“Sampai kapan kamu mau di situ? Nanti kamu bisa sakit, Emery,” desak Sean. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan Emery.Emery masih menangis dan belum beranjak dari tempatnya. Sean tahu betul dan mengerti perasaan Emery. Jika bukan karena Ruben yang menelepon Sean malam itu, entah apa yang akan terjadi pada Emery saat ini.Setelah diberitahu Ruben bahwa dia meninggalkan Emery sendirian di sebuah restoran, Sean bergegas menjemputnya. Sean segera meninggalkan rumah sakit dan pergi mencari Emery. Karena Ruben tidak bisa pergi menemui Emery. Jadi, Sean yang menggantikannya.“Dasar gadis bodoh!” gumam Sean pelan. Dia prihatin sekali melihat kondisi Emery yang menyedihkan saat ini.“Ayo pulang! Aku akan mengantarmu pulang sekarang,” ajak Sean.Karena Emery diam saja, Sean yang geregetan itu terpaksa menarik lengan Emery dan membawanya pergi. Sean menyeret Emery agar mau mengikutinya. Payung yang mereka kenakan malam itu, tiba-tiba tertiup angin pada saat hujan deras. Sean tidak bisa mencegahny
Sean panik sekali waktu itu. Dia takut terjadi sesuatu yang serius pada Emery. Dia meminta bantuan dokter rekanannya untuk segera memeriksakan keadaan Emery.Semua orang sudah berkumpul dan terkejut melihat kejadian yang tengah menimpa Emery. Mereka prihatin sekali sekaligus menyayangkan skandal yang terjadi kepadanya dan Ruben.Dua dokter berbakat di rumah sakit itu kini harus menerima hukuman atas kesalahan mereka yang sudah melanggar aturan rumah sakit. Mereka tahu betul peraturan rumah sakit yang melarang stafnya untuk tidak terlibat skandal atau menjalin hubungan asmara selama berada di lingkungan kerja. Bahkan, mereka sudah menandatangani perjanjian kerja di atas materai sebelum mereka diterima bekerja di sana. Sayangnya, mereka justru melakukan kesalahan itu dan berdampak fatal pada karirnya masing-masing. Emery masih diperiksa di sebuah ruangan. Sean menemaninya dengan tidak sabaran.“Gimana keadaannya?” tanya Sean pada seorang dokter wanita bernama Sesilia.Sesilia menoleh k
Emery syok sekali mendengar kondisi tubuhnya saat ini. Dia tidak menduganya sama sekali, jika calon bayinya itu sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Lalu, kenapa Sean diam saja dan tidak menjelaskan apa-apa kepadanya?“Dokter Sean? Kenapa Anda tidak memberitahu saya?” Emery tampak kecewa sekali.“Aku minta maaf, Emery. Aku sempat mau mengatakannya, tapi kamu sudah mau pergi. Aku juga tidak bisa mencegahmu tadi. Jadi, maafkan aku, ya,” sesal Sean.“Emery, sekarang kamu harus istirahat di ruang perawatan. Kami terpaksa harus segera mengoperasimu. Janin kamu sudah meninggal,” jelas Sesilia.Emery terisak mendengar penjelasan dari Sesilia. Sembari memegangi perutnya, dia masih menangis ketika beberapa perawat membawanya ke ruang perawatan.“Mer!” panggil Sienna. Dia sempat melihat Emery dibawa ke ruang perawatan. Dia panik sekali dan ingin tahu keadaan sahabatnya itu.“Dokter Sean, apa yang terjadi? Kenapa dia kelihatan frustrasi seperti itu?” Sienna mencari tahu.“Dia baru saja kehilangan
Emery mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Dia tidak mengerti maksud ucapan Sean barusan.“Melupakan Ruben?” racau Emery dengan suara pelan. Dia mengulang perkataan Sean dan berusaha mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut pria itu tadi.“Itu benar. Lupakan saja dia! Kamu juga berhak bahagia, Emery,” tegas Sean. Dia juga memberikan saran untuk Emery.Menurut Sean, masalah Emery kini sudah menemukan titik terang. Setelah Emery keguguran dan tidak jadi menikah dengan Ruben, bukankah itu lebih baik untuk Emery sekarang? Wanita itu bisa lebih fokus lagi pada karirnya di rumah sakit.“Kamu harus kuat dan bangkit lagi, Emery! Karirmu akan bagus di masa depan. Kamu harus mempersiapkannya dari sekarang. Kamu mengerti?” Sean menyemangatinya.Emery hanya tersenyum simpul menanggapinya. Kehilangan calon buah hatinya dalam kandungan itu bukanlah perkara yang mudah. Meski baru menginjak usia tiga bulan setengah, dia merasa pernah menjadi wanita paling bahagia yang bisa merasakan detak jantun
