Emery tersenyum menanggapinya. Dia berusaha menenangkan perasaan Ruben yang kalut dan mencemaskannya. Ruben takut sekali jika ada ucapan ayahnya yang tidak berkenan di hati kekasihnya itu."Percaya sama aku aja, aku tidak menyembunyikan apa pun darimu," kata Emery yang terus meyakinkannya.“Baiklah. Aku percaya sama kamu, Sayang,” balas Ruben.‘Apa dia mencurigaiku karena aku kelihatan sedang berbohong kepadanya?’ pikir Emery. Dia takut sekali jika rencananya berantakan karena Ruben mencium kebohongannya.“Aku cuma mau bilang sama kamu. Untuk saat ini, kamu harus baik pada ayahku. Give in so that no one can defeat you. Humble yourself so that no one can humble you,” pesan Jhon.“Aku mengerti,” Emery patuh.“Bagus. Itu yang kusuka darimu, Sayang. Kamu selalu patuh dan tidak pernah membantah. Itu salah satu alasanku mencintaimu,” ungkap Ruben.“Tapi, dulu kamu selalu memarahiku,” keluh Emery. Ketika dia mengingat-ingat kejadian di masa lalu.“Itu karena aku masih menjadi seniormu. Aku m
Emery mendekati pintu rumah dan melihat keadaan di luar. Ada seorang kurir makanan di depan rumahnya. Lantas, dia membukakan pintu rumahnya.“Permisi, apa Anda Nona Emery?” tanya kurir pengantar makanan itu pada Emery. “Iya, benar. Maaf, siapa yang memesan makanan itu?” Emery balik bertanya.“Tuan Ruben yang telah memesankannya untuk Anda. Mohon diterima, Nona,” kata kurir itu memberitahu.“Oh, begitu rupanya.” Emery senyum-senyum sendiri menerima paket makanan itu.‘Dia memesan dan mengantarkan makanan sebanyak ini?’ Emery membelalak kaget melihat isi goodiebag dari kurir pengantar makanan itu.Emery jadi teringat pada kebaikan Sean. Pria itu pernah melakukan hal yang sama di masa lalu kepadanya. Jika teringat lagi tentang semua kebaikan Sean kepadanya, dia jadi makin merasa bersalah karena menolak cinta dari pria baik itu.“Apa kabar dia sekarang?” Emery ingin tahu kabarnya. Sudah lama dia tidak bertemu dengan Sean lagi, kenangnya.Emery membuka isi goodiebag itu. Kiriman makanan d
Emery turun dari tempat tidur. Lalu, dia berjalan mendekati jendela kamar. Dia melihat jalan di sekitar rumah Ruben lengang dan sepi. Sepertinya Ruben masih lama pulangnya, pikirnya. Dia benar-benar kesepian di rumah Ruben malam ini.Emery tahu betul pekerjaan seorang dokter di rumah sakit. Jam pulang saja tidak menentu. Sebaiknya dia pergi tidur dan tidak perlu menunggu sampai Ruben pulang. Karena menunggunya hanya akan sangat melelahkan baginya.“Aku ingin dia cepat pulang,” harap Emery agak sangsi.Tak lama kemudian, harapan Emery pun terkabul. Di luar sana terdengar suara mobil Ruben yang baru saja tiba di rumahnya. Emery senang sekali Ruben sudah pulang. Sebaiknya dia pura-pura tidur saja. Agar Ruben tidak mengkhawatirkannya.Ruben membuka pintu kamarnya. Dia melihat Emery sudah tertidur lelap di tempat tidurnya. Dia berjalan perlahan-lahan tanpa meninggalkan jejak langkah suara kakinya, agar tidak membangunkan tidur Emery.Ruben mengecup kening Emery sambil mengucapkan sesuatu d
