“Emery!” panggil Ruben di luar sana sambil mengetuk pintu rumahnya dengan tidak sabaran.“Ruben?” Emery mengerutkan keningnya. “Mau ngapain dia malam-malam begini ke rumahku?”Emery beranjak dari tempat duduknya. Lalu, dia membukakan pintu rumahnya dan Ruben menerobos masuk ke dalam.“Apa kamu punya garam? Boleh aku memintanya sedikit saja?” pinta Ruben.“Ada di dapur. Kamu bisa mengambilnya,” sahut Emery.“Baik. Aku akan ke dapur untuk mengambilnya.” Ruben bergegas pergi ke dapur. Tak lama kemudian, dia juga berteriak lagi.“Mer, sekalian sama gula dan mie instannya, ya?” pinta Ruben selanjutnya.“Iya, ambil saja!” Emery mempersilakannya. “Mer!” panggil Ruben lagi.“Astaga! Ada apa lagi sih?” Emery sampai kesal. Dia menghampiri Ruben di dapur.“Ah, kebetulan kamu datang. Di mana kamu menaruh garam dan gulanya? Aku tidak bisa menemukannya,” Ruben beralasan.Emery berdecak. Lalu, dia mulai mencari bumbu-bumbu dapur itu di lemari makanan. Beberapa detik, dia tertegun. Sepertinya dia lu
"Dari mana kamu tahu? Aku belum mengatakan apa-apa lho sama kamu," Emery heran.Sienna membalikkan tubuh. Lalu, dia menunjukkan teleponnya."Pengumumannya sudah tersebar di grup kami," kata Sienna memberitahu."Oh begitu rupanya." Emery baru menyadarinya. Dia tidak terpikirkan ke arah sana tadi.Ternyata perintah dari profesor Rudiana sudah dipublikasikan di grup dokter relawan rumah sakit. Emery tidak tahu akan hal itu. Karena dia sudah bukan lagi bagian dari rumah sakit, tempatnya bekerja dulu."Aku akan berkemas sekarang. Aku pergi dulu ya, Mer," pamit Sienna.Sienna berjalan cepat meninggalkan Emery. Lantas, Emery pun bergegas menuju tenda darurat. Dia tidak ingin membuat pasien-pasiennya menunggu terlalu lama.Beberapa jam kemudian, Emery sudah selesai memeriksa pasien-pasiennya. Dia segera memenuhi panggilan dari kepala desa. Ada yang ingin disampaikan kepala desa pada Ruben dan para dokter relawan lainnya sebelum mereka kembali ke rumah sakit.Kepala desa memberikan sambutan da
“Ruben!” panggil Sean. Dia melihat Ruben keluar dari ruangan profesor Rudiana.Ruben menoleh. Raut wajahnya masih kelihatan kesal sekali setelah berdebat hebat dengan ayahnya.“Kapan kamu datang?” tanya Sean sekadar basa-basi.“Barusan,” sahut Ruben agak ketus.“Kamu ada waktu sekarang? Aku mau ngomong sama kamu,” kata Sean. Sepertinya pembicaraan mereka akan sangat serius sekali kali ini.“Soal apa?” Ruben ingin tahu.“Emery,” balas Sean.Ruben manggut-manggut. “Oke. Kita ke kafetaria aja,” sarannya.Ruben dan Sean pergi bersama-sama ke kafetaria. Tak lama waktu berselang, mereka tiba di kafetaria sembari memesan kopi favoritnya masing-masing.“Mau ngomong apaan?” tanya Ruben tak sabaran.Sean memperlihatkan foto-foto mesra Ruben dengan Emery di galeri teleponnya. Ruben tersontak kaget. Dia tidak mengira kalau Sean memiliki foto-fotonya kemarin selama dia menjadi dokter relawan di Pulau Borneo."Apa kamu bisa jelasin apa maksud dari semua ini?" desak Sean."Itu ...." Ruben terbata-ba
