Emery jadi emosi mendengar permintaan dan harapan yang dilontarkan Ruben kepadanya. Pembicaraan di antara mereka mengundang perhatian banyak orang. Terutama pada saat Emery menghardik Ruben dengan nada tinggi.“Apa Anda sudah gila, Dokter Ruben?” cibir Emery. “Harapan?”Ruben mengerjap-ngerjapkan kedua matanya di hadapan Emery. Dia tidak tahu kalau Emery akan bereaksi seperti itu. Emosi juniornya itu sudah meledak-ledak tak tertahankan lagi.“Emery, aku tahu kamu marah padaku. Aku tahu sikapku ke kamu waktu itu membuatmu sakit hati. Tapi, sekarang ….” Ruben coba jelaskan.“Cukup!” Emery memotong pembicaraan. Dia sudah muak dan tidak ingin mendengar penjelasan apa pun dari Ruben. Dia sudah terlanjur kecewa karenanya.“Kita tidak pernah ada hubungan apa-apa. Setelah Anda menyampakkan saya, saat itulah saya tahu kalau saya harus segera mundur dari hubungan yang tidak sehat ini.” Emery marah sekali. Dia buru-buru pergi sambil mendengkus kesal.“Emery!” panggil Ruben. Dia berharap wanita i
“Dia milikku, Ben! Kamu dekatin dia lagi, kamu berhadapan langsung denganku,” kata Sean memperingatkannya. Dia sengaja menggertak Ruben agar sepupunya itu tidak bertindak macam-macam lagi pada Emery.“Wow! Kamu mengancamku?” Ruben tidak takut. Justru, semakin diancam dia malah makin nekad deketin Emery.“RUBEN!” bentak Sean.“Oke! Tenang aja. Aku nggak bakalan deketin dia lagi. Kecuali takdir berkata lain.”“Apa kamu bilang?” Sean naik pitam.“Sabar. Sabar, Sean!” Ruben menenangkan Sean yang terbakar api cemburu.Sean harus mewaspadai sikap Ruben. Dia takut sekali jika Emery jatuh lagi ke pelukannya. Apalagi Emery sudah berniat ingin membalaskan dendamnya pada Ruben.“Semoga hubungan kalian lancar-lancar aja. Hati-hati, ada banyak sekali pria yang berada di sekitarnya di sana,” harap Ruben sembari memperingatkan Sean.“Apa maksudmu, Ben?” Sean berusaha mencerna maksud ucapan Ruben.“Zaman sekarang hubungan jarak jauh itu gambling, Sean. Kamu di sini ngingetin dia makan, dia di sana di
Emery diberitahu kalau tenda khusus sebagai ruang pemeriksaan dokter Ruben berada di samping tendanya. Dia juga sempat terkejut setelah mengetahuinya. Namun, apa daya. Emery tidak bisa memprotesnya pada kepala desa. Itu sudah menjadi kebijakan kepala desa.‘Sial! Kenapa dia harus berada di dekatku?’ gerutu Emery.“Dokter Emery!” panggil kepala desa. “Bisakah Anda membantu dokter Ruben ke tendanya? Kalian juga bisa bekerja sama di sana untuk sementara,” pinta beliau.Emery mengangguk perlahan. Dia tidak bisa menolak permintaan kepala desa. Jadi, terpaksa dia memenuhi permintaannya. Sekilas dia melirik ke arah Ruben, pria itu sedang tersenyum ke arahnya.Emery malas sekali membalas senyum Ruben yang terlihat palsu, menurutnya. Dia lebih suka membuang muka dan menyuruh Ruben untuk cepat mengikuti langkahnya. Dia tidak punya waktu untuk bercanda. Apalagi menunda-nunda pekerjaannya. Pasiennya juga sudah lama menunggunya.“Silakan Anda istirahat dulu saja di tenda itu! Saya akan kembali mem
Pagi-pagi sekali, Ruben menghubungi Emery. Sekitar pukul 5.20 pagi. Emery baru saja keluar dari kamar mandi dan dia melihat notifikasi di layar teleponnya. Raut wajahnya langsung berubah, dan dia mengernyitkan dahi.“Ruben? Ngapain dia nelepon sepagi ini?” Emery heran.Emery tidak ingin berburuk sangka pada Ruben. Mungkin ada pasien gawat darurat yang harus segera mereka tangani lagi bersama-sama di balai desa. Lantas, dia menelepon balik Ruben. Tidak lama kemudian, sudah ada jawaban dari seberang sana.“Emery!” panggil Ruben yang antusias sekali mendapat telepon dari Emery.“Tadi … Anda menelepon saya. Ada apa?” tanya Emery mencari tahu.“Begini … aku belum terbiasa mandi di kamar mandi umum di sini. Bolehkah aku ke rumahmu dan menumpang mandi di sana?” keluh Ruben sekaligus meminta izin pada Emery.Astaga! Ruben merepotkan sekali. Emery terdiam sejenak sebelum dia memutuskan.“Emery?!” panggil Ruben sekali lagi. Dia menunggu kepastian dari Emery. “Gimana? Apa aku boleh ke rumahmu se
