Pandangan Emery dan Bonar tertuju pada Ruben. Mereka menatap Ruben curiga. Ruben jadi salah tingkah karena modusnya ketahuan mereka berdua.“Sial!” dengkus Ruben kesal.“Dokter Ruben, apa Anda sengaja melakukannya? Ini, kan, trik kuno yang biasa digunakan orang tahu 90-an. Norak banget.” Emery memastikannya. Dia baru menyadarinya.“Trik kuno? Menurutku tidak. Aku memang tidak punya pilihan lain waktu itu. Aku berusaha baik mau menjemputmu dan memanfaatkan fasilitas yang ada. Aku tidak mau merepotkan Bonar yang sibuk di balai desa,” Ruben beralasan. Dia membela dirinya sendiri karena tidak mau dikatain norak.“Sibuk? Tidak juga, kok,” Bonar menimpali. Dia berhasil mematahkan asumsi Ruben.Bonar ketawa sinis mendengar alasan Ruben yang terlalu dibuat-buat. Ruben juga sok tahu sekali, mengira kalau Bonar sibuk dengan urusannya di balai desa. Sepagi itu Bonar belum berkegiatan. Urusan menjemput Emery, itu memang sudah menjadi tugas hariannya. Kekanak-kanakan sekali sikap Ruben, menurut Bo
Ruben tak sengaja memeluk Emery. Sebelum Emery menyadarinya dan menghindar secepatnya, Ruben menarik pinggang wanita cantik itu hingga menempel di tubuhnya. Suara desahan pelan terdengar dari bibir Emery.“Aaahhh ….” Emery berusaha melepaskan diri dari pelukan Ruben.Ruben ingin sekali mencium bibir Emery. Sayang sekali usahanya gagal. Karena Emery keburu lepas dari genggamannya.“Maaf,” ucap Ruben. “Aku tidak sengaja menyentuhmu,” sesalnya.“Aku yang harusnya meminta maaf. Tadi, aku takut sekali ketika tikus itu hampir menggigit kakiku,” Emery beralasan.Emery salah tingkah. Dia kikuk sekali di hadapan Ruben. Dia sampai bingung harus melakukan apa saat ini.“Emery, tolong bawakan goodiebag ini!” Ruben meminta tolong. Dia harus mencairkan suasana yang membingungkan itu sebelum seisi ruangan di sana terasa hening.“Ah, iya. Baiklah!” Emery patuh. Dia pun mengalihkan perhatiannya pada sebuah goodiebag.Setelah itu, keduanya pergi meninggalkan tenda. Sore ini mereka akan pulang bersama k
Pagi-pagi sekali, Emery keluar dari kamarnya dan hendak masuk ke kamar mandi. Dia mau mandi dan bersiap-siap berangkat kerja.Ceklek!Penghuni kamar sebelah juga membuka pintu. Emery dan Ruben saling beradu pandang mengamati penampilan masing-masing. Tak lama kemudian, mereka tersadar.Astaga! Emery kikuk sekali di hadapan Ruben. Begitu pula sebaliknya. Lalu, siapa yang duluan masuk ke kamar mandi?“Emery, aku ingin kamu mengalah. Aku dulu yang masuk ke kamar mandinya, ya?” mohon Ruben sambil pasang muka meringis.“Hah? Kenapa?” Emery tidak mengerti. Padahal, kan, dia duluan yang membuka pintu kamar mandinya.“Aku ada urusan mendesak. Ini sangat darurat,” Ruben beralasan.“Urusan mendesak? Darurat?” gumam Emery bingung.“Kebelet,” jelas Ruben.“Oh, itu … iya udah. Silakan kalau begitu!” Emery yang baru saja menyadarinya pun mempersilakan Ruben duluan memasuki kamar mandinya.Ruben menerobos masuk ke kamar mandi. Dia sudah tidak tahan lagi. Perutnya sakit, melilit. Dia harus segera bua
