“Pa-pacaran?” Emery membelalak kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan Sienna kepadanya.“Jujur aja, Mer! Kamu nggak usah menutup-nutupinya lagi dariku. Apa benar kamu dan dokter Ruben ada hubungan yang cukup serius selama ini?” desak Sienna. Dia penasaran sekali hingga menyudutkan Emery dengan pertanyaan itu.Emery benar-benar bingung. Bagaimana dia harus mengakui hubungannya dengan Ruben? Dia sudah bersumpah pada Ruben untuk menutup mulutnya rapat-rapat.“EMERY!” Sienna tidak sabaran.Emery menitikkan air mata di depan sahabatnya itu. Tanpa berkata-kata lagi, Sienna pun langsung bisa mengetahuinya. Dia beranggapan bahwa memang benar saat ini Emery sedang menjalin hubungan khusus dan sangat rahasia dengan Ruben.“Ya ampun, Mer ….” Sienna kembali memeluk sahabatnya itu seraya menepuk-nepuk punggung Emery. Dia berusaha menenangkan Emery yang sedang menangis di pelukannya.“Kejadiannya nggak pernah terduga sama sekali. Aku dan dia hanya melakukannya sekali. Tapi, hasilnya malah posi
“Apa maksudmu, Dokter Ruben?” Emery membelalak kaget setelah mendengar pernyataan tidak masuk akal yang dilontarkan Ruben di depan ayahnya.Wajah Ruben langsung berubah pucat. Dia menoleh perlahan ke arah Emery dengan tatapan rasa bersalah. Namun, dia merasa tidak ingin disalahkan atas apa yang kini tengah menimpa Emery.“Kamu yakin kalau bayi itu bukan anakmu?” Profesor Rudiana sekali lagi memastikannya. Dia langsung bertanya pada Ruben.Jika Ruben menyangkalnya sekali lagi, profesor Rudiana baru akan memercayai ucapan putranya itu.“Ya, aku yakin sekali. Karena aku tidak serendah itu harus meniduri juniorku sendiri. Bahkan, aku dan dia tidak saling mencintai, Yah,” ungkap Ruben. Dia yakin sekali ketika mengatakannya pada sang ayah.“Dokter Ruben!” Emery tidak percaya jika Ruben setega itu mengatakannya di depan ayahnya. Apa dia sedang melempar kesalahannya pada Emery?“Anda tahu betul, malam itu Andalah yang telah menggoda saya. Sampai akhirnya kita tidak sadar dan melakukan hal itu
“Kamu ngapain hujan-hujanan di sini?” tegur Sean.Senyum Emery memudar seketika. Ekspektasinya tidak seperti yang dia harapkan. Dia mengira yang sedang menghampirinya adalah Ruben. Ternyata sosok pria lain yang kelihatannya seribu kali jauh lebih baik dari si pengecut Ruben.Pria itu mengulurkan tangannya pada Emery yang sedang terpuruk dengan keadaannya. Sambil menyunggingkan senyum di depan Emery, dokter muda dan tampan itu pun memberikan semangatnya untuk sang junior. Dia membantu Emery berdiri, bangkit dari kesedihannya.“Dokter Sean ….” lirih Emery. Wajahnya berkaca-kaca melihat Sean yang hendak membantunya.‘Kenapa bukan dia? Kenapa harus orang lain?’ pikir Emery.“Jangan sedih lagi! Kamu tidak pantas bersedih seperti ini, Emery. Kamu harus kuat dan lawan semua orang yang sudah merendahkanmu. Termasuk ….” Kalimat Sean terhenti beberapa saat. Dia jadi segan melanjutkannya.“Termasuk dokter Ruben,” terka Emery yang menyambung kalimat Sean.“Ah, iya itu, maksud saya. Astaga! Saya m
Akhirnya, mau tidak mau Emery dan Ruben menjalani pemeriksaan sesuai dengan perintah profesor Rudiana. Setelah itu, keduanya akan menunggu hasil pemeriksaan.Seperti biasa, Ruben kelihatan gelisah sekali menantikannya. Raut wajahnya langsung pucat seperti orang bersalah yang ketakutan ketika hasil perbuatannya sebentar lagi akan terungkap di hadapan ayahnya.Emery menoleh ke arah Ruben. Pria itu masih ketar-ketir dan gundah gulana. Kemudian Emery mengarahkan pandangannya ke arah profesor Rudiana. Kelihatannya sama saja. Tampak kedua orang itu sedang diliputi perasaan cemas yang luar biasa. Sang direktur jadi tidak sabaran menunggu hasilnya.‘Mereka akan tahu kalau aku nggak pernah bohong soal kehamilan ini,’ batin Emery lega.Berkat kemajuan teknologi yang makin canggih akhir-akhir ini, tidak perlu waktu lama apalagi sampai menunggu bayi itu lahir untuk melakukan tes DNA. Zaman sekarang, teknologi dan ilmu kedokteran makin berkembang pesat. Hal itu sangat menguntungkan bagi sekolah ke
