“Tu-tunggu sebentar!” cegah Emery. Dia merasa belum siap jika Ruben menyerangnya tiba-tiba.
“Kita tidak saling mencintai,” Emery beralasan semampunya. Dia dalam posisi terjepit saat ini. Dia harus segera melarikan diri sebelum keduanya beranjak lebih jauh lagi.
“Bukankah kamu mau melihatnya?” tantang Ruben.
“Ah, itu … tidak jadi saja. Saya harus pergi sekarang,” tolak Emery.
“Oke. Pergilah!” usir Ruben. Dia tahu jika diteruskan dirinya bisa khilaf.
Ruben beranjak dari tempat tidurnya. Begitu pula dengan Emery. Wanita itu akan pergi meninggalkan Ruben. Sementara, Ruben masih memalingkan wajahnya ketika Emery benar-benar pergi meninggalkan kamarnya. Langkah Emery terhenti sejenak.
“Dokter Ruben,” ucap Emery sembari membalikkan tubuh.
Ruben menoleh. Tatapannya mulai berubah saat Emery mengoceh di hadapannya. Wanita itu sengaja membangkitkan gairah Ruben malam ini dengan memanggilnya lagi.
“Berisik sekali wanita ini,” gumam Ruben gemas.
“Saya mohon pada Anda, jangan terlalu menekan Sienna. Walau bagaimana pun juga kami sebagai koas akan selalu belajar dan terus belajar. Anda tidak bisa memaksakan kami dengan cara seperti yang Anda inginkan. Tapi, kami akan tetap berusaha. Meski Anda merasa tidak puas dengan proses yang kami lalui. Kami .…” Kalimat Emery belum selesai. Tiba-tiba saja, Ruben menghampiri Emery dan mendaratkan kecupan di bibir juniornya itu.
Deg!
Jantung Emery berdegup kencang. Apa yang terjadi? Kenapa kejadiannya jadi seperti ini? Emery menerka-nerka. Tiba-tiba saja, Ruben mencium bibirnya. Apa pria aneh itu sudah gila? pikir Emery.
Ruben menekan bibir Emery lebih dalam. Hal itu membuat Emery sampai mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Dia juga membelalak saat tangan Ruben menyentuh area sensitifnya. Tepat di bagian dadanya.
Emery merasakan ada getaran aneh dalam tubuhnya. Suasana malam itu juga sangat mendukung. Terlebih lagi, Ruben dalam keadaan lelah dan butuh refreshing setelah seharian bekerja tanpa istirahat. Untuk melepas penatnya, Ruben menjadikan Emery sasaran untuk memuaskan hasratnya.
Emery menyerah dan terbawa suasana. Dia mengikuti alur permainan bibir sang senior. Selang beberapa menit kemudian, keduanya kini sudah berada di atas ranjang. Perlahan-lahan, Ruben membuka kancing blouse yang dikenakan Emery satu per satu.
Emery tidak bisa menolak pesona Ruben malam itu. Seniornya yang begitu tampan, berbakat, dan pandai memuaskan hasrat seorang wanita membuat Emery bertekuk lutut di hadapannya. Menyerah tanpa alasan.
Romansa malam itu terasa begitu cepat. Keduanya tak sengaja melakukan hubungan terlarang itu. Beberapa jam kemudian, setelah keduanya tersadar, Emery menjerit histeris.
“Aaarrrrggghhh! Apa yang Anda lakukan pada saya, Dokter Ruben?” Emery mendapati dirinya dan Ruben tanpa busana di tempat tidur yang sama.
Keduanya baru saja bangun tidur setelah menghabiskan malam bersama. Pagi itu, Emery dengan rambut acak-acakan menemukan Ruben berbaring di sampingnya. Hanya mengenakan selimut.
Setelah diingat-ingat lagi peristiwa semalam, keduanya baru sadar. Malam kemarin begitu nyata, panas, dan mereka melakukan hubungan persenggamaan atas dasar suka sama suka.
“Bagaimana ini?” Emery tampak bingung. Dia mengenakan pakaiannya dengan terburu-buru. Memakainya lagi asal-asalan. Yang penting bisa menutupi bagian tubuhnya.
