“Ya, kami akan segera menikah. Kamu dengar itu?” tegas Ruben.Sean menurunkan lengan Ruben, lalu dia menoleh ke arah Emery. “Apa itu benar? Jawab aku, Emery!”“Saya ….” Emery terbata-bata mengatakannya.“Kalau dia bicara omong kosong, aku akan menghajarnya,” ancam Sean yang masih menunggu Emery bicara. Dia geram sekali dengan sikap Ruben yang arogan.“Kami akan menikah,” ucap Emery akhirnya. Bicaranya meyakinkan sekali saat mengatakannya.Kini, tidak ada alasan lagi bagi Sean memperpanjang urusannya dengan Ruben. Dia akan mengalah jika mereka benar-benar akan menikah.“Baguslah! Kalian berdua memang harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian. Lalu, apa ayahmu tahu soal pernikahan ini?” Sean mengalihkan perhatiannya pada Ruben.“Aku akan bicara dengannya hari ini,” kata Ruben.“Ingat, Ben! Kamu sudah ambil keputusan. Artinya, kamu sudah siap ambil resiko seberat apa pun nanti demi Emery. Paham?” Sean memperingatkan.Sean pergi setelah memberi peringatan pada Ruben. Dia agak kecewa s
“Sampai kapan kamu mau di situ? Nanti kamu bisa sakit, Emery,” desak Sean. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan Emery.Emery masih menangis dan belum beranjak dari tempatnya. Sean tahu betul dan mengerti perasaan Emery. Jika bukan karena Ruben yang menelepon Sean malam itu, entah apa yang akan terjadi pada Emery saat ini.Setelah diberitahu Ruben bahwa dia meninggalkan Emery sendirian di sebuah restoran, Sean bergegas menjemputnya. Sean segera meninggalkan rumah sakit dan pergi mencari Emery. Karena Ruben tidak bisa pergi menemui Emery. Jadi, Sean yang menggantikannya.“Dasar gadis bodoh!” gumam Sean pelan. Dia prihatin sekali melihat kondisi Emery yang menyedihkan saat ini.“Ayo pulang! Aku akan mengantarmu pulang sekarang,” ajak Sean.Karena Emery diam saja, Sean yang geregetan itu terpaksa menarik lengan Emery dan membawanya pergi. Sean menyeret Emery agar mau mengikutinya. Payung yang mereka kenakan malam itu, tiba-tiba tertiup angin pada saat hujan deras. Sean tidak bisa mencegahny
Sean panik sekali waktu itu. Dia takut terjadi sesuatu yang serius pada Emery. Dia meminta bantuan dokter rekanannya untuk segera memeriksakan keadaan Emery.Semua orang sudah berkumpul dan terkejut melihat kejadian yang tengah menimpa Emery. Mereka prihatin sekali sekaligus menyayangkan skandal yang terjadi kepadanya dan Ruben.Dua dokter berbakat di rumah sakit itu kini harus menerima hukuman atas kesalahan mereka yang sudah melanggar aturan rumah sakit. Mereka tahu betul peraturan rumah sakit yang melarang stafnya untuk tidak terlibat skandal atau menjalin hubungan asmara selama berada di lingkungan kerja. Bahkan, mereka sudah menandatangani perjanjian kerja di atas materai sebelum mereka diterima bekerja di sana. Sayangnya, mereka justru melakukan kesalahan itu dan berdampak fatal pada karirnya masing-masing. Emery masih diperiksa di sebuah ruangan. Sean menemaninya dengan tidak sabaran.“Gimana keadaannya?” tanya Sean pada seorang dokter wanita bernama Sesilia.Sesilia menoleh k
Emery syok sekali mendengar kondisi tubuhnya saat ini. Dia tidak menduganya sama sekali, jika calon bayinya itu sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Lalu, kenapa Sean diam saja dan tidak menjelaskan apa-apa kepadanya?“Dokter Sean? Kenapa Anda tidak memberitahu saya?” Emery tampak kecewa sekali.“Aku minta maaf, Emery. Aku sempat mau mengatakannya, tapi kamu sudah mau pergi. Aku juga tidak bisa mencegahmu tadi. Jadi, maafkan aku, ya,” sesal Sean.“Emery, sekarang kamu harus istirahat di ruang perawatan. Kami terpaksa harus segera mengoperasimu. Janin kamu sudah meninggal,” jelas Sesilia.Emery terisak mendengar penjelasan dari Sesilia. Sembari memegangi perutnya, dia masih menangis ketika beberapa perawat membawanya ke ruang perawatan.“Mer!” panggil Sienna. Dia sempat melihat Emery dibawa ke ruang perawatan. Dia panik sekali dan ingin tahu keadaan sahabatnya itu.“Dokter Sean, apa yang terjadi? Kenapa dia kelihatan frustrasi seperti itu?” Sienna mencari tahu.“Dia baru saja kehilangan
