“Apa? Kamu ingin apa?” Emery memotong pembicaraan. Ruben belum selesai mengatakan keinginannya pada Emery.“Ah, sudahlah! Lupakan saja.” Ruben tidak melanjutkan pembicaraan.Ruben tahu, saat ini bukan waktu yang tepat. Meskipun dalam hatinya dia sedang ingin bercinta. Emery belum siap menerima itu.“Kausnya sudah kering. Sebaiknya, aku siap-siap untuk pulang sekarang,” kata Emery.“Pulang? Secepat itu?” Ruben mengernyitkan dahi.“Iya. Aku harus segera pulang. Aku tidak ingin orang tuaku khawatir dan menungguku di rumah,” Emery beralasan.“Baiklah, aku akan mengantarmu. Tunggu sebentar, ya!” Ruben bergegas mengambil sweater, dompet, dan kunci mobilnya.Emery menghela napas panjang. “Hampir saja.”“Hampir apa?” sela Ruben. Dia mendengar celetukan Emery.Emery menggelengkan kepalanya. Lalu, dia segera mengambil pakaian dan tasnya. Kemudian, keduanya pergi meninggalkan rumah.***Emery baru saja tiba di rumah orang tuanya. Ruben mengantarnya sampai depan rumah. Namun, dia belum diperboleh
Emery merenung sendirian di kamarnya, memikirkan semua perkataan Ruben tempo hari sebelum mereka berpisah di bandara. Tidak hanya kemarin, beberapa waktu lalu pun dia masih mempertimbangkan ucapan Ruben.“Apa dia sungguh-sungguh mengatakannya? Atau dia hanya mengumbar janji-janji manis saja supaya aku percaya lagi kepadanya?” Emery gundah. Dia sampai bolak-balik di dekat tempat tidurnya.Telepon Emery berdering lagi. Saat itu ada panggilan masuk, bersamaan, dari Sean dan Ruben. Emery sampai bingung harus menjawab yang mana terlebih dahulu.“Kenapa mereka meneleponku di waktu yang sama?” keluh Emery.Emery memejamkan kedua matanya lalu dia menekan tombol untuk menjawab salah satunya. Dan jarinya menekan ke tombol Ruben.“Halo?” sapa Emery. Dia masih belum membukakan mata.“Sayang, gimana kabarmu di sana?” sahut Ruben.Emery lekas membuka matanya. Rupanya itu suara Ruben. Dia merasa lega karena pilihannya jatuh pada Ruben.“Aku baik-baik saja di sini,” kata Emery.“Kamu sudah makan mala
Emery menyunggingkan senyum licik di hadapan profesor Rudiana. Ucapannya begitu meyakinkan sehingga membuat profesor Rudiana percaya kepadanya. Tanpa pikir panjang, profesor pun menerima tawaran Emery. Karena Emery sudah berjanji kepadanya tidak akan melakukan sesuatu yang merugikannya, termasuk berhubungan lagi dengan Ruben, putranya.“Baiklah. Saya akan menerimamu lagi di sini. Tapi, untuk sementara, kamu belum bisa masuk ke rumah sakit dan bekerja di sana. Saya ingin melihat buktinya terlebih dahulu. Kalau kamu benar-benar tidak mengganggu putra saya lagi,” kata profesor Rudiana.“Saya mengerti, Profesor,” balas Emery sambil menganggukkan kepalanya.“Jika kinerjamu bagus dan kamu mendapatkan nilai sempurna di setiap mata kuliah yang diberikan di kampus, saya akan mempertimbangkan lagi posisimu di rumah sakit,” janji profesor Rudiana.“Terima kasih, Profesor. Saya janji, saya akan belajar lebih rajin lagi,” ucap Emery.“Bagus. Saya tidak akan pernah menerimamu lagi di rumah sakit ap
Emery tiba di kampus tepat pukul 8 pagi. Dia memasuki ruang kelasnya dan duduk rapi sambil menunggu perkuliahan dimulai. Seorang teman pria duduk di sampingnya. Lalu, pria itu tersenyum kepadanya.“Hai, boleh aku duduk di sini?” tanya pria itu seraya meminta izin pada Emery.“Tentu. Silakan saja!” sahut Emery sambil balas tersenyum.“Namaku Adrian. Kalau kamu?” Pria itu memperkenalkan diri.“Emery,” balas Emery.“Nama yang bagus dan kamu juga sangat cantik,” puji Adrian.“Terima kasih,” ucap Emery. Dia mulai risih karena teman sebelahnya banyak bicara kepadanya.“Apa kamu sudah punya pacar?” tanya Adrian secara terang-terangan.Emery terlonjak kaget mendengar pertanyaan Adrian. Tidak hanya dia, teman-teman sekelas yang lain pun menoleh ke arahnya secara bersamaan.“Aku ….” Emery bingung menjawabnya. Apa yang harus dia katakan pada Adrian di hadapan teman-teman sekelasnya yang lain juga? Semua mata sedang tertuju kepadanya. Seolah-olah mereka sedang menantikan jawaban Emery. Dia meras