“Apa kita bercinta semalam?” Ruben memastikannya lagi. Emery menoleh ke arah Ruben dengan tatapan sendu.
“Anda yang sudah menggoda saya, Dokter Ruben,” Emery menyalahkan Ruben. Sontak saja, Ruben membantahnya. Dia tidak ingin disalahkan.
“Menggodamu?” Ruben baru menyadari kalau nada bicara Emery mulai berubah. Tidak seformal biasanya seperti di tempat kerja. Terkesan lebih santai dan lebih akrab. Sedekat itukah mereka sekarang?
“Maaf, jika bicara saya tidak sopan. Tapi, saya merasa … saya berada di posisi korban saat ini,” kata Emery. Ruben mengernyitkan dahi.
“Tapi, kamu tidak menolakku semalam. Berarti kamu juga bersalah Emery,” balas Ruben. Dia bersikap biasa saja. Bahkan terkesan santai menanggapinya.
“Astaga! Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Emery kelabakan. Dia bingung mengatasi masalah ini. Setelah menyadari, jika yang mereka lakukan itu sudah di luar batas normal sebuah hubungan antara rekan kerja.
“Kita lupakan saja semua ini. Anggap saja, kita tidak pernah melakukannya. Kamu mengerti?” Ruben bersepakat dengan Emery. Dia berusaha membujuk Emery.
“Apa?” Emery membelalak kaget setelah mendengar pernyataan konyol yang dilontarkan Ruben begitu saja. Seenak perutnya pria aneh itu bicara. Tanpa dipikirkan akibat ke depannya nanti, gerutu Emery.
Mana bisa Emery menganggap hal itu biasa-biasa saja? Semalam, keduanya begitu bergairah hingga tak sadar telah melewati batas kewajaran. Padahal hubungan mereka tak lebih dari sebatas senior dan junior di tempat kerja. Tidak ada yang istimewa di antara hubungan mereka.
Ini pasti sebuah kesalahan, Emery berpendapat. Kejadian itu tidak akan pernah terjadi jika keduanya tidak ada saling ketertarikan. Ya ampun! Emery dan Ruben membuat kesalahan besar. Tidak hanya itu, mereka melakukan hubungan tanpa adanya ikatan cinta. Lalu, bagaimana jika hal yang menakutkan terjadi kepada mereka? Hamil di luar nikah, misalnya.
“Tidak! Tidak!” Emery menggeleng-gelengkan kepala. Memukul-mukulnya pelan dengan tangannya sendiri. Dia berharap kejadian semalam tidak akan pernah terjadi lagi kepadanya.
“Sudahlah! Jangan terlalu dipikirkan! Kita hanya perlu menganggapnya biasa saja dan lupakan semuanya. Beres, kan?” saran Ruben. “Jangan jadikan masalah ini seperti beban!” Ruben memberi solusi. Tetapi, Emery menganggapnya tidak masuk akal.
“Bagaimana kalau aku hamil? Apa Anda akan bertanggung jawab?” tantang Emery dengan berani. Ruben terkekeh.
“Ya, jika memang itu anakku, aku akan bertanggung jawab,” sahut Ruben. Namun, perkataannya terdengar seperti main-main.
Emery tersenyum sinis mendengarnya. “Jadi, Anda mengira saya sering tidur dengan pria lain di luar sana? Sehingga Anda meragukan jika nanti saya hamil. Janin yang ada di rahim saya bukan darah daging Anda? Ironi sekali.”
Ruben berdecak. Dia bangkit dari tempat tidurnya sambil bertelanjang dada. Dia hanya mengenakan celana boxer berwarna hitam merek sebuah produk ternama. Emery memaling wajahnya. Dia begitu malu dan pipinya sudah merah merona lagi. Ketika Ruben mendekatinya lagi.
“Aku percaya kamu tidak tidur dengan pria lain. Terbukti, semalam saja permainanmu tidak terlalu mendominasi permainanku. Kamu juga masih perawan, ya?” sindir Ruben sambil menyunggingkan senyum mengejeknya.