“Maksudmu, kita?” Ruben membelalak kaget. Emery mengangguk.“Iya. Karena kita sebentar lagi akan menjadi orang tua dari bayi ini,” Emery meyakinkannya. Dia sambil mengelus-elus perutnya menatap penuh harap ke arah Ruben.Ruben sebenarnya ragu-ragu dengan ajakan Emery. Menikah? Berulang kali dia memikirkannya. Itu mustahil baginya. Ada rasa takut yang kini mendominasi seluruh pikirannya. Dia juga sangat takut pada ayahnya sendiri, seandainya mendengar rencana konyol pernikahannya yang begitu mendadak.“Dokter Ruben, tolong pikirkan sekali lagi! Saat ini, bayi inilah yang lebih penting dari apa pun,” bujuk Emery.“Saya mohon,” Emery memelas di hadapannya.Ruben tidak bisa menjawab atau mengiyakan permohonan Emery saat ini. Dia tidak ingin memberikan harapan apa-apa pada koas itu. Atau menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa dia tepati. Jadi, yang bisa dilakukannya saat ini hanya diam saja, sambil memikirkan langkah selanjutnya. Nasi sudah menjadi bubur. Permasalahannya kini sudah meny
“Dokter Ruben, apa Anda serius mengatakannya?” Emery berkaca-kaca. Dia tidak percaya jika pria yang kini berdiri dihadapannya itu sedang melamarnya.“Apa ucapanku seperti sedang main-main?” Ruben meyakinkan sekali.Jelas itu membuat Emery terkejut. Dia masih tidak menyangka Ruben mengatakannya malam ini.“Kenapa kamu diam saja? Apa kamu tidak ingin menikah denganku?” desak Ruben. Dia masih menunggu jawaban dari Emery.“Ya, saya mau menikah dengan Anda,” jawab Emery. Dia sudah yakin sekali dengan keputusannya.“Baguslah!” Ruben tertunduk lesu usai mendengar jawaban Emery yang sangat antusias menyambut hari bahagia mereka.Berbeda dengan ekspresi Ruben, raut wajah Emery jauh terlihat lebih bahagia. Sudah lama dia menanti-nantikan masa-masa seperti ini. Dia senang sekali. Akhirnya, sang buah hatinya bisa memiliki keluarga yang lengkap, sesuai dengan harapannya.‘Apa dia tidak membelikanku cincin pertunangan?’ pikir Emery.Emery berpikir bahwa seharusnya Ruben menyiapkan sebuah cincin unt
“Ya, kami akan segera menikah. Kamu dengar itu?” tegas Ruben.Sean menurunkan lengan Ruben, lalu dia menoleh ke arah Emery. “Apa itu benar? Jawab aku, Emery!”“Saya ….” Emery terbata-bata mengatakannya.“Kalau dia bicara omong kosong, aku akan menghajarnya,” ancam Sean yang masih menunggu Emery bicara. Dia geram sekali dengan sikap Ruben yang arogan.“Kami akan menikah,” ucap Emery akhirnya. Bicaranya meyakinkan sekali saat mengatakannya.Kini, tidak ada alasan lagi bagi Sean memperpanjang urusannya dengan Ruben. Dia akan mengalah jika mereka benar-benar akan menikah.“Baguslah! Kalian berdua memang harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian. Lalu, apa ayahmu tahu soal pernikahan ini?” Sean mengalihkan perhatiannya pada Ruben.“Aku akan bicara dengannya hari ini,” kata Ruben.“Ingat, Ben! Kamu sudah ambil keputusan. Artinya, kamu sudah siap ambil resiko seberat apa pun nanti demi Emery. Paham?” Sean memperingatkan.Sean pergi setelah memberi peringatan pada Ruben. Dia agak kecewa s