“Lepaskan saya!” kata Emery berontak.Ruben melepasnya, sesuai dengan keinginan Emery. Lantas, Emery pun bergegas turun dari mobil. Dia pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan Ruben yang masih senyum-senyum sendiri di dalam mobil.“Dia pasti malu sekali tadi,” pikir Ruben.“Aku yakin, Emery pasti masih menyukaiku,” kata Ruben sembari melihat wajahnya di pantulan kaca spion. Dia terlalu percaya diri sekali malam ini.Sementara itu, Emery makin mempercepat langkah kakinya. Dia canggung sekali.“Apa yang kulakukan tadi di hadapannya? Itu kan, sangat memalukan sekali,” ujar Emery. Wajahnya sudah sangat memerah dan dia tidak ingin berhadap-hadapan lagi dengan Ruben dalam waktu yang cukup lama. Bisa berbahaya sekali untuknya.Ruben baru beberapa hari saja tinggal di rumahnya sudah ada banyak kejadian yang menimpa Emery. Tidak hanya kesal dengan semua tingkah laku Ruben, seniornya itu sudah berhasil mengobrak-abrik isi hati Emery lagi. Yang semula ingin sekali dia kubur dalam-dalam perasaanny
“Hentikan!”Emery tidak sanggup melakukannya lebih jauh lagi. Dia tidak ingin Ruben tahu tentang perasaannya yang sebenarnya. Bahwa dia masih mendamba sentuhan hangat dari pria yang sangat dicintainya itu.“Emery … kamu masih mencintaiku, kan?” terka Ruben. Dia harus memastikannya langsung pada orang yang bersangkutan.Emery segera menjaga jarak dengan Ruben. Dia tidak berani mengangkat wajahnya karena takut ketahuan. Ruben tahu betul kalau dia tidak pandai berbohong. Kedua matanya begitu sayu dan memancarkan kebenaran tentang isi hatinya.“Sudah malam, tidurlah! Besok pagi kita masih harus bekerja,” kata Emery yang buru-buru pergi.Emery mempercepat langkahnya menuju kamarnya. Dia malu sekali atas kejadian yang baru saja dialaminya.“Bodoh!” Emery menyalahkan dirinya sendiri. “Kenapa aku bisa seceroboh itu membalas ciuman Ruben?” sesalnya.Emery bersembunyi dibalik selimutnya. Dia memejamkan mata, pura-pura tidur saja.Sementara di ruangan lain, Ruben tersenyum puas mengingat-ingat k
“Maaf, apa saya mengganggu kalian?” Sienna agak canggung ketika memergoki Emery dan Ruben sedang bersama di tenda pemeriksaan.“Ah, tidak. Saya akan pergi sekarang. Permisi,” kata Emery buru-buru pergi. Dia diuntungkan dengan kedatangan Sienna ke tenda itu.Jantung Emery masih berdegup kencang saat bersama Ruben. Dia menghela napas panjang dan berusaha tetap tenang. Dia harus bersikap seperti seorang yang profesional. Dia tidak boleh mencampur-adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan.“Tapi, kenapa Ruben yang sekarang berbeda sekali dengan yang dulu? Dia terlihat lebih manis dibandingkan sebelumnya,” khayal Emery. Dia senyum-senyum sendiri memikirkannya.Emery berjalan menuju balai desa. Saat ini, dia membutuhkan ketenangan. Jadi, dia akan berjalan-jalan sebentar sambil memeriksa pasien yang berada di tenda darurat.Tak lama waktu berselang, telepon Emery berdering panjang. Ada panggilan masuk dari Sean.“Sayang, kamu dari mana saja? Kenapa tidak menjawab teleponku tadi pagi?” tanya S