“Brengsek!” umpat Emery. Harga diri Emery terluka mendengar sindiran dari Ruben.
“Emery, tutup saja mulutmu! Jangan sampai skandal kita ini terbongkar sampai ke rumah sakit. Jika sampai kamu membocorkannya, aku tidak akan tinggal diam. Kamu akan mendapat hukuman berat dariku. Mengerti?” Ruben memperingatkan Emery, sekaligus mengancamnya.
Emery mengambil tas serta ponselnya. Lalu, dia bergegas pergi meninggalkan rumah Ruben sambil mendengus kesal. Emery yang terlanjur kecewa dengan sikap Ruben yang merendahkannya membuat dirinya tersulut emosi. Beruntung, hari ini dia libur bekerja. Dia bisa pergi sejenak ke suatu tempat untuk menenangkan diri. Jika perlu ke tempat pengasingan saja.
Seseorang memergoki Emery yang baru saja keluar dari kediaman Ruben. Bahkan, saking kesalnya, Emery tidak memerhatikan jalan menuju arah pulang. Seseorang itu melewatinya dan tersenyum sinis ke arahnya.
“Emery?” panggil Sean setelah memastikan jika wanita itu keluar dari rumah sepupunya dalam keadaan semrawut.
Emery menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke sumber suara dengan mata sembab. Seperti habis menangis.
“Kamu kenapa?” Sean menghampirinya. Dia juga memerhatikan penampilan Emery. “Kamu baru dari rumah Ruben. Ngapain tuh?” tanyanya.
“Ah, tidak apa-apa. Permisi, saya sedang terburu-buru,” Emery beralasan. Dia pamit pada Sean dan langsung kabur dari hadapannya. Dia takut jika Sean mengajukan beberapa pertanyaan lagi kepadanya.
Sean tersenyum memerhatikan sikap Emery yang salah tingkah di hadapannya. Wanita itu pergi begitu saja sambil menahan tangis. Kira-kira, ada cerita menarik apa di rumah sepupunya itu? Sean jadi penasaran sekali.
Sean pergi menemui Ruben di rumahnya. Ketika dia berdiri di depan pintu rumah, Ruben masih bertelanjang dada membukakan pintu untuk Sean.
“Aish! Sialan! Si manusia jadi-jadian lagi,” ejek Ruben kesal. Dia tidak mengharapkan kedatangan Sean ke rumahnya.
“Astaga!” Sean refleks menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dia tidak menyangka jika pikiran buruknya selama ini benar-benar terealisasikan.
“Kamu? Ngapain ke sini, hah?” tanya Ruben agak ketus.
“Dasar pengganggu! Mau tahu aja urusan orang lain,” ucap Ruben agak ketus.Ruben kesal sekali lantaran Sean masih saja mengganggunya. Tidak hanya di rumah sakit, di rumahnya pun pemuda tengil itu masih saja mengusiknya.Sean menoleh sebentar ke arah Ruben. Kemudian, dia menerobos masuk untuk melihat-lihat keadaan⸺seisi rumah sepupunya itu. Siapa tahu dia menemukan sesuatu yang aneh dan mencurigakan di sana. Apalagi setelah tahu Emery buru-buru meninggalkan rumah Ruben. Ish! Kepo sekali dia.Sean pergi ke kamar Ruben. Dia penasaran sekali. Benar saja. Seperti dugaannya. Rupanya mereka sudah menghabiskan malam bersama, pikir Sean sok tahu.“Kamu sama koas itu ada hubungan apa?” tanya Sean. Nada bicaranya langsung berubah dan agak santai. Tidak seperti waktu di rumah sakit yang harus bicara dengan gaya formal. Karena Ruben adalah atasan Sean di tempatnya bekerja.“Ah, apa jangan-jangan kalian udah tidur bareng? Iya, kan?” tuduh Sean mantap.Ruben menoleh ke arahnya dengan tatapan mata se