“Aku akan membantumu. Kamu tinggal katakan saja, apa maumu? Aku akan berusaha mewujudkannya semampuku,” tawar Sean. Dia mengatakannya dengan begitu meyakinkan.“Saya ingin membalas semua perbuatannya pada saya,” kata Emery. Dahi Sean mengerut.“Caranya?”“Saya akan membuat dia jatuh cinta lagi pada saya. Setelah itu, saya akan mencampakkannya. Seperti yang dia lakukan pada saya kemarin,” jelas Emery.“Balas dendam? Apa kamu yakin bisa melakukannya?” Sean meragukan.Emery mengangguk mantap. “Saya sudah yakin seratus persen, Dokter Sean.”“Baiklah! Jika itu maumu. Aku akan membantumu sebisaku,” kata Sean menyetujuinya. “Tapi ….”“Tapi apa?” Emery memotong pembicaraan.“Tapi, kamu mau, kan, jadi pacarku?” desak Sean.“A-apa? Pacar?” Emery membelalak kaget.“Iya. Kenapa kamu sekaget itu? Padahal, tadi aku sudah mengatakannya sama kamu, kan?”“Saya ... belum siap menerima Anda, Dokter Sean. Beri saya waktu.”“Oke. Kuberi waktu sampai besok.”Emery menggeleng. “Jangan besok!”“Lusa? Minggu
Emery bergegas pergi menemui seorang ibu yang akan melahirkan. Setelah diberitahu oleh suami dari ibu itu. Perjalanan menuju rumahnya cukup jauh. Dia harus berjalan kurang lebih lima ratus meter. Desanya tidak bisa diakses menggunakan kendaraan bermotor. Ya Tuhan!Emery tidak patah semangat. Dia harus segera menyelamatkan nyawa ibu dan anak itu, pikirnya. Dia tidak memikirkan hal lain. Dia juga tidak mengeluh. Nyawa pasiennya lebih penting dari apa pun saat ini.Beruntung, Emery pergi tidak sendiri ke sana. Dia dibantu perawat dan tentara yang bernama Bonar menemaninya menuju lokasi. Bapak itu nyaris putus asa selama dalam perjalanan. Dia begitu khawatir dengan kondisi istrinya yang kini berada di rumah seorang diri. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada istrinya itu?“Dokter, cepatlah! Saya mohon,” pinta bapak itu sembari memelas di depan Emery.“Saya sudah berusaha berjalan cepat, Pak,” kata Emery.Emery tidak mengira perjalanan akan seterjal ini. Mendaki gunung, melewati bukit dan je
Sean uring-uringan sendiri karena tidak berhasil menghubungi Emery. Dia putus asa, belum mendapatkan kabar dari Emery. Segala macam cara sudah dicobanya. Tetap saja, hasilnya nihil.“Emery, cepat jawab teleponnya! Aku mohon,” Sean cemas sekali.Entah sudah keberapa kalinya Sean melakukan panggilan telepon ke tempat kerja Emery yang baru. Baik Emery maupun markas besar tempat menampung relawan, tidak ada yang menjawab teleponnya. Apa mungkin karena ada kendala sinyal di sana? Pikirnya kemudian.“Ah, mana mungkin Emery mengalami kendala jaringan internet di sana. Dia nggak blusukan ke hutan-hutan dan desa di pelosok, kan?” Sean menerka-nerka.Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin saja hujan deras di sana mengakibatkan sinyal jadi terganggu. Sulit sekali bagi Sean untuk positif thinking. Ada saja alasan untuk berburuk sangka di saat-saat seperti ini.“Kenapa tidak ada kabar darinya?” Sean pasrah saja. Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur sembari memandangi layar ponselnya.Semalaman Sea