“Di mana kalung berlian itu?” Emery masih sibuk mencari kalung berlian yang dilempar Sean ke kolam ikan.Emery turun ke dasar kolam. Dia berusaha menemukan kalung berlian itu. Dia takut sekali saat memasuki kolam ikan yang tingginya hampir setengah dari badannya. Bagaimana jika kalung berlian itu benar-benar hilang, tidak bisa ditemukannya? Dia panik sekali waktu itu.“Nona, apa yang Anda lakukan di sana?” Seorang pelayan datang menghampirinya. Dia terkejut melihat Emery turun ke kolam.“Maafkan saya. Saya sedang mencari barang saya yang hilang di sini,” Emery beralasan.“Barang seperti apa itu, Nona? Saya akan membantu Anda,” kata pelayan itu menawarkan diri.“Kalung saya,” jelas Emery sambil terisak. Dia mengatakan pada pemuda itu sambil berurai air mata.“Baik. Saya akan membantu Anda mencarinya.” Pemuda itu turun ke kolam ikan untuk membantu Emery mencari kalungnya yang hilang.Selang satu jam kemudian, kalung itu akhirnya bisa ditemukan. Emery menghela napas lega setelah nyaris f
“Apa? Kamu ingin apa?” Emery memotong pembicaraan. Ruben belum selesai mengatakan keinginannya pada Emery.“Ah, sudahlah! Lupakan saja.” Ruben tidak melanjutkan pembicaraan.Ruben tahu, saat ini bukan waktu yang tepat. Meskipun dalam hatinya dia sedang ingin bercinta. Emery belum siap menerima itu.“Kausnya sudah kering. Sebaiknya, aku siap-siap untuk pulang sekarang,” kata Emery.“Pulang? Secepat itu?” Ruben mengernyitkan dahi.“Iya. Aku harus segera pulang. Aku tidak ingin orang tuaku khawatir dan menungguku di rumah,” Emery beralasan.“Baiklah, aku akan mengantarmu. Tunggu sebentar, ya!” Ruben bergegas mengambil sweater, dompet, dan kunci mobilnya.Emery menghela napas panjang. “Hampir saja.”“Hampir apa?” sela Ruben. Dia mendengar celetukan Emery.Emery menggelengkan kepalanya. Lalu, dia segera mengambil pakaian dan tasnya. Kemudian, keduanya pergi meninggalkan rumah.***Emery baru saja tiba di rumah orang tuanya. Ruben mengantarnya sampai depan rumah. Namun, dia belum diperboleh
Emery merenung sendirian di kamarnya, memikirkan semua perkataan Ruben tempo hari sebelum mereka berpisah di bandara. Tidak hanya kemarin, beberapa waktu lalu pun dia masih mempertimbangkan ucapan Ruben.“Apa dia sungguh-sungguh mengatakannya? Atau dia hanya mengumbar janji-janji manis saja supaya aku percaya lagi kepadanya?” Emery gundah. Dia sampai bolak-balik di dekat tempat tidurnya.Telepon Emery berdering lagi. Saat itu ada panggilan masuk, bersamaan, dari Sean dan Ruben. Emery sampai bingung harus menjawab yang mana terlebih dahulu.“Kenapa mereka meneleponku di waktu yang sama?” keluh Emery.Emery memejamkan kedua matanya lalu dia menekan tombol untuk menjawab salah satunya. Dan jarinya menekan ke tombol Ruben.“Halo?” sapa Emery. Dia masih belum membukakan mata.“Sayang, gimana kabarmu di sana?” sahut Ruben.Emery lekas membuka matanya. Rupanya itu suara Ruben. Dia merasa lega karena pilihannya jatuh pada Ruben.“Aku baik-baik saja di sini,” kata Emery.“Kamu sudah makan mala
Emery menyunggingkan senyum licik di hadapan profesor Rudiana. Ucapannya begitu meyakinkan sehingga membuat profesor Rudiana percaya kepadanya. Tanpa pikir panjang, profesor pun menerima tawaran Emery. Karena Emery sudah berjanji kepadanya tidak akan melakukan sesuatu yang merugikannya, termasuk berhubungan lagi dengan Ruben, putranya.“Baiklah. Saya akan menerimamu lagi di sini. Tapi, untuk sementara, kamu belum bisa masuk ke rumah sakit dan bekerja di sana. Saya ingin melihat buktinya terlebih dahulu. Kalau kamu benar-benar tidak mengganggu putra saya lagi,” kata profesor Rudiana.