“Maaf, aku harus pergi,” sesal Emery. Dia terpaksa menghindari Ruben. Karena dia ingin menjaga perasaan Sean, kekasihnya yang jauh darinya.“Emery!” panggil Ruben seraya meraih tangannya. Dia berhasil mencegah Emery pergi.Emery menoleh dengan tatapan sendu. Lalu, dengan rasa percaya diri yang tinggi dan keyakinannya, bahwa Emery masih menyimpan perasaan padanya, Ruben menarik lengan wanita itu dan membawanya dalam pelukannya yang hangat.Emery tidak berkutik. Sekali lagi dia terkejut dengan cara Ruben membangkitkan rasa cinta yang sudah lama dia kubur dalam-dalam. Ruben mendekatkan tubuh Emery hingga menempel dengan tubuhnya. Pria itu makin berhasrat pada Emery. Sehingga dia berani mencium bibir Emery, melumatnya dengan rakus.Jantung Emery berdebar-debar, kencang sekali. Ruben tidak akan membiarkannya pergi. Dia mengunci bibir Emery sampai kesulitan bernapas. Sekuat tenaga Emery melepas ciuman itu. Namun, Ruben semakin kuat menahannya. Tangan kirinya menekan pinggang Emery sementara
“Gimana menurutmu, Emery?” tanya Ruben sembari menggodanya. Dia menunggu jawaban dari Emery.“Tidak bisa,” tolak Emery dengan tegas.Raut wajah Ruben langsung berubah seketika. Dia tidak menyangka kalau Emery berani menolak permintaan seniornya.“Kenapa?” Ruben bingung. “Bukankah itu lebih baik jika aku tinggal bersamamu di sini? Lagipula, rumahmu ini cukup luas dan kita bisa berbagi kamar. Kulihat ada kamar kosong di sebelah kamarmu itu.”“Tidak!” Sekali lagi Emery menegaskan. “Anda tidak bisa tinggal di sini bersama saya.”“Aku akan membayar uang sewanya. Anggap saja aku mengontrak di sini. Aku ngerasa di sini sangat nyaman dibandingkan dengan tenda relawan di balai desa,” Ruben beralasan.“Jika Anda ingin tinggal dengan nyaman, carilah hotel atau apartemen saja,” saran Emery.“Tapi, aku ingin dekat denganmu. Kamu juga bisa menyiapkan sarapan untukku setiap pagi dan kita bisa makan malam bersama. Gimana?”“Pergi!” usir Emery sebelum dia mempersilakan Ruben masuk ke rumahnya. “Anda b
Ruben mengejar Emery yang sudah melangkah lebih dulu meninggalkan rumahnya. “Emery, tunggu aku!” panggilnya.Langkah Emery tiba-tiba terhenti. Dia melihat sekitarnya, terutama di halaman depan rumahnya. Dia mengerutkan keningnya hingga berlipat-lipat.“Dia ke sini naik kendaraan apa?” Emery heran karena dia tidak melihat ada mobil Jeep tentara yang biasa digunakan oleh Bonar, yang menepi di depan rumahnya.Emery masih celingak-celinguk mencarinya. Benar-benar tidak ada mobil Jeep itu. Lalu, dia mengarahkan pandangannya ke sebuah benda usang. Dia melihat motor butut yang terparkir di pinggir halaman rumahnya.“Dokter Ruben!” panggil Emery. Ruben segera menghampirinya.“Ya?” sahut Ruben antusias sekali mendengar panggilan dari Emery.“Anda datang ke sini … memakai itu?” tunjuk Emery pada motor butut itu.Ruben mengangguk sambil cengar-cengir di hadapan Emery. “Iya. Aku ke sini pakai motor itu.”“Astaga!” Emery menepuk jidatnya agak kencang.“Ada apa? Kamu nggak mau naik motor itu dengan
