“Setelah kamu menandatangani perjanjian ini, kuharap kamu tidak membuat masalah lagi denganku di rumah sakit. Jika kamu melakukannya, aku bisa menuntutmu secara hukum. Kamu mengerti?” Ruben memperingatkan Emery cukup keras.Emery menghela napas panjang meski agak berat di lakukannya. Dia jadi tidak berselera makan siang ini. Padahal, perutnya sudah keroncongan menahan lapar. Ruben sengaja merusak moodnya.“Kamu tidak makan? Tidak lapar memangnya?” tawar Ruben sembari mengalihkan pembicaraan.“Tidak, terima kasih,” tolak Emery. Dia terpaksa berbohong di depan Ruben.Sebenarnya, Emery sangat lapar. Tetapi, melihat sikap Ruben yang semena-mena itu kepadanya membuat seisi perutnya terasa mual. Jadi malas makan meskipun hidangan yang tersedia di hadapannya kini terlihat sangat lezat dan menggugah selera. Ya, itu benar. Makanan yang dibuat oleh chef ternama di hotel bintang lima itu bikin ngiler saja, pikir Emery.Semua itu tidak ada artinya sekarang, ketika Emery sudah kehilangan selera ma
“Jangan bicara sembarangan dan bertindak gegabah! Sepertinya ada seseorang yang tengah mengawasi kita,” tegur Ruben.“Seseorang yang mengawasi kita? Siapa?” Emery jadi ingin tahu. Dia menoleh kanan-kirinya, mencari sesuatu sembari memastikan ucapan Ruben.“Entahlah. Sepertinya tadi ada orang yang mendengarkan pembicaraan kita,” duga Ruben seraya memberitahu Emery.“Bagaimana ini?” Emery cemas. Raut wajahnya makin terlihat pucat usai mendengarkan perkataan Ruben.“Berhati-hatilah! Karena di sini ada banyak sekali pasang mata dan telinga yang sewaktu-waktu bisa bicara dan itu akan membahayakan posisi kita. Kamu mengerti?” Ruben memperingatinya.Emery mengangguk. Kalau begitu dia akan lebih waspada dan berhati-hati lagi dalam bertindak maupun berucap mulai sekarang. Dia tidak akan sembarangan bicara dengan orang lain, atau mencurahkan isi hatinya pada rekan kerja yang lain. Dia sudah berjanji pada Ruben untuk tetap diam, merahasiakan hubungan terlarang mereka.“Satu jam lagi, temui saya
Emery pergi ke rumah Ruben pagi-pagi sekali. Dia harus menemui seniornya itu secepatnya, sebelum Ruben berangkat kerja. Dalam keadaan panik, putus asa, sedih, dia datang sembari membawa bukti-bukti, bahwa dirinya kini telah berbadan dua.“Emery?” Ruben terkejut melihat kedatangan Emery ketika dia membukakan pintu rumahnya.“Ada apa?” tanya Ruben ingin tahu.Emery berkaca-kaca di hadapan Ruben. Mungkin sebentar lagi, gadis itu akan menitikkan air matanya.“Masuklah!” ajak Ruben. Dia mempersilakan Emery masuk ke rumahnya. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan Emery langsung kepadanya.“Kamu mau minum apa?” tawar Ruben.“Saya tidak ingin apa-apa,” tolak Emery dengan nada suara gemetaran.Ruben makin tidak mengerti dengan sikap Emery. Lantas, apa yang diinginkan koas itu sampai harus datang ke rumah Ruben pagi-pagi sekali.“Dokter Ruben ….” Emery menarik napasnya dalam-dalam, sebelum dia mengatakan maksud dan tujuannya datang ke rumah sang senior.“Saya ingin Anda tahu, kalau saya ....” E
Selama berada di ruang operasi baik Ruben maupun Emery, keduanya memusatkan perhatiannya hanya pada pasien. Emery sudah melakukan anestesi atau membius total si pasien, hingga pasien itu kini tertidur pulas.Janin yang tidak berkembang dalam tubuh pasien sudah meninggal beberapa jam yang lalu dan harus segera diangkat dari rahim ibunya. Jika tidak, akan sangat membahayakan sekali bagi pasien.Emery menatap ke arah wajah pasiennya. Tampak wajah sang ibu masih menangis sendu dan terus mengeluarkan air mata walau dalam keadaan tertidur. Obat bius itu ternyata sama sekali tidak berpengaruh pada perasaan pasien itu. Meskipun pasiennya terpejam, hati dan pikirannya tidak ikut tidur.‘Kasihan sekali ibu ini,’ pikir Emery. Dia merasa iba dengan peristiwa pilu yang dialami pasien tersebut.Emery menyeka air mata ibu itu dengan perlahan. Dia turut merasakan kesedihan dalam hati sang ibu.‘Aku pun akan menjadi seorang ibu kelak. Tapi, aku tidak berharap berada di posisi ibu itu saat ini. Tidak!’