“Apa kamu baik-baik saja sekarang?” Ruben khawatir setelah mendengar Emery tersedak.“Ya, aku tidak apa-apa,” balas Emery. Dia menenangkan diri terlebih dahulu. Sebelum melanjutkan kembali pembicaraannya dengan Ruben.“Kenapa kamu diam aja?” Ruben menunggu Emery bicara.Sempat hening beberapa saat. Setelah itu, Emery pun melanjutkan lagi pembicaraannya.“Aku heran aja sama kamu. Bukankah dulu kamu takut sekali untuk menikah denganku?” Emery mengungkit pembicaraan Ruben di masa lalu.“Itu dulu. Sekarang, aku berubah pikiran,” ungkap Ruben.Emery tersenyum agak dipaksakan. “Aku tidak akan pernah melupakan kejadian malam itu. Ketika kamu menelantarkanku sendirian di restoran itu hingga tengah malam,” kenangnya.“Aku minta maaf. Kamu sudah tahu alasanku waktu itu, kan?” sesal Ruben.Emery bangkit dari tempat duduknya. Lalu, dia beranjak pergi meninggalkan Ruben yang masih duduk di meja makan. Sialan! Selera makannya langsung hilang karena pembicaraan Ruben yang sangat tidak berfaedah.“Em
Emery tidak bisa fokus bekerja didekat Ruben. Padahal saat itu ada banyak sekali pasien yang sedang menunggu untuk diperiksa olehnya.“Emery, kenapa kamu melamun?” Ruben membuyarkan lamunannya. “Apa kamu sedang tidak enak badan?” tanyanya penuh perhatian.Sienna dan rekan dokter relawan lainnya menoleh ke arah Emery dan Ruben secara bersamaan. Gelagat mereka berdua sangat aneh. Ruben sudah mulai berani menunjukkan perhatiannya pada Emery.“Tidak apa-apa. Permisi,” ucap Emery yang terburu-buru pergi. Lebih baik dia memeriksa keadaan pasien lain.“Emery, kamu kenapa?” gumam Sienna. “Apa mereka saling jatuh cinta lagi?” terkanya.“Dokter Emery! Tolong kami! Pasien sudah mulai kontraksi,” kata seorang perawat melaporkannya pada Emery.“Baik. Kita ke sana sekarang!” Emery bergegas pergi memeriksanya.Pasien yang akan segera melahirkan itu sudah melewati pembukaan empat. Tidak lama lagi pasien akan melahirkan, sekitar dalam hitungan jam. Pasien sudah berada di tahapan pertama yaitu dilatasi
Hujan mulai turun perlahan, rintik-rintiknya membasahi wajah Sienna yang masih terpaku menatap Sean. Cahaya dari lampu-lampu kecil di sekitar mereka memantul di butir-butir air yang jatuh, menciptakan suasana magis yang tak terduga.“Apa yang dia lakukan?” Sienna terkejut dengan sikap Sean.Sean, meski basah kuyup, tetap bertahan dalam posisinya, berlutut di tanah dengan kotak kecil berisi cincin yang terbuka di tangannya.“Sienna,” kata Sean dengan suara yang serak namun penuh ketulusan, “aku tidak pernah ragu tentang kita. Aku hanya ingin momen ini menjadi sesuatu yang tak akan pernah kamu lupakan. Kamu adalah bagian terbaik dari hidupku, dan aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersamamu.”Sienna merasakan hatinya mencair seperti es yang tersentuh sinar matahari. Padahal saat itu sedang turun hujan deras. Air matanya bercampur dengan rintik hujan, tetapi senyumnya mulai merekah, meskipun bibirnya gemetar.&ldqu
Di Paris, Emery dan Ruben memulai kehidupan baru mereka sebagai keluarga kecil yang bahagia. Mereka tinggal di sebuah apartemen mewah yang menghadap ke arah Menara Eiffel, tempat yang menjadi simbol awal cinta dan harapan baru.“Mommy ….” ucap Ben kecil yang mulai belajar bicara dan berjalan. Emery terkejut dengan pertumbuhan Ben yang berkembang pesat.Ben, yang kini semakin tumbuh ceria dan sehat, membawa warna ke dalam hari-hari mereka.Emery melanjutkan kariernya sebagai dokter di salah satu rumah sakit ternama di Paris bersama suaminya, Ruben. Setiap akhir pekan, jika tidak sibuk menangani pasien di rumah sakit, mereka menghabiskan waktu bersama-sama dengan Ben dan mendokumentasikan semua kegiatannya di sana.Di sela-sela kesibukan mereka, Ruben sering mengajak Emery berjalan-jalan di sepanjang Seine atau menikmati makan malam romantis di bistro kecil. Dalam satu momen manis, mereka duduk di kursi taman, memandangi lampu-lampu kota