Emery kurang suka karena Adrian harus pergi bersamanya ke rumah sakit menemui profesor Rudiana. Dia jadi harap-harap cemas. Bagaimana jika nanti mereka bertemu dengan Ruben? Bisa jadi masalah besar nantinya.Setelah kelas berakhir, Emery hendak menuju rumah sakit. Di taman kampus, dia bertemu dengan Adrian. Pria itu ada di kampus tetapi tidak masuk kelas. Dia heran.“Emery!” Adrian melambaikan tangan seraya memanggil Emery di bangku taman.Emery menghampirinya. “Kenapa kamu tidak masuk kelas?” tanyanya ingin tahu.“Aku sedang menunggumu di sini. Aku terlambat jadi tidak bisa masuk kelas,” Adrian beralasan.“Oh, begitu rupanya.” Emery mengerti.“Bukankah kita harus pergi ke rumah sakit?” Adrian memastikannya pada Emery. “Ayo pergi!” ajaknya.Emery mengangguk. Dia terpaksa pergi dengan Adrian. Selama perjalanan menuju rumah sakit, dia berharap semoga saja Ruben tidak menemukan mereka di sana.Sesampainya di rumah sakit, Emery gelisah sekali. Sedari tadi Adrian perhatikan gerak-gerik Eme
Ruben makin tidak suka ketika Emery mengungkit apalagi menyebut nama Adrian, di saat mereka sedang bersama. Begitu rupanya, Emery coba memahami isi hati Ruben yang kini sedang dilanda api cemburu.“Tadi, katamu aku sudah bisa menempati rumah baru itu. Kalau begitu, aku akan tinggal di sana mulai malam ini. Bagaimana menurutmu?” tanya Emery meminta pendapat Ruben.“Itu bagus untukmu,” jawab Ruben.Emery melirik sambil tersenyum genit pada Ruben. “Apa kamu mau menemaniku malam ini di rumah baru itu?” tawarnya.Ruben menoleh. “Kamu ingin aku tinggal di sana semalaman?” Dia memastikannya dulu.“Kenapa tidak?” goda Emery. “Aku akan merasa kesepian di sana tanpamu.”“Tentu. Aku akan menginap di sana.” Ruben langsung setuju.Emery tersenyum agak sinis. Mudah sekali merayu Ruben di saat pria itu benar-benar jatuh ke pelukannya. Dia tidak perlu waktu lama untuk memastikannya. Ruben langsung menerima ajakan Emery tanpa alasan ini itu.Ruben yang sedang jatuh cinta berbeda sekali dengan dia keti
“Bukan. Kata siapa aku dokter? Aku adalah teman tantemu. Maukah kamu juga berteman denganku?” tawar Sean seraya membujuk anak kecil itu.Gadis kecil itu mengangguk perlahan-lahan. Dia melihat Sean seperti orang yang baik. Apalagi setelah diberitahu kalau Sean adalah teman tantenya, Sienna.“Kalau kamu mau jadi temanku, aku akan memberimu permen. Tapi, permennya ada di dalam mobil. Apa kamu mau pergi denganku untuk mengambilnya?” bujuk Sean lagi.Sean menggandeng tangan gadis kecil itu setelah keduanya bersepakat. Sienna mengikutinya dari belakang. Dia berharap semoga saja keponakannya itu mau dibujuk dan diperiksa oleh Sean.“Kudengar kamu sering mengeluh sakit perut. Apa itu benar?” tanya Sean perlahan-lahan. “Kalau boleh tahu, di mana kamu merasakan rasa sakitnya?”Gadis itu menunjuk ke arah perutnya. Sean pun segera mengetahuinya. Setelah keponakan Sienna memberitahukannya.“Kamu benar, dia mengalami usus buntu,” bisik Sean pada Sienna.“Anda yakin, Dokter Sean?” Sienna memastikann