“Saya mengerti, Profesor,” balas Emery sambil menganggukkan kepalanya.“Jika kinerjamu bagus dan kamu mendapatkan nilai sempurna di setiap mata kuliah yang diberikan di kampus, saya akan mempertimbangkan lagi posisimu di rumah sakit,” janji profesor Rudiana.“Terima kasih, Profesor. Saya janji, saya akan belajar lebih rajin lagi,” ucap Emery.“Bagus. Saya tidak akan pernah menerimamu lagi di rumah sakit ap
Emery tiba di kampus tepat pukul 8 pagi. Dia memasuki ruang kelasnya dan duduk rapi sambil menunggu perkuliahan dimulai. Seorang teman pria duduk di sampingnya. Lalu, pria itu tersenyum kepadanya.“Hai, boleh aku duduk di sini?” tanya pria itu seraya meminta izin pada Emery.“Tentu. Silakan saja!” sahut Emery sambil balas tersenyum.“Namaku Adrian. Kalau kamu?” Pria itu memperkenalkan diri.“Emery,” balas Emery.“Nama yang bagus dan kamu juga sangat cantik,” puji Adrian.“Terima kasih,” ucap Emery. Dia mulai risih karena teman sebelahnya banyak bicara kepadanya.“Apa kamu sudah punya pacar?” tanya Adrian secara terang-terangan.Emery terlonjak kaget mendengar pertanyaan Adrian. Tidak hanya dia, teman-teman sekelas yang lain pun menoleh ke arahnya secara bersamaan.“Aku ….” Emery bingung menjawabnya. Apa yang harus dia katakan pada Adrian di hadapan teman-teman sekelasnya yang lain juga? Semua mata sedang tertuju kepadanya. Seolah-olah mereka sedang menantikan jawaban Emery. Dia meras
Emery tiba di rumah ayah mertuanya, profesor Rudiana. Setelah memastikan ayah mertuanya tidur dan bisa beristirahat dengan baik juga nyaman, Emery bisa merasa tenang. Sebelum pulang, Emery dan Sean pergi ke restoran terdekat. Mereka hendak makan malam bersama.“Kenapa kamu memilih restoran ini?” Emery tertegun. Karena Sean mengajaknya makan malam di restoran yang sama, ketika mereka putus waktu itu.“Karena aku ingin mengenang hari terakhir kita bersama. Waktu itu aku marah sekali sama kamu dan melempar kalung itu ke dasar kolam,” kenang Sean.“Apa kamu mencari kalung itu sampai sekarang?” tanya Emery. Sean menoleh.Sean hanya menampilkan senyum sekilas. Kemudian, dia jalan duluan sambil memilih tempat duduk.“Aku masih menyimpannya. Aku hendak memberikannya waktu itu. Tapi, kamu pasti akan menolaknya. Jadi, aku menyimpannya di kamarku, di rumah orang tuaku,” jelas Emery. Dia duduk berhadap-hadapan de
“Sebelum menikah dengan Ruben, Emery adalah tunangan saya,” kata Sean memberitahunya.“Benarkah?” Sienna baru tahu tentang hal itu. “Apa sekarang Anda sudah mencari penggantinya?”“Saya tidak tertarik pada wanita lain,” tegas Sean.“Jangan seperti itu! Anda akan dianggap egois sekali jika tidak memberikan kesempatan pada wanita lain untuk mengisi kekosongan di hati Anda,” kata Sienna menyarankan.“Menurutmu seperti itu?” Sean mengerutkan keningnya.“Ya. Anda tidak akan pernah tahu siapa yang menjadi pendamping hidup Anda, yang menurut Tuhan itu baik untuk Anda.”Sean tak berkutik lagi usai mendengarkan pembicaraan Sienna. Selang beberapa detik kemudian, Sienna turun dari mobil Sean seraya mengucapkan terima kasih karena sudah mengantarnya pulang.“Sampai jumpa lagi besok,” ucap Sienna sambil tersenyum ramah. Namun, Sean hanya membalasnya de
