Emery mendekati pintu rumah dan melihat keadaan di luar. Ada seorang kurir makanan di depan rumahnya. Lantas, dia membukakan pintu rumahnya.“Permisi, apa Anda Nona Emery?” tanya kurir pengantar makanan itu pada Emery. “Iya, benar. Maaf, siapa yang memesan makanan itu?” Emery balik bertanya.“Tuan Ruben yang telah memesankannya untuk Anda. Mohon diterima, Nona,” kata kurir itu memberitahu.“Oh, begitu rupanya.” Emery senyum-senyum sendiri menerima paket makanan itu.‘Dia memesan dan mengantarkan makanan sebanyak ini?’ Emery membelalak kaget melihat isi goodiebag dari kurir pengantar makanan itu.Emery jadi teringat pada kebaikan Sean. Pria itu pernah melakukan hal yang sama di masa lalu kepadanya. Jika teringat lagi tentang semua kebaikan Sean kepadanya, dia jadi makin merasa bersalah karena menolak cinta dari pria baik itu.“Apa kabar dia sekarang?” Emery ingin tahu kabarnya. Sudah lama dia tidak bertemu dengan Sean lagi, kenangnya.Emery membuka isi goodiebag itu. Kiriman makanan d
Emery turun dari tempat tidur. Lalu, dia berjalan mendekati jendela kamar. Dia melihat jalan di sekitar rumah Ruben lengang dan sepi. Sepertinya Ruben masih lama pulangnya, pikirnya. Dia benar-benar kesepian di rumah Ruben malam ini.Emery tahu betul pekerjaan seorang dokter di rumah sakit. Jam pulang saja tidak menentu. Sebaiknya dia pergi tidur dan tidak perlu menunggu sampai Ruben pulang. Karena menunggunya hanya akan sangat melelahkan baginya.“Aku ingin dia cepat pulang,” harap Emery agak sangsi.Tak lama kemudian, harapan Emery pun terkabul. Di luar sana terdengar suara mobil Ruben yang baru saja tiba di rumahnya. Emery senang sekali Ruben sudah pulang. Sebaiknya dia pura-pura tidur saja. Agar Ruben tidak mengkhawatirkannya.Ruben membuka pintu kamarnya. Dia melihat Emery sudah tertidur lelap di tempat tidurnya. Dia berjalan perlahan-lahan tanpa meninggalkan jejak langkah suara kakinya, agar tidak membangunkan tidur Emery.Ruben mengecup kening Emery sambil mengucapkan sesuatu d
Emery kurang suka karena Adrian harus pergi bersamanya ke rumah sakit menemui profesor Rudiana. Dia jadi harap-harap cemas. Bagaimana jika nanti mereka bertemu dengan Ruben? Bisa jadi masalah besar nantinya.Setelah kelas berakhir, Emery hendak menuju rumah sakit. Di taman kampus, dia bertemu dengan Adrian. Pria itu ada di kampus tetapi tidak masuk kelas. Dia heran.“Emery!” Adrian melambaikan tangan seraya memanggil Emery di bangku taman.Emery menghampirinya. “Kenapa kamu tidak masuk kelas?” tanyanya ingin tahu.“Aku sedang menunggumu di sini. Aku terlambat jadi tidak bisa masuk kelas,” Adrian beralasan.“Oh, begitu rupanya.” Emery mengerti.“Bukankah kita harus pergi ke rumah sakit?” Adrian memastikannya pada Emery. “Ayo pergi!” ajaknya.Emery mengangguk. Dia terpaksa pergi dengan Adrian. Selama perjalanan menuju rumah sakit, dia berharap semoga saja Ruben tidak menemukan mereka di sana.Sesampainya di rumah sakit, Emery gelisah sekali. Sedari tadi Adrian perhatikan gerak-gerik Eme
Ruben makin tidak suka ketika Emery mengungkit apalagi menyebut nama Adrian, di saat mereka sedang bersama. Begitu rupanya, Emery coba memahami isi hati Ruben yang kini sedang dilanda api cemburu.“Tadi, katamu aku sudah bisa menempati rumah baru itu. Kalau begitu, aku akan tinggal di sana mulai malam ini. Bagaimana menurutmu?” tanya Emery meminta pendapat Ruben.“Itu bagus untukmu,” jawab Ruben.Emery melirik sambil tersenyum genit pada Ruben. “Apa kamu mau menemaniku malam ini di rumah baru itu?” tawarnya.Ruben menoleh. “Kamu ingin aku tinggal di sana semalaman?” Dia memastikannya dulu.“Kenapa tidak?” goda Emery. “Aku akan merasa kesepian di sana tanpamu.”“Tentu. Aku akan menginap di sana.” Ruben langsung setuju.Emery tersenyum agak sinis. Mudah sekali merayu Ruben di saat pria itu benar-benar jatuh ke pelukannya. Dia tidak perlu waktu lama untuk memastikannya. Ruben langsung menerima ajakan Emery tanpa alasan ini itu.Ruben yang sedang jatuh cinta berbeda sekali dengan dia keti
