“Hentikan!”Emery tidak sanggup melakukannya lebih jauh lagi. Dia tidak ingin Ruben tahu tentang perasaannya yang sebenarnya. Bahwa dia masih mendamba sentuhan hangat dari pria yang sangat dicintainya itu.“Emery … kamu masih mencintaiku, kan?” terka Ruben. Dia harus memastikannya langsung pada orang yang bersangkutan.Emery segera menjaga jarak dengan Ruben. Dia tidak berani mengangkat wajahnya karena takut ketahuan. Ruben tahu betul kalau dia tidak pandai berbohong. Kedua matanya begitu sayu dan memancarkan kebenaran tentang isi hatinya.“Sudah malam, tidurlah! Besok pagi kita masih harus bekerja,” kata Emery yang buru-buru pergi.Emery mempercepat langkahnya menuju kamarnya. Dia malu sekali atas kejadian yang baru saja dialaminya.“Bodoh!” Emery menyalahkan dirinya sendiri. “Kenapa aku bisa seceroboh itu membalas ciuman Ruben?” sesalnya.Emery bersembunyi dibalik selimutnya. Dia memejamkan mata, pura-pura tidur saja.Sementara di ruangan lain, Ruben tersenyum puas mengingat-ingat k
“Maaf, apa saya mengganggu kalian?” Sienna agak canggung ketika memergoki Emery dan Ruben sedang bersama di tenda pemeriksaan.“Ah, tidak. Saya akan pergi sekarang. Permisi,” kata Emery buru-buru pergi. Dia diuntungkan dengan kedatangan Sienna ke tenda itu.Jantung Emery masih berdegup kencang saat bersama Ruben. Dia menghela napas panjang dan berusaha tetap tenang. Dia harus bersikap seperti seorang yang profesional. Dia tidak boleh mencampur-adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan.“Tapi, kenapa Ruben yang sekarang berbeda sekali dengan yang dulu? Dia terlihat lebih manis dibandingkan sebelumnya,” khayal Emery. Dia senyum-senyum sendiri memikirkannya.Emery berjalan menuju balai desa. Saat ini, dia membutuhkan ketenangan. Jadi, dia akan berjalan-jalan sebentar sambil memeriksa pasien yang berada di tenda darurat.Tak lama waktu berselang, telepon Emery berdering panjang. Ada panggilan masuk dari Sean.“Sayang, kamu dari mana saja? Kenapa tidak menjawab teleponku tadi pagi?” tanya S
“Apa kamu baik-baik saja sekarang?” Ruben khawatir setelah mendengar Emery tersedak.“Ya, aku tidak apa-apa,” balas Emery. Dia menenangkan diri terlebih dahulu. Sebelum melanjutkan kembali pembicaraannya dengan Ruben.“Kenapa kamu diam aja?” Ruben menunggu Emery bicara.Sempat hening beberapa saat. Setelah itu, Emery pun melanjutkan lagi pembicaraannya.“Aku heran aja sama kamu. Bukankah dulu kamu takut sekali untuk menikah denganku?” Emery mengungkit pembicaraan Ruben di masa lalu.“Itu dulu. Sekarang, aku berubah pikiran,” ungkap Ruben.Emery tersenyum agak dipaksakan. “Aku tidak akan pernah melupakan kejadian malam itu. Ketika kamu menelantarkanku sendirian di restoran itu hingga tengah malam,” kenangnya.“Aku minta maaf. Kamu sudah tahu alasanku waktu itu, kan?” sesal Ruben.Emery bangkit dari tempat duduknya. Lalu, dia beranjak pergi meninggalkan Ruben yang masih duduk di meja makan. Sialan! Selera makannya langsung hilang karena pembicaraan Ruben yang sangat tidak berfaedah.“Em
Emery tidak bisa fokus bekerja didekat Ruben. Padahal saat itu ada banyak sekali pasien yang sedang menunggu untuk diperiksa olehnya.“Emery, kenapa kamu melamun?” Ruben membuyarkan lamunannya. “Apa kamu sedang tidak enak badan?” tanyanya penuh perhatian.Sienna dan rekan dokter relawan lainnya menoleh ke arah Emery dan Ruben secara bersamaan. Gelagat mereka berdua sangat aneh. Ruben sudah mulai berani menunjukkan perhatiannya pada Emery.“Tidak apa-apa. Permisi,” ucap Emery yang terburu-buru pergi. Lebih baik dia memeriksa keadaan pasien lain.“Emery, kamu kenapa?” gumam Sienna. “Apa mereka saling jatuh cinta lagi?” terkanya.“Dokter Emery! Tolong kami! Pasien sudah mulai kontraksi,” kata seorang perawat melaporkannya pada Emery.“Baik. Kita ke sana sekarang!” Emery bergegas pergi memeriksanya.Pasien yang akan segera melahirkan itu sudah melewati pembukaan empat. Tidak lama lagi pasien akan melahirkan, sekitar dalam hitungan jam. Pasien sudah berada di tahapan pertama yaitu dilatasi
