Sean uring-uringan sendiri karena tidak berhasil menghubungi Emery. Dia putus asa, belum mendapatkan kabar dari Emery. Segala macam cara sudah dicobanya. Tetap saja, hasilnya nihil.“Emery, cepat jawab teleponnya! Aku mohon,” Sean cemas sekali.Entah sudah keberapa kalinya Sean melakukan panggilan telepon ke tempat kerja Emery yang baru. Baik Emery maupun markas besar tempat menampung relawan, tidak ada yang menjawab teleponnya. Apa mungkin karena ada kendala sinyal di sana? Pikirnya kemudian.“Ah, mana mungkin Emery mengalami kendala jaringan internet di sana. Dia nggak blusukan ke hutan-hutan dan desa di pelosok, kan?” Sean menerka-nerka.Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin saja hujan deras di sana mengakibatkan sinyal jadi terganggu. Sulit sekali bagi Sean untuk positif thinking. Ada saja alasan untuk berburuk sangka di saat-saat seperti ini.“Kenapa tidak ada kabar darinya?” Sean pasrah saja. Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur sembari memandangi layar ponselnya.Semalaman Sea
Emery tak sengaja menyemburkan kopi ke wajah Bonar. Dia kaget mendengar Bonar menyatakan cinta kepadanya.“Astaga! Maafkan saya,” sesal Emery. Dia buru-buru mengambil sesuatu di sekitarnya untuk mengelap wajah Bonar yang terkena semburan air kopi yang berasal dari mulutnya.“Ya ampun, kenapa bisa jadi begini? Sekali lagi, maafkan saya, Bang Bonar.” Emery merasa bersalah sekali. Dia benar-benar tidak sengaja melakukannya tadi.“Tidak apa-apa, Dokter Emery. Saya yang salah, kok,” ucap Bonar sembari membersihkan wajahnya menggunakan kain kasa.Emery tersenyum agak dipaksakan. Jujur saja, dia jadi merasa tidak enak hati pada Bonar.“Ini bau apa, ya?” Bonar mengendus-endus kain kasa tersebut.Astaga! Emery baru sadar kalau kain kasa bekas itu tadi habis membersihkan luka pasien. Sekarang, kain bekas itu malah digunakan untuk membersihkan wajah Bonar. Sekali lagi, Emery harus mengakui kesalahannya pada Bonar.“Sebaiknya, Anda segera mencuci wajah Anda sekarang juga,” perintah Emery.“Kenapa
Emery bergegas pergi bersama Bonar menuju ke lokasi. Sean pun mengikutinya dari belakang, sekalian dia juga ingin tahu tentang keadaan pasien. Tidak hanya itu, Sean berharap Emery bisa mengandalkannya ketika wanita itu membutuhkan bantuannya nanti di sana. Rupanya Sean tidak begitu suka pada pria tentara yang kini jalan berdampingan dengan Emery.“Siapa tentara itu? Kenapa dia akrab banget sama Emery?” gumam Sean saat sedang cemburu. Dia masih mengawasi gerak-gerik mereka di belakang.“Sebelah sini, Dokter Emery. Hati-hati jalannya licin!” kata Bonar seraya memperingatkan Emery.“Ah, iya. Terima kasih, Bang,” ucap Emery.“Cuih! Caper banget sih tuh orang,” cibir Sean sambil menyipitkan mata.Sean makin tidak suka dengan sikap Bonar yang sok cari perhatian di depan Emery. Tak tinggal diam begitu saja, dia pun bergegas mendahului langkah Bonar. Kini, dia berada di garda terdepan bersama Emery.“Maaf, Anda ini siapa ya?” tanya Bonar ingin tahu. Habisnya Sean langsung nyelonong begitu saj
“Ya, aku dengerin kamu, kok. Mana Emery?” tanya Ruben mengalihkan. “Biar aku saja yang ngomong sama dia.”Sean memberikan ponselnya pada Emery. Awalnya, Emery segan melakukan panggilan video dengan dokter Ruben. Namun, tidak ada pilihan lain. Nyawa pasien dan bayinya harus segera diselamatkan. Mau tidak mau, dia pun mengesampingkan semua rasa gengsinya dan berkomunikasi lagi dengan Ruben setelah sekian lama.“Bicaralah Dokter Ruben! Saya akan mendengarkan Anda,” kata Emery. Dia tidak berani menatap wajah Ruben meski lewat layar ponsel.Ibu hamil itu menjerit histeris karena mengalami kontraksi hebat. “TOLONG SAYA DOKTER!” teriaknya.Mendengar jeritan histeris itu, Ruben pun segera mengambil tindakan. Dia mengarahkan Emery untuk mendengarkannya dengan seksama. Emery harus fokus ketika dia sedang menjelaskan langkah-langkah persalinan darurat.“Sepertinya bayinya sungsang,” kata Emery memberitahu.“Apa? Sungsang? Kamu sudah memeriksanya dengan benar?” Ruben memastikan.“Sudah pembukaan
