ruang tengah sembari ditonton televisi yang masih menyala."Kamu sudah pulang?" tanya Rohaya, sang ibu tiri yang sepertinya mendengar langkah kaki anak tirinya itu.Raya mendekat ke arah ibu tirinya, meletakkan sebuah amplop berisi uang sepuluh lembar seratus ribuan. "Jangan habiskan sekaligus," ucap Raya, lalu dia kembali melangkahkan kakinya ke arah kamar.Rohaya terlihat mengangkat tubuhnya, meraih amplop itu seraya menghela nafas panjang."Harusnya kamu bisa menghasilkan lebih, kamu investasi masa depan dan masa tuaku, aku bisa gila melihatmu seperti itu. Aku memang ibu tirimu, yang selalu menuntutmu, tapi aku juga memiliki kasih sayang padamu," gumam Rohaya lirih, berharap Raya tidak mendengar apa yang dia ucapkan. "Apa kamu harus mengambil uang dari putrimu sendiri," tanya pak Bo
Pelukan yang tersemat di hatiRaya melihat ibu Rahma duduk di kursi taman belakang, menghadap ke arah timur, menunggu matahari terbit. Tiba tiba jantung Raya berdegup kencang, seperti seseorang yang ingin menemui kekasihnya. "Ayo, temui dia," ucap Devon, lalu Raya mengangguk pelan.Raya mendekat ke arah ibu Rahma, duduk di sebelahnya, belum mengucapkan sepatah katapun."Selamat pagi," sapa Raya. "Kamu sudah mendengarnya dari perawat itu?" tanya ibu Rahma tanpa melihat ke arah Raya."I-iya, terimakasih, terimakasih sudah mempercayaiku," ucap Raya."Aku boleh tanya sesuatu padamu?" tanya ibu Rahma."Tentu saja," ucap Raya."Apa kamu marah padaku?" tanya ibu Rahma.Mendengar pertanyaan itu, Raya melihat ke arah ibu Rahma dengan pandangan tajam."Tentu saja, awalnya, sangat marah, namun saya berusaha memahami, mungkin ibu memiliki alasan di balik itu semua. Jujur saya sangat marah, tapi saya yakin, dosa sudah mengikuti ibu sejak lama, bahkan karma pun sudah ibu dapatkan," ucap Raya."Ka
Sebuah AwalRaya sudah berada di kedai ayam cepat saji, dia berada di ruangan pak Umay, kepala restoran yang bertugas mengurus segala hal yang ada di restoran, juga mengatur karyawan, tiang utama berjalannya sebuah bisnis restoran. "Ada apa Raya? tumben menemuiku pagi pagi begini," tanya pak Umay."Pak, saya ingin mengundurkan diri," ucap Raya seraya menyerahkan surat pengunduran dirinya."Apa? kenapa mendadak sekali, apa kamu sudah mendapat pekerjaan lain? apa aku ada salah terhadapmu?" Ucap pak Umay dengan berondongan pertanyaan."Ti-tidak pak, saya hanya memiliki alasan lain, saya takut yang saya kerjakan akan mengganggu pekerjaan saya di sini," ucap Raya. Pak Umay terdiam, dia menatap Raya dengan pandangan mendalam."Apa itu? apa sangat penting?" tanya pak Umay."Iya, sangat penting, bagi hidup saya," ucap Raya."Kamu sudah memiliki jadwal pasti untuk mengerjakannya?" tanya pak Umay."Saya harus mengerjakannya selepas makan siang, saya tidak mungkin bekerja hingga sore hari," uca
Kenyataan MengerikanJam makan siang selesai, Raya sudah berada di depan rumah sakit, rumah sakit swasta yang melayani pasien umum, rumah sakit yang dulunya adalah milik sebuah yayasan.Rose akan segera masuk, untuk menemui ibu Rahma. Hatinya bergetar hebat, berdebar tidak karuan, antara gugup, takut dan khawatir. Hari ini Raya akan banyak mengobrol dengan ibu Rahma, dia berharap mampu mengendalikan diri, setiap emosi manusiawi yang mungkin saja akan dia miliki dan keluar dengan sendirinya. Ibu Rahma, orang yang seolah tidak mempedulikan kehadirannya selama tiga bulan terakhir, namun dia pasti tersiksa, melihat bayi yang dulu dia tukar tumbuh dengan begitu sehat dan cantik, datang seolah meminta pertanggung jawaban.Raya berdiri di depan pintu kamar ibu Rahma, terlihat mengambil nafas, lalu mengetuk pelan."Masuklah," terdengar suara itu lirih. Raya memberanikan diri memegang dagang pintu, lalu membukanya. "Kamu sudah datang, duduklah," ucap ibu Rahma yang terdengar begitu hangat, s
Sebuah Perhatian KecilJam menunjukkan pukul tiga sore, Raya duduk di depan toserba 69, terlihat menghela nafas panjang, lalu duduk di lantai yang menyerupai tangga. "Kamu sudah selesei?" tanya Devon yang tiba tiba datang dan menyodorkan sebotol air mineral."Terimakasih," ucap Raya seraya menerima botol itu. Devon terlihat ikut dudu di samping Raya."Aku tidak menyangka akan seberat ini," ucap Raya."Benarkah? apa kamu mengangkat sesuatu?" tanya Devon. Raya melihat ke arah Devon, seraya mata yang memicing dan bibir sedikit maju, lalu memukulnya lembut."Kamu ini," ucap Raya."Baru hari pertama aku mengunjunginya setelah kesepakatan, cerita yang kudengar begitu menyesakkan," ucap Raya."Benarkah?" tanya Devon."Devon, kamu tahu, ada seseorang yang kadang melakukan sesuatu yang menurutnya menyenangkan tanpa memikirkan orang lain," ucap Raya."Benarkah?" tanya Devon."Ya, ada orang seperti itu," ucap Raya.Devon terlihat menatap ke arah depan."Kamu tahu, dulu pernah ada pasien yang d
Kebingungan DevonRaya terlihat menyeruput kuah mie cupnya yang masih mengepul, lalu menunjukkan ekspresi kepanasan."Apapun niatmu, aku ucapkan terimakasih, aku harap kamu tidak menginginkan apapun dariku," ucap Raya yang terdengar blakblakan.Devon mengarahkan matanya pada Raya."Hah, apa yang kamu katakan, aku baik padamu karena kasihan, aku khawatir kamu akan sakit," ucap Devon."Baiklah, seperti yang pernah aku katakan, aku bisa mengenali barang asli dan tidak, juga termasuk seseorang," ucap Raya."Ya, tapi itu mustahil, butuh keahlian khusus untuk itu," ucap Devon."Coba lihat itu, dua orang pria yang berteduh di depan toserba,” ucap Raya seraya mengarahkan matanya pada orang yang dia tuju.“Mereka bekerja di butik yang letaknya tiga blok dari sini. Pria yang satu melepas sepatunya, mendekap di depan dada, seolah ingin melindungi sepatu yang baginya cukup berharga, daripada digunakan untuk melindungi kakinya. Sedangkan yang satunya, seolah tidak peduli, walaupun sepatunya basah