Emery mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Dia tidak mengerti maksud ucapan Sean barusan.“Melupakan Ruben?” racau Emery dengan suara pelan. Dia mengulang perkataan Sean dan berusaha mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut pria itu tadi.“Itu benar. Lupakan saja dia! Kamu juga berhak bahagia, Emery,” tegas Sean. Dia juga memberikan saran untuk Emery.Menurut Sean, masalah Emery kini sudah menemukan titik terang. Setelah Emery keguguran dan tidak jadi menikah dengan Ruben, bukankah itu lebih baik untuk Emery sekarang? Wanita itu bisa lebih fokus lagi pada karirnya di rumah sakit.“Kamu harus kuat dan bangkit lagi, Emery! Karirmu akan bagus di masa depan. Kamu harus mempersiapkannya dari sekarang. Kamu mengerti?” Sean menyemangatinya.Emery hanya tersenyum simpul menanggapinya. Kehilangan calon buah hatinya dalam kandungan itu bukanlah perkara yang mudah. Meski baru menginjak usia tiga bulan setengah, dia merasa pernah menjadi wanita paling bahagia yang bisa merasakan detak jantun
“Aku akan membantumu. Kamu tinggal katakan saja, apa maumu? Aku akan berusaha mewujudkannya semampuku,” tawar Sean. Dia mengatakannya dengan begitu meyakinkan.“Saya ingin membalas semua perbuatannya pada saya,” kata Emery. Dahi Sean mengerut.“Caranya?”“Saya akan membuat dia jatuh cinta lagi pada saya. Setelah itu, saya akan mencampakkannya. Seperti yang dia lakukan pada saya kemarin,” jelas Emery.“Balas dendam? Apa kamu yakin bisa melakukannya?” Sean meragukan.Emery mengangguk mantap. “Saya sudah yakin seratus persen, Dokter Sean.”“Baiklah! Jika itu maumu. Aku akan membantumu sebisaku,” kata Sean menyetujuinya. “Tapi ….”“Tapi apa?” Emery memotong pembicaraan.“Tapi, kamu mau, kan, jadi pacarku?” desak Sean.“A-apa? Pacar?” Emery membelalak kaget.“Iya. Kenapa kamu sekaget itu? Padahal, tadi aku sudah mengatakannya sama kamu, kan?”“Saya ... belum siap menerima Anda, Dokter Sean. Beri saya waktu.”“Oke. Kuberi waktu sampai besok.”Emery menggeleng. “Jangan besok!”“Lusa? Minggu
Emery bergegas pergi menemui seorang ibu yang akan melahirkan. Setelah diberitahu oleh suami dari ibu itu. Perjalanan menuju rumahnya cukup jauh. Dia harus berjalan kurang lebih lima ratus meter. Desanya tidak bisa diakses menggunakan kendaraan bermotor. Ya Tuhan!Emery tidak patah semangat. Dia harus segera menyelamatkan nyawa ibu dan anak itu, pikirnya. Dia tidak memikirkan hal lain. Dia juga tidak mengeluh. Nyawa pasiennya lebih penting dari apa pun saat ini.Beruntung, Emery pergi tidak sendiri ke sana. Dia dibantu perawat dan tentara yang bernama Bonar menemaninya menuju lokasi. Bapak itu nyaris putus asa selama dalam perjalanan. Dia begitu khawatir dengan kondisi istrinya yang kini berada di rumah seorang diri. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada istrinya itu?“Dokter, cepatlah! Saya mohon,” pinta bapak itu sembari memelas di depan Emery.“Saya sudah berusaha berjalan cepat, Pak,” kata Emery.Emery tidak mengira perjalanan akan seterjal ini. Mendaki gunung, melewati bukit dan je
Sean uring-uringan sendiri karena tidak berhasil menghubungi Emery. Dia putus asa, belum mendapatkan kabar dari Emery. Segala macam cara sudah dicobanya. Tetap saja, hasilnya nihil.“Emery, cepat jawab teleponnya! Aku mohon,” Sean cemas sekali.Entah sudah keberapa kalinya Sean melakukan panggilan telepon ke tempat kerja Emery yang baru. Baik Emery maupun markas besar tempat menampung relawan, tidak ada yang menjawab teleponnya. Apa mungkin karena ada kendala sinyal di sana? Pikirnya kemudian.“Ah, mana mungkin Emery mengalami kendala jaringan internet di sana. Dia nggak blusukan ke hutan-hutan dan desa di pelosok, kan?” Sean menerka-nerka.Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin saja hujan deras di sana mengakibatkan sinyal jadi terganggu. Sulit sekali bagi Sean untuk positif thinking. Ada saja alasan untuk berburuk sangka di saat-saat seperti ini.“Kenapa tidak ada kabar darinya?” Sean pasrah saja. Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur sembari memandangi layar ponselnya.Semalaman Sea