“Dokter Sean!” panggil Emery. “Anda sudah mau pergi?” tanyanya ketika dia menemui Sean di tenda darurat sebelah.Sean mengangguk. “Iya. Masa cutiku sudah berakhir. Jadi, aku harus segera kembali ke rumah sakit.”“Ah, begitu rupanya.” Emery mengerti.Sean berjalan ke arah Emery. Dia berdiri tepat di hadapan wanita yang sangat dicintainya itu. Lalu, refleks tangannya mengusap kepala Emery dengan manja dan penuh perhatian.“Kamu … jaga diri baik-baik di sini. Selama aku nggak ada, kamu nggak boleh nakal dan kamu hanya boleh fokus pada pasien-pasienmu aja. Kamu mengerti?” Sean menasihatinya.Emery manggut-manggut sambil menampilkan senyum di depan Sean. Pria itu tertegun cukup lama memandangi wajah Emery. Astaga!“Ada apa?” Emery heran. “Apa ada sesuatu di wajahku?”“Senyum kamu tuh manis banget tahu nggak sih. Kamu bikin aku jadi malas pulang,” gurau Sean. Dia menggoda Emery.“Ish, gombal banget,” balas Emery. Dia memalingkan muka sambil senyum-senyum sendiri.Sean meraih tangan Emery. “
Emery senang sekali ketika ayah menjemputnya di bandara. Dia bergegas masuk ke mobil dan tidak lama setelah itu ayah melajukan mobilnya hendak meninggalkan bandara.Sepanjang perjalanan mereka berbincang di dalam mobil. Emery menceritakan pengalaman seru sekaligus menegangkan ketika menolong pasien-pasiennya selama berada di desa terpencil itu. Dia tidak menyadari mobil ayahnya sudah melewati Ruben yang mencari keberadaannya di pintu keluar bandara.Beberapa menit kemudian, Emery sampai di rumah orang tuanya. Terlihat ibu sedang berdiri di depan pintu rumah dan bersiap menyambut kedatangannya."Ibu," sapa Emery. Dia langsung memeluk ibunya, saking tak kuat menahan rasa rindunya."Gimana pekerjaan kamu di sana? Apa kamu makan dan tidur dengan benar?" tanya ibu ingin tahu."Pekerjaan di sana membuatku sangat sibuk, Bu. Setiap hari hampir tidak pernah sepi. Ada banyak sekali pasien yang kuperiksa, terutama ibu hamil yang jarang sekali memeriksakan kandungannya,” jelas Emery yang antusias
“Ruben?” Sean terlonjak kaget melihat kedatangan sepupunya yang menghampiri mejanya. Dia jadi gelagapan di depan Emery.“Dokter Ruben?” ulang Emery. Dia pun ikut-ikutan jadi kikuk dan salah tingkah di hadapan pria yang pernah sangat dicintainya itu.“Hai Emery! Lama tidak bertemu,” sapa Ruben. Dia tersenyum ke arah Emery. “Apa kabar?” tanyanya basa-basi.“Baik. Terima kasih, Dokter Ruben,” jawab Emery agak gugup.Suasana makan malam romantis yang sudah diciptakan Sean sebagai kejutan di hari ulang tahun Emery mendadak kelabu. Dia menggerutu dalam hati, mau ngapain Ruben datang ke restoran itu? Dan dari mana Ruben tahu kalau malam ini, dia sedang berkencan dengan Emery?“Sepertinya kalian sedang merayakan sesuatu malam ini. Boleh kutahu, apa yang kalian rayakan?” tanya Ruben ingin tahu. Dia sok akrab sekali saat berbicara dengan keduanya dengan bahasa cukup formal.“Ah, itu ….” Emery hendak menjawab namun bibirnya tiba-tiba kelu.“Kami sedang berkencan,” kata Sean agak sewot. "Kenapa?
Emery menutup kedua matanya dan mengucapkan doa dalam hati. Ada banyak sekali harapan yang ingin dia wujudkan di hari ulang tahunnya yang ke-28. Setelah itu, dia membuka mata dan meniup lilinnya hingga padam.Lagi-lagi perhatian Ruben teralihkan melihat Emery meniup lilin di atas kue tart. Dia jadi kepikiran, apa hari ini adalah hari ulang tahun Emery?‘Jika benar demikian, haruskah aku memberinya hadiah sebagai permintaan maafku kepadanya?’Setelah merayakan hari ulang tahun, Emery dan Sean sudah bersiap-siap meninggalkan restoran. Acara makan malam edisi spesial ulang tahun sudah selesai.“Kamu tunggu di sini, ya. Aku ambil mobil dulu di parkiran,” kata Sean pada Emery. Dia tidak ingin Emery sampai kelelahan karena berjalan jauh dari restoran menuju ke parkiran.“Baiklah!” sahut Emery. Dia terlihat manis sekali karena menuruti perintah kekasihnya.Setelah Sean pergi mengambil mobilnya, Ruben datang menghampiri Emery. Pria itu berdiri di samping Emery, agak canggung.“Kamu sudah mau