Sementara, Emery masih memandangi dirinya dalam cermin. Dia merasa bersalah sekali pagi ini karena sudah tidur dengan Ruben semalam. Tanpa sepengetahuan Sienna. Seandainya saja Sienna tahu, habislah dia.Siang itu, Emery sudah berdandan rapi dan hendak menemui Sienna di tempat yang sudah dijanjikan. Namun, ketika keluar dari rumah kosannya, seseorang membunyikan klakson mobil tepat di belakang Emery. Sontak saja, Emery terkejut melihat Ruben yang tengah duduk di jok kemudi memanggil Emery untuk segera masuk ke mobilnya.“Astaga! Mau ngapain lagi dia?” gumam Emery. Dia terpaksa berjalan ke arah Ruben, membuka pintu mobilnya. Lalu, duduk di sebelahnya.“Ada apa?” tanya Emery. Dia masih sebal dengan sikap Ruben tadi pagi.“Kamu masih marah, ya?” Ruben memastikannya lagi. Dia melihat raut wajah Emery yang sedari tadi tidak mau memandang ke arahnya.“Jelas saya marah! Di dunia ini mana ada wanita yang dengan sukarela menyerahkan seluruh harta berharganya untuk pria yang tidak dicintainya,”
“Kalian sudah datang rupanya,” sapa Ruben pada Emery dan Sienna. “Baguslah!”Ruben menampilkan senyum di depan kedua juniornya itu. Sayangnya, yang balas tersenyum hanya Sienna, sedangkan Emery lebih memilih untuk memalingkan wajah ketimbang membalas senyuman palsu yang ditunjukkan Ruben di hadapannya.Pandangan Ruben saat itu tertuju pada Emery. Sienna sempat memerhatikan gelagat mereka yang kelihatan sangat mencurigakan.“Ehem!” Sienna berdeham, membuyarkan lamunan Ruben dan Emery yang sontak menoleh ke arahnya.“Maaf, Dokter. Apa kami terlambat?” tanya Sienna hati-hati.“Tidak. Kalian datang tepat waktu,” sahut Ruben agak cuek. Pandangannya masih tertuju pada Emery seorang. Jadi, dia tidak begitu menghiraukan perkataan Sienna.“Emery, kamu kenapa?” tanya Ruben sok perhatian. “Kelihatannya kamu lelah sekali. Apa tidurmu nyenyak?”Deg!Kenapa senior sialan itu malah menanyakan keadaan Emery? Jelas-jelas hal itu malah makin memperjelas hubungan mereka. Sienna bisa makin curiga pada me
“Setelah kamu menandatangani perjanjian ini, kuharap kamu tidak membuat masalah lagi denganku di rumah sakit. Jika kamu melakukannya, aku bisa menuntutmu secara hukum. Kamu mengerti?” Ruben memperingatkan Emery cukup keras.Emery menghela napas panjang meski agak berat di lakukannya. Dia jadi tidak berselera makan siang ini. Padahal, perutnya sudah keroncongan menahan lapar. Ruben sengaja merusak moodnya.“Kamu tidak makan? Tidak lapar memangnya?” tawar Ruben sembari mengalihkan pembicaraan.“Tidak, terima kasih,” tolak Emery. Dia terpaksa berbohong di depan Ruben.Sebenarnya, Emery sangat lapar. Tetapi, melihat sikap Ruben yang semena-mena itu kepadanya membuat seisi perutnya terasa mual. Jadi malas makan meskipun hidangan yang tersedia di hadapannya kini terlihat sangat lezat dan menggugah selera. Ya, itu benar. Makanan yang dibuat oleh chef ternama di hotel bintang lima itu bikin ngiler saja, pikir Emery.Semua itu tidak ada artinya sekarang, ketika Emery sudah kehilangan selera ma