Pandangan Emery dan Bonar tertuju pada Ruben. Mereka menatap Ruben curiga. Ruben jadi salah tingkah karena modusnya ketahuan mereka berdua.“Sial!” dengkus Ruben kesal.“Dokter Ruben, apa Anda sengaja melakukannya? Ini, kan, trik kuno yang biasa digunakan orang tahu 90-an. Norak banget.” Emery memastikannya. Dia baru menyadarinya.“Trik kuno? Menurutku tidak. Aku memang tidak punya pilihan lain waktu itu. Aku berusaha baik mau menjemputmu dan memanfaatkan fasilitas yang ada. Aku tidak mau merepotkan Bonar yang sibuk di balai desa,” Ruben beralasan. Dia membela dirinya sendiri karena tidak mau dikatain norak.“Sibuk? Tidak juga, kok,” Bonar menimpali. Dia berhasil mematahkan asumsi Ruben.Bonar ketawa sinis mendengar alasan Ruben yang terlalu dibuat-buat. Ruben juga sok tahu sekali, mengira kalau Bonar sibuk dengan urusannya di balai desa. Sepagi itu Bonar belum berkegiatan. Urusan menjemput Emery, itu memang sudah menjadi tugas hariannya. Kekanak-kanakan sekali sikap Ruben, menurut Bo
Ruben tak sengaja memeluk Emery. Sebelum Emery menyadarinya dan menghindar secepatnya, Ruben menarik pinggang wanita cantik itu hingga menempel di tubuhnya. Suara desahan pelan terdengar dari bibir Emery.“Aaahhh ….” Emery berusaha melepaskan diri dari pelukan Ruben.Ruben ingin sekali mencium bibir Emery. Sayang sekali usahanya gagal. Karena Emery keburu lepas dari genggamannya.“Maaf,” ucap Ruben. “Aku tidak sengaja menyentuhmu,” sesalnya.“Aku yang harusnya meminta maaf. Tadi, aku takut sekali ketika tikus itu hampir menggigit kakiku,” Emery beralasan.Emery salah tingkah. Dia kikuk sekali di hadapan Ruben. Dia sampai bingung harus melakukan apa saat ini.“Emery, tolong bawakan goodiebag ini!” Ruben meminta tolong. Dia harus mencairkan suasana yang membingungkan itu sebelum seisi ruangan di sana terasa hening.“Ah, iya. Baiklah!” Emery patuh. Dia pun mengalihkan perhatiannya pada sebuah goodiebag.Setelah itu, keduanya pergi meninggalkan tenda. Sore ini mereka akan pulang bersama k
Pagi-pagi sekali, Emery keluar dari kamarnya dan hendak masuk ke kamar mandi. Dia mau mandi dan bersiap-siap berangkat kerja.Ceklek!Penghuni kamar sebelah juga membuka pintu. Emery dan Ruben saling beradu pandang mengamati penampilan masing-masing. Tak lama kemudian, mereka tersadar.Astaga! Emery kikuk sekali di hadapan Ruben. Begitu pula sebaliknya. Lalu, siapa yang duluan masuk ke kamar mandi?“Emery, aku ingin kamu mengalah. Aku dulu yang masuk ke kamar mandinya, ya?” mohon Ruben sambil pasang muka meringis.“Hah? Kenapa?” Emery tidak mengerti. Padahal, kan, dia duluan yang membuka pintu kamar mandinya.“Aku ada urusan mendesak. Ini sangat darurat,” Ruben beralasan.“Urusan mendesak? Darurat?” gumam Emery bingung.“Kebelet,” jelas Ruben.“Oh, itu … iya udah. Silakan kalau begitu!” Emery yang baru saja menyadarinya pun mempersilakan Ruben duluan memasuki kamar mandinya.Ruben menerobos masuk ke kamar mandi. Dia sudah tidak tahan lagi. Perutnya sakit, melilit. Dia harus segera bua
“Lepaskan saya!” kata Emery berontak.Ruben melepasnya, sesuai dengan keinginan Emery. Lantas, Emery pun bergegas turun dari mobil. Dia pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan Ruben yang masih senyum-senyum sendiri di dalam mobil.“Dia pasti malu sekali tadi,” pikir Ruben.“Aku yakin, Emery pasti masih menyukaiku,” kata Ruben sembari melihat wajahnya di pantulan kaca spion. Dia terlalu percaya diri sekali malam ini.Sementara itu, Emery makin mempercepat langkah kakinya. Dia canggung sekali.