“Itu … tidak ada. Kami tidak saling berkomunikasi lagi,” sangkal Emery. Kedengarannya seperti kebohongan yang dibuat-buat. Tetapi, syukurlah profesor Rudiana tidak mencurigainya sama sekali.“Jangan membohongiku, Emery! Wanita licik sepertimu tidak bisa dipercaya,” tuduh profesor Rudiana.“Apa maksud Anda, Profesor?” Emery langsung gelagapan. Nada bicaranya berubah, jadi terbata-bata.‘Apa profesor tahu kalau hubunganku dengan putranya semakin dekat saat ini?’ pikir Emery.“Sebaiknya kamu berhati-hati saja denganku, Emery. Karena aku bisa saja menghancurkan karirmu dalam sekejap saja jika saya mau. Kamu paham maksud pembicaraan kita, kan?” Profesor Rudiana memperingatkan Emery.“Saya mengerti, Profesor.”Untuk sementara ini, Emery masih bisa mengelabui pria tua itu. Tapi, untuk selanjutnya dia tidak bisa memprediksikannya. Dia harus mencari cara lain agar profesor Rudiana tidak curiga kepadanya.***“Bagaimana keadaan pasienmu? Yang tadi kamu operasi?” tanya Ruben pada Sean di ruangan
Pukul 6 pagi, Ruben tiba di rumah baru yang ditempatinya bersama Emery. Astaga! Dia membelalak kaget melihat seisi rumahnya sangat berantakan sekali. Ada banyak sekali sampah kemasan makanan ringan berserakan di ruang tengah.Tidak hanya itu, minuman kaleng, cangkir kopi juga memenuhi meja di ruang tengah. Lalu, ke mana Emery pergi? Kenapa dia tidak kelihatan sama sekali? Ruben merasa heran saja.“Sayang, di mana kamu?” teriak Ruben sambil berkacak pinggang.Kurang lebih, ada sekitar tiga panggilan yang sudah dilakukan oleh Ruben. Namun, Emery sama sekali tidak menyahutnya. Dia sudah berusaha menghubunginya via telepon, tetap saja Emery tidak ada jejak. Seperti hilang bagai ditelan bumi.“Emery ….” Ruben melihat-lihat di belakang sofa. Dia terkejut melihat kekasihnya berada di sana. Dia ingin ketawa sekaligus kesal.“Apa dari semalaman dia tidur di sana?” pikir Ruben.Ruben tidak habis pikir saja. Bisa-bisanya Emery ketiduran di belakang sofa. Lantas, dia mendekati Emery lalu menggend
Emery tersenyum menanggapinya. Bukan dia tidak percaya pada Ruben. Tapi, dia ingin Ruben termotivasi mendapatkan ikan yang besar.Setelah beberapa menit, sungai di hadapan Ruben terlihat tenang sekali. Nyaris tidak ada pergerakan ikan yang berhasil menangkap umpan di kail Ruben.“Sayang, apa kamu sudah mendapatkan ikannya?” tanya Emery tak sabaran. Dia sudah siap-siap hendak memanggang ikan hasil tangkapan Ruben.“Aku belum mendapatkannya. Sabar sebentar, Sayang,” sahut Ruben.“Ya ampun! Sudah lama kamu duduk di sana dan kamu belum mendapatkan ikan satu pun?”“Sebentar lagi. Aku pasti akan mendapatkannya,” kata Ruben optimis sekali.“Kamu yakin bisa mendapatkannya?” Emery makin meragukannya.“Tentu. Masih banyak waktu sampai makan malam tiba nanti, kan?” Ruben meyakinkannya.Emery mengalah. Dia akan menunggu sampai Ruben berhasil memancing ikan di sungai. Sebenarnya dia agak lapar. Dia menyeduh mie instan dalam kemasan. Kemudian, dia duduk di samping Ruben sambil membagikan mie instan
“Biarkan Emery masuk. Dia hanya akan menemani pasien saja, bukan untuk melakukan operasi,” Ruben menengahi perdebatan Sienna dengan pasien.“Dokter Ruben, pihak rumah sakit tidak akan menyetujuinya,” kata Sienna mengingatkannya.“Saya yang akan bertanggung jawab atas masalah ini. Jadi, suruh Emery masuk ke ruang operasi,” perintah Ruben.“Kalau begitu, baiklah. Mohon tunggu sebentar, saya akan memanggilkan dokter Emery sesegera mungkin.” Sienna pun patuh. Dia berlarian mencari keberadaan Emery.“Di mana dia?” Sienna mengedarkan seluruh pandangannya mencari Emery. Aneh, Emery ditemukan di sekitar ruang operasi.Sienna mencari ke mana-mana. Dia lari tergopoh-gopoh karena harus menemukan Emery. Ketika dia melewati toilet, Emery baru saja keluar dari sana.“Emery! Syukurlah kamu masih ada di sini,” kata Sienna yang menghampirinya.“Ada apa, Sienna?” Raut wajah Emery langsung berubah seketika.“Pasien ingin kamu menemaninya selama operasi caesar. Dia meminta dokter Ruben untuk mengizinkanm
