Pelukan yang tersemat di hatiRaya melihat ibu Rahma duduk di kursi taman belakang, menghadap ke arah timur, menunggu matahari terbit. Tiba tiba jantung Raya berdegup kencang, seperti seseorang yang ingin menemui kekasihnya. "Ayo, temui dia," ucap Devon, lalu Raya mengangguk pelan.Raya mendekat ke arah ibu Rahma, duduk di sebelahnya, belum mengucapkan sepatah katapun."Selamat pagi," sapa Raya. "Kamu sudah mendengarnya dari perawat itu?" tanya ibu Rahma tanpa melihat ke arah Raya."I-iya, terimakasih, terimakasih sudah mempercayaiku," ucap Raya."Aku boleh tanya sesuatu padamu?" tanya ibu Rahma."Tentu saja," ucap Raya."Apa kamu marah padaku?" tanya ibu Rahma.Mendengar pertanyaan itu, Raya melihat ke arah ibu Rahma dengan pandangan tajam."Tentu saja, awalnya, sangat marah, namun saya berusaha memahami, mungkin ibu memiliki alasan di balik itu semua. Jujur saya sangat marah, tapi saya yakin, dosa sudah mengikuti ibu sejak lama, bahkan karma pun sudah ibu dapatkan," ucap Raya."Ka
Sebuah AwalRaya sudah berada di kedai ayam cepat saji, dia berada di ruangan pak Umay, kepala restoran yang bertugas mengurus segala hal yang ada di restoran, juga mengatur karyawan, tiang utama berjalannya sebuah bisnis restoran. "Ada apa Raya? tumben menemuiku pagi pagi begini," tanya pak Umay."Pak, saya ingin mengundurkan diri," ucap Raya seraya menyerahkan surat pengunduran dirinya."Apa? kenapa mendadak sekali, apa kamu sudah mendapat pekerjaan lain? apa aku ada salah terhadapmu?" Ucap pak Umay dengan berondongan pertanyaan."Ti-tidak pak, saya hanya memiliki alasan lain, saya takut yang saya kerjakan akan mengganggu pekerjaan saya di sini," ucap Raya. Pak Umay terdiam, dia menatap Raya dengan pandangan mendalam."Apa itu? apa sangat penting?" tanya pak Umay."Iya, sangat penting, bagi hidup saya," ucap Raya."Kamu sudah memiliki jadwal pasti untuk mengerjakannya?" tanya pak Umay."Saya harus mengerjakannya selepas makan siang, saya tidak mungkin bekerja hingga sore hari," uca
Kenyataan MengerikanJam makan siang selesai, Raya sudah berada di depan rumah sakit, rumah sakit swasta yang melayani pasien umum, rumah sakit yang dulunya adalah milik sebuah yayasan.Rose akan segera masuk, untuk menemui ibu Rahma. Hatinya bergetar hebat, berdebar tidak karuan, antara gugup, takut dan khawatir. Hari ini Raya akan banyak mengobrol dengan ibu Rahma, dia berharap mampu mengendalikan diri, setiap emosi manusiawi yang mungkin saja akan dia miliki dan keluar dengan sendirinya. Ibu Rahma, orang yang seolah tidak mempedulikan kehadirannya selama tiga bulan terakhir, namun dia pasti tersiksa, melihat bayi yang dulu dia tukar tumbuh dengan begitu sehat dan cantik, datang seolah meminta pertanggung jawaban.Raya berdiri di depan pintu kamar ibu Rahma, terlihat mengambil nafas, lalu mengetuk pelan."Masuklah," terdengar suara itu lirih. Raya memberanikan diri memegang dagang pintu, lalu membukanya. "Kamu sudah datang, duduklah," ucap ibu Rahma yang terdengar begitu hangat, s
Sebuah Perhatian KecilJam menunjukkan pukul tiga sore, Raya duduk di depan toserba 69, terlihat menghela nafas panjang, lalu duduk di lantai yang menyerupai tangga. "Kamu sudah selesei?" tanya Devon yang tiba tiba datang dan menyodorkan sebotol air mineral."Terimakasih," ucap Raya seraya menerima botol itu. Devon terlihat ikut dudu di samping Raya."Aku tidak menyangka akan seberat ini," ucap Raya."Benarkah? apa kamu mengangkat sesuatu?" tanya Devon. Raya melihat ke arah Devon, seraya mata yang memicing dan bibir sedikit maju, lalu memukulnya lembut."Kamu ini," ucap Raya."Baru hari pertama aku mengunjunginya setelah kesepakatan, cerita yang kudengar begitu menyesakkan," ucap Raya."Benarkah?" tanya Devon."Devon, kamu tahu, ada seseorang yang kadang melakukan sesuatu yang menurutnya menyenangkan tanpa memikirkan orang lain," ucap Raya."Benarkah?" tanya Devon."Ya, ada orang seperti itu," ucap Raya.Devon terlihat menatap ke arah depan."Kamu tahu, dulu pernah ada pasien yang d