“Itu … tidak ada. Kami tidak saling berkomunikasi lagi,” sangkal Emery. Kedengarannya seperti kebohongan yang dibuat-buat. Tetapi, syukurlah profesor Rudiana tidak mencurigainya sama sekali.“Jangan membohongiku, Emery! Wanita licik sepertimu tidak bisa dipercaya,” tuduh profesor Rudiana.“Apa maksud Anda, Profesor?” Emery langsung gelagapan. Nada bicaranya berubah, jadi terbata-bata.‘Apa profesor tahu kalau hubunganku dengan putranya semakin dekat saat ini?’ pikir Emery.“Sebaiknya kamu berhati-hati saja denganku, Emery. Karena aku bisa saja menghancurkan karirmu dalam sekejap saja jika saya mau. Kamu paham maksud pembicaraan kita, kan?” Profesor Rudiana memperingatkan Emery.“Saya mengerti, Profesor.”Untuk sementara ini, Emery masih bisa mengelabui pria tua itu. Tapi, untuk selanjutnya dia tidak bisa memprediksikannya. Dia harus mencari cara lain agar profesor Rudiana tidak curiga kepadanya.***“Bagaimana keadaan pasienmu? Yang tadi kamu operasi?” tanya Ruben pada Sean di ruangan
Pukul 6 pagi, Ruben tiba di rumah baru yang ditempatinya bersama Emery. Astaga! Dia membelalak kaget melihat seisi rumahnya sangat berantakan sekali. Ada banyak sekali sampah kemasan makanan ringan berserakan di ruang tengah.Tidak hanya itu, minuman kaleng, cangkir kopi juga memenuhi meja di ruang tengah. Lalu, ke mana Emery pergi? Kenapa dia tidak kelihatan sama sekali? Ruben merasa heran saja.“Sayang, di mana kamu?” teriak Ruben sambil berkacak pinggang.Kurang lebih, ada sekitar tiga panggilan yang sudah dilakukan oleh Ruben. Namun, Emery sama sekali tidak menyahutnya. Dia sudah berusaha menghubunginya via telepon, tetap saja Emery tidak ada jejak. Seperti hilang bagai ditelan bumi.“Emery ….” Ruben melihat-lihat di belakang sofa. Dia terkejut melihat kekasihnya berada di sana. Dia ingin ketawa sekaligus kesal.“Apa dari semalaman dia tidur di sana?” pikir Ruben.Ruben tidak habis pikir saja. Bisa-bisanya Emery ketiduran di belakang sofa. Lantas, dia mendekati Emery lalu menggend
“Apa yang terjadi? Kudengar kamu diskors karena berkelahi dengan Sienna. Apa itu benar?” Sean memburu pertanyaan pada Emery.Emery tidak begitu menggubrisnya. Dia masih sibuk mengurusi pasien-pasiennya di IGD. Sean tidak menyerah. Dia telanjur penasaran dan ingin memastikannya langsung dari Emery.“Emery, jawab aku!” desak Sean. Dia agak memaksa dan mengganggu pekerjaan terakhir Emery di ruang IGD.“Sean, aku sedang bekerja sekarang,” Emery beralasan.“Aku butuh jawabanmu sekarang, Emery. Bukan nanti,” tegas Sean.“Oke, baiklah. Aku memang berkelahi dengan Sienna. Kemudian, Tuan Milano datang dan melihat perkelahian kami. Hingga akhirnya kami berdua diskors. Puas?” jelas Emery.“Jadi, berita itu benar?” Sean terkejut mendengarnya. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan selama menjalani masa skorsing?” tanyanya ingin tahu.“Entahlah. Mungkin aku akan p
“Belum bisa dipastikan gejala yang dialami putri Anda adalah baby blues sindrom. Kita tunggu saja hasil pemeriksaan dari dokter Sienna,” hibur Emery menenangkan hati nyonya itu.“Saya ingin tahu tentang penyakit itu, Dokter Emery. Tolonglah!” mohon nyonya itu.“Baby blues sindrom adalah gangguan kesehatan mental yang dialami wanita setelah melahirkan. Gangguan ini ditandai dengan munculnya perubahan suasana hati, seperti gundah dan sedih secara berlebihan,” jelas Emery.“Apa itu bisa dikatakan sebuah penyakit?”“Tentu saja bukan. Baby blues sindrom sering terjadi pada wanita yang sudah melahirkan karena mengalami perubahan hormon dan sulitnya beradaptasi. Umumnya terjadi di hari ketiga atau keempat setelah melahirkan dan akan berlangsung selama 14 hari ke depan.”“Bagaimana cara mengenalinya, Dok?”“Putri Anda akan sangat kelelahan karena terjaga sepanjang malam. K