Adrian akhirnya memberanikan diri untuk menemui Sean di rumah sakit. Saat dia masuk ke kamar, Sean sedang berbincang ringan dengan Emery.‘Sial! Kenapa Emery ada di sini?’ Adrian jadi segan dan ingin segera mengurungkan niatnya.Ketika melihat Adrian berdiri di pintu, Sean memintanya masuk. Suasana di kamar inap pun menjadi canggung. Adrian dengan raut wajah penuh penyesalan, menyerahkan surat yang dia tulis untuk Sean. Dia meletakkannya di atas meja kecil dekat ranjang pasien.“Emery ….”Emery membuang muka saat Adrian menoleh ke arahnya. Dia masih kesal pada sang direktur. Adrian tahu, perbuatannya mungkin tidak akan pernah bisa termaafkan oleh Emery."Saya tahu permintaan maaf saya tidak cukup," ucap Adrian dengan suara berat. "Tapi, saya ingin kalian tahu, saya benar-benar menyesal atas semua yang terjadi waktu itu."Emery dan Sean kompak terdiam menanggapi permintaan maaf Adrian. Mereka masih tak berkutik
Setelah operasi yang memakan waktu cukup panjang dan kritis, Sean berhasil melewati masa-masa kritisnya. Dokter menyampaikan kabar baik kepada Emery, Ruben, dan Sienna, bahwa kondisi Sean mulai stabil. Namun, dia tetap membutuhkan pemulihan intensif di rumah sakit.“Syukurlah kalau begitu,” ucap Ruben.“Terima kasih, Tuhan.” Emery pun mengucap syukur pada Sang Maha Kuasa atas karunianya, operasi Sean berjalan lancar.“Aku akan memberitahu Sienna,” kata Ruben.“Biar aku saja yang menghubunginya,” tawar Emery.“Baiklah, kalau begitu. Aku akan mengurus kamar inapnya dulu. Jangan lupa, bayi kita,” pesan Ruben dengan tergesa-gesa.Emery mengangguk mantap. Dia mengerti dan bergegas melaksanakan perintah Ruben.Setelah menghubungi Sienna, Emery pun merasa lega. Dia hanya berharap, semoga saja Sean lekas pulih dari luka tembaknya. Dia teringat pesan Sienna untuk Sean.“E
Di guest house tempat Adrian menyembunyikan bayi Ben, ketegangan pun memuncak ketika Sean berhasil menemukan Ben di kamar terkunci. Emery yang menyusul masuk, memeluk putranya dengan penuh emosi. Emery tak kuasa menahan tangisnya setelah menemukan sang putra.Sean menyuruh Emery untuk segera melarikan diri. Berbahaya sekali bagi Emery dan bayi Ben. Namun, usaha mereka untuk melarikan diri terganggu oleh anak buah Adrian, yang membawa senjata dan mengepung mereka.Dalam kekacauan itu, Sean terluka parah akibat sebuah tembakan yang tidak disengaja ketika dia berusaha melindungi Emery dan Ben dari musuh.“Suara itu … siapa yang terluka?” Ruben membelalak kaget.Ruben, yang terlibat perkelahian sengit dengan Adrian di ruang utama, mendengar suara tembakan dan segera berlari ke arah Emery.“Kamu tidak apa-apa?” Ruben memastikan Emery dan putranya tidak kenapa-kenapa.Emery sesenggukkan. “Aku tidak apa-apa. Tap