‘Sialan!’ Ruben malu sekali.Pertama kalinya Ruben berkunjung ke rumah Emery malah bikin onar dan dia mempermalukan dirinya sendiri di depan Emery dan Bonar. Dia jera. Dia tidak ingin kejadian memalukan itu terulang kembali.“Dokter Ruben, Anda baik-baik saja?” tanya Emery memastikan. Ruben tidak bisa menjawabnya karena dia sedang menahan sakit di area terlarangnya.Emery mendengar Ruben ambruk. Namun, sampai sekarang, dia belum berani melihat keadaan Ruben yang sedang telanjang bulat akibat handuknya lepas dari tubuhnya.Bonar segera mengambil handuk tersebut dan menutupi bagian sensitif Ruben. Setelah itu, dia membantu Ruben berdiri.“Anda harus segera berpakaian, Dokter. Setelah itu, kita sarapan bersama-sama,” kata Bonar sambil menahan tawa.Bonar merasa tawanya ingin segera meledak. Dia tidak kuat lagi menahan tawa melihat kebodohan Ruben yang terpeleset dan jatuh di lantai akibat kecerobohannya sendiri.“Diam! Jangan menertawakanku! Apa aku kelihatan bodoh saat ini di mata kalia
“Maaf, aku harus pergi,” sesal Emery. Dia terpaksa menghindari Ruben. Karena dia ingin menjaga perasaan Sean, kekasihnya yang jauh darinya.“Emery!” panggil Ruben seraya meraih tangannya. Dia berhasil mencegah Emery pergi.Emery menoleh dengan tatapan sendu. Lalu, dengan rasa percaya diri yang tinggi dan keyakinannya, bahwa Emery masih menyimpan perasaan padanya, Ruben menarik lengan wanita itu dan membawanya dalam pelukannya yang hangat.Emery tidak berkutik. Sekali lagi dia terkejut dengan cara Ruben membangkitkan rasa cinta yang sudah lama dia kubur dalam-dalam. Ruben mendekatkan tubuh Emery hingga menempel dengan tubuhnya. Pria itu makin berhasrat pada Emery. Sehingga dia berani mencium bibir Emery, melumatnya dengan rakus.Jantung Emery berdebar-debar, kencang sekali. Ruben tidak akan membiarkannya pergi. Dia mengunci bibir Emery sampai kesulitan bernapas. Sekuat tenaga Emery melepas ciuman itu. Namun, Ruben semakin kuat menahannya. Tangan kirinya menekan pinggang Emery sementara
“Gimana menurutmu, Emery?” tanya Ruben sembari menggodanya. Dia menunggu jawaban dari Emery.“Tidak bisa,” tolak Emery dengan tegas.Raut wajah Ruben langsung berubah seketika. Dia tidak menyangka kalau Emery berani menolak permintaan seniornya.“Kenapa?” Ruben bingung. “Bukankah itu lebih baik jika aku tinggal bersamamu di sini? Lagipula, rumahmu ini cukup luas dan kita bisa berbagi kamar. Kulihat ada kamar kosong di sebelah kamarmu itu.”“Tidak!” Sekali lagi Emery menegaskan. “Anda tidak bisa tinggal di sini bersama saya.”“Aku akan membayar uang sewanya. Anggap saja aku mengontrak di sini. Aku ngerasa di sini sangat nyaman dibandingkan dengan tenda relawan di balai desa,” Ruben beralasan.“Jika Anda ingin tinggal dengan nyaman, carilah hotel atau apartemen saja,” saran Emery.“Tapi, aku ingin dekat denganmu. Kamu juga bisa menyiapkan sarapan untukku setiap pagi dan kita bisa makan malam bersama. Gimana?”“Pergi!” usir Emery sebelum dia mempersilakan Ruben masuk ke rumahnya. “Anda b