Emery tiba di rumah ayah mertuanya, profesor Rudiana. Setelah memastikan ayah mertuanya tidur dan bisa beristirahat dengan baik juga nyaman, Emery bisa merasa tenang. Sebelum pulang, Emery dan Sean pergi ke restoran terdekat. Mereka hendak makan malam bersama.“Kenapa kamu memilih restoran ini?” Emery tertegun. Karena Sean mengajaknya makan malam di restoran yang sama, ketika mereka putus waktu itu.“Karena aku ingin mengenang hari terakhir kita bersama. Waktu itu aku marah sekali sama kamu dan melempar kalung itu ke dasar kolam,” kenang Sean.“Apa kamu mencari kalung itu sampai sekarang?” tanya Emery. Sean menoleh.Sean hanya menampilkan senyum sekilas. Kemudian, dia jalan duluan sambil memilih tempat duduk.“Aku masih menyimpannya. Aku hendak memberikannya waktu itu. Tapi, kamu pasti akan menolaknya. Jadi, aku menyimpannya di kamarku, di rumah orang tuaku,” jelas Emery. Dia duduk berhadap-hadapan de
“Sebelum menikah dengan Ruben, Emery adalah tunangan saya,” kata Sean memberitahunya.“Benarkah?” Sienna baru tahu tentang hal itu. “Apa sekarang Anda sudah mencari penggantinya?”“Saya tidak tertarik pada wanita lain,” tegas Sean.“Jangan seperti itu! Anda akan dianggap egois sekali jika tidak memberikan kesempatan pada wanita lain untuk mengisi kekosongan di hati Anda,” kata Sienna menyarankan.“Menurutmu seperti itu?” Sean mengerutkan keningnya.“Ya. Anda tidak akan pernah tahu siapa yang menjadi pendamping hidup Anda, yang menurut Tuhan itu baik untuk Anda.”Sean tak berkutik lagi usai mendengarkan pembicaraan Sienna. Selang beberapa detik kemudian, Sienna turun dari mobil Sean seraya mengucapkan terima kasih karena sudah mengantarnya pulang.“Sampai jumpa lagi besok,” ucap Sienna sambil tersenyum ramah. Namun, Sean hanya membalasnya de
Emery dan Sean jalan bersama di sekitar taman rumah sakit. Emery terdiam cukup lama. Sampai akhirnya mereka menemukan tempat duduk, keduanya duduk-duduk santai di sana.“Bagaimana perasaanmu sekarang?” Sean memulai pembicaraan terlebih dahulu.“Perasaanku?” ulang Emery agak bingung. “Biasa saja. Tidak ada yang istimewa.”“Apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak sedang memikirkan pasienmu tapi tentang Ruben, kan?” tebak Sean.Emery menoleh ke arah Sean yang sok tahu. Lalu, dia menampilkan senyum sekilas. “Kamu sudah tahu aku memikirkannya. Lalu, kenapa kamu menanyakannya lagi?”“Aku hanya ingin memastikan saja. Sepertinya kamu cinta banget sama sepupuku itu.”Emery tersenyum lagi. Sean balas tersenyum menanggapinya. Setidaknya dia senang karena sudah bisa menghibur hati Emery yang sedang bersedih.Sean merogoh saku jas dokternya. Sepertinya dia menyimpan sesuatu di sana