Emery tak sengaja menyemburkan kopi ke wajah Bonar. Dia kaget mendengar Bonar menyatakan cinta kepadanya.“Astaga! Maafkan saya,” sesal Emery. Dia buru-buru mengambil sesuatu di sekitarnya untuk mengelap wajah Bonar yang terkena semburan air kopi yang berasal dari mulutnya.“Ya ampun, kenapa bisa jadi begini? Sekali lagi, maafkan saya, Bang Bonar.” Emery merasa bersalah sekali. Dia benar-benar tidak sengaja melakukannya tadi.“Tidak apa-apa, Dokter Emery. Saya yang salah, kok,” ucap Bonar sembari membersihkan wajahnya menggunakan kain kasa.Emery tersenyum agak dipaksakan. Jujur saja, dia jadi merasa tidak enak hati pada Bonar.“Ini bau apa, ya?” Bonar mengendus-endus kain kasa tersebut.Astaga! Emery baru sadar kalau kain kasa bekas itu tadi habis membersihkan luka pasien. Sekarang, kain bekas itu malah digunakan untuk membersihkan wajah Bonar. Sekali lagi, Emery harus mengakui kesalahannya pada Bonar.“Sebaiknya, Anda segera mencuci wajah Anda sekarang juga,” perintah Emery.“Kenapa
“Maafkan aku,” sesal Sean. Dia tak sengaja mencium bibir Sienna.Sean sibuk menjelaskan bahwa insiden ciuman itu benar-benar di luar kendalinya. Tidak seharusnya dia melakukan hal itu pada Sienna. Tapi, keadaan memaksanya.Ketika Sean hendak membenarkan posisi sabuk pengaman, tiba-tiba tangannya tergelincir saking tidak fokus memerhatikan bibir Sienna yang ranum. Dia ingin menahan tubuhnya, namun sudah tidak bisa. Refleks, bibirnya malah menyentuh bibir Sienna.“Tidak perlu meminta maaf padaku.” Sienna agak kecewa mengetahuinya. Dia kira, Sean benar-benar ingin menciumnya. Ternyata tidak.“Aku tidak ingin kamu salah sangka padaku,” sangkal Sean.“Tidak. Aku tidak berkata begitu kok,” bantah Sienna.Keduanya kini dalam posisi canggung. Masing-masing menahan malu dan tidak tahu harus berkata apalagi. Sean lekas duduk di joknya. Lalu, dia melajukan mobilnya menuju rumah Sienna. Sementara itu, jari
“Mau ke mana?” tanya Sienna.“Pokoknya ikut aku dulu aja!” balas Sean agak memaksa.Mau tidak mau Sienna pun akhirnya menuruti perintah Sean. Dia mengikuti Sean, saat dokter spesialis anak itu menarik lengannya dan membawanya pergi menjauhi Emery.“Sean, hentikan!” kata Sienna. “Kamu menarik tanganku dan itu sakit sekali.”“Oh, maafkan aku,” sesal Sean. “Aku tidak sengaja.”“Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu menyeretku pergi?” protes Sienna.“Aku ingin bicara.”“Ya udah, ngomong aja. Apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Aku buru-buru harus memeriksa pasien di bangsal VIP,” kata Sienna beralasan.“Apa Ruben menghubungimu?” Sean mencari tahu. Sienna menggeleng.“Tidak. Kenapa memangnya?” Sienna heran. “Dokter Ruben tidak pernah menghubungiku lagi sejak mereka bercerai.”&ld
“Iya, aku tahu itu. Kamu nggak usah ngegas gitu, Ruben,” balas Sean. “Tidak diberitahu pun aku sudah tahu.”“Aku hanya mengingatkanmu aja, Sean. Barangkali kamu sudah lupa. Kalau Emery hanya milikku seorang,” kata Ruben dengan bangga.“Cuih! Seenaknya saja ngaku-ngaku dia milikmu. Jika dia milikmu lantas kenapa kamu melepasnya pergi. Bodoh!” ejek Sean.“Aku tidak melepasnya. Dianya aja yang banyak pertimbangan,” Ruben membela diri.“Terang aja dia banyak pertimbangan. Sikapmu aja kayak bunglon, sering berubah-ubah nggak karuan.”“Sudah hentikan! Aku nggak mau kita bertengkar.”“Lalu, kamu menelponku hanya untuk menanyakan hal ini aja?”“Sean, aku mohon sama kamu. Bantu aku untuk mengawasinya. Cuma kamu satu-satunya keluargaku yang bisa kuandalkan di sana. Kamu mau, kan, membantuku?” pinta Ruben dengan nada memelas.&ldquo
