Emery tiba di kampus tepat pukul 8 pagi. Dia memasuki ruang kelasnya dan duduk rapi sambil menunggu perkuliahan dimulai. Seorang teman pria duduk di sampingnya. Lalu, pria itu tersenyum kepadanya.“Hai, boleh aku duduk di sini?” tanya pria itu seraya meminta izin pada Emery.“Tentu. Silakan saja!” sahut Emery sambil balas tersenyum.“Namaku Adrian. Kalau kamu?” Pria itu memperkenalkan diri.“Emery,” balas Emery.“Nama yang bagus dan kamu juga sangat cantik,” puji Adrian.“Terima kasih,” ucap Emery. Dia mulai risih karena teman sebelahnya banyak bicara kepadanya.“Apa kamu sudah punya pacar?” tanya Adrian secara terang-terangan.Emery terlonjak kaget mendengar pertanyaan Adrian. Tidak hanya dia, teman-teman sekelas yang lain pun menoleh ke arahnya secara bersamaan.“Aku ….” Emery bingung menjawabnya. Apa yang harus dia katakan pada Adrian di hadapan teman-teman sekelasnya yang lain juga? Semua mata sedang tertuju kepadanya. Seolah-olah mereka sedang menantikan jawaban Emery. Dia meras
Emery tersenyum menanggapinya. Dia berusaha menenangkan perasaan Ruben yang kalut dan mencemaskannya. Ruben takut sekali jika ada ucapan ayahnya yang tidak berkenan di hati kekasihnya itu."Percaya sama aku aja, aku tidak menyembunyikan apa pun darimu," kata Emery yang terus meyakinkannya.“Baiklah. Aku percaya sama kamu, Sayang,” balas Ruben.‘Apa dia mencurigaiku karena aku kelihatan sedang berbohong kepadanya?’ pikir Emery. Dia takut sekali jika rencananya berantakan karena Ruben mencium kebohongannya.“Aku cuma mau bilang sama kamu. Untuk saat ini, kamu harus baik pada ayahku. Give in so that no one can defeat you. Humble yourself so that no one can humble you,” pesan Jhon.“Aku mengerti,” Emery patuh.“Bagus. Itu yang kusuka darimu, Sayang. Kamu selalu patuh dan tidak pernah membantah. Itu salah satu alasanku mencintaimu,” ungkap Ruben.“Tapi, dulu kamu selalu memarahiku,” keluh Emery. Ketika dia mengingat-ingat kejadian di masa lalu.“Itu karena aku masih menjadi seniormu. Aku m
Emery mendekati pintu rumah dan melihat keadaan di luar. Ada seorang kurir makanan di depan rumahnya. Lantas, dia membukakan pintu rumahnya.“Permisi, apa Anda Nona Emery?” tanya kurir pengantar makanan itu pada Emery. “Iya, benar. Maaf, siapa yang memesan makanan itu?” Emery balik bertanya.“Tuan Ruben yang telah memesankannya untuk Anda. Mohon diterima, Nona,” kata kurir itu memberitahu.“Oh, begitu rupanya.” Emery senyum-senyum sendiri menerima paket makanan itu.‘Dia memesan dan mengantarkan makanan sebanyak ini?’ Emery membelalak kaget melihat isi goodiebag dari kurir pengantar makanan itu.Emery jadi teringat pada kebaikan Sean. Pria itu pernah melakukan hal yang sama di masa lalu kepadanya. Jika teringat lagi tentang semua kebaikan Sean kepadanya, dia jadi makin merasa bersalah karena menolak cinta dari pria baik itu.“Apa kabar dia sekarang?” Emery ingin tahu kabarnya. Sudah lama dia tidak bertemu dengan Sean lagi, kenangnya.Emery membuka isi goodiebag itu. Kiriman makanan d
Emery turun dari tempat tidur. Lalu, dia berjalan mendekati jendela kamar. Dia melihat jalan di sekitar rumah Ruben lengang dan sepi. Sepertinya Ruben masih lama pulangnya, pikirnya. Dia benar-benar kesepian di rumah Ruben malam ini.Emery tahu betul pekerjaan seorang dokter di rumah sakit. Jam pulang saja tidak menentu. Sebaiknya dia pergi tidur dan tidak perlu menunggu sampai Ruben pulang. Karena menunggunya hanya akan sangat melelahkan baginya.“Aku ingin dia cepat pulang,” harap Emery agak sangsi.Tak lama kemudian, harapan Emery pun terkabul. Di luar sana terdengar suara mobil Ruben yang baru saja tiba di rumahnya. Emery senang sekali Ruben sudah pulang. Sebaiknya dia pura-pura tidur saja. Agar Ruben tidak mengkhawatirkannya.Ruben membuka pintu kamarnya. Dia melihat Emery sudah tertidur lelap di tempat tidurnya. Dia berjalan perlahan-lahan tanpa meninggalkan jejak langkah suara kakinya, agar tidak membangunkan tidur Emery.Ruben mengecup kening Emery sambil mengucapkan sesuatu d
