“Gimana menurutmu, Emery?” tanya Ruben sembari menggodanya. Dia menunggu jawaban dari Emery.“Tidak bisa,” tolak Emery dengan tegas.Raut wajah Ruben langsung berubah seketika. Dia tidak menyangka kalau Emery berani menolak permintaan seniornya.“Kenapa?” Ruben bingung. “Bukankah itu lebih baik jika aku tinggal bersamamu di sini? Lagipula, rumahmu ini cukup luas dan kita bisa berbagi kamar. Kulihat ada kamar kosong di sebelah kamarmu itu.”“Tidak!” Sekali lagi Emery menegaskan. “Anda tidak bisa tinggal di sini bersama saya.”“Aku akan membayar uang sewanya. Anggap saja aku mengontrak di sini. Aku ngerasa di sini sangat nyaman dibandingkan dengan tenda relawan di balai desa,” Ruben beralasan.“Jika Anda ingin tinggal dengan nyaman, carilah hotel atau apartemen saja,” saran Emery.“Tapi, aku ingin dekat denganmu. Kamu juga bisa menyiapkan sarapan untukku setiap pagi dan kita bisa makan malam bersama. Gimana?”“Pergi!” usir Emery sebelum dia mempersilakan Ruben masuk ke rumahnya. “Anda b
Ruben mengejar Emery yang sudah melangkah lebih dulu meninggalkan rumahnya. “Emery, tunggu aku!” panggilnya.Langkah Emery tiba-tiba terhenti. Dia melihat sekitarnya, terutama di halaman depan rumahnya. Dia mengerutkan keningnya hingga berlipat-lipat.“Dia ke sini naik kendaraan apa?” Emery heran karena dia tidak melihat ada mobil Jeep tentara yang biasa digunakan oleh Bonar, yang menepi di depan rumahnya.Emery masih celingak-celinguk mencarinya. Benar-benar tidak ada mobil Jeep itu. Lalu, dia mengarahkan pandangannya ke sebuah benda usang. Dia melihat motor butut yang terparkir di pinggir halaman rumahnya.“Dokter Ruben!” panggil Emery. Ruben segera menghampirinya.“Ya?” sahut Ruben antusias sekali mendengar panggilan dari Emery.“Anda datang ke sini … memakai itu?” tunjuk Emery pada motor butut itu.Ruben mengangguk sambil cengar-cengir di hadapan Emery. “Iya. Aku ke sini pakai motor itu.”“Astaga!” Emery menepuk jidatnya agak kencang.“Ada apa? Kamu nggak mau naik motor itu dengan
Pandangan Emery dan Bonar tertuju pada Ruben. Mereka menatap Ruben curiga. Ruben jadi salah tingkah karena modusnya ketahuan mereka berdua.“Sial!” dengkus Ruben kesal.“Dokter Ruben, apa Anda sengaja melakukannya? Ini, kan, trik kuno yang biasa digunakan orang tahu 90-an. Norak banget.” Emery memastikannya. Dia baru menyadarinya.“Trik kuno? Menurutku tidak. Aku memang tidak punya pilihan lain waktu itu. Aku berusaha baik mau menjemputmu dan memanfaatkan fasilitas yang ada. Aku tidak mau merepotkan Bonar yang sibuk di balai desa,” Ruben beralasan. Dia membela dirinya sendiri karena tidak mau dikatain norak.“Sibuk? Tidak juga, kok,” Bonar menimpali. Dia berhasil mematahkan asumsi Ruben.Bonar ketawa sinis mendengar alasan Ruben yang terlalu dibuat-buat. Ruben juga sok tahu sekali, mengira kalau Bonar sibuk dengan urusannya di balai desa. Sepagi itu Bonar belum berkegiatan. Urusan menjemput Emery, itu memang sudah menjadi tugas hariannya. Kekanak-kanakan sekali sikap Ruben, menurut Bo
Ruben tak sengaja memeluk Emery. Sebelum Emery menyadarinya dan menghindar secepatnya, Ruben menarik pinggang wanita cantik itu hingga menempel di tubuhnya. Suara desahan pelan terdengar dari bibir Emery.“Aaahhh ….” Emery berusaha melepaskan diri dari pelukan Ruben.Ruben ingin sekali mencium bibir Emery. Sayang sekali usahanya gagal. Karena Emery keburu lepas dari genggamannya.“Maaf,” ucap Ruben. “Aku tidak sengaja menyentuhmu,” sesalnya.“Aku yang harusnya meminta maaf. Tadi, aku takut sekali ketika tikus itu hampir menggigit kakiku,” Emery beralasan.Emery salah tingkah. Dia kikuk sekali di hadapan Ruben. Dia sampai bingung harus melakukan apa saat ini.“Emery, tolong bawakan goodiebag ini!” Ruben meminta tolong. Dia harus mencairkan suasana yang membingungkan itu sebelum seisi ruangan di sana terasa hening.“Ah, iya. Baiklah!” Emery patuh. Dia pun mengalihkan perhatiannya pada sebuah goodiebag.Setelah itu, keduanya pergi meninggalkan tenda. Sore ini mereka akan pulang bersama k
