Sementara, Emery masih memandangi dirinya dalam cermin. Dia merasa bersalah sekali pagi ini karena sudah tidur dengan Ruben semalam. Tanpa sepengetahuan Sienna. Seandainya saja Sienna tahu, habislah dia.
Siang itu, Emery sudah berdandan rapi dan hendak menemui Sienna di tempat yang sudah dijanjikan. Namun, ketika keluar dari rumah kosannya, seseorang membunyikan klakson mobil tepat di belakang Emery. Sontak saja, Emery terkejut melihat Ruben yang tengah duduk di jok kemudi memanggil Emery untuk segera masuk ke mobilnya.
“Astaga! Mau ngapain lagi dia?” gumam Emery. Dia terpaksa berjalan ke arah Ruben, membuka pintu mobilnya. Lalu, duduk di sebelahnya.
“Ada apa?” tanya Emery. Dia masih sebal dengan sikap Ruben tadi pagi.
“Kamu masih marah, ya?” Ruben memastikannya lagi. Dia melihat raut wajah Emery yang sedari tadi tidak mau memandang ke arahnya.
“Jelas saya marah! Di dunia ini mana ada wanita yang dengan sukarela menyerahkan seluruh harta berharganya untuk pria yang tidak dicintainya,” Emery sewot.
“Jadi, kamu membenciku sekarang? Kamu tidak takut? Aku ini, kan, seniormu,” goda Ruben. Dia berusaha mengembalikan lagi mood Emery yang ambyar.
“Ancaman Anda itu tidak akan mempan lagi untuk saya. Sebaiknya, simpan saja semua bujuk rayu Anda untuk wanita lain. Saya bukan tipe wanita yang sembarangan tidur dengan seorang pria.” Emery menegaskannya pada Ruben. Namun, pria itu hanya tersenyum sekilas menanggapi Emery.
“Baiklah! Kalau itu maumu. Jangan salahkan aku! Jika terjadi sesuatu sama kamu, terus aku nyuekin kamu saat itu.” Ruben lepas tanggung jawab. Sudah dibaikin malah ngelunjak, pikirnya sembari menatap wajah Emery yang masih menahan kesal kepadanya.
Emery menoleh. “Jika terjadi sesuatu yang mengerikan dalam hidup saya, Anda tentunya harus bertanggung jawab. Saya tidak peduli, Anda senior atau atasan saya nantinya. Saya hanya akan berjuang meraih keadilan. Paham?” tegasnya.
Ruben tersenyum lagi mendengar semangat juniornya yang membara bak seorang pejuang kemerdekaan saat ini. Dia juga menyimpan kekagumannya pada Emery. Wanita itu penuh ambisi. Semangatnya membuat Ruben mengacungkan dua jempol.
Ruben segera melajukan kendaraannya dan pergi meninggalkan rumah kos-kosan yang ditempati Emery. Tunggu sebentar! Emery kaget. Ruben hendak membawanya ke mana? Saat ini, Emery, kan, sudah ada janji dengan Sienna.
“Kita mau ke mana?” tanya Emery agak cemas. Dia melihat-lihat sekitarnya.
“Ke hotel,” sahut Ruben.
“A-apa? Ke hotel? Mau ngapain?” Emery terlonjak kaget setelah mengetahui Ruben akan membawanya ke hotel.
“Kenapa kamu sekaget itu? Santai dan bersikaplah biasa saja saat menanggapinya. Lebay banget.” Ekspresi datar ditunjukkan Ruben saat dia menoleh ke arah Emery.
“Maaf, saya tidak mau ikut Anda ke hotel. Cari wanita lain aja! Yang open BO banyak kok di aplikasi,” tolak Emery dengan tegas.
Ruben mengerutkan keningnya. Rupanya Emery salah persepsi. Wanita itu tidak tahu maksud Ruben membawanya ke hotel. Pria itu jadi ingin ketawa. Buruk sekali pemikiran Emery saat ini. Apa dia salah makan? Atau otaknya sedang koslet gara-gara semalam? pikir Ruben.
“Kamu ngomong apa sih? Memangnya kamu pikir aku mau ngajakin kamu ke sana? Otakmu ngeres banget, Emery,” cibir Ruben.
“Trus, ngapain dong kalau bukan untuk itu .…” Emery jadi kikuk dan salah tingkah. Dia grogi sekali di depan Ruben.