“Apa?” Tuan Milano mengerutkan kening mendengar permohonan Emery.“Saya tidak ingin Anda mengirimnya ke negara perang itu. Bisakah Anda menggantinya dengan hukuman lain?” Emery bernegosiasi.“Maaf, Dokter Emery. Saya tidak bisa melakukannya. Kami sudah menandatangani dan menyepakatinya. Hari ini saya akan menyerahkan surat perjanjian itu ke markas besar tentara perdamaian negara.”“Tuan Milano, tolonglah! Saya mohon pada Anda,” rengek Emery. “Anda tidak bisa membiarkan seorang direktur utama di rumah sakit Anda pergi begitu saja menjadi dokter relawan di negara perang itu.”“Dengarkan saya, Dokter Emery! Saya tidak pernah memaksa dokter Ruben untuk pergi ke sana. Dia sendiri yang dengan sukarela menawarkan dirinya untuk pergi ke sana. Bahkan, dia menggantikan posisi hukumanmu.”“Mohon pertimbangkanlah lagi, Tuan!” Emery masih pasang wajah memelas di depan Tuan Milan
“Aku akan pergi sekarang,” kata Emery hendak meninggalkan ruangan Ruben.“Nanti kita bicara lagi di rumah, Sayang,” balas Ruben.Sienna agak tidak senang dengan pembicaraan mereka. Ruben dan Emery kini sudah berani memamerkan kemesraannya di hadapan rekan-rekan kerjanya yang lain. Ruben mungkin merasa sudah tidak menjadi masalah lagi. Namun, bagi Sienna tetap saja jadi risih melihatnya.“Saya akan meletakkan dokumen yang Anda butuhkan di meja. Permisi,” kata Sienna yang bergegas pergi meninggalkan ruang kerja Ruben.“Terima kasih,” ucap Ruben.Sienna menyusul Emery. Kebetulan sekali, Emery belum terlalu jauh melangkah. Sehingga dia bisa mengikutinya dari belakang Emery.Emery berhenti di sebuah mesin soft drink. Dia mencari koin di saku jas dokternya. Sayang sekali, dia tidak membawa uang koin. Lantas, Sienna yang memasukkan koin tersebut dan memberikan soft drink itu pada Emery.“
Ruben mengikuti Tuan Milano di belakangnya. Pagi ini, Tuan Milano ingin bicara serius dengan Ruben, terkait masalah pernikahannya dengan Emery. Ruben sudah siap menerima dan menanggung segala risikonya.Jika Emery dulu pernah rela berkorban untuknya, apa salahnya Ruben melakukan hal yang sama saat ini untuk istrinya. Agar impas.“Dokter Ruben!” panggil Tuan Milano.“Iya, Tuan,” sahut Ruben dengan tegas.“Kamu tahu, kan, alasan kenapa saya memanggilmu ke sini?”“Saya tahu, Tuan.”“Bagus. Jadi, saya tidak akan menjelaskannya lagi jika kamu sudah tahu maksud arah pembicaraan kita kali ini.”Tuan Milano mengungkit kembali kesalahan Ruben dan Emery yang telah melanggar peraturan rumah sakit. Dalam surat perjanjian antara pegawai dengan pihak rumah sakit tidak diperbolehkan berhubungan atau menjalin asmara dengan sesama rekan kantor. Jika hal itu tidak bisa dihindarkan, maka solusi
“Tidak apa-apa, lupakan saja. Ada apa? Sepertinya ada yang ingin kamu bicarakan denganku. Katakan saja!” Profesor Rudiana bangkit dari tidurnya dan duduk perlahan-lahan sambil menyandarkan tubuhnya di belakang tumpukan bantal.Ruben membantu ayahnya supaya duduknya lebih nyaman lagi. Setelah itu, dia duduk di samping tempat tidur sang ayah sambil menarik napas panjang sebelum berbicara serius dengannya.“Ayah, aku ingin minta maaf padamu,” ucap Ruben memulai pembicaraan. Profesor Rudiana menoleh ke arahnya.“Kelihatannya pembicaraanmu serius sekali,” kata profesor Rudiana menimpalinya. “Apa ini soal pernikahanmu dengan wanita itu?” terkanya.“Iya, itu benar, Yah. Aku sangat mencintainya. Karena itulah aku menikahinya,” ungkap Ruben. Dia mengatakan yang sebenarnya dari lubuk hatinya paling dalam.Profesor Rudiana tersenyum agak sinis. “Kamu hanya mencintai wanita itu. Apa tidak ada wa