Pagi-pagi sekali, Emery keluar dari kamarnya dan hendak masuk ke kamar mandi. Dia mau mandi dan bersiap-siap berangkat kerja.Ceklek!Penghuni kamar sebelah juga membuka pintu. Emery dan Ruben saling beradu pandang mengamati penampilan masing-masing. Tak lama kemudian, mereka tersadar.Astaga! Emery kikuk sekali di hadapan Ruben. Begitu pula sebaliknya. Lalu, siapa yang duluan masuk ke kamar mandi?“Emery, aku ingin kamu mengalah. Aku dulu yang masuk ke kamar mandinya, ya?” mohon Ruben sambil pasang muka meringis.“Hah? Kenapa?” Emery tidak mengerti. Padahal, kan, dia duluan yang membuka pintu kamar mandinya.“Aku ada urusan mendesak. Ini sangat darurat,” Ruben beralasan.“Urusan mendesak? Darurat?” gumam Emery bingung.“Kebelet,” jelas Ruben.“Oh, itu … iya udah. Silakan kalau begitu!” Emery yang baru saja menyadarinya pun mempersilakan Ruben duluan memasuki kamar mandinya.Ruben menerobos masuk ke kamar mandi. Dia sudah tidak tahan lagi. Perutnya sakit, melilit. Dia harus segera bua
“Lepaskan saya!” kata Emery berontak.Ruben melepasnya, sesuai dengan keinginan Emery. Lantas, Emery pun bergegas turun dari mobil. Dia pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan Ruben yang masih senyum-senyum sendiri di dalam mobil.“Dia pasti malu sekali tadi,” pikir Ruben.“Aku yakin, Emery pasti masih menyukaiku,” kata Ruben sembari melihat wajahnya di pantulan kaca spion. Dia terlalu percaya diri sekali malam ini.Sementara itu, Emery makin mempercepat langkah kakinya. Dia canggung sekali.“Apa yang kulakukan tadi di hadapannya? Itu kan, sangat memalukan sekali,” ujar Emery. Wajahnya sudah sangat memerah dan dia tidak ingin berhadap-hadapan lagi dengan Ruben dalam waktu yang cukup lama. Bisa berbahaya sekali untuknya.Ruben baru beberapa hari saja tinggal di rumahnya sudah ada banyak kejadian yang menimpa Emery. Tidak hanya kesal dengan semua tingkah laku Ruben, seniornya itu sudah berhasil mengobrak-abrik isi hati Emery lagi. Yang semula ingin sekali dia kubur dalam-dalam perasaanny
“Hentikan!”Emery tidak sanggup melakukannya lebih jauh lagi. Dia tidak ingin Ruben tahu tentang perasaannya yang sebenarnya. Bahwa dia masih mendamba sentuhan hangat dari pria yang sangat dicintainya itu.“Emery … kamu masih mencintaiku, kan?” terka Ruben. Dia harus memastikannya langsung pada orang yang bersangkutan.Emery segera menjaga jarak dengan Ruben. Dia tidak berani mengangkat wajahnya karena takut ketahuan. Ruben tahu betul kalau dia tidak pandai berbohong. Kedua matanya begitu sayu dan memancarkan kebenaran tentang isi hatinya.“Sudah malam, tidurlah! Besok pagi kita masih harus bekerja,” kata Emery yang buru-buru pergi.Emery mempercepat langkahnya menuju kamarnya. Dia malu sekali atas kejadian yang baru saja dialaminya.“Bodoh!” Emery menyalahkan dirinya sendiri. “Kenapa aku bisa seceroboh itu membalas ciuman Ruben?” sesalnya.Emery bersembunyi dibalik selimutnya. Dia memejamkan mata, pura-pura tidur saja.Sementara di ruangan lain, Ruben tersenyum puas mengingat-ingat k
“Maaf, apa saya mengganggu kalian?” Sienna agak canggung ketika memergoki Emery dan Ruben sedang bersama di tenda pemeriksaan.“Ah, tidak. Saya akan pergi sekarang. Permisi,” kata Emery buru-buru pergi. Dia diuntungkan dengan kedatangan Sienna ke tenda itu.Jantung Emery masih berdegup kencang saat bersama Ruben. Dia menghela napas panjang dan berusaha tetap tenang. Dia harus bersikap seperti seorang yang profesional. Dia tidak boleh mencampur-adukkan masalah pribadi dengan pekerjaan.“Tapi, kenapa Ruben yang sekarang berbeda sekali dengan yang dulu? Dia terlihat lebih manis dibandingkan sebelumnya,” khayal Emery. Dia senyum-senyum sendiri memikirkannya.Emery berjalan menuju balai desa. Saat ini, dia membutuhkan ketenangan. Jadi, dia akan berjalan-jalan sebentar sambil memeriksa pasien yang berada di tenda darurat.Tak lama waktu berselang, telepon Emery berdering panjang. Ada panggilan masuk dari Sean.“Sayang, kamu dari mana saja? Kenapa tidak menjawab teleponku tadi pagi?” tanya S