“Adrian,” desis Laura. Wanita itu datang menghampiri Adrian perlahan-lahan.Adrian hanya sekilas meliriknya. Tanpa berbasa-basi, pria itu memilih untuk meninggalkannya di tengah-tengah pesta yang sedang berlangsung. Dia buru-buru pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri.Adrian tidak mengira bahwa dirinya terjebak dalam perjodohan yang dirancang oleh ayahnya sendiri, Tuan Milano dengan Laura, putri dari seorang wali kota. Perasaannya begitu hancur. Hatinya masih terpaut pada Emery, wanita yang kini berada di sisi Ruben.Meski menerima perjodohan demi menjaga reputasi keluarga, Adrian tidak bisa melepaskan obsesinya terhadap Emery. Sikapnya yang dingin dan egois membuat Laura merasa diabaikan malam itu, meski dia berusaha sebaik mungkin, menjalankan perannya sebagai tunangan yang sempurna di mata tamu undangan yang datang.“Sial!” rutuk Adrian. Dia tancap gas maksimal dan membuat kendaraannya mengebut di jalan raya pada malam ha
Ruben mulai geram dengan tingkah Adrian yang begitu berambisi dan terobsesi pada Emery. Adrian sudah terang-terangan menunjukkannya di hadapan Tuan Milano, orang tuanya.“Saya sudah bilang, saya akan mempertahankan Emery, apa pun yang terjadi,” tegas Adrian.“Apa?” Ruben hampir tersulut emosi mendengar pernyataan Adrian yang sudah memprovokasinya.“Dokter Ruben, pulanglah dulu! Saya akan bicara lagi dengan putra saya terkait kepindahan Emery. Saya akan menghubungimu lagi nanti,” kata Tuan Milano melerai pertengkaran antara Ruben dan Adrian.“Itu benar, Dokter Ruben! Kami akan memikirkan cara lain untuk membujuk putra kami,” bela Nyonya Milano.“Baik. Kalau begitu, saya permisi undur diri. Selamat siang, Tuan, Nyonya,” pamit Ruben. Sebelum dia benar-benar pergi meninggalkan kediaman Tuan Milano, dia sempat melihat sorot mata Adrian yang mulai mengisyaratkan untuk mengajaknya perang mempereb
Sean dan Sienna tak berkutik lagi di hadapan Adrian. Mereka terlihat segan dan tidak bisa mengiyakannya.“Tidak apa-apa jika memang itu benar. Saya akan mendukung kalian,” kata Adrian.“Benarkah itu, Dok?” Sienna langsung antusias menaggapinya.“Tentu. Silakan saja! Itu hak kalian. Rumah sakit tidak berhak melarang-larang orang yang sedang jatuh cinta,” kata Adrian. Pernyataannya membuat Sean dan Sienna cukup senang.“Oh, iya. Kapan kalian akan berangkat?” Adrian mengalihkan pembicaraan.“Besok pagi,” sahut Sean.“Begitu rupanya. Selamat bertugas dan kalian harus kembali dengan selamat. Kudoakan semoga hubungan kalian bisa langgeng hingga ke jenjang pernikahan,” kata Adrian mendoakan mereka dengan setulus hati.“Amin,” ucap Sean dan Sienna bersamaan. Eh! Tumben sekali mereka kompak.Adrian terkejut merespon mereka. “Baiklah, aku permisi du
Sienna tergoda untuk mengambil ponsel Sean dan menjawab teleponnya. “Emery, ada apa pagi-pagi menelpon pacarku?”“Maaf, bukankah ini telepon Sean? Lalu, kamu … bukankah kamu Sienna?” sahut suara pria di seberang sana.Ups! Sienna gelagapan. Ternyata suara di seberang sana adalah suara Ruben, dokter senior di rumah sakit tempatnya bekerja, dahulu.“Oh, maaf Dokter Ruben. Kupikir tadi yang menelpon Emery,” ucap Sienna penuh penyesalan. Dia malu sekali karena sudah salah sangka dan salah orang.“Aku meminjam ponsel istriku karena ponselku mati total,” jelas Ruben.“Begitu rupanya.” Sienna mengerti. Namun, dia tidak bisa menyembunyikan rasa malunya karena sudah berburuk sangka.“Lalu, bagaimana denganmu? Kenapa telepon Sean ada padamu? Tadi, dia bilang dia sedang keluar dan menginap di rumah temannya. Apa jangan-jangan, kalian menginap bersama?” terka Ruben.&l