“Bukan. Kata siapa aku dokter? Aku adalah teman tantemu. Maukah kamu juga berteman denganku?” tawar Sean seraya membujuk anak kecil itu.Gadis kecil itu mengangguk perlahan-lahan. Dia melihat Sean seperti orang yang baik. Apalagi setelah diberitahu kalau Sean adalah teman tantenya, Sienna.“Kalau kamu mau jadi temanku, aku akan memberimu permen. Tapi, permennya ada di dalam mobil. Apa kamu mau pergi denganku untuk mengambilnya?” bujuk Sean lagi.Sean menggandeng tangan gadis kecil itu setelah keduanya bersepakat. Sienna mengikutinya dari belakang. Dia berharap semoga saja keponakannya itu mau dibujuk dan diperiksa oleh Sean.“Kudengar kamu sering mengeluh sakit perut. Apa itu benar?” tanya Sean perlahan-lahan. “Kalau boleh tahu, di mana kamu merasakan rasa sakitnya?”Gadis itu menunjuk ke arah perutnya. Sean pun segera mengetahuinya. Setelah keponakan Sienna memberitahukannya.“Kamu benar, dia mengalami usus buntu,” bisik Sean pada Sienna.“Anda yakin, Dokter Sean?” Sienna memastikann
“Itu … tidak ada. Kami tidak saling berkomunikasi lagi,” sangkal Emery. Kedengarannya seperti kebohongan yang dibuat-buat. Tetapi, syukurlah profesor Rudiana tidak mencurigainya sama sekali.“Jangan membohongiku, Emery! Wanita licik sepertimu tidak bisa dipercaya,” tuduh profesor Rudiana.“Apa maksud Anda, Profesor?” Emery langsung gelagapan. Nada bicaranya berubah, jadi terbata-bata.‘Apa profesor tahu kalau hubunganku dengan putranya semakin dekat saat ini?’ pikir Emery.“Sebaiknya kamu berhati-hati saja denganku, Emery. Karena aku bisa saja menghancurkan karirmu dalam sekejap saja jika saya mau. Kamu paham maksud pembicaraan kita, kan?” Profesor Rudiana memperingatkan Emery.“Saya mengerti, Profesor.”Untuk sementara ini, Emery masih bisa mengelabui pria tua itu. Tapi, untuk selanjutnya dia tidak bisa memprediksikannya. Dia harus mencari cara lain agar profesor Rudiana tidak curiga kepadanya.***“Bagaimana keadaan pasienmu? Yang tadi kamu operasi?” tanya Ruben pada Sean di ruangan
Pukul 6 pagi, Ruben tiba di rumah baru yang ditempatinya bersama Emery. Astaga! Dia membelalak kaget melihat seisi rumahnya sangat berantakan sekali. Ada banyak sekali sampah kemasan makanan ringan berserakan di ruang tengah.Tidak hanya itu, minuman kaleng, cangkir kopi juga memenuhi meja di ruang tengah. Lalu, ke mana Emery pergi? Kenapa dia tidak kelihatan sama sekali? Ruben merasa heran saja.“Sayang, di mana kamu?” teriak Ruben sambil berkacak pinggang.Kurang lebih, ada sekitar tiga panggilan yang sudah dilakukan oleh Ruben. Namun, Emery sama sekali tidak menyahutnya. Dia sudah berusaha menghubunginya via telepon, tetap saja Emery tidak ada jejak. Seperti hilang bagai ditelan bumi.“Emery ….” Ruben melihat-lihat di belakang sofa. Dia terkejut melihat kekasihnya berada di sana. Dia ingin ketawa sekaligus kesal.“Apa dari semalaman dia tidur di sana?” pikir Ruben.Ruben tidak habis pikir saja. Bisa-bisanya Emery ketiduran di belakang sofa. Lantas, dia mendekati Emery lalu menggend