Kebingungan DevonRaya terlihat menyeruput kuah mie cupnya yang masih mengepul, lalu menunjukkan ekspresi kepanasan."Apapun niatmu, aku ucapkan terimakasih, aku harap kamu tidak menginginkan apapun dariku," ucap Raya yang terdengar blakblakan.Devon mengarahkan matanya pada Raya."Hah, apa yang kamu katakan, aku baik padamu karena kasihan, aku khawatir kamu akan sakit," ucap Devon."Baiklah, seperti yang pernah aku katakan, aku bisa mengenali barang asli dan tidak, juga termasuk seseorang," ucap Raya."Ya, tapi itu mustahil, butuh keahlian khusus untuk itu," ucap Devon."Coba lihat itu, dua orang pria yang berteduh di depan toserba,” ucap Raya seraya mengarahkan matanya pada orang yang dia tuju.“Mereka bekerja di butik yang letaknya tiga blok dari sini. Pria yang satu melepas sepatunya, mendekap di depan dada, seolah ingin melindungi sepatu yang baginya cukup berharga, daripada digunakan untuk melindungi kakinya. Sedangkan yang satunya, seolah tidak peduli, walaupun sepatunya basah
Apa Dia Dokter?Setelah ambulans pergi, Devon segera menemui Raya yang sudah berada di toserba."Sekali lagi kamu mengejutkanku," ucap Devon."Kamu melakukannya dengan baik," lanjut Devon."Hmmm, pramuka, ya pramuka, kamu harus ikut kegiatan pramuka supaya bisa melakukan apa saja, terutama keahlian bertahan hidup di situasi darurat," ucap Raya seraya mengulaskan senyum sempurna, lalu terlihat kembali menata beberapa barang."Pramuka, ya pramuka, aku akan berusaha untuk mempercayainya," ucap Devon. Devon terlihat meletakkan sesuatu di atas meja kasir, itu adalah obat yang baru saja dibelinya dari apotik."Ini untukmu," Devon terlihat menyodorkan sebotol minuman yang merupakan vitamin untuk daya tahan tubuh."Terimakasih," ucap Raya seraya menerima minuman botol itu.“Aku sudah menebus obat ibuku,” ucap Devon."Obat apa itu?” tanya Raya."Ini," ucap Devon yang kemudian memasukkan obat untuk ibunya ke dalam saku celana."Alprazolam, apa ibumu mengkonsumsi itu?" tanya Raya yang terlihat
Masa Lalu Datang Lagi Raya menjatuhkan tubuhnya, lalu mulai menangis sejadi jadinya. "Kenapa kamu harus datang lagi Radit, setelah aku berusaha mati matian untuk melupakan semuanya," gumam Raya yang terus saja menghujani pipinya dengan air mata. Pilu, sedih, semua perasaan bersatu padu. Ingatan masa lalu mulai bermunculan dan hal ini membuatnya tidak mampu menguasai dirinya. *** Jam makan siang tiba, Raya bersiap untuk segera meluncur ke rumah sakit untuk menemui ibu Rahma. Dia terlihat berjalan ke arah motornya, mengambil helm, lalu memasang di kepala. Raya segera naik ke atas motor kesayangannya itu, menaikkan standar samping, bersiap menekan knob starter motor. Tidak lama setelah itu, terdengar suara ponsel berbunyi. Suara ponsel berasal dari dalam tas ranselnya. Raya kembali menurunkan standar, lalu melepas helm yang sudah terpasang. Raya menarik tas ransel yang dipakainya, lalu mengambil ponsel yang terus saja berbunyi. Di layar ponsel muncul nama Devon, Raya mengerutkan
Lima Tahun LaluTanpa terasa air mata Raya menetes, dia mulai mengingat kembali peristiwa lima tahun lalu yang menimbulkan trauma mendalam dalam dirinya, juga menjadi penyebab berubahnya segala hal dalam hidupnya. Raya mengingat kenangan manis sekaligus pahit itu, ketika mereka berdua berada di dalam sebuah kamar, berci-uman panas, lalu bergu-mul di tempat tidur, hingga Raya mengabaikan telephone penting yang dia sesali hingga saat ini. Hanya karena hasrat berci-nta, yang merupakan keinginan sesaat, dia harus membayarnya dengan perasaan bersalah yang terus dibawanya seumur hidup.Raya mengingat kenangan manis sekaligus pahit itu, sepenggal waktu yang mengisi kehidupannya, merubah jalan hidupnya dan juga urusan percintaannya.Lima tahun yang lalu.Malam itu Raya terlihat di rumah sakit, tepatnya di ruang jaga dokter. Dia terlihat membuka lokernya, mengambil tas juga kotak kecil berbentuk persegi dengan pita warna merah muda. Itu adalah kado yang sudah disiapkannya sejak satu bulan yan