“Jangan bicara sembarangan dan bertindak gegabah! Sepertinya ada seseorang yang tengah mengawasi kita,” tegur Ruben.“Seseorang yang mengawasi kita? Siapa?” Emery jadi ingin tahu. Dia menoleh kanan-kirinya, mencari sesuatu sembari memastikan ucapan Ruben.“Entahlah. Sepertinya tadi ada orang yang mendengarkan pembicaraan kita,” duga Ruben seraya memberitahu Emery.“Bagaimana ini?” Emery cemas. Raut wajahnya makin terlihat pucat usai mendengarkan perkataan Ruben.“Berhati-hatilah! Karena di sini ada banyak sekali pasang mata dan telinga yang sewaktu-waktu bisa bicara dan itu akan membahayakan posisi kita. Kamu mengerti?” Ruben memperingatinya.Emery mengangguk. Kalau begitu dia akan lebih waspada dan berhati-hati lagi dalam bertindak maupun berucap mulai sekarang. Dia tidak akan sembarangan bicara dengan orang lain, atau mencurahkan isi hatinya pada rekan kerja yang lain. Dia sudah berjanji pada Ruben untuk tetap diam, merahasiakan hubungan terlarang mereka.“Satu jam lagi, temui saya
Emery pergi ke rumah Ruben pagi-pagi sekali. Dia harus menemui seniornya itu secepatnya, sebelum Ruben berangkat kerja. Dalam keadaan panik, putus asa, sedih, dia datang sembari membawa bukti-bukti, bahwa dirinya kini telah berbadan dua.“Emery?” Ruben terkejut melihat kedatangan Emery ketika dia membukakan pintu rumahnya.“Ada apa?” tanya Ruben ingin tahu.Emery berkaca-kaca di hadapan Ruben. Mungkin sebentar lagi, gadis itu akan menitikkan air matanya.“Masuklah!” ajak Ruben. Dia mempersilakan Emery masuk ke rumahnya. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan Emery langsung kepadanya.“Kamu mau minum apa?” tawar Ruben.“Saya tidak ingin apa-apa,” tolak Emery dengan nada suara gemetaran.Ruben makin tidak mengerti dengan sikap Emery. Lantas, apa yang diinginkan koas itu sampai harus datang ke rumah Ruben pagi-pagi sekali.“Dokter Ruben ….” Emery menarik napasnya dalam-dalam, sebelum dia mengatakan maksud dan tujuannya datang ke rumah sang senior.“Saya ingin Anda tahu, kalau saya ....” E
Selama berada di ruang operasi baik Ruben maupun Emery, keduanya memusatkan perhatiannya hanya pada pasien. Emery sudah melakukan anestesi atau membius total si pasien, hingga pasien itu kini tertidur pulas.Janin yang tidak berkembang dalam tubuh pasien sudah meninggal beberapa jam yang lalu dan harus segera diangkat dari rahim ibunya. Jika tidak, akan sangat membahayakan sekali bagi pasien.Emery menatap ke arah wajah pasiennya. Tampak wajah sang ibu masih menangis sendu dan terus mengeluarkan air mata walau dalam keadaan tertidur. Obat bius itu ternyata sama sekali tidak berpengaruh pada perasaan pasien itu. Meskipun pasiennya terpejam, hati dan pikirannya tidak ikut tidur.‘Kasihan sekali ibu ini,’ pikir Emery. Dia merasa iba dengan peristiwa pilu yang dialami pasien tersebut.Emery menyeka air mata ibu itu dengan perlahan. Dia turut merasakan kesedihan dalam hati sang ibu.‘Aku pun akan menjadi seorang ibu kelak. Tapi, aku tidak berharap berada di posisi ibu itu saat ini. Tidak!’