Emery dan Sean jalan bersama di sekitar taman rumah sakit. Emery terdiam cukup lama. Sampai akhirnya mereka menemukan tempat duduk, keduanya duduk-duduk santai di sana.“Bagaimana perasaanmu sekarang?” Sean memulai pembicaraan terlebih dahulu.“Perasaanku?” ulang Emery agak bingung. “Biasa saja. Tidak ada yang istimewa.”“Apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak sedang memikirkan pasienmu tapi tentang Ruben, kan?” tebak Sean.Emery menoleh ke arah Sean yang sok tahu. Lalu, dia menampilkan senyum sekilas. “Kamu sudah tahu aku memikirkannya. Lalu, kenapa kamu menanyakannya lagi?”“Aku hanya ingin memastikan saja. Sepertinya kamu cinta banget sama sepupuku itu.”Emery tersenyum lagi. Sean balas tersenyum menanggapinya. Setidaknya dia senang karena sudah bisa menghibur hati Emery yang sedang bersedih.Sean merogoh saku jas dokternya. Sepertinya dia menyimpan sesuatu di sana
“Apa?” Tuan Milano mengerutkan kening mendengar permohonan Emery.“Saya tidak ingin Anda mengirimnya ke negara perang itu. Bisakah Anda menggantinya dengan hukuman lain?” Emery bernegosiasi.“Maaf, Dokter Emery. Saya tidak bisa melakukannya. Kami sudah menandatangani dan menyepakatinya. Hari ini saya akan menyerahkan surat perjanjian itu ke markas besar tentara perdamaian negara.”“Tuan Milano, tolonglah! Saya mohon pada Anda,” rengek Emery. “Anda tidak bisa membiarkan seorang direktur utama di rumah sakit Anda pergi begitu saja menjadi dokter relawan di negara perang itu.”“Dengarkan saya, Dokter Emery! Saya tidak pernah memaksa dokter Ruben untuk pergi ke sana. Dia sendiri yang dengan sukarela menawarkan dirinya untuk pergi ke sana. Bahkan, dia menggantikan posisi hukumanmu.”“Mohon pertimbangkanlah lagi, Tuan!” Emery masih pasang wajah memelas di depan Tuan Milan
“Aku akan pergi sekarang,” kata Emery hendak meninggalkan ruangan Ruben.“Nanti kita bicara lagi di rumah, Sayang,” balas Ruben.Sienna agak tidak senang dengan pembicaraan mereka. Ruben dan Emery kini sudah berani memamerkan kemesraannya di hadapan rekan-rekan kerjanya yang lain. Ruben mungkin merasa sudah tidak menjadi masalah lagi. Namun, bagi Sienna tetap saja jadi risih melihatnya.“Saya akan meletakkan dokumen yang Anda butuhkan di meja. Permisi,” kata Sienna yang bergegas pergi meninggalkan ruang kerja Ruben.“Terima kasih,” ucap Ruben.Sienna menyusul Emery. Kebetulan sekali, Emery belum terlalu jauh melangkah. Sehingga dia bisa mengikutinya dari belakang Emery.Emery berhenti di sebuah mesin soft drink. Dia mencari koin di saku jas dokternya. Sayang sekali, dia tidak membawa uang koin. Lantas, Sienna yang memasukkan koin tersebut dan memberikan soft drink itu pada Emery.“
Ruben mengikuti Tuan Milano di belakangnya. Pagi ini, Tuan Milano ingin bicara serius dengan Ruben, terkait masalah pernikahannya dengan Emery. Ruben sudah siap menerima dan menanggung segala risikonya.Jika Emery dulu pernah rela berkorban untuknya, apa salahnya Ruben melakukan hal yang sama saat ini untuk istrinya. Agar impas.“Dokter Ruben!” panggil Tuan Milano.“Iya, Tuan,” sahut Ruben dengan tegas.“Kamu tahu, kan, alasan kenapa saya memanggilmu ke sini?”“Saya tahu, Tuan.”“Bagus. Jadi, saya tidak akan menjelaskannya lagi jika kamu sudah tahu maksud arah pembicaraan kita kali ini.”Tuan Milano mengungkit kembali kesalahan Ruben dan Emery yang telah melanggar peraturan rumah sakit. Dalam surat perjanjian antara pegawai dengan pihak rumah sakit tidak diperbolehkan berhubungan atau menjalin asmara dengan sesama rekan kantor. Jika hal itu tidak bisa dihindarkan, maka solusi