“Apa yang kulakukan tadi di hadapannya? Itu kan, sangat memalukan sekali,” ujar Emery. Wajahnya sudah sangat memerah dan dia tidak ingin berhadap-hadapan lagi dengan Ruben dalam waktu yang cukup lama. Bisa berbahaya sekali untuknya.Ruben baru beberapa hari saja tinggal di rumahnya sudah ada banyak kejadian yang menimpa Emery. Tidak hanya kesal dengan semua tingkah laku Ruben, seniornya itu sudah berhasil mengobrak-abrik isi hati Emery lagi. Yang semula ingin sekali dia kubur dalam-dalam perasaanny
“Hentikan!”Emery tidak sanggup melakukannya lebih jauh lagi. Dia tidak ingin Ruben tahu tentang perasaannya yang sebenarnya. Bahwa dia masih mendamba sentuhan hangat dari pria yang sangat dicintainya itu.“Emery … kamu masih mencintaiku, kan?” terka Ruben. Dia harus memastikannya langsung pada orang yang bersangkutan.Emery segera menjaga jarak dengan Ruben. Dia tidak berani mengangkat wajahnya karena takut ketahuan. Ruben tahu betul kalau dia tidak pandai berbohong. Kedua matanya begitu sayu dan memancarkan kebenaran tentang isi hatinya.“Sudah malam, tidurlah! Besok pagi kita masih harus bekerja,” kata Emery yang buru-buru pergi.Emery mempercepat langkahnya menuju kamarnya. Dia malu sekali atas kejadian yang baru saja dialaminya.“Bodoh!” Emery menyalahkan dirinya sendiri. “Kenapa aku bisa seceroboh itu membalas ciuman Ruben?” sesalnya.Emery bersembunyi dibalik selimutnya. Dia memejamkan mata, pura-pura tidur saja.Sementara di ruangan lain, Ruben tersenyum puas mengingat-ingat k
Emery tiba di rumah ayah mertuanya, profesor Rudiana. Setelah memastikan ayah mertuanya tidur dan bisa beristirahat dengan baik juga nyaman, Emery bisa merasa tenang. Sebelum pulang, Emery dan Sean pergi ke restoran terdekat. Mereka hendak makan malam bersama.“Kenapa kamu memilih restoran ini?” Emery tertegun. Karena Sean mengajaknya makan malam di restoran yang sama, ketika mereka putus waktu itu.“Karena aku ingin mengenang hari terakhir kita bersama. Waktu itu aku marah sekali sama kamu dan melempar kalung itu ke dasar kolam,” kenang Sean.“Apa kamu mencari kalung itu sampai sekarang?” tanya Emery. Sean menoleh.Sean hanya menampilkan senyum sekilas. Kemudian, dia jalan duluan sambil memilih tempat duduk.“Aku masih menyimpannya. Aku hendak memberikannya waktu itu. Tapi, kamu pasti akan menolaknya. Jadi, aku menyimpannya di kamarku, di rumah orang tuaku,” jelas Emery. Dia duduk berhadap-hadapan de
“Sebelum menikah dengan Ruben, Emery adalah tunangan saya,” kata Sean memberitahunya.“Benarkah?” Sienna baru tahu tentang hal itu. “Apa sekarang Anda sudah mencari penggantinya?”“Saya tidak tertarik pada wanita lain,” tegas Sean.“Jangan seperti itu! Anda akan dianggap egois sekali jika tidak memberikan kesempatan pada wanita lain untuk mengisi kekosongan di hati Anda,” kata Sienna menyarankan.“Menurutmu seperti itu?” Sean mengerutkan keningnya.“Ya. Anda tidak akan pernah tahu siapa yang menjadi pendamping hidup Anda, yang menurut Tuhan itu baik untuk Anda.”Sean tak berkutik lagi usai mendengarkan pembicaraan Sienna. Selang beberapa detik kemudian, Sienna turun dari mobil Sean seraya mengucapkan terima kasih karena sudah mengantarnya pulang.“Sampai jumpa lagi besok,” ucap Sienna sambil tersenyum ramah. Namun, Sean hanya membalasnya de