“Aku bawa kamu ke hotel untuk menemaniku menghadiri acara lain di sana. Bukan untuk melakukan sesuatu yang tidak-tidak di sana. Ngaco kamu!” jelas Ruben.
“Acara lain itu apa?” ulang Emery. Dia harus tahu dulu maksud dan tujuan Ruben membawanya.
“Acara seminar kedokteran,” terang Ruben.
Oh, begitu rupanya. Sekarang, Emery tahu maksud Ruben mengajaknya pergi ke hotel. Tapi, kan! Dia sudah ada janji lain dengan Sienna. Dia baru menyadarinya sekarang.
Berhenti! Stop! Stop! Emery menghentikan Ruben sesegera mungkin. Saat itu, Ruben kaget dan menepikan kendaraannya di pinggir jalan.
“Aaaahhh! Sial! Kenapa kamu menyuruhku berhenti di tengah jalan? Kalau aku nggak ngerem mendadak bisa-bisa .…” Ruben sewot. Kalimatnya terhenti beberapa saat. Emery langsung menyela pembicaraannya.
“Saya sudah ada janji lain. Jadi, saya tidak bisa menemani Anda ke sana. Maafkan saya,” sesal Emery. Dia bergegas turun dari mobil Ruben. Namun, pria itu tidak mengizinkannya.
“Tunggu! Kamu mau ke mana?” cegah Ruben sembari memegangi tangan Emery dengan erat. “Suruh siapa kamu bisa pergi?”
“Saya udah ada janji makan siang dengan teman,” Emery memberitahu.
“Temanmu? Yang mana?” Ruben curiga. Matanya menyipit dan dia menyudutkan Emery. “Apa temanmu itu seorang pria?” tanyanya lagi.
“Bukan. Maafkan saya sekali lagi. Saya tidak punya banyak waktu lagi. Sudah telat,” Emery langsung turun dari mobil. Lalu, dia naik bus kota.
Emery meninggalkan Ruben begitu saja. Pria itu tersenyum sinis menanggapinya. Sepertinya dia diabaikan oleh juniornya.
“Kurang ajar!” gerutu Ruben sembari memukul stir kemudinya karena gusar.
‘Awas kamu, Emery!’ ancamnya dalam hati. Tiba-tiba, dia kepikiran ide untuk mengerjainya. Senyum licik pun mengembang di sudut bibirnya.
***
Sesampainya Emery di kafe, tempatnya janji temu dengan Sienna, dia terkejut melihat Sienna tergesa-gesa keluar dari kafe. Gawat!
“Emery, syukurlah kamu sudah datang! Kita harus segera pergi,” kata Sienna memberitahunya.
“Ada apa?” Emery ikut panik. Tangannya digandeng Sienna dan tidak lama kemudian taksi online menghampiri mereka di depan kafe.
Sienna belum menjelaskan apa-apa pada Emery. Wanita itu sibuk sekali menelpon. Sampai-sampai, dia melupakan Emery yang berada di sampingnya. Apa hanya Emery yang tidak tahu apa-apa saat ini?
Usai Sienna menelpon, Emery bertanya pada sahabatnya itu. Apa yang terjadi dan mau ke mana mereka pergi? Dua pertanyaan itu yang sedari tadi mengganjal dalam benak Emery. Sejak keduanya keluar dari kafe tanpa sempat makan siang bersama seperti yang sudah dijanjikan.
“Sebenarnya kita mau ke mana sih?” tanya Emery. Sienna menoleh.
“Emangnya kamu nggak tahu? Sekarang ini kita harus menghadiri seminar di hotel,” Sienna memberitahu.
“Oh ya? Haruskah kita juga ikut ke sana? Bukannya ini hari libur kita?” pikir Emery. Kenapa tujuannya sekarang sama seperti Ruben?
“Dokter Ruben memerintahkan koas yang libur hari ini untuk pergi ke sana. Katanya penting sekali untuk koas seperti kita,” terang Sienna.
Emery tidak habis pikir saja. Kenapa jatah liburnya harus diisi dengan mengikuti kegiatan seminar? Tadinya, kan, Emery dan Sienna mau jalan-jalan, ngafe, dan hangout ke mall. Sekarang semua rencananya gagal. Hanya wacana. Gagal total semuanya. Makanan enak yang sudah terbayang di pelupuk mata musnah sudah.
