“Kamu ngapain hujan-hujanan di sini?” tegur Sean.Senyum Emery memudar seketika. Ekspektasinya tidak seperti yang dia harapkan. Dia mengira yang sedang menghampirinya adalah Ruben. Ternyata sosok pria lain yang kelihatannya seribu kali jauh lebih baik dari si pengecut Ruben.Pria itu mengulurkan tangannya pada Emery yang sedang terpuruk dengan keadaannya. Sambil menyunggingkan senyum di depan Emery, dokter muda dan tampan itu pun memberikan semangatnya untuk sang junior. Dia membantu Emery berdiri, bangkit dari kesedihannya.“Dokter Sean ….” lirih Emery. Wajahnya berkaca-kaca melihat Sean yang hendak membantunya.‘Kenapa bukan dia? Kenapa harus orang lain?’ pikir Emery.“Jangan sedih lagi! Kamu tidak pantas bersedih seperti ini, Emery. Kamu harus kuat dan lawan semua orang yang sudah merendahkanmu. Termasuk ….” Kalimat Sean terhenti beberapa saat. Dia jadi segan melanjutkannya.“Termasuk dokter Ruben,” terka Emery yang menyambung kalimat Sean.“Ah, iya itu, maksud saya. Astaga! Saya m
Akhirnya, mau tidak mau Emery dan Ruben menjalani pemeriksaan sesuai dengan perintah profesor Rudiana. Setelah itu, keduanya akan menunggu hasil pemeriksaan.Seperti biasa, Ruben kelihatan gelisah sekali menantikannya. Raut wajahnya langsung pucat seperti orang bersalah yang ketakutan ketika hasil perbuatannya sebentar lagi akan terungkap di hadapan ayahnya.Emery menoleh ke arah Ruben. Pria itu masih ketar-ketir dan gundah gulana. Kemudian Emery mengarahkan pandangannya ke arah profesor Rudiana. Kelihatannya sama saja. Tampak kedua orang itu sedang diliputi perasaan cemas yang luar biasa. Sang direktur jadi tidak sabaran menunggu hasilnya.‘Mereka akan tahu kalau aku nggak pernah bohong soal kehamilan ini,’ batin Emery lega.Berkat kemajuan teknologi yang makin canggih akhir-akhir ini, tidak perlu waktu lama apalagi sampai menunggu bayi itu lahir untuk melakukan tes DNA. Zaman sekarang, teknologi dan ilmu kedokteran makin berkembang pesat. Hal itu sangat menguntungkan bagi sekolah ke
“Maksudmu, kita?” Ruben membelalak kaget. Emery mengangguk.“Iya. Karena kita sebentar lagi akan menjadi orang tua dari bayi ini,” Emery meyakinkannya. Dia sambil mengelus-elus perutnya menatap penuh harap ke arah Ruben.Ruben sebenarnya ragu-ragu dengan ajakan Emery. Menikah? Berulang kali dia memikirkannya. Itu mustahil baginya. Ada rasa takut yang kini mendominasi seluruh pikirannya. Dia juga sangat takut pada ayahnya sendiri, seandainya mendengar rencana konyol pernikahannya yang begitu mendadak.“Dokter Ruben, tolong pikirkan sekali lagi! Saat ini, bayi inilah yang lebih penting dari apa pun,” bujuk Emery.“Saya mohon,” Emery memelas di hadapannya.Ruben tidak bisa menjawab atau mengiyakan permohonan Emery saat ini. Dia tidak ingin memberikan harapan apa-apa pada koas itu. Atau menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa dia tepati. Jadi, yang bisa dilakukannya saat ini hanya diam saja, sambil memikirkan langkah selanjutnya. Nasi sudah menjadi bubur. Permasalahannya kini sudah meny
“Dokter Ruben, apa Anda serius mengatakannya?” Emery berkaca-kaca. Dia tidak percaya jika pria yang kini berdiri dihadapannya itu sedang melamarnya.“Apa ucapanku seperti sedang main-main?” Ruben meyakinkan sekali.Jelas itu membuat Emery terkejut. Dia masih tidak menyangka Ruben mengatakannya malam ini.“Kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak ingin menikah denganku?” desak Ruben. Dia masih menunggu jawaban dari Emery.“Ya, saya mau menikah dengan Anda,” jawab Emery. Dia sudah yakin sekali dengan keputusannya.“Baguslah!” Ruben tertunduk lesu usai mendengar jawaban Emery yang sangat antusias menyambut hari bahagia mereka.Berbeda dengan ekspresi Ruben, raut wajah Emery jauh terlihat lebih bahagia. Sudah lama dia menanti-nantikan masa-masa seperti ini. Dia senang sekali. Akhirnya, sang buah hatinya bisa memiliki keluarga yang lengkap, sesuai dengan harapannya.‘Apa dia tidak membelikanku cincin pertunangan?’ pikir Emery.Emery berpikir bahwa seharusnya Ruben menyiapkan sebuah cincin unt