Emery tersenyum menanggapinya. Dia berusaha menenangkan perasaan Ruben yang kalut dan mencemaskannya. Ruben takut sekali jika ada ucapan ayahnya yang tidak berkenan di hati kekasihnya itu."Percaya sama aku aja, aku tidak menyembunyikan apa pun darimu," kata Emery yang terus meyakinkannya.“Baiklah. Aku percaya sama kamu, Sayang,” balas Ruben.‘Apa dia mencurigaiku karena aku kelihatan sedang berbohong kepadanya?’ pikir Emery. Dia takut sekali jika rencananya berantakan karena Ruben mencium kebohongannya.“Aku cuma mau bilang sama kamu. Untuk saat ini, kamu harus baik pada ayahku. Give in so that no one can defeat you. Humble yourself so that no one can humble you,” pesan Jhon.“Aku mengerti,” Emery patuh.“Bagus. Itu yang kusuka darimu, Sayang. Kamu selalu patuh dan tidak pernah membantah. Itu salah satu alasanku mencintaimu,” ungkap Ruben.“Tapi, dulu kamu selalu memarahiku,” keluh Emery. Ketika dia mengingat-ingat kejadian di masa lalu.“Itu karena aku masih menjadi seniormu. Aku m
Emery mendekati pintu rumah dan melihat keadaan di luar. Ada seorang kurir makanan di depan rumahnya. Lantas, dia membukakan pintu rumahnya.“Permisi, apa Anda Nona Emery?” tanya kurir pengantar makanan itu pada Emery. “Iya, benar. Maaf, siapa yang memesan makanan itu?” Emery balik bertanya.“Tuan Ruben yang telah memesankannya untuk Anda. Mohon diterima, Nona,” kata kurir itu memberitahu.“Oh, begitu rupanya.” Emery senyum-senyum sendiri menerima paket makanan itu.‘Dia memesan dan mengantarkan makanan sebanyak ini?’ Emery membelalak kaget melihat isi goodiebag dari kurir pengantar makanan itu.Emery jadi teringat pada kebaikan Sean. Pria itu pernah melakukan hal yang sama di masa lalu kepadanya. Jika teringat lagi tentang semua kebaikan Sean kepadanya, dia jadi makin merasa bersalah karena menolak cinta dari pria baik itu.“Apa kabar dia sekarang?” Emery ingin tahu kabarnya. Sudah lama dia tidak bertemu dengan Sean lagi, kenangnya.Emery membuka isi goodiebag itu. Kiriman makanan d
Emery turun dari tempat tidur. Lalu, dia berjalan mendekati jendela kamar. Dia melihat jalan di sekitar rumah Ruben lengang dan sepi. Sepertinya Ruben masih lama pulangnya, pikirnya. Dia benar-benar kesepian di rumah Ruben malam ini.Emery tahu betul pekerjaan seorang dokter di rumah sakit. Jam pulang saja tidak menentu. Sebaiknya dia pergi tidur dan tidak perlu menunggu sampai Ruben pulang. Karena menunggunya hanya akan sangat melelahkan baginya.“Aku ingin dia cepat pulang,” harap Emery agak sangsi.Tak lama kemudian, harapan Emery pun terkabul. Di luar sana terdengar suara mobil Ruben yang baru saja tiba di rumahnya. Emery senang sekali Ruben sudah pulang. Sebaiknya dia pura-pura tidur saja. Agar Ruben tidak mengkhawatirkannya.Ruben membuka pintu kamarnya. Dia melihat Emery sudah tertidur lelap di tempat tidurnya. Dia berjalan perlahan-lahan tanpa meninggalkan jejak langkah suara kakinya, agar tidak membangunkan tidur Emery.Ruben mengecup kening Emery sambil mengucapkan sesuatu d
Emery kurang suka karena Adrian harus pergi bersamanya ke rumah sakit menemui profesor Rudiana. Dia jadi harap-harap cemas. Bagaimana jika nanti mereka bertemu dengan Ruben? Bisa jadi masalah besar nantinya.Setelah kelas berakhir, Emery hendak menuju rumah sakit. Di taman kampus, dia bertemu dengan Adrian. Pria itu ada di kampus tetapi tidak masuk kelas. Dia heran.“Emery!” Adrian melambaikan tangan seraya memanggil Emery di bangku taman.Emery menghampirinya. “Kenapa kamu tidak masuk kelas?” tanyanya ingin tahu.“Aku sedang menunggumu di sini. Aku terlambat jadi tidak bisa masuk kelas,” Adrian beralasan.“Oh, begitu rupanya.” Emery mengerti.“Bukankah kita harus pergi ke rumah sakit?” Adrian memastikannya pada Emery. “Ayo pergi!” ajaknya.Emery mengangguk. Dia terpaksa pergi dengan Adrian. Selama perjalanan menuju rumah sakit, dia berharap semoga saja Ruben tidak menemukan mereka di sana.Sesampainya di rumah sakit, Emery gelisah sekali. Sedari tadi Adrian perhatikan gerak-gerik Eme