“Emery!” panggil Ruben di luar sana sambil mengetuk pintu rumahnya dengan tidak sabaran.“Ruben?” Emery mengerutkan keningnya. “Mau ngapain dia malam-malam begini ke rumahku?”Emery beranjak dari tempat duduknya. Lalu, dia membukakan pintu rumahnya dan Ruben menerobos masuk ke dalam.“Apa kamu punya garam? Boleh aku memintanya sedikit saja?” pinta Ruben.“Ada di dapur. Kamu bisa mengambilnya,” sahut Emery.“Baik. Aku akan ke dapur untuk mengambilnya.” Ruben bergegas pergi ke dapur. Tak lama kemudian, dia juga berteriak lagi.“Mer, sekalian sama gula dan mie instannya, ya?” pinta Ruben selanjutnya.“Iya, ambil saja!” Emery mempersilakannya. “Mer!” panggil Ruben lagi.“Astaga! Ada apa lagi sih?” Emery sampai kesal. Dia menghampiri Ruben di dapur.“Ah, kebetulan kamu datang. Di mana kamu menaruh garam dan gulanya? Aku tidak bisa menemukannya,” Ruben beralasan.Emery berdecak. Lalu, dia mulai mencari bumbu-bumbu dapur itu di lemari makanan. Beberapa detik, dia tertegun. Sepertinya dia lu
"Dari mana kamu tahu? Aku belum mengatakan apa-apa lho sama kamu," Emery heran.Sienna membalikkan tubuh. Lalu, dia menunjukkan teleponnya."Pengumumannya sudah tersebar di grup kami," kata Sienna memberitahu."Oh begitu rupanya." Emery baru menyadarinya. Dia tidak terpikirkan ke arah sana tadi.Ternyata perintah dari profesor Rudiana sudah dipublikasikan di grup dokter relawan rumah sakit. Emery tidak tahu akan hal itu. Karena dia sudah bukan lagi bagian dari rumah sakit, tempatnya bekerja dulu."Aku akan berkemas sekarang. Aku pergi dulu ya, Mer," pamit Sienna.Sienna berjalan cepat meninggalkan Emery. Lantas, Emery pun bergegas menuju tenda darurat. Dia tidak ingin membuat pasien-pasiennya menunggu terlalu lama.Beberapa jam kemudian, Emery sudah selesai memeriksa pasien-pasiennya. Dia segera memenuhi panggilan dari kepala desa. Ada yang ingin disampaikan kepala desa pada Ruben dan para dokter relawan lainnya sebelum mereka kembali ke rumah sakit.Kepala desa memberikan sambutan da
“Ruben!” panggil Sean. Dia melihat Ruben keluar dari ruangan profesor Rudiana.Ruben menoleh. Raut wajahnya masih kelihatan kesal sekali setelah berdebat hebat dengan ayahnya.“Kapan kamu datang?” tanya Sean sekadar basa-basi.“Barusan,” sahut Ruben agak ketus.“Kamu ada waktu sekarang? Aku mau ngomong sama kamu,” kata Sean. Sepertinya pembicaraan mereka akan sangat serius sekali kali ini.“Soal apa?” Ruben ingin tahu.“Emery,” balas Sean.Ruben manggut-manggut. “Oke. Kita ke kafetaria aja,” sarannya.Ruben dan Sean pergi bersama-sama ke kafetaria. Tak lama waktu berselang, mereka tiba di kafetaria sembari memesan kopi favoritnya masing-masing.“Mau ngomong apaan?” tanya Ruben tak sabaran.Sean memperlihatkan foto-foto mesra Ruben dengan Emery di galeri teleponnya. Ruben tersontak kaget. Dia tidak mengira kalau Sean memiliki foto-fotonya kemarin selama dia menjadi dokter relawan di Pulau Borneo."Apa kamu bisa jelasin apa maksud dari semua ini?" desak Sean."Itu ...." Ruben terbata-ba
“Di mana kalung berlian itu?” Emery masih sibuk mencari kalung berlian yang dilempar Sean ke kolam ikan.Emery turun ke dasar kolam. Dia berusaha menemukan kalung berlian itu. Dia takut sekali saat memasuki kolam ikan yang tingginya hampir setengah dari badannya. Bagaimana jika kalung berlian itu benar-benar hilang, tidak bisa ditemukannya? Dia panik sekali waktu itu.“Nona, apa yang Anda lakukan di sana?” Seorang pelayan datang menghampirinya. Dia terkejut melihat Emery turun ke kolam.“Maafkan saya. Saya sedang mencari barang saya yang hilang di sini,” Emery beralasan.“Barang seperti apa itu, Nona? Saya akan membantu Anda,” kata pelayan itu menawarkan diri.“Kalung saya,” jelas Emery sambil terisak. Dia mengatakan pada pemuda itu sambil berurai air mata.“Baik. Saya akan membantu Anda mencarinya.” Pemuda itu turun ke kolam ikan untuk membantu Emery mencari kalungnya yang hilang.Selang satu jam kemudian, kalung itu akhirnya bisa ditemukan. Emery menghela napas lega setelah nyaris f