Emery dan Sean jalan bersama di sekitar taman rumah sakit. Emery terdiam cukup lama. Sampai akhirnya mereka menemukan tempat duduk, keduanya duduk-duduk santai di sana.“Bagaimana perasaanmu sekarang?” Sean memulai pembicaraan terlebih dahulu.“Perasaanku?” ulang Emery agak bingung. “Biasa saja. Tidak ada yang istimewa.”“Apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak sedang memikirkan pasienmu tapi tentang Ruben, kan?” tebak Sean.Emery menoleh ke arah Sean yang sok tahu. Lalu, dia menampilkan senyum sekilas. “Kamu sudah tahu aku memikirkannya. Lalu, kenapa kamu menanyakannya lagi?”“Aku hanya ingin memastikan saja. Sepertinya kamu cinta banget sama sepupuku itu.”Emery tersenyum lagi. Sean balas tersenyum menanggapinya. Setidaknya dia senang karena sudah bisa menghibur hati Emery yang sedang bersedih.Sean merogoh saku jas dokternya. Sepertinya dia menyimpan sesuatu di sana
“Apa?” Tuan Milano mengerutkan kening mendengar permohonan Emery.“Saya tidak ingin Anda mengirimnya ke negara perang itu. Bisakah Anda menggantinya dengan hukuman lain?” Emery bernegosiasi.“Maaf, Dokter Emery. Saya tidak bisa melakukannya. Kami sudah menandatangani dan menyepakatinya. Hari ini saya akan menyerahkan surat perjanjian itu ke markas besar tentara perdamaian negara.”“Tuan Milano, tolonglah! Saya mohon pada Anda,” rengek Emery. “Anda tidak bisa membiarkan seorang direktur utama di rumah sakit Anda pergi begitu saja menjadi dokter relawan di negara perang itu.”“Dengarkan saya, Dokter Emery! Saya tidak pernah memaksa dokter Ruben untuk pergi ke sana. Dia sendiri yang dengan sukarela menawarkan dirinya untuk pergi ke sana. Bahkan, dia menggantikan posisi hukumanmu.”“Mohon pertimbangkanlah lagi, Tuan!” Emery masih pasang wajah memelas di depan Tuan Milan
“Aku akan pergi sekarang,” kata Emery hendak meninggalkan ruangan Ruben.“Nanti kita bicara lagi di rumah, Sayang,” balas Ruben.Sienna agak tidak senang dengan pembicaraan mereka. Ruben dan Emery kini sudah berani memamerkan kemesraannya di hadapan rekan-rekan kerjanya yang lain. Ruben mungkin merasa sudah tidak menjadi masalah lagi. Namun, bagi Sienna tetap saja jadi risih melihatnya.“Saya akan meletakkan dokumen yang Anda butuhkan di meja. Permisi,” kata Sienna yang bergegas pergi meninggalkan ruang kerja Ruben.“Terima kasih,” ucap Ruben.Sienna menyusul Emery. Kebetulan sekali, Emery belum terlalu jauh melangkah. Sehingga dia bisa mengikutinya dari belakang Emery.Emery berhenti di sebuah mesin soft drink. Dia mencari koin di saku jas dokternya. Sayang sekali, dia tidak membawa uang koin. Lantas, Sienna yang memasukkan koin tersebut dan memberikan soft drink itu pada Emery.“
Ruben mengikuti Tuan Milano di belakangnya. Pagi ini, Tuan Milano ingin bicara serius dengan Ruben, terkait masalah pernikahannya dengan Emery. Ruben sudah siap menerima dan menanggung segala risikonya.Jika Emery dulu pernah rela berkorban untuknya, apa salahnya Ruben melakukan hal yang sama saat ini untuk istrinya. Agar impas.“Dokter Ruben!” panggil Tuan Milano.“Iya, Tuan,” sahut Ruben dengan tegas.“Kamu tahu, kan, alasan kenapa saya memanggilmu ke sini?”“Saya tahu, Tuan.”“Bagus. Jadi, saya tidak akan menjelaskannya lagi jika kamu sudah tahu maksud arah pembicaraan kita kali ini.”Tuan Milano mengungkit kembali kesalahan Ruben dan Emery yang telah melanggar peraturan rumah sakit. Dalam surat perjanjian antara pegawai dengan pihak rumah sakit tidak diperbolehkan berhubungan atau menjalin asmara dengan sesama rekan kantor. Jika hal itu tidak bisa dihindarkan, maka solusi