“Banyak amat makanannya. Dari siapa?” tanya Sienna. Ketika Emery memasuki ruangannya. Di sana, sudah ada Sienna yang sedang mengerjakan tesisnya.“Nggak tahu dari siapa. Katanya ini untukku,” sahut Emery.“Lah? Kalau nggak jelas pengirimnya, terus kenapa kamu terima gitu aja?” Sienna heran sekaligus penasaran.“Mau nolak nggak enak. Kalau dibiarin, ya … sayang aja. Mubazir, kan, buang-buang makanan,” Emery berdalih.“Iya juga sih. Tapi, makanan itu banyak banget, lho, Mer.”“Kalau kamu mau, kita makan bareng aja. Aku juga nggak bakalan bisa habisin semuanya,” tawar Emery.“Beneran nih, Mer? Kelihatannya enak-enak makanannya. Cepat buka kalau gitu!” Sienna sudah tidak sabaran ingin segera mencicipinya.Di ruangan itu, Emery dan Sienna tampak sedang menikmati makanan kiriman yang entah dari siapa pengirimnya. Itu tidak jadi masalah. Yang penting enak dan perut Emery bisa terisi. Ada paket pizza lengkap dengan toppingnya yang beraneka ragam. Ada salad buah, kentang, jus strawberry dan ma
“Pa-pacaran?” Emery membelalak kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan Sienna kepadanya.“Jujur aja, Mer! Kamu nggak usah menutup-nutupinya lagi dariku. Apa benar kamu dan dokter Ruben ada hubungan yang cukup serius selama ini?” desak Sienna. Dia penasaran sekali hingga menyudutkan Emery dengan pertanyaan itu.Emery benar-benar bingung. Bagaimana dia harus mengakui hubungannya dengan Ruben? Dia sudah bersumpah pada Ruben untuk menutup mulutnya rapat-rapat.“EMERY!” Sienna tidak sabaran.Emery menitikkan air mata di depan sahabatnya itu. Tanpa berkata-kata lagi, Sienna pun langsung bisa mengetahuinya. Dia beranggapan bahwa memang benar saat ini Emery sedang menjalin hubungan khusus dan sangat rahasia dengan Ruben.“Ya ampun, Mer ….” Sienna kembali memeluk sahabatnya itu seraya menepuk-nepuk punggung Emery. Dia berusaha menenangkan Emery yang sedang menangis di pelukannya.“Kejadiannya nggak pernah terduga sama sekali. Aku dan dia hanya melakukannya sekali. Tapi, hasilnya malah posi
“Apa maksudmu, Dokter Ruben?” Emery membelalak kaget setelah mendengar pernyataan tidak masuk akal yang dilontarkan Ruben di depan ayahnya.Wajah Ruben langsung berubah pucat. Dia menoleh perlahan ke arah Emery dengan tatapan rasa bersalah. Namun, dia merasa tidak ingin disalahkan atas apa yang kini tengah menimpa Emery.“Kamu yakin kalau bayi itu bukan anakmu?” Profesor Rudiana sekali lagi memastikannya. Dia langsung bertanya pada Ruben.Jika Ruben menyangkalnya sekali lagi, profesor Rudiana baru akan memercayai ucapan putranya itu.“Ya, aku yakin sekali. Karena aku tidak serendah itu harus meniduri juniorku sendiri. Bahkan, aku dan dia tidak saling mencintai, Yah,” ungkap Ruben. Dia yakin sekali ketika mengatakannya pada sang ayah.“Dokter Ruben!” Emery tidak percaya jika Ruben setega itu mengatakannya di depan ayahnya. Apa dia sedang melempar kesalahannya pada Emery?“Anda tahu betul, malam itu Andalah yang telah menggoda saya. Sampai akhirnya kita tidak sadar dan melakukan hal itu
“Kamu ngapain hujan-hujanan di sini?” tegur Sean.Senyum Emery memudar seketika. Ekspektasinya tidak seperti yang dia harapkan. Dia mengira yang sedang menghampirinya adalah Ruben. Ternyata sosok pria lain yang kelihatannya seribu kali jauh lebih baik dari si pengecut Ruben.Pria itu mengulurkan tangannya pada Emery yang sedang terpuruk dengan keadaannya. Sambil menyunggingkan senyum di depan Emery, dokter muda dan tampan itu pun memberikan semangatnya untuk sang junior. Dia membantu Emery berdiri, bangkit dari kesedihannya.“Dokter Sean ….” lirih Emery. Wajahnya berkaca-kaca melihat Sean yang hendak membantunya.‘Kenapa bukan dia? Kenapa harus orang lain?’ pikir Emery.“Jangan sedih lagi! Kamu tidak pantas bersedih seperti ini, Emery. Kamu harus kuat dan lawan semua orang yang sudah merendahkanmu. Termasuk ….” Kalimat Sean terhenti beberapa saat. Dia jadi segan melanjutkannya.“Termasuk dokter Ruben,” terka Emery yang menyambung kalimat Sean.“Ah, iya itu, maksud saya. Astaga! Saya m