“Sean?” Emery membuka kaca mobil dan berbincang sebentar dengan Sean.“Apa kamu sedang terburu-buru? Aku ingin mentraktirmu minum kopi. Gimana?” tawar Sean.“Aku minta maaf, Sean. Aku harus segera menjemput Ben di daycare. Lain kali saja, oke?” tolak Emery dengan ramah.“Oh, oke. Tidak apa-apa. Hati-hati saat berkendara!” Sean menasihati. Emery mengangguk mantap.Tak lama setelah berpamitan dengan Sean, Emery melajukan mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit.***“Kamu yakin tidak ingin ikut denganku?” Ruben memastikannya kembali. Siapa tahu Emery berubah pikiran di saat-saat terakhir mereka berpisah di bandara.“Aku akan menunggumu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa menungguku?” Ruben takut sekali. “Kamu tidak akan berpaling dan jalan sama pria lain, kan?”“Pria lain, siapa maksudmu?” Emery tersinggung dengan ucapan
Emery mulai menyadari perhatian dari kedua pria tersebut, yang masing-masing menunjukkan rasa cinta dengan cara yang berbeda. Ruben adalah sosok romantis yang penuh tekad. Meski terkadang, dia sangat menyebalkan dengan sikap plin-plannya yang seperti bunglon, sering berubah-ubah.Sementara, Adrian adalah pribadi yang tenang dan suportif. Seperti katanya, dia selalu ada setiap kali Emery membutuhkan pertolongan atau teman untuk bercerita. Kali ini, Emery benar-benar mengalami dilema. Dia berada diposisi sulit karena harus memilih antara dua pilihan. Impian masaa depan bersama Ruben atau kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh Adrian.“Nak, kamu akan memilih yang mana seandainya kamu menjadi Ibu?” tanya Emery saat dia memerhatikan bayi Ben yang sedang menyusui.Bayi Ben hanya tersenyum menanggapi cerita Emery. Seolah-olah balita mungil itu mengerti bahwa yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah ibunya sendiri.“Sekarang, kamu juga membua
“Beri aku waktu!” pinta Emery.“Apa? Waktu?” Ruben membelalak.Emery mengangguk mantap. “Aku masih mempertimbangkannya. Jika aku menikah sekarang, lalu bagaimana dengan Ben Joshua, anak kita?”“Memangnya kenapa dengan dia?” Ruben agak heran. “Bukankah itu bagus untuk perkembangan dia? Dia memiliki keluarga yang lengkap ada orang tua yang akan merawat dia.”“Maksudku, jika Ben dibawa ke luar negeri, aku khawatir dia belum bisa beradaptasi,” kata Emery beralasan.“Dia anak yang pintar. Aku tahu itu. Dia akan lebih cepat beradaptasi di sana. Aku yakin itu,” Ruben berpendapat.Emery kehabisan ide. Bagaimana caranya dia harus menjawab pertanyaan Ruben soal lamaran itu?“Emery ….” Ruben meraih tangan Emery dan coba membujuknya kembali.“Aku ingin melihatmu membuktikan lagi cintamu. Kamu tahu, kan, sejak kamu meragukan kehamilanku hatiku sangat sakit. Saat itu aku berpikir, aku tidak bisa lagi bersama orang yang selalu berprasangka buruk padaku. Apalagi menuduhku yang tidak-tidak,” jelas Eme
“Jangan menggangguku! Aku mau tidur,” balas Emery yang tidak mau berbalik ke arah Ruben.“Sayang, kamu mengabaikan aku?” Ruben protes. Dia tidak terima Emery bersikap tidak peduli lagi kepadanya.“Ayolah!” bujuk Ruben.Emery tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya kelelahan setelah seharian mengurus bayi Ben. Dia butuh banyak istirahat.“Sudah kubilang, jika kamu terus menggangguku, aku terpaksa menendangmu dari kamarku. Kamu mau aku melakukannya?” ancam Emery meski kedua matanya terpejam.Ruben pun akhirnya menyerah. Jika itu yang diinginkan Emery, dia memilih untuk mengalah saja. Dia tidak mau ambil risiko seandainya Emery marah hanya karena masalah sepele seperti itu. Dia turun dari ranjang Emery dan kembali ke sofa bed tempatnya tidur.‘Malam ini kelabu sekali bagiku,’ ujar Ruben dalam hati.***Beberapa bulan kemudian, Emery pergi ke rumah sakit tempat dia bekerja
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m