“Banyak amat makanannya. Dari siapa?” tanya Sienna. Ketika Emery memasuki ruangannya. Di sana, sudah ada Sienna yang sedang mengerjakan tesisnya.“Nggak tahu dari siapa. Katanya ini untukku,” sahut Emery.“Lah? Kalau nggak jelas pengirimnya, terus kenapa kamu terima gitu aja?” Sienna heran sekaligus penasaran.“Mau nolak nggak enak. Kalau dibiarin, ya … sayang aja. Mubazir, kan, buang-buang makanan,” Emery berdalih.“Iya juga sih. Tapi, makanan itu banyak banget, lho, Mer.”“Kalau kamu mau, kita makan bareng aja. Aku juga nggak bakalan bisa habisin semuanya,” tawar Emery.“Beneran nih, Mer? Kelihatannya enak-enak makanannya. Cepat buka kalau gitu!” Sienna sudah tidak sabaran ingin segera mencicipinya.Di ruangan itu, Emery dan Sienna tampak sedang menikmati makanan kiriman yang entah dari siapa pengirimnya. Itu tidak jadi masalah. Yang penting enak dan perut Emery bisa terisi. Ada paket pizza lengkap dengan toppingnya yang beraneka ragam. Ada salad buah, kentang, jus strawberry dan ma
“Maafkan aku,” sesal Sean. Dia tak sengaja mencium bibir Sienna.Sean sibuk menjelaskan bahwa insiden ciuman itu benar-benar di luar kendalinya. Tidak seharusnya dia melakukan hal itu pada Sienna. Tapi, keadaan memaksanya.Ketika Sean hendak membenarkan posisi sabuk pengaman, tiba-tiba tangannya tergelincir saking tidak fokus memerhatikan bibir Sienna yang ranum. Dia ingin menahan tubuhnya, namun sudah tidak bisa. Refleks, bibirnya malah menyentuh bibir Sienna.“Tidak perlu meminta maaf padaku.” Sienna agak kecewa mengetahuinya. Dia kira, Sean benar-benar ingin menciumnya. Ternyata tidak.“Aku tidak ingin kamu salah sangka padaku,” sangkal Sean.“Tidak. Aku tidak berkata begitu kok,” bantah Sienna.Keduanya kini dalam posisi canggung. Masing-masing menahan malu dan tidak tahu harus berkata apalagi. Sean lekas duduk di joknya. Lalu, dia melajukan mobilnya menuju rumah Sienna. Sementara itu, jari
“Mau ke mana?” tanya Sienna.“Pokoknya ikut aku dulu aja!” balas Sean agak memaksa.Mau tidak mau Sienna pun akhirnya menuruti perintah Sean. Dia mengikuti Sean, saat dokter spesialis anak itu menarik lengannya dan membawanya pergi menjauhi Emery.“Sean, hentikan!” kata Sienna. “Kamu menarik tanganku dan itu sakit sekali.”“Oh, maafkan aku,” sesal Sean. “Aku tidak sengaja.”“Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu menyeretku pergi?” protes Sienna.“Aku ingin bicara.”“Ya udah, ngomong aja. Apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Aku buru-buru harus memeriksa pasien di bangsal VIP,” kata Sienna beralasan.“Apa Ruben menghubungimu?” Sean mencari tahu. Sienna menggeleng.“Tidak. Kenapa memangnya?” Sienna heran. “Dokter Ruben tidak pernah menghubungiku lagi sejak mereka bercerai.”&ld
“Iya, aku tahu itu. Kamu nggak usah ngegas gitu, Ruben,” balas Sean. “Tidak diberitahu pun aku sudah tahu.”“Aku hanya mengingatkanmu aja, Sean. Barangkali kamu sudah lupa. Kalau Emery hanya milikku seorang,” kata Ruben dengan bangga.“Cuih! Seenaknya saja ngaku-ngaku dia milikmu. Jika dia milikmu lantas kenapa kamu melepasnya pergi. Bodoh!” ejek Sean.“Aku tidak melepasnya. Dianya aja yang banyak pertimbangan,” Ruben membela diri.“Terang aja dia banyak pertimbangan. Sikapmu aja kayak bunglon, sering berubah-ubah nggak karuan.”“Sudah hentikan! Aku nggak mau kita bertengkar.”“Lalu, kamu menelponku hanya untuk menanyakan hal ini aja?”“Sean, aku mohon sama kamu. Bantu aku untuk mengawasinya. Cuma kamu satu-satunya keluargaku yang bisa kuandalkan di sana. Kamu mau, kan, membantuku?” pinta Ruben dengan nada memelas.&ldquo
