“Aku akan membantumu. Kamu tinggal katakan saja, apa maumu? Aku akan berusaha mewujudkannya semampuku,” tawar Sean. Dia mengatakannya dengan begitu meyakinkan.“Saya ingin membalas semua perbuatannya pada saya,” kata Emery. Dahi Sean mengerut.“Caranya?”“Saya akan membuat dia jatuh cinta lagi pada saya. Setelah itu, saya akan mencampakkannya. Seperti yang dia lakukan pada saya kemarin,” jelas Emery.“Balas dendam? Apa kamu yakin bisa melakukannya?” Sean meragukan.Emery mengangguk mantap. “Saya sudah yakin seratus persen, Dokter Sean.”“Baiklah! Jika itu maumu. Aku akan membantumu sebisaku,” kata Sean menyetujuinya. “Tapi ….”“Tapi apa?” Emery memotong pembicaraan.“Tapi, kamu mau, kan, jadi pacarku?” desak Sean.“A-apa? Pacar?” Emery membelalak kaget.“Iya. Kenapa kamu sekaget itu? Padahal, tadi aku sudah mengatakannya sama kamu, kan?”“Saya ... belum siap menerima Anda, Dokter Sean. Beri saya waktu.”“Oke. Kuberi waktu sampai besok.”Emery menggeleng. “Jangan besok!”“Lusa? Minggu
Emery bergegas pergi menemui seorang ibu yang akan melahirkan. Setelah diberitahu oleh suami dari ibu itu. Perjalanan menuju rumahnya cukup jauh. Dia harus berjalan kurang lebih lima ratus meter. Desanya tidak bisa diakses menggunakan kendaraan bermotor. Ya Tuhan!Emery tidak patah semangat. Dia harus segera menyelamatkan nyawa ibu dan anak itu, pikirnya. Dia tidak memikirkan hal lain. Dia juga tidak mengeluh. Nyawa pasiennya lebih penting dari apa pun saat ini.Beruntung, Emery pergi tidak sendiri ke sana. Dia dibantu perawat dan tentara yang bernama Bonar menemaninya menuju lokasi. Bapak itu nyaris putus asa selama dalam perjalanan. Dia begitu khawatir dengan kondisi istrinya yang kini berada di rumah seorang diri. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada istrinya itu?“Dokter, cepatlah! Saya mohon,” pinta bapak itu sembari memelas di depan Emery.“Saya sudah berusaha berjalan cepat, Pak,” kata Emery.Emery tidak mengira perjalanan akan seterjal ini. Mendaki gunung, melewati bukit dan je
Sean uring-uringan sendiri karena tidak berhasil menghubungi Emery. Dia putus asa, belum mendapatkan kabar dari Emery. Segala macam cara sudah dicobanya. Tetap saja, hasilnya nihil.“Emery, cepat jawab teleponnya! Aku mohon,” Sean cemas sekali.Entah sudah keberapa kalinya Sean melakukan panggilan telepon ke tempat kerja Emery yang baru. Baik Emery maupun markas besar tempat menampung relawan, tidak ada yang menjawab teleponnya. Apa mungkin karena ada kendala sinyal di sana? Pikirnya kemudian.“Ah, mana mungkin Emery mengalami kendala jaringan internet di sana. Dia nggak blusukan ke hutan-hutan dan desa di pelosok, kan?” Sean menerka-nerka.Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin saja hujan deras di sana mengakibatkan sinyal jadi terganggu. Sulit sekali bagi Sean untuk positif thinking. Ada saja alasan untuk berburuk sangka di saat-saat seperti ini.“Kenapa tidak ada kabar darinya?” Sean pasrah saja. Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur sembari memandangi layar ponselnya.Semalaman Sea
Emery tak sengaja menyemburkan kopi ke wajah Bonar. Dia kaget mendengar Bonar menyatakan cinta kepadanya.“Astaga! Maafkan saya,” sesal Emery. Dia buru-buru mengambil sesuatu di sekitarnya untuk mengelap wajah Bonar yang terkena semburan air kopi yang berasal dari mulutnya.“Ya ampun, kenapa bisa jadi begini? Sekali lagi, maafkan saya, Bang Bonar.” Emery merasa bersalah sekali. Dia benar-benar tidak sengaja melakukannya tadi.“Tidak apa-apa, Dokter Emery. Saya yang salah, kok,” ucap Bonar sembari membersihkan wajahnya menggunakan kain kasa.Emery tersenyum agak dipaksakan. Jujur saja, dia jadi merasa tidak enak hati pada Bonar.“Ini bau apa, ya?” Bonar mengendus-endus kain kasa tersebut.Astaga! Emery baru sadar kalau kain kasa bekas itu tadi habis membersihkan luka pasien. Sekarang, kain bekas itu malah digunakan untuk membersihkan wajah Bonar. Sekali lagi, Emery harus mengakui kesalahannya pada Bonar.“Sebaiknya, Anda segera mencuci wajah Anda sekarang juga,” perintah Emery.“Kenapa