“Sampai kapan kamu mau di situ? Nanti kamu bisa sakit, Emery,” desak Sean. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan Emery.Emery masih menangis dan belum beranjak dari tempatnya. Sean tahu betul dan mengerti perasaan Emery. Jika bukan karena Ruben yang menelepon Sean malam itu, entah apa yang akan terjadi pada Emery saat ini.Setelah diberitahu Ruben bahwa dia meninggalkan Emery sendirian di sebuah restoran, Sean bergegas menjemputnya. Sean segera meninggalkan rumah sakit dan pergi mencari Emery. Karena Ruben tidak bisa pergi menemui Emery. Jadi, Sean yang menggantikannya.“Dasar gadis bodoh!” gumam Sean pelan. Dia prihatin sekali melihat kondisi Emery yang menyedihkan saat ini.“Ayo pulang! Aku akan mengantarmu pulang sekarang,” ajak Sean.Karena Emery diam saja, Sean yang geregetan itu terpaksa menarik lengan Emery dan membawanya pergi. Sean menyeret Emery agar mau mengikutinya. Payung yang mereka kenakan malam itu, tiba-tiba tertiup angin pada saat hujan deras. Sean tidak bisa mencegahny
“Maafkan aku,” sesal Sean. Dia tak sengaja mencium bibir Sienna.Sean sibuk menjelaskan bahwa insiden ciuman itu benar-benar di luar kendalinya. Tidak seharusnya dia melakukan hal itu pada Sienna. Tapi, keadaan memaksanya.Ketika Sean hendak membenarkan posisi sabuk pengaman, tiba-tiba tangannya tergelincir saking tidak fokus memerhatikan bibir Sienna yang ranum. Dia ingin menahan tubuhnya, namun sudah tidak bisa. Refleks, bibirnya malah menyentuh bibir Sienna.“Tidak perlu meminta maaf padaku.” Sienna agak kecewa mengetahuinya. Dia kira, Sean benar-benar ingin menciumnya. Ternyata tidak.“Aku tidak ingin kamu salah sangka padaku,” sangkal Sean.“Tidak. Aku tidak berkata begitu kok,” bantah Sienna.Keduanya kini dalam posisi canggung. Masing-masing menahan malu dan tidak tahu harus berkata apalagi. Sean lekas duduk di joknya. Lalu, dia melajukan mobilnya menuju rumah Sienna. Sementara itu, jari
“Mau ke mana?” tanya Sienna.“Pokoknya ikut aku dulu aja!” balas Sean agak memaksa.Mau tidak mau Sienna pun akhirnya menuruti perintah Sean. Dia mengikuti Sean, saat dokter spesialis anak itu menarik lengannya dan membawanya pergi menjauhi Emery.“Sean, hentikan!” kata Sienna. “Kamu menarik tanganku dan itu sakit sekali.”“Oh, maafkan aku,” sesal Sean. “Aku tidak sengaja.”“Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu menyeretku pergi?” protes Sienna.“Aku ingin bicara.”“Ya udah, ngomong aja. Apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Aku buru-buru harus memeriksa pasien di bangsal VIP,” kata Sienna beralasan.“Apa Ruben menghubungimu?” Sean mencari tahu. Sienna menggeleng.“Tidak. Kenapa memangnya?” Sienna heran. “Dokter Ruben tidak pernah menghubungiku lagi sejak mereka bercerai.”&ld
“Iya, aku tahu itu. Kamu nggak usah ngegas gitu, Ruben,” balas Sean. “Tidak diberitahu pun aku sudah tahu.”“Aku hanya mengingatkanmu aja, Sean. Barangkali kamu sudah lupa. Kalau Emery hanya milikku seorang,” kata Ruben dengan bangga.“Cuih! Seenaknya saja ngaku-ngaku dia milikmu. Jika dia milikmu lantas kenapa kamu melepasnya pergi. Bodoh!” ejek Sean.“Aku tidak melepasnya. Dianya aja yang banyak pertimbangan,” Ruben membela diri.“Terang aja dia banyak pertimbangan. Sikapmu aja kayak bunglon, sering berubah-ubah nggak karuan.”“Sudah hentikan! Aku nggak mau kita bertengkar.”“Lalu, kamu menelponku hanya untuk menanyakan hal ini aja?”“Sean, aku mohon sama kamu. Bantu aku untuk mengawasinya. Cuma kamu satu-satunya keluargaku yang bisa kuandalkan di sana. Kamu mau, kan, membantuku?” pinta Ruben dengan nada memelas.&ldquo