Ruben mengejar Emery yang sudah melangkah lebih dulu meninggalkan rumahnya. “Emery, tunggu aku!” panggilnya.Langkah Emery tiba-tiba terhenti. Dia melihat sekitarnya, terutama di halaman depan rumahnya. Dia mengerutkan keningnya hingga berlipat-lipat.“Dia ke sini naik kendaraan apa?” Emery heran karena dia tidak melihat ada mobil Jeep tentara yang biasa digunakan oleh Bonar, yang menepi di depan rumahnya.Emery masih celingak-celinguk mencarinya. Benar-benar tidak ada mobil Jeep itu. Lalu, dia mengarahkan pandangannya ke sebuah benda usang. Dia melihat motor butut yang terparkir di pinggir halaman rumahnya.“Dokter Ruben!” panggil Emery. Ruben segera menghampirinya.“Ya?” sahut Ruben antusias sekali mendengar panggilan dari Emery.“Anda datang ke sini … memakai itu?” tunjuk Emery pada motor butut itu.Ruben mengangguk sambil cengar-cengir di hadapan Emery. “Iya. Aku ke sini pakai motor itu.”“Astaga!” Emery menepuk jidatnya agak kencang.“Ada apa? Kamu nggak mau naik motor itu dengan
“Sean?” Emery membuka kaca mobil dan berbincang sebentar dengan Sean.“Apa kamu sedang terburu-buru? Aku ingin mentraktirmu minum kopi. Gimana?” tawar Sean.“Aku minta maaf, Sean. Aku harus segera menjemput Ben di daycare. Lain kali saja, oke?” tolak Emery dengan ramah.“Oh, oke. Tidak apa-apa. Hati-hati saat berkendara!” Sean menasihati. Emery mengangguk mantap.Tak lama setelah berpamitan dengan Sean, Emery melajukan mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit.***“Kamu yakin tidak ingin ikut denganku?” Ruben memastikannya kembali. Siapa tahu Emery berubah pikiran di saat-saat terakhir mereka berpisah di bandara.“Aku akan menunggumu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa menungguku?” Ruben takut sekali. “Kamu tidak akan berpaling dan jalan sama pria lain, kan?”“Pria lain, siapa maksudmu?” Emery tersinggung dengan ucapan
Emery mulai menyadari perhatian dari kedua pria tersebut, yang masing-masing menunjukkan rasa cinta dengan cara yang berbeda. Ruben adalah sosok romantis yang penuh tekad. Meski terkadang, dia sangat menyebalkan dengan sikap plin-plannya yang seperti bunglon, sering berubah-ubah.Sementara, Adrian adalah pribadi yang tenang dan suportif. Seperti katanya, dia selalu ada setiap kali Emery membutuhkan pertolongan atau teman untuk bercerita. Kali ini, Emery benar-benar mengalami dilema. Dia berada diposisi sulit karena harus memilih antara dua pilihan. Impian masaa depan bersama Ruben atau kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh Adrian.“Nak, kamu akan memilih yang mana seandainya kamu menjadi Ibu?” tanya Emery saat dia memerhatikan bayi Ben yang sedang menyusui.Bayi Ben hanya tersenyum menanggapi cerita Emery. Seolah-olah balita mungil itu mengerti bahwa yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah ibunya sendiri.“Sekarang, kamu juga membua
“Beri aku waktu!” pinta Emery.“Apa? Waktu?” Ruben membelalak.Emery mengangguk mantap. “Aku masih mempertimbangkannya. Jika aku menikah sekarang, lalu bagaimana dengan Ben Joshua, anak kita?”“Memangnya kenapa dengan dia?” Ruben agak heran. “Bukankah itu bagus untuk perkembangan dia? Dia memiliki keluarga yang lengkap ada orang tua yang akan merawat dia.”“Maksudku, jika Ben dibawa ke luar negeri, aku khawatir dia belum bisa beradaptasi,” kata Emery beralasan.“Dia anak yang pintar. Aku tahu itu. Dia akan lebih cepat beradaptasi di sana. Aku yakin itu,” Ruben berpendapat.Emery kehabisan ide. Bagaimana caranya dia harus menjawab pertanyaan Ruben soal lamaran itu?“Emery ….” Ruben meraih tangan Emery dan coba membujuknya kembali.“Aku ingin melihatmu membuktikan lagi cintamu. Kamu tahu, kan, sejak kamu meragukan kehamilanku hatiku sangat sakit. Saat itu aku berpikir, aku tidak bisa lagi bersama orang yang selalu berprasangka buruk padaku. Apalagi menuduhku yang tidak-tidak,” jelas Eme