Emery bergegas pergi bersama Bonar menuju ke lokasi. Sean pun mengikutinya dari belakang, sekalian dia juga ingin tahu tentang keadaan pasien. Tidak hanya itu, Sean berharap Emery bisa mengandalkannya ketika wanita itu membutuhkan bantuannya nanti di sana. Rupanya Sean tidak begitu suka pada pria tentara yang kini jalan berdampingan dengan Emery.“Siapa tentara itu? Kenapa dia akrab banget sama Emery?” gumam Sean saat sedang cemburu. Dia masih mengawasi gerak-gerik mereka di belakang.“Sebelah sini, Dokter Emery. Hati-hati jalannya licin!” kata Bonar seraya memperingatkan Emery.“Ah, iya. Terima kasih, Bang,” ucap Emery.“Cuih! Caper banget sih tuh orang,” cibir Sean sambil menyipitkan mata.Sean makin tidak suka dengan sikap Bonar yang sok cari perhatian di depan Emery. Tak tinggal diam begitu saja, dia pun bergegas mendahului langkah Bonar. Kini, dia berada di garda terdepan bersama Emery.“Maaf, Anda ini siapa ya?” tanya Bonar ingin tahu. Habisnya Sean langsung nyelonong begitu saj
“Ya, aku dengerin kamu, kok. Mana Emery?” tanya Ruben mengalihkan. “Biar aku saja yang ngomong sama dia.”Sean memberikan ponselnya pada Emery. Awalnya, Emery segan melakukan panggilan video dengan dokter Ruben. Namun, tidak ada pilihan lain. Nyawa pasien dan bayinya harus segera diselamatkan. Mau tidak mau, dia pun mengesampingkan semua rasa gengsinya dan berkomunikasi lagi dengan Ruben setelah sekian lama.“Bicaralah Dokter Ruben! Saya akan mendengarkan Anda,” kata Emery. Dia tidak berani menatap wajah Ruben meski lewat layar ponsel.Ibu hamil itu menjerit histeris karena mengalami kontraksi hebat. “TOLONG SAYA DOKTER!” teriaknya.Mendengar jeritan histeris itu, Ruben pun segera mengambil tindakan. Dia mengarahkan Emery untuk mendengarkannya dengan seksama. Emery harus fokus ketika dia sedang menjelaskan langkah-langkah persalinan darurat.“Sepertinya bayinya sungsang,” kata Emery memberitahu.“Apa? Sungsang? Kamu sudah memeriksanya dengan benar?” Ruben memastikan.“Sudah pembukaan
“Dokter Sean!” panggil Emery. “Anda sudah mau pergi?” tanyanya ketika dia menemui Sean di tenda darurat sebelah.Sean mengangguk. “Iya. Masa cutiku sudah berakhir. Jadi, aku harus segera kembali ke rumah sakit.”“Ah, begitu rupanya.” Emery mengerti.Sean berjalan ke arah Emery. Dia berdiri tepat di hadapan wanita yang sangat dicintainya itu. Lalu, refleks tangannya mengusap kepala Emery dengan manja dan penuh perhatian.“Kamu … jaga diri baik-baik di sini. Selama aku nggak ada, kamu nggak boleh nakal dan kamu hanya boleh fokus pada pasien-pasienmu aja. Kamu mengerti?” Sean menasihatinya.Emery manggut-manggut sambil menampilkan senyum di depan Sean. Pria itu tertegun cukup lama memandangi wajah Emery. Astaga!“Ada apa?” Emery heran. “Apa ada sesuatu di wajahku?”“Senyum kamu tuh manis banget tahu nggak sih. Kamu bikin aku jadi malas pulang,” gurau Sean. Dia menggoda Emery.“Ish, gombal banget,” balas Emery. Dia memalingkan muka sambil senyum-senyum sendiri.Sean meraih tangan Emery. “
