Emery tidak bisa fokus bekerja didekat Ruben. Padahal saat itu ada banyak sekali pasien yang sedang menunggu untuk diperiksa olehnya.“Emery, kenapa kamu melamun?” Ruben membuyarkan lamunannya. “Apa kamu sedang tidak enak badan?” tanyanya penuh perhatian.Sienna dan rekan dokter relawan lainnya menoleh ke arah Emery dan Ruben secara bersamaan. Gelagat mereka berdua sangat aneh. Ruben sudah mulai berani menunjukkan perhatiannya pada Emery.“Tidak apa-apa. Permisi,” ucap Emery yang terburu-buru pergi. Lebih baik dia memeriksa keadaan pasien lain.“Emery, kamu kenapa?” gumam Sienna. “Apa mereka saling jatuh cinta lagi?” terkanya.“Dokter Emery! Tolong kami! Pasien sudah mulai kontraksi,” kata seorang perawat melaporkannya pada Emery.“Baik. Kita ke sana sekarang!” Emery bergegas pergi memeriksanya.Pasien yang akan segera melahirkan itu sudah melewati pembukaan empat. Tidak lama lagi pasien akan melahirkan, sekitar dalam hitungan jam. Pasien sudah berada di tahapan pertama yaitu dilatasi
“Emery!” panggil Ruben di luar sana sambil mengetuk pintu rumahnya dengan tidak sabaran.“Ruben?” Emery mengerutkan keningnya. “Mau ngapain dia malam-malam begini ke rumahku?”Emery beranjak dari tempat duduknya. Lalu, dia membukakan pintu rumahnya dan Ruben menerobos masuk ke dalam.“Apa kamu punya garam? Boleh aku memintanya sedikit saja?” pinta Ruben.“Ada di dapur. Kamu bisa mengambilnya,” sahut Emery.“Baik. Aku akan ke dapur untuk mengambilnya.” Ruben bergegas pergi ke dapur. Tak lama kemudian, dia juga berteriak lagi.“Mer, sekalian sama gula dan mie instannya, ya?” pinta Ruben selanjutnya.“Iya, ambil saja!” Emery mempersilakannya. “Mer!” panggil Ruben lagi.“Astaga! Ada apa lagi sih?” Emery sampai kesal. Dia menghampiri Ruben di dapur.“Ah, kebetulan kamu datang. Di mana kamu menaruh garam dan gulanya? Aku tidak bisa menemukannya,” Ruben beralasan.Emery berdecak. Lalu, dia mulai mencari bumbu-bumbu dapur itu di lemari makanan. Beberapa detik, dia tertegun. Sepertinya dia lu
"Dari mana kamu tahu? Aku belum mengatakan apa-apa lho sama kamu," Emery heran.Sienna membalikkan tubuh. Lalu, dia menunjukkan teleponnya."Pengumumannya sudah tersebar di grup kami," kata Sienna memberitahu."Oh begitu rupanya." Emery baru menyadarinya. Dia tidak terpikirkan ke arah sana tadi.Ternyata perintah dari profesor Rudiana sudah dipublikasikan di grup dokter relawan rumah sakit. Emery tidak tahu akan hal itu. Karena dia sudah bukan lagi bagian dari rumah sakit, tempatnya bekerja dulu."Aku akan berkemas sekarang. Aku pergi dulu ya, Mer," pamit Sienna.Sienna berjalan cepat meninggalkan Emery. Lantas, Emery pun bergegas menuju tenda darurat. Dia tidak ingin membuat pasien-pasiennya menunggu terlalu lama.Beberapa jam kemudian, Emery sudah selesai memeriksa pasien-pasiennya. Dia segera memenuhi panggilan dari kepala desa. Ada yang ingin disampaikan kepala desa pada Ruben dan para dokter relawan lainnya sebelum mereka kembali ke rumah sakit.Kepala desa memberikan sambutan da
“Ruben!” panggil Sean. Dia melihat Ruben keluar dari ruangan profesor Rudiana.Ruben menoleh. Raut wajahnya masih kelihatan kesal sekali setelah berdebat hebat dengan ayahnya.“Kapan kamu datang?” tanya Sean sekadar basa-basi.“Barusan,” sahut Ruben agak ketus.“Kamu ada waktu sekarang? Aku mau ngomong sama kamu,” kata Sean. Sepertinya pembicaraan mereka akan sangat serius sekali kali ini.“Soal apa?” Ruben ingin tahu.“Emery,” balas Sean.Ruben manggut-manggut. “Oke. Kita ke kafetaria aja,” sarannya.Ruben dan Sean pergi bersama-sama ke kafetaria. Tak lama waktu berselang, mereka tiba di kafetaria sembari memesan kopi favoritnya masing-masing.“Mau ngomong apaan?” tanya Ruben tak sabaran.Sean memperlihatkan foto-foto mesra Ruben dengan Emery di galeri teleponnya. Ruben tersontak kaget. Dia tidak mengira kalau Sean memiliki foto-fotonya kemarin selama dia menjadi dokter relawan di Pulau Borneo."Apa kamu bisa jelasin apa maksud dari semua ini?" desak Sean."Itu ...." Ruben terbata-ba