“Sean?” Emery membuka kaca mobil dan berbincang sebentar dengan Sean.“Apa kamu sedang terburu-buru? Aku ingin mentraktirmu minum kopi. Gimana?” tawar Sean.“Aku minta maaf, Sean. Aku harus segera menjemput Ben di daycare. Lain kali saja, oke?” tolak Emery dengan ramah.“Oh, oke. Tidak apa-apa. Hati-hati saat berkendara!” Sean menasihati. Emery mengangguk mantap.Tak lama setelah berpamitan dengan Sean, Emery melajukan mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit.***“Kamu yakin tidak ingin ikut denganku?” Ruben memastikannya kembali. Siapa tahu Emery berubah pikiran di saat-saat terakhir mereka berpisah di bandara.“Aku akan menunggumu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa menungguku?” Ruben takut sekali. “Kamu tidak akan berpaling dan jalan sama pria lain, kan?”“Pria lain, siapa maksudmu?” Emery tersinggung dengan ucapan
Emery mulai menyadari perhatian dari kedua pria tersebut, yang masing-masing menunjukkan rasa cinta dengan cara yang berbeda. Ruben adalah sosok romantis yang penuh tekad. Meski terkadang, dia sangat menyebalkan dengan sikap plin-plannya yang seperti bunglon, sering berubah-ubah.Sementara, Adrian adalah pribadi yang tenang dan suportif. Seperti katanya, dia selalu ada setiap kali Emery membutuhkan pertolongan atau teman untuk bercerita. Kali ini, Emery benar-benar mengalami dilema. Dia berada diposisi sulit karena harus memilih antara dua pilihan. Impian masaa depan bersama Ruben atau kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh Adrian.“Nak, kamu akan memilih yang mana seandainya kamu menjadi Ibu?” tanya Emery saat dia memerhatikan bayi Ben yang sedang menyusui.Bayi Ben hanya tersenyum menanggapi cerita Emery. Seolah-olah balita mungil itu mengerti bahwa yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah ibunya sendiri.“Sekarang, kamu juga membua
“Beri aku waktu!” pinta Emery.“Apa? Waktu?” Ruben membelalak.Emery mengangguk mantap. “Aku masih mempertimbangkannya. Jika aku menikah sekarang, lalu bagaimana dengan Ben Joshua, anak kita?”“Memangnya kenapa dengan dia?” Ruben agak heran. “Bukankah itu bagus untuk perkembangan dia? Dia memiliki keluarga yang lengkap ada orang tua yang akan merawat dia.”“Maksudku, jika Ben dibawa ke luar negeri, aku khawatir dia belum bisa beradaptasi,” kata Emery beralasan.“Dia anak yang pintar. Aku tahu itu. Dia akan lebih cepat beradaptasi di sana. Aku yakin itu,” Ruben berpendapat.Emery kehabisan ide. Bagaimana caranya dia harus menjawab pertanyaan Ruben soal lamaran itu?“Emery ….” Ruben meraih tangan Emery dan coba membujuknya kembali.“Aku ingin melihatmu membuktikan lagi cintamu. Kamu tahu, kan, sejak kamu meragukan kehamilanku hatiku sangat sakit. Saat itu aku berpikir, aku tidak bisa lagi bersama orang yang selalu berprasangka buruk padaku. Apalagi menuduhku yang tidak-tidak,” jelas Eme
“Jangan menggangguku! Aku mau tidur,” balas Emery yang tidak mau berbalik ke arah Ruben.“Sayang, kamu mengabaikan aku?” Ruben protes. Dia tidak terima Emery bersikap tidak peduli lagi kepadanya.“Ayolah!” bujuk Ruben.Emery tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya kelelahan setelah seharian mengurus bayi Ben. Dia butuh banyak istirahat.“Sudah kubilang, jika kamu terus menggangguku, aku terpaksa menendangmu dari kamarku. Kamu mau aku melakukannya?” ancam Emery meski kedua matanya terpejam.Ruben pun akhirnya menyerah. Jika itu yang diinginkan Emery, dia memilih untuk mengalah saja. Dia tidak mau ambil risiko seandainya Emery marah hanya karena masalah sepele seperti itu. Dia turun dari ranjang Emery dan kembali ke sofa bed tempatnya tidur.‘Malam ini kelabu sekali bagiku,’ ujar Ruben dalam hati.***Beberapa bulan kemudian, Emery pergi ke rumah sakit tempat dia bekerja
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m