“Ya, kami akan segera menikah. Kamu dengar itu?” tegas Ruben.Sean menurunkan lengan Ruben, lalu dia menoleh ke arah Emery. “Apa itu benar? Jawab aku, Emery!”“Saya ….” Emery terbata-bata mengatakannya.“Kalau dia bicara omong kosong, aku akan menghajarnya,” ancam Sean yang masih menunggu Emery bicara. Dia geram sekali dengan sikap Ruben yang arogan.“Kami akan menikah,” ucap Emery akhirnya. Bicaranya meyakinkan sekali saat mengatakannya.Kini, tidak ada alasan lagi bagi Sean memperpanjang urusannya dengan Ruben. Dia akan mengalah jika mereka benar-benar akan menikah.“Baguslah! Kalian berdua memang harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian. Lalu, apa ayahmu tahu soal pernikahan ini?” Sean mengalihkan perhatiannya pada Ruben.“Aku akan bicara dengannya hari ini,” kata Ruben.“Ingat, Ben! Kamu sudah ambil keputusan. Artinya, kamu sudah siap ambil resiko seberat apa pun nanti demi Emery. Paham?” Sean memperingatkan.Sean pergi setelah memberi peringatan pada Ruben. Dia agak kecewa s
“Sampai kapan kamu mau di situ? Nanti kamu bisa sakit, Emery,” desak Sean. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan Emery.Emery masih menangis dan belum beranjak dari tempatnya. Sean tahu betul dan mengerti perasaan Emery. Jika bukan karena Ruben yang menelepon Sean malam itu, entah apa yang akan terjadi pada Emery saat ini.Setelah diberitahu Ruben bahwa dia meninggalkan Emery sendirian di sebuah restoran, Sean bergegas menjemputnya. Sean segera meninggalkan rumah sakit dan pergi mencari Emery. Karena Ruben tidak bisa pergi menemui Emery. Jadi, Sean yang menggantikannya.“Dasar gadis bodoh!” gumam Sean pelan. Dia prihatin sekali melihat kondisi Emery yang menyedihkan saat ini.“Ayo pulang! Aku akan mengantarmu pulang sekarang,” ajak Sean.Karena Emery diam saja, Sean yang geregetan itu terpaksa menarik lengan Emery dan membawanya pergi. Sean menyeret Emery agar mau mengikutinya. Payung yang mereka kenakan malam itu, tiba-tiba tertiup angin pada saat hujan deras. Sean tidak bisa mencegahny
Sean panik sekali waktu itu. Dia takut terjadi sesuatu yang serius pada Emery. Dia meminta bantuan dokter rekanannya untuk segera memeriksakan keadaan Emery.Semua orang sudah berkumpul dan terkejut melihat kejadian yang tengah menimpa Emery. Mereka prihatin sekali sekaligus menyayangkan skandal yang terjadi kepadanya dan Ruben.Dua dokter berbakat di rumah sakit itu kini harus menerima hukuman atas kesalahan mereka yang sudah melanggar aturan rumah sakit. Mereka tahu betul peraturan rumah sakit yang melarang stafnya untuk tidak terlibat skandal atau menjalin hubungan asmara selama berada di lingkungan kerja. Bahkan, mereka sudah menandatangani perjanjian kerja di atas materai sebelum mereka diterima bekerja di sana. Sayangnya, mereka justru melakukan kesalahan itu dan berdampak fatal pada karirnya masing-masing. Emery masih diperiksa di sebuah ruangan. Sean menemaninya dengan tidak sabaran.“Gimana keadaannya?” tanya Sean pada seorang dokter wanita bernama Sesilia.Sesilia menoleh k
Emery syok sekali mendengar kondisi tubuhnya saat ini. Dia tidak menduganya sama sekali, jika calon bayinya itu sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Lalu, kenapa Sean diam saja dan tidak menjelaskan apa-apa kepadanya?“Dokter Sean? Kenapa Anda tidak memberitahu saya?” Emery tampak kecewa sekali.“Aku minta maaf, Emery. Aku sempat mau mengatakannya, tapi kamu sudah mau pergi. Aku juga tidak bisa mencegahmu tadi. Jadi, maafkan aku, ya,” sesal Sean.“Emery, sekarang kamu harus istirahat di ruang perawatan. Kami terpaksa harus segera mengoperasimu. Janin kamu sudah meninggal,” jelas Sesilia.Emery terisak mendengar penjelasan dari Sesilia. Sembari memegangi perutnya, dia masih menangis ketika beberapa perawat membawanya ke ruang perawatan.“Mer!” panggil Sienna. Dia sempat melihat Emery dibawa ke ruang perawatan. Dia panik sekali dan ingin tahu keadaan sahabatnya itu.“Dokter Sean, apa yang terjadi? Kenapa dia kelihatan frustrasi seperti itu?” Sienna mencari tahu.“Dia baru saja kehilangan