Emery kurang suka karena Adrian harus pergi bersamanya ke rumah sakit menemui profesor Rudiana. Dia jadi harap-harap cemas. Bagaimana jika nanti mereka bertemu dengan Ruben? Bisa jadi masalah besar nantinya.Setelah kelas berakhir, Emery hendak menuju rumah sakit. Di taman kampus, dia bertemu dengan Adrian. Pria itu ada di kampus tetapi tidak masuk kelas. Dia heran.“Emery!” Adrian melambaikan tangan seraya memanggil Emery di bangku taman.Emery menghampirinya. “Kenapa kamu tidak masuk kelas?” tanyanya ingin tahu.“Aku sedang menunggumu di sini. Aku terlambat jadi tidak bisa masuk kelas,” Adrian beralasan.“Oh, begitu rupanya.” Emery mengerti.“Bukankah kita harus pergi ke rumah sakit?” Adrian memastikannya pada Emery. “Ayo pergi!” ajaknya.Emery mengangguk. Dia terpaksa pergi dengan Adrian. Selama perjalanan menuju rumah sakit, dia berharap semoga saja Ruben tidak menemukan mereka di sana.Sesampainya di rumah sakit, Emery gelisah sekali. Sedari tadi Adrian perhatikan gerak-gerik Eme
Ruben makin tidak suka ketika Emery mengungkit apalagi menyebut nama Adrian, di saat mereka sedang bersama. Begitu rupanya, Emery coba memahami isi hati Ruben yang kini sedang dilanda api cemburu.“Tadi, katamu aku sudah bisa menempati rumah baru itu. Kalau begitu, aku akan tinggal di sana mulai malam ini. Bagaimana menurutmu?” tanya Emery meminta pendapat Ruben.“Itu bagus untukmu,” jawab Ruben.Emery melirik sambil tersenyum genit pada Ruben. “Apa kamu mau menemaniku malam ini di rumah baru itu?” tawarnya.Ruben menoleh. “Kamu ingin aku tinggal di sana semalaman?” Dia memastikannya dulu.“Kenapa tidak?” goda Emery. “Aku akan merasa kesepian di sana tanpamu.”“Tentu. Aku akan menginap di sana.” Ruben langsung setuju.Emery tersenyum agak sinis. Mudah sekali merayu Ruben di saat pria itu benar-benar jatuh ke pelukannya. Dia tidak perlu waktu lama untuk memastikannya. Ruben langsung menerima ajakan Emery tanpa alasan ini itu.Ruben yang sedang jatuh cinta berbeda sekali dengan dia keti
“Bukan. Kata siapa aku dokter? Aku adalah teman tantemu. Maukah kamu juga berteman denganku?” tawar Sean seraya membujuk anak kecil itu.Gadis kecil itu mengangguk perlahan-lahan. Dia melihat Sean seperti orang yang baik. Apalagi setelah diberitahu kalau Sean adalah teman tantenya, Sienna.“Kalau kamu mau jadi temanku, aku akan memberimu permen. Tapi, permennya ada di dalam mobil. Apa kamu mau pergi denganku untuk mengambilnya?” bujuk Sean lagi.Sean menggandeng tangan gadis kecil itu setelah keduanya bersepakat. Sienna mengikutinya dari belakang. Dia berharap semoga saja keponakannya itu mau dibujuk dan diperiksa oleh Sean.“Kudengar kamu sering mengeluh sakit perut. Apa itu benar?” tanya Sean perlahan-lahan. “Kalau boleh tahu, di mana kamu merasakan rasa sakitnya?”Gadis itu menunjuk ke arah perutnya. Sean pun segera mengetahuinya. Setelah keponakan Sienna memberitahukannya.“Kamu benar, dia mengalami usus buntu,” bisik Sean pada Sienna.“Anda yakin, Dokter Sean?” Sienna memastikann
“Itu … tidak ada. Kami tidak saling berkomunikasi lagi,” sangkal Emery. Kedengarannya seperti kebohongan yang dibuat-buat. Tetapi, syukurlah profesor Rudiana tidak mencurigainya sama sekali.“Jangan membohongiku, Emery! Wanita licik sepertimu tidak bisa dipercaya,” tuduh profesor Rudiana.“Apa maksud Anda, Profesor?” Emery langsung gelagapan. Nada bicaranya berubah, jadi terbata-bata.‘Apa profesor tahu kalau hubunganku dengan putranya semakin dekat saat ini?’ pikir Emery.“Sebaiknya kamu berhati-hati saja denganku, Emery. Karena aku bisa saja menghancurkan karirmu dalam sekejap saja jika saya mau. Kamu paham maksud pembicaraan kita, kan?” Profesor Rudiana memperingatkan Emery.“Saya mengerti, Profesor.”Untuk sementara ini, Emery masih bisa mengelabui pria tua itu. Tapi, untuk selanjutnya dia tidak bisa memprediksikannya. Dia harus mencari cara lain agar profesor Rudiana tidak curiga kepadanya.***“Bagaimana keadaan pasienmu? Yang tadi kamu operasi?” tanya Ruben pada Sean di ruangan