Emery tersenyum menanggapinya. Bukan dia tidak percaya pada Ruben. Tapi, dia ingin Ruben termotivasi mendapatkan ikan yang besar.Setelah beberapa menit, sungai di hadapan Ruben terlihat tenang sekali. Nyaris tidak ada pergerakan ikan yang berhasil menangkap umpan di kail Ruben.“Sayang, apa kamu sudah mendapatkan ikannya?” tanya Emery tak sabaran. Dia sudah siap-siap hendak memanggang ikan hasil tangkapan Ruben.“Aku belum mendapatkannya. Sabar sebentar, Sayang,” sahut Ruben.“Ya ampun! Sudah lama kamu duduk di sana dan kamu belum mendapatkan ikan satu pun?”“Sebentar lagi. Aku pasti akan mendapatkannya,” kata Ruben optimis sekali.“Kamu yakin bisa mendapatkannya?” Emery makin meragukannya.“Tentu. Masih banyak waktu sampai makan malam tiba nanti, kan?” Ruben meyakinkannya.Emery mengalah. Dia akan menunggu sampai Ruben berhasil memancing ikan di sungai. Sebenarnya dia agak lapar. Dia menyeduh mie instan dalam kemasan. Kemudian, dia duduk di samping Ruben sambil membagikan mie instan
“Iya, aku tahu itu. Kamu nggak usah ngegas gitu, Ruben,” balas Sean. “Tidak diberitahu pun aku sudah tahu.”“Aku hanya mengingatkanmu aja, Sean. Barangkali kamu sudah lupa. Kalau Emery hanya milikku seorang,” kata Ruben dengan bangga.“Cuih! Seenaknya saja ngaku-ngaku dia milikmu. Jika dia milikmu lantas kenapa kamu melepasnya pergi. Bodoh!” ejek Sean.“Aku tidak melepasnya. Dianya aja yang banyak pertimbangan,” Ruben membela diri.“Terang aja dia banyak pertimbangan. Sikapmu aja kayak bunglon, sering berubah-ubah nggak karuan.”“Sudah hentikan! Aku nggak mau kita bertengkar.”“Lalu, kamu menelponku hanya untuk menanyakan hal ini aja?”“Sean, aku mohon sama kamu. Bantu aku untuk mengawasinya. Cuma kamu satu-satunya keluargaku yang bisa kuandalkan di sana. Kamu mau, kan, membantuku?” pinta Ruben dengan nada memelas.&ldquo
“Sean?” Emery membuka kaca mobil dan berbincang sebentar dengan Sean.“Apa kamu sedang terburu-buru? Aku ingin mentraktirmu minum kopi. Gimana?” tawar Sean.“Aku minta maaf, Sean. Aku harus segera menjemput Ben di daycare. Lain kali saja, oke?” tolak Emery dengan ramah.“Oh, oke. Tidak apa-apa. Hati-hati saat berkendara!” Sean menasihati. Emery mengangguk mantap.Tak lama setelah berpamitan dengan Sean, Emery melajukan mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit.***“Kamu yakin tidak ingin ikut denganku?” Ruben memastikannya kembali. Siapa tahu Emery berubah pikiran di saat-saat terakhir mereka berpisah di bandara.“Aku akan menunggumu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa menungguku?” Ruben takut sekali. “Kamu tidak akan berpaling dan jalan sama pria lain, kan?”“Pria lain, siapa maksudmu?” Emery tersinggung dengan ucapan
Emery mulai menyadari perhatian dari kedua pria tersebut, yang masing-masing menunjukkan rasa cinta dengan cara yang berbeda. Ruben adalah sosok romantis yang penuh tekad. Meski terkadang, dia sangat menyebalkan dengan sikap plin-plannya yang seperti bunglon, sering berubah-ubah.Sementara, Adrian adalah pribadi yang tenang dan suportif. Seperti katanya, dia selalu ada setiap kali Emery membutuhkan pertolongan atau teman untuk bercerita. Kali ini, Emery benar-benar mengalami dilema. Dia berada diposisi sulit karena harus memilih antara dua pilihan. Impian masaa depan bersama Ruben atau kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh Adrian.“Nak, kamu akan memilih yang mana seandainya kamu menjadi Ibu?” tanya Emery saat dia memerhatikan bayi Ben yang sedang menyusui.Bayi Ben hanya tersenyum menanggapi cerita Emery. Seolah-olah balita mungil itu mengerti bahwa yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah ibunya sendiri.“Sekarang, kamu juga membua