“Tidak apa-apa, lupakan saja. Ada apa? Sepertinya ada yang ingin kamu bicarakan denganku. Katakan saja!” Profesor Rudiana bangkit dari tidurnya dan duduk perlahan-lahan sambil menyandarkan tubuhnya di belakang tumpukan bantal.Ruben membantu ayahnya supaya duduknya lebih nyaman lagi. Setelah itu, dia duduk di samping tempat tidur sang ayah sambil menarik napas panjang sebelum berbicara serius dengannya.“Ayah, aku ingin minta maaf padamu,” ucap Ruben memulai pembicaraan. Profesor Rudiana menoleh ke arahnya.“Kelihatannya pembicaraanmu serius sekali,” kata profesor Rudiana menimpalinya. “Apa ini soal pernikahanmu dengan wanita itu?” terkanya.“Iya, itu benar, Yah. Aku sangat mencintainya. Karena itulah aku menikahinya,” ungkap Ruben. Dia mengatakan yang sebenarnya dari lubuk hatinya paling dalam.Profesor Rudiana tersenyum agak sinis. “Kamu hanya mencintai wanita itu. Apa tidak ada wa
Emery terisak. Sean sudah menduga, saat ini mantan kekasihnya itu sedang tidak baik-baik saja. Sean memahami situasi sulit yang tengah dihadapi Emery akhir-akhir ini. Setelah pernikahannya terungkap di hadapan publik, seluruh rekan dokter dan perawat tahu apa yang selama ini dia dan Ruben sembunyikan.“Menangislah, Emery! Jika itu membuatmu merasa lebih baik. Aku tidak akan mencegahmu untuk meluapkan semua perasaanmu saat ini,” kata Sean bersimpati.Emery menangis sekencang-kencangnya. Setelah Sean mempersilakannya. Sepertinya Emery sudah tidak bisa lagi menahan unek-unek dalam hati dan beban pikiran yang mendominasi seluruh pikirannya.Ketika Emery meluapkan semua rasa sedihnya, Sean hanya duduk diam mendengarkannya saja. Dia tidak akan menyela, mengkritik, atau menyuruhnya berhenti menangis. Dia tidak akan melakukannya.Sesampainya di depan rumah Emery, Sean masih bungkam. Dia menunggu Emery mengatakan sesuatu kepadanya. Emery menyeka air matanya. Sudah waktunya dia turun dari mobil
“Aku tidak pernah menyangka. Sahabatku ternyata musuhku yang paling nyata. Sekarang aku paham, kenapa aku harus berhati-hati dengan orang-orang terdekatku. Dia berkeliaran di sekitarku tapi dia juga ingin menghancurkan kebahagiaanku,” sindir Emery.“Apa kamu menyesal berteman denganku?” tanya Sienna.“Menyesal?” ulang Emery bergumam bingung. “Yang aku sesalkan adalah sikapmu, bukan persahabatan kita.”“Kenapa? Apa kamu tidak marah padaku? Seharusnya kamu membenciku, Mer,” Sienna sewot.“Dari awal aku memang tidak pernah memercayaimu. Tapi, aku tidak pernah bisa membencimu. Lalu, apakah kamu senang sudah menghancurkan hidupku?” kata Emery menantang Sienna.“Aku … ada alasan lain kenapa aku harus melakukannya?” ujar Sienna. Dia berusaha membela dirinya dan tidak mau disalahkan.“Alasan apa itu? Apa karena kamu iri padaku?” desak Emery. Sienna terdiam beberapa saat.“Katakan padaku! Aku ingin tahu yang sebenarnya darimu.” Emery memaksa Sienna agar mau mengatakannya.Sienna memalingkan wa