Emery senang sekali ketika ayah menjemputnya di bandara. Dia bergegas masuk ke mobil dan tidak lama setelah itu ayah melajukan mobilnya hendak meninggalkan bandara.Sepanjang perjalanan mereka berbincang di dalam mobil. Emery menceritakan pengalaman seru sekaligus menegangkan ketika menolong pasien-pasiennya selama berada di desa terpencil itu. Dia tidak menyadari mobil ayahnya sudah melewati Ruben yang mencari keberadaannya di pintu keluar bandara.Beberapa menit kemudian, Emery sampai di rumah orang tuanya. Terlihat ibu sedang berdiri di depan pintu rumah dan bersiap menyambut kedatangannya."Ibu," sapa Emery. Dia langsung memeluk ibunya, saking tak kuat menahan rasa rindunya."Gimana pekerjaan kamu di sana? Apa kamu makan dan tidur dengan benar?" tanya ibu ingin tahu."Pekerjaan di sana membuatku sangat sibuk, Bu. Setiap hari hampir tidak pernah sepi. Ada banyak sekali pasien yang kuperiksa, terutama ibu hamil yang jarang sekali memeriksakan kandungannya,” jelas Emery yang antusias
“Sean?” Emery membuka kaca mobil dan berbincang sebentar dengan Sean.“Apa kamu sedang terburu-buru? Aku ingin mentraktirmu minum kopi. Gimana?” tawar Sean.“Aku minta maaf, Sean. Aku harus segera menjemput Ben di daycare. Lain kali saja, oke?” tolak Emery dengan ramah.“Oh, oke. Tidak apa-apa. Hati-hati saat berkendara!” Sean menasihati. Emery mengangguk mantap.Tak lama setelah berpamitan dengan Sean, Emery melajukan mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit.***“Kamu yakin tidak ingin ikut denganku?” Ruben memastikannya kembali. Siapa tahu Emery berubah pikiran di saat-saat terakhir mereka berpisah di bandara.“Aku akan menunggumu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa menungguku?” Ruben takut sekali. “Kamu tidak akan berpaling dan jalan sama pria lain, kan?”“Pria lain, siapa maksudmu?” Emery tersinggung dengan ucapan
Emery mulai menyadari perhatian dari kedua pria tersebut, yang masing-masing menunjukkan rasa cinta dengan cara yang berbeda. Ruben adalah sosok romantis yang penuh tekad. Meski terkadang, dia sangat menyebalkan dengan sikap plin-plannya yang seperti bunglon, sering berubah-ubah.Sementara, Adrian adalah pribadi yang tenang dan suportif. Seperti katanya, dia selalu ada setiap kali Emery membutuhkan pertolongan atau teman untuk bercerita. Kali ini, Emery benar-benar mengalami dilema. Dia berada diposisi sulit karena harus memilih antara dua pilihan. Impian masaa depan bersama Ruben atau kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh Adrian.“Nak, kamu akan memilih yang mana seandainya kamu menjadi Ibu?” tanya Emery saat dia memerhatikan bayi Ben yang sedang menyusui.Bayi Ben hanya tersenyum menanggapi cerita Emery. Seolah-olah balita mungil itu mengerti bahwa yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah ibunya sendiri.“Sekarang, kamu juga membua
“Beri aku waktu!” pinta Emery.“Apa? Waktu?” Ruben membelalak.Emery mengangguk mantap. “Aku masih mempertimbangkannya. Jika aku menikah sekarang, lalu bagaimana dengan Ben Joshua, anak kita?”“Memangnya kenapa dengan dia?” Ruben agak heran. “Bukankah itu bagus untuk perkembangan dia? Dia memiliki keluarga yang lengkap ada orang tua yang akan merawat dia.”“Maksudku, jika Ben dibawa ke luar negeri, aku khawatir dia belum bisa beradaptasi,” kata Emery beralasan.“Dia anak yang pintar. Aku tahu itu. Dia akan lebih cepat beradaptasi di sana. Aku yakin itu,” Ruben berpendapat.Emery kehabisan ide. Bagaimana caranya dia harus menjawab pertanyaan Ruben soal lamaran itu?“Emery ….” Ruben meraih tangan Emery dan coba membujuknya kembali.“Aku ingin melihatmu membuktikan lagi cintamu. Kamu tahu, kan, sejak kamu meragukan kehamilanku hatiku sangat sakit. Saat itu aku berpikir, aku tidak bisa lagi bersama orang yang selalu berprasangka buruk padaku. Apalagi menuduhku yang tidak-tidak,” jelas Eme