“Jangan menggangguku! Aku mau tidur,” balas Emery yang tidak mau berbalik ke arah Ruben.“Sayang, kamu mengabaikan aku?” Ruben protes. Dia tidak terima Emery bersikap tidak peduli lagi kepadanya.“Ayolah!” bujuk Ruben.Emery tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya kelelahan setelah seharian mengurus bayi Ben. Dia butuh banyak istirahat.“Sudah kubilang, jika kamu terus menggangguku, aku terpaksa menendangmu dari kamarku. Kamu mau aku melakukannya?” ancam Emery meski kedua matanya terpejam.Ruben pun akhirnya menyerah. Jika itu yang diinginkan Emery, dia memilih untuk mengalah saja. Dia tidak mau ambil risiko seandainya Emery marah hanya karena masalah sepele seperti itu. Dia turun dari ranjang Emery dan kembali ke sofa bed tempatnya tidur.‘Malam ini kelabu sekali bagiku,’ ujar Ruben dalam hati.***Beberapa bulan kemudian, Emery pergi ke rumah sakit tempat dia bekerja
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m
“Aku … tadi sedang menyusui putraku. Jadi, aku tidak memegang ponsel,” kata Emery beralasan.“Tapi, setidaknya kamu bisa memberitahuku terlebih dahulu, kan? Jangan membuatku cemas!” Emosi Ruben meledak-ledak saking khawatir dengan keadaan Emery.“Sejak kapan kamu peduli padaku?” sindir Emery.“Aku selalu peduli sama kamu, kamunya saja yang tidak peka terhadap perasaanku,” ketus Ruben seraya memalingkan wajah. Sesekali dia melirik Emery karena mantan istrinya itu tidak memberi respon apa pun.“Masuklah! Udara di luar sangat dingin,” kata Emery mempersilakan Ruben masuk. “Lagian hujan-hujan begini dan sudah larut malam malah datang bertamu, memangnya nggak bisa besok pagi saja?” gerutunya sambil menutup pintu setelah Ruben masuk ke ruang tamu.Tiba-tiba, kedua tangan Ruben melingkar di pinggang Emery. Pria itu memeluk Emery dari belakang dengan sangat erat.“A
Keesokan paginya, Ruben terbangun dari tidurnya. Ketika dokter akan kembali memeriksa bayi Ben Joshua. Ajaibnya, demam Ben Joshua langsung menurun drastis. Emery makin terharu dengan apa yang telah dilakukan Ruben pada Ben Joshua.“Demamnya sudah turun. Terima kasih banyak, Dokter Ruben. Anda sudah melakukannya dengan baik. Hanya seorang ayahlah yang mampu melakukannya,” puji dokter itu dengan bangga.“Terima kasih. Anda juga sudah melakukan yang terbaik untuk putra saya,” balas Ruben. Secara tidak langsung dia mengakuinya di hadapan semua orang. Termasuk Emery.“Hari ini bayi Ben Joshua boleh pulang. Tapi, perhatikan perkembangannya lagi. Jangan sampai dia demam kembali,” saran dokter.Emery dan Ruben mengangguk bersamaan. Mereka terlihat kompak sekali saat ini. Setelah itu, dokter pergi meninggalkan ruang inap Ben Joshua. Bayi tampan itu masih tertidur pulas saat Emery memindahkannya ke ranjang pasien.Sementara itu, Ruben mengambil kemejanya. Lalu, dia memakainya kembali sambil mem
Emery masih menggendong bayi Ben Joshua ketika Ruben menghampirinya di kamar. Dia memeluknya sangat erat. Seolah-olah dia sedang mempertahankan Ben Joshua dari Ruben.“Aku ingin melihatnya,” pinta Ruben.Emery mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. “Apa kamu yakin?”“Tentu. Sean bilang, dia mirip sekali denganku. Jadi, aku ingin memastikannya lagi,” kata Ruben dengan sungguh-sungguh.“Lupakan saja! Kamu masih meragukannya kalau begitu.” Emery nampak kesal sekali. Karena Ruben masih tidak percaya kalau Ben Joshua adalah putranya.“Aku akan memberikan Ben Joshua kalau kamu sudah merasa yakin bahwa dia adalah putramu. Jika hatimu masih setengah-setengah, sebaiknya kamu pergi saja. Tidak ada gunanya kamu berada di sini,” ketus Emery. Dia terlanjur kecewa dengan sikap Ruben.“Kenapa kamu seperti itu padaku, Emery?” Ruben heran.“Kamu yang memulainya, Ruben. Aku tida