“Sean?” Emery membuka kaca mobil dan berbincang sebentar dengan Sean.“Apa kamu sedang terburu-buru? Aku ingin mentraktirmu minum kopi. Gimana?” tawar Sean.“Aku minta maaf, Sean. Aku harus segera menjemput Ben di daycare. Lain kali saja, oke?” tolak Emery dengan ramah.“Oh, oke. Tidak apa-apa. Hati-hati saat berkendara!” Sean menasihati. Emery mengangguk mantap.Tak lama setelah berpamitan dengan Sean, Emery melajukan mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit.***“Kamu yakin tidak ingin ikut denganku?” Ruben memastikannya kembali. Siapa tahu Emery berubah pikiran di saat-saat terakhir mereka berpisah di bandara.“Aku akan menunggumu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa menungguku?” Ruben takut sekali. “Kamu tidak akan berpaling dan jalan sama pria lain, kan?”“Pria lain, siapa maksudmu?” Emery tersinggung dengan ucapan
Emery mulai menyadari perhatian dari kedua pria tersebut, yang masing-masing menunjukkan rasa cinta dengan cara yang berbeda. Ruben adalah sosok romantis yang penuh tekad. Meski terkadang, dia sangat menyebalkan dengan sikap plin-plannya yang seperti bunglon, sering berubah-ubah.Sementara, Adrian adalah pribadi yang tenang dan suportif. Seperti katanya, dia selalu ada setiap kali Emery membutuhkan pertolongan atau teman untuk bercerita. Kali ini, Emery benar-benar mengalami dilema. Dia berada diposisi sulit karena harus memilih antara dua pilihan. Impian masaa depan bersama Ruben atau kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh Adrian.“Nak, kamu akan memilih yang mana seandainya kamu menjadi Ibu?” tanya Emery saat dia memerhatikan bayi Ben yang sedang menyusui.Bayi Ben hanya tersenyum menanggapi cerita Emery. Seolah-olah balita mungil itu mengerti bahwa yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah ibunya sendiri.“Sekarang, kamu juga membua
“Beri aku waktu!” pinta Emery.“Apa? Waktu?” Ruben membelalak.Emery mengangguk mantap. “Aku masih mempertimbangkannya. Jika aku menikah sekarang, lalu bagaimana dengan Ben Joshua, anak kita?”“Memangnya kenapa dengan dia?” Ruben agak heran. “Bukankah itu bagus untuk perkembangan dia? Dia memiliki keluarga yang lengkap ada orang tua yang akan merawat dia.”“Maksudku, jika Ben dibawa ke luar negeri, aku khawatir dia belum bisa beradaptasi,” kata Emery beralasan.“Dia anak yang pintar. Aku tahu itu. Dia akan lebih cepat beradaptasi di sana. Aku yakin itu,” Ruben berpendapat.Emery kehabisan ide. Bagaimana caranya dia harus menjawab pertanyaan Ruben soal lamaran itu?“Emery ….” Ruben meraih tangan Emery dan coba membujuknya kembali.“Aku ingin melihatmu membuktikan lagi cintamu. Kamu tahu, kan, sejak kamu meragukan kehamilanku hatiku sangat sakit. Saat itu aku berpikir, aku tidak bisa lagi bersama orang yang selalu berprasangka buruk padaku. Apalagi menuduhku yang tidak-tidak,” jelas Eme
“Jangan menggangguku! Aku mau tidur,” balas Emery yang tidak mau berbalik ke arah Ruben.“Sayang, kamu mengabaikan aku?” Ruben protes. Dia tidak terima Emery bersikap tidak peduli lagi kepadanya.“Ayolah!” bujuk Ruben.Emery tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya kelelahan setelah seharian mengurus bayi Ben. Dia butuh banyak istirahat.“Sudah kubilang, jika kamu terus menggangguku, aku terpaksa menendangmu dari kamarku. Kamu mau aku melakukannya?” ancam Emery meski kedua matanya terpejam.Ruben pun akhirnya menyerah. Jika itu yang diinginkan Emery, dia memilih untuk mengalah saja. Dia tidak mau ambil risiko seandainya Emery marah hanya karena masalah sepele seperti itu. Dia turun dari ranjang Emery dan kembali ke sofa bed tempatnya tidur.‘Malam ini kelabu sekali bagiku,’ ujar Ruben dalam hati.***Beberapa bulan kemudian, Emery pergi ke rumah sakit tempat dia bekerja
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m