Satu jam kemudian, Emery sudah tidur di kamarnya ketika Ruben tiba di rumah mereka. Ruben hanya melihatnya sekilas ketika membukakan pintu kamar Emery. Dia tidak ingin membangunkan kekasihnya itu. Hanya dengan melihatnya tertidur pulas, sudah cukup bagi Ruben. Dia juga sangat kelelahan sekali malam ini.Ruben menutup kembali pintu kamar Emery. Lalu, dia berjalan lunglai dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur sesampainya di kamar. Ada yang tengah dia pikirkan saat ini. Besok, dia harus bertanggung jawab pada pihak rumah sakit. Karena sudah mengizinkan Emery memasuki ruang operasi dan membantu persalinan pasien.Ruben termenung sendirian sambil menerawang ke langit-langit kamarnya. Dia memikirkan alasan untuk membela dan melindungi Emery dari ayahnya.***“Selamat pagi!” sapa Emery pada Ruben. Dia sedang di dapur, memasak dan menyiapkan sarapan pagi.Ruben berjalan cepat menghampiri Emery. Tiba-tiba, dia memeluk Emery dari belakang. Di saat Emery sedang memegang wajan panas.“Aku sanga
“Ayah, aku mohon! Tolong maafkan aku sekali ini saja,” mohon Ruben.“Semua karena ulahmu, Ben. Kamu yang berbuat, Ayah yang harus bertanggung jawab pada pihak rumah sakit. Apa kamu senang mempermainkan hidup Ayah yang sudah tua ini?” Profesor Rudiana menyalahkan Ruben.“Tidak Ayah. Aku tidak bermaksud mempermainkan Ayah. Tadinya, aku tidak akan mengizinkan Emery memasuki ruang operasi. Tapi, pasien itu terus memohon padaku. Ada banyak saksinya di ruang operasi itu. Jika Ayah butuh bukti, Ayah bisa menanyakan langsung pada mereka,” jelas Ruben panjang lebar. Dia sedang berusaha membela dirinya sendiri.“Kamu tetap bersalah, Ruben. Pihak rumah sakit tidak akan tinggal diam. Karena kamu memasukkan orang secara ilegal ke ruang operasi. Bahkan, wanita itu sudah membantu persalinan pasien tanpa izin.”“Aku mengerti Ayah.” Ruben pun menyadari kesalahannya. Percuma saja dia panjang lebar menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada profesor Rudiana. Hasilnya tetap dia yang disalahkan.“Pergilah!
“Apa?” Ruben membelalak kaget.Tidak hanya Ruben, profesor Rudiana, dan seluruh staf rumah sakit menyaksikannya. Tuan Milano dengan tegas mengumumkan pemberhentian profesor Rudiana secara mendadak, dengan lisannya langsung.Mau tidak mau, dokter Ruben yang akan mengambil alih tugas profesor Rudiana di rumah sakit. Selain menjadi dokter senior, dia juga akan menjabat posisi tertinggi di rumah sakit. Profesor Rudiana agak sedih mendengarnya. Namun, di sisi lain, dia juga begitu bangga pada putranya.Profesor Rudiana merasa tenang jika orang yang menggantikan posisinya adalah putranya sendiri. Dia tidak khawatir lagi sekarang. Memang sudah saatnya dia berhenti bekerja dan pekerjaannya diteruskan oleh Ruben.Antara senang dan cemas, perasaan itulah yang kini dirasakan oleh Ruben. Keputusan Tuan Milano yang memilihnya menjadi direktur utama sementara di rumah sakit sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Dalam beberapa hari ke depan mungkin akan ada peresmian pergantian direktur utama rumah
“Saya juga mendengar kalau kamu kemarin melakukan operasi caesar bersama dokter Ruben, tanpa sepengetahuan rumah sakit. Bukankah itu melanggar peraturan di rumah sakit?” Tuan Milano mengingatkan lagi kesalahan Emery beberapa hari yang lalu.“Maafkan saya, Tuan. Saya terpaksa melakukannya karena pasien ingin saya mendampinginya pada saat operasi itu berlangsung.” Emery sama sekali tidak menyangkalnya. Justru, dia memberikan penjelasan dan bisa dimaklumi oleh Tuan Milano.“Bukankah keselamatan pasien lebih penting dibandingkan status saya yang merupakan mantan pegawai di rumah sakit?” Emery membela dirinya sendiri.“Wow, berani sekali kamu berpendapat seperti itu di depan saya,” kagum Tuan Milano.“Ayah, maafkan temanku ini,” bela Adrian.“Tidak apa-apa. Justru Ayah butuh orang sepertimu, Emery. Jadi, maukah kamu kembali ke rumah sakit dan bekerja lagi di sana?” tawar Tuan Milano.“Tuan, benarkah Anda menerima saya kembali di sana?” Emery berkaca-kaca mendengarnya.“Tentu saja. Buktikan