“Di mana kalung berlian itu?” Emery masih sibuk mencari kalung berlian yang dilempar Sean ke kolam ikan.Emery turun ke dasar kolam. Dia berusaha menemukan kalung berlian itu. Dia takut sekali saat memasuki kolam ikan yang tingginya hampir setengah dari badannya. Bagaimana jika kalung berlian itu benar-benar hilang, tidak bisa ditemukannya? Dia panik sekali waktu itu.“Nona, apa yang Anda lakukan di sana?” Seorang pelayan datang menghampirinya. Dia terkejut melihat Emery turun ke kolam.“Maafkan saya. Saya sedang mencari barang saya yang hilang di sini,” Emery beralasan.“Barang seperti apa itu, Nona? Saya akan membantu Anda,” kata pelayan itu menawarkan diri.“Kalung saya,” jelas Emery sambil terisak. Dia mengatakan pada pemuda itu sambil berurai air mata.“Baik. Saya akan membantu Anda mencarinya.” Pemuda itu turun ke kolam ikan untuk membantu Emery mencari kalungnya yang hilang.Selang satu jam kemudian, kalung itu akhirnya bisa ditemukan. Emery menghela napas lega setelah nyaris f
“Apa? Kamu ingin apa?” Emery memotong pembicaraan. Ruben belum selesai mengatakan keinginannya pada Emery.“Ah, sudahlah! Lupakan saja.” Ruben tidak melanjutkan pembicaraan.Ruben tahu, saat ini bukan waktu yang tepat. Meskipun dalam hatinya dia sedang ingin bercinta. Emery belum siap menerima itu.“Kausnya sudah kering. Sebaiknya, aku siap-siap untuk pulang sekarang,” kata Emery.“Pulang? Secepat itu?” Ruben mengernyitkan dahi.“Iya. Aku harus segera pulang. Aku tidak ingin orang tuaku khawatir dan menungguku di rumah,” Emery beralasan.“Baiklah, aku akan mengantarmu. Tunggu sebentar, ya!” Ruben bergegas mengambil sweater, dompet, dan kunci mobilnya.Emery menghela napas panjang. “Hampir saja.”“Hampir apa?” sela Ruben. Dia mendengar celetukan Emery.Emery menggelengkan kepalanya. Lalu, dia segera mengambil pakaian dan tasnya. Kemudian, keduanya pergi meninggalkan rumah.***Emery baru saja tiba di rumah orang tuanya. Ruben mengantarnya sampai depan rumah. Namun, dia belum diperboleh
Emery merenung sendirian di kamarnya, memikirkan semua perkataan Ruben tempo hari sebelum mereka berpisah di bandara. Tidak hanya kemarin, beberapa waktu lalu pun dia masih mempertimbangkan ucapan Ruben.“Apa dia sungguh-sungguh mengatakannya? Atau dia hanya mengumbar janji-janji manis saja supaya aku percaya lagi kepadanya?” Emery gundah. Dia sampai bolak-balik di dekat tempat tidurnya.Telepon Emery berdering lagi. Saat itu ada panggilan masuk, bersamaan, dari Sean dan Ruben. Emery sampai bingung harus menjawab yang mana terlebih dahulu.“Kenapa mereka meneleponku di waktu yang sama?” keluh Emery.Emery memejamkan kedua matanya lalu dia menekan tombol untuk menjawab salah satunya. Dan jarinya menekan ke tombol Ruben.“Halo?” sapa Emery. Dia masih belum membukakan mata.“Sayang, gimana kabarmu di sana?” sahut Ruben.Emery lekas membuka matanya. Rupanya itu suara Ruben. Dia merasa lega karena pilihannya jatuh pada Ruben.“Aku baik-baik saja di sini,” kata Emery.“Kamu sudah makan mala
Emery menyunggingkan senyum licik di hadapan profesor Rudiana. Ucapannya begitu meyakinkan sehingga membuat profesor Rudiana percaya kepadanya. Tanpa pikir panjang, profesor pun menerima tawaran Emery. Karena Emery sudah berjanji kepadanya tidak akan melakukan sesuatu yang merugikannya, termasuk berhubungan lagi dengan Ruben, putranya.“Baiklah. Saya akan menerimamu lagi di sini. Tapi, untuk sementara, kamu belum bisa masuk ke rumah sakit dan bekerja di sana. Saya ingin melihat buktinya terlebih dahulu. Kalau kamu benar-benar tidak mengganggu putra saya lagi,” kata profesor Rudiana.“Saya mengerti, Profesor,” balas Emery sambil menganggukkan kepalanya.“Jika kinerjamu bagus dan kamu mendapatkan nilai sempurna di setiap mata kuliah yang diberikan di kampus, saya akan mempertimbangkan lagi posisimu di rumah sakit,” janji profesor Rudiana.“Terima kasih, Profesor. Saya janji, saya akan belajar lebih rajin lagi,” ucap Emery.“Bagus. Saya tidak akan pernah menerimamu lagi di rumah sakit ap