“Beri aku waktu!” pinta Emery.“Apa? Waktu?” Ruben membelalak.Emery mengangguk mantap. “Aku masih mempertimbangkannya. Jika aku menikah sekarang, lalu bagaimana dengan Ben Joshua, anak kita?”“Memangnya kenapa dengan dia?” Ruben agak heran. “Bukankah itu bagus untuk perkembangan dia? Dia memiliki keluarga yang lengkap ada orang tua yang akan merawat dia.”“Maksudku, jika Ben dibawa ke luar negeri, aku khawatir dia belum bisa beradaptasi,” kata Emery beralasan.“Dia anak yang pintar. Aku tahu itu. Dia akan lebih cepat beradaptasi di sana. Aku yakin itu,” Ruben berpendapat.Emery kehabisan ide. Bagaimana caranya dia harus menjawab pertanyaan Ruben soal lamaran itu?“Emery ….” Ruben meraih tangan Emery dan coba membujuknya kembali.“Aku ingin melihatmu membuktikan lagi cintamu. Kamu tahu, kan, sejak kamu meragukan kehamilanku hatiku sangat sakit. Saat itu aku berpikir, aku tidak bisa lagi bersama orang yang selalu berprasangka buruk padaku. Apalagi menuduhku yang tidak-tidak,” jelas Eme
“Jangan menggangguku! Aku mau tidur,” balas Emery yang tidak mau berbalik ke arah Ruben.“Sayang, kamu mengabaikan aku?” Ruben protes. Dia tidak terima Emery bersikap tidak peduli lagi kepadanya.“Ayolah!” bujuk Ruben.Emery tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya kelelahan setelah seharian mengurus bayi Ben. Dia butuh banyak istirahat.“Sudah kubilang, jika kamu terus menggangguku, aku terpaksa menendangmu dari kamarku. Kamu mau aku melakukannya?” ancam Emery meski kedua matanya terpejam.Ruben pun akhirnya menyerah. Jika itu yang diinginkan Emery, dia memilih untuk mengalah saja. Dia tidak mau ambil risiko seandainya Emery marah hanya karena masalah sepele seperti itu. Dia turun dari ranjang Emery dan kembali ke sofa bed tempatnya tidur.‘Malam ini kelabu sekali bagiku,’ ujar Ruben dalam hati.***Beberapa bulan kemudian, Emery pergi ke rumah sakit tempat dia bekerja
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m
“Aku … tadi sedang menyusui putraku. Jadi, aku tidak memegang ponsel,” kata Emery beralasan.“Tapi, setidaknya kamu bisa memberitahuku terlebih dahulu, kan? Jangan membuatku cemas!” Emosi Ruben meledak-ledak saking khawatir dengan keadaan Emery.“Sejak kapan kamu peduli padaku?” sindir Emery.“Aku selalu peduli sama kamu, kamunya saja yang tidak peka terhadap perasaanku,” ketus Ruben seraya memalingkan wajah. Sesekali dia melirik Emery karena mantan istrinya itu tidak memberi respon apa pun.“Masuklah! Udara di luar sangat dingin,” kata Emery mempersilakan Ruben masuk. “Lagian hujan-hujan begini dan sudah larut malam malah datang bertamu, memangnya nggak bisa besok pagi saja?” gerutunya sambil menutup pintu setelah Ruben masuk ke ruang tamu.Tiba-tiba, kedua tangan Ruben melingkar di pinggang Emery. Pria itu memeluk Emery dari belakang dengan sangat erat.“A
Keesokan paginya, Ruben terbangun dari tidurnya. Ketika dokter akan kembali memeriksa bayi Ben Joshua. Ajaibnya, demam Ben Joshua langsung menurun drastis. Emery makin terharu dengan apa yang telah dilakukan Ruben pada Ben Joshua.“Demamnya sudah turun. Terima kasih banyak, Dokter Ruben. Anda sudah melakukannya dengan baik. Hanya seorang ayahlah yang mampu melakukannya,” puji dokter itu dengan bangga.“Terima kasih. Anda juga sudah melakukan yang terbaik untuk putra saya,” balas Ruben. Secara tidak langsung dia mengakuinya di hadapan semua orang. Termasuk Emery.“Hari ini bayi Ben Joshua boleh pulang. Tapi, perhatikan perkembangannya lagi. Jangan sampai dia demam kembali,” saran dokter.Emery dan Ruben mengangguk bersamaan. Mereka terlihat kompak sekali saat ini. Setelah itu, dokter pergi meninggalkan ruang inap Ben Joshua. Bayi tampan itu masih tertidur pulas saat Emery memindahkannya ke ranjang pasien.Sementara itu, Ruben mengambil kemejanya. Lalu, dia memakainya kembali sambil mem