“Tidak apa-apa, lupakan saja. Ada apa? Sepertinya ada yang ingin kamu bicarakan denganku. Katakan saja!” Profesor Rudiana bangkit dari tidurnya dan duduk perlahan-lahan sambil menyandarkan tubuhnya di belakang tumpukan bantal.Ruben membantu ayahnya supaya duduknya lebih nyaman lagi. Setelah itu, dia duduk di samping tempat tidur sang ayah sambil menarik napas panjang sebelum berbicara serius dengannya.“Ayah, aku ingin minta maaf padamu,” ucap Ruben memulai pembicaraan. Profesor Rudiana menoleh ke arahnya.“Kelihatannya pembicaraanmu serius sekali,” kata profesor Rudiana menimpalinya. “Apa ini soal pernikahanmu dengan wanita itu?” terkanya.“Iya, itu benar, Yah. Aku sangat mencintainya. Karena itulah aku menikahinya,” ungkap Ruben. Dia mengatakan yang sebenarnya dari lubuk hatinya paling dalam.Profesor Rudiana tersenyum agak sinis. “Kamu hanya mencintai wanita itu. Apa tidak ada wa
Emery terisak. Sean sudah menduga, saat ini mantan kekasihnya itu sedang tidak baik-baik saja. Sean memahami situasi sulit yang tengah dihadapi Emery akhir-akhir ini. Setelah pernikahannya terungkap di hadapan publik, seluruh rekan dokter dan perawat tahu apa yang selama ini dia dan Ruben sembunyikan.“Menangislah, Emery! Jika itu membuatmu merasa lebih baik. Aku tidak akan mencegahmu untuk meluapkan semua perasaanmu saat ini,” kata Sean bersimpati.Emery menangis sekencang-kencangnya. Setelah Sean mempersilakannya. Sepertinya Emery sudah tidak bisa lagi menahan unek-unek dalam hati dan beban pikiran yang mendominasi seluruh pikirannya.Ketika Emery meluapkan semua rasa sedihnya, Sean hanya duduk diam mendengarkannya saja. Dia tidak akan menyela, mengkritik, atau menyuruhnya berhenti menangis. Dia tidak akan melakukannya.Sesampainya di depan rumah Emery, Sean masih bungkam. Dia menunggu Emery mengatakan sesuatu kepadanya. Emery menyeka air matanya. Sudah waktunya dia turun dari mobil
“Aku tidak pernah menyangka. Sahabatku ternyata musuhku yang paling nyata. Sekarang aku paham, kenapa aku harus berhati-hati dengan orang-orang terdekatku. Dia berkeliaran di sekitarku tapi dia juga ingin menghancurkan kebahagiaanku,” sindir Emery.“Apa kamu menyesal berteman denganku?” tanya Sienna.“Menyesal?” ulang Emery bergumam bingung. “Yang aku sesalkan adalah sikapmu, bukan persahabatan kita.”“Kenapa? Apa kamu tidak marah padaku? Seharusnya kamu membenciku, Mer,” Sienna sewot.“Dari awal aku memang tidak pernah memercayaimu. Tapi, aku tidak pernah bisa membencimu. Lalu, apakah kamu senang sudah menghancurkan hidupku?” kata Emery menantang Sienna.“Aku … ada alasan lain kenapa aku harus melakukannya?” ujar Sienna. Dia berusaha membela dirinya dan tidak mau disalahkan.“Alasan apa itu? Apa karena kamu iri padaku?” desak Emery. Sienna terdiam beberapa saat.“Katakan padaku! Aku ingin tahu yang sebenarnya darimu.” Emery memaksa Sienna agar mau mengatakannya.Sienna memalingkan wa