“Jangan menggangguku! Aku mau tidur,” balas Emery yang tidak mau berbalik ke arah Ruben.“Sayang, kamu mengabaikan aku?” Ruben protes. Dia tidak terima Emery bersikap tidak peduli lagi kepadanya.“Ayolah!” bujuk Ruben.Emery tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya kelelahan setelah seharian mengurus bayi Ben. Dia butuh banyak istirahat.“Sudah kubilang, jika kamu terus menggangguku, aku terpaksa menendangmu dari kamarku. Kamu mau aku melakukannya?” ancam Emery meski kedua matanya terpejam.Ruben pun akhirnya menyerah. Jika itu yang diinginkan Emery, dia memilih untuk mengalah saja. Dia tidak mau ambil risiko seandainya Emery marah hanya karena masalah sepele seperti itu. Dia turun dari ranjang Emery dan kembali ke sofa bed tempatnya tidur.‘Malam ini kelabu sekali bagiku,’ ujar Ruben dalam hati.***Beberapa bulan kemudian, Emery pergi ke rumah sakit tempat dia bekerja
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m
“Aku … tadi sedang menyusui putraku. Jadi, aku tidak memegang ponsel,” kata Emery beralasan.“Tapi, setidaknya kamu bisa memberitahuku terlebih dahulu, kan? Jangan membuatku cemas!” Emosi Ruben meledak-ledak saking khawatir dengan keadaan Emery.“Sejak kapan kamu peduli padaku?” sindir Emery.“Aku selalu peduli sama kamu, kamunya saja yang tidak peka terhadap perasaanku,” ketus Ruben seraya memalingkan wajah. Sesekali dia melirik Emery karena mantan istrinya itu tidak memberi respon apa pun.“Masuklah! Udara di luar sangat dingin,” kata Emery mempersilakan Ruben masuk. “Lagian hujan-hujan begini dan sudah larut malam malah datang bertamu, memangnya nggak bisa besok pagi saja?” gerutunya sambil menutup pintu setelah Ruben masuk ke ruang tamu.Tiba-tiba, kedua tangan Ruben melingkar di pinggang Emery. Pria itu memeluk Emery dari belakang dengan sangat erat.“A
Keesokan paginya, Ruben terbangun dari tidurnya. Ketika dokter akan kembali memeriksa bayi Ben Joshua. Ajaibnya, demam Ben Joshua langsung menurun drastis. Emery makin terharu dengan apa yang telah dilakukan Ruben pada Ben Joshua.“Demamnya sudah turun. Terima kasih banyak, Dokter Ruben. Anda sudah melakukannya dengan baik. Hanya seorang ayahlah yang mampu melakukannya,” puji dokter itu dengan bangga.“Terima kasih. Anda juga sudah melakukan yang terbaik untuk putra saya,” balas Ruben. Secara tidak langsung dia mengakuinya di hadapan semua orang. Termasuk Emery.“Hari ini bayi Ben Joshua boleh pulang. Tapi, perhatikan perkembangannya lagi. Jangan sampai dia demam kembali,” saran dokter.Emery dan Ruben mengangguk bersamaan. Mereka terlihat kompak sekali saat ini. Setelah itu, dokter pergi meninggalkan ruang inap Ben Joshua. Bayi tampan itu masih tertidur pulas saat Emery memindahkannya ke ranjang pasien.Sementara itu, Ruben mengambil kemejanya. Lalu, dia memakainya kembali sambil mem
Emery masih menggendong bayi Ben Joshua ketika Ruben menghampirinya di kamar. Dia memeluknya sangat erat. Seolah-olah dia sedang mempertahankan Ben Joshua dari Ruben.“Aku ingin melihatnya,” pinta Ruben.Emery mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. “Apa kamu yakin?”“Tentu. Sean bilang, dia mirip sekali denganku. Jadi, aku ingin memastikannya lagi,” kata Ruben dengan sungguh-sungguh.“Lupakan saja! Kamu masih meragukannya kalau begitu.” Emery nampak kesal sekali. Karena Ruben masih tidak percaya kalau Ben Joshua adalah putranya.“Aku akan memberikan Ben Joshua kalau kamu sudah merasa yakin bahwa dia adalah putramu. Jika hatimu masih setengah-setengah, sebaiknya kamu pergi saja. Tidak ada gunanya kamu berada di sini,” ketus Emery. Dia terlanjur kecewa dengan sikap Ruben.“Kenapa kamu seperti itu padaku, Emery?” Ruben heran.“Kamu yang memulainya, Ruben. Aku tida