“Dia sengaja kayaknya,” gumam Emery. Sienna memerhatikannya dari tadi.
“Sengaja gimana maksud kamu, Mer?” Sienna tidak mengerti.
Emery menggeleng. Dia segera menyangkalnya. Jangan sampai Sienna tahu, kalau Emery sebelumnya bertemu dengan Ruben dan menyuruhnya menemani di acara seminar kedokteran.
Berbeda dengan Emery, Sienna justru menaruh curiga pada Emery. Sejak kapan Emery bersikap seperti itu di depan sahabatnya sendiri? Ada banyak hal yang Emery sembunyikan dari Sienna akhir-akhir ini. Sienna jadi berburuk sangka pada Emery.
Beberapa menit kemudian, Emery dan Sienna tiba di hotel. Keduanya masuk ke sebuah ballroom hotel untuk menghadiri seminar kedokteran. Astaga! Kenapa harus ke tempat itu sih? Rasanya Emery ingin sekali menyembunyikan wajahnya saat berada di ruangan elit itu. Dia malu sekali ketika harus bertemu dengan Ruben.
“Itu dokter Ruben!” tunjuk Sienna. Emery langsung memalingkan wajahnya.
“Ya ampun! Mau ngapain dia ke sini?” Emery jadi kikuk sendiri ketika Ruben mendekati mereka.
“Kalian sudah datang rupanya,” sapa Ruben pada Emery dan Sienna. “Baguslah!”Ruben menampilkan senyum di depan kedua juniornya itu. Sayangnya, yang balas tersenyum hanya Sienna, sedangkan Emery lebih memilih untuk memalingkan wajah ketimbang membalas senyuman palsu yang ditunjukkan Ruben di hadapannya.Pandangan Ruben saat itu tertuju pada Emery. Sienna sempat memerhatikan gelagat mereka yang kelihatan sangat mencurigakan.“Ehem!” Sienna berdeham, membuyarkan lamunan Ruben dan Emery yang sontak menoleh ke arahnya.“Maaf, Dokter. Apa kami terlambat?” tanya Sienna hati-hati.“Tidak. Kalian datang tepat waktu,” sahut Ruben agak cuek. Pandangannya masih tertuju pada Emery seorang. Jadi, dia tidak begitu menghiraukan perkataan Sienna.“Emery, kamu kenapa?” tanya Ruben sok perhatian. “Kelihatannya kamu lelah sekali. Apa tidurmu nyenyak?”Deg!Kenapa senior sialan itu malah menanyakan keadaan Emery? Jelas-jelas hal itu malah makin memperjelas hubungan mereka. Sienna bisa makin curiga pada me
“Setelah kamu menandatangani perjanjian ini, kuharap kamu tidak membuat masalah lagi denganku di rumah sakit. Jika kamu melakukannya, aku bisa menuntutmu secara hukum. Kamu mengerti?” Ruben memperingatkan Emery cukup keras.Emery menghela napas panjang meski agak berat di lakukannya. Dia jadi tidak berselera makan siang ini. Padahal, perutnya sudah keroncongan menahan lapar. Ruben sengaja merusak moodnya.“Kamu tidak makan? Tidak lapar memangnya?” tawar Ruben sembari mengalihkan pembicaraan.“Tidak, terima kasih,” tolak Emery. Dia terpaksa berbohong di depan Ruben.Sebenarnya, Emery sangat lapar. Tetapi, melihat sikap Ruben yang semena-mena itu kepadanya membuat seisi perutnya terasa mual. Jadi malas makan meskipun hidangan yang tersedia di hadapannya kini terlihat sangat lezat dan menggugah selera. Ya, itu benar. Makanan yang dibuat oleh chef ternama di hotel bintang lima itu bikin ngiler saja, pikir Emery.Semua itu tidak ada artinya sekarang, ketika Emery sudah kehilangan selera ma
“Jangan bicara sembarangan dan bertindak gegabah! Sepertinya ada seseorang yang tengah mengawasi kita,” tegur Ruben.“Seseorang yang mengawasi kita? Siapa?” Emery jadi ingin tahu. Dia menoleh kanan-kirinya, mencari sesuatu sembari memastikan ucapan Ruben.“Entahlah. Sepertinya tadi ada orang yang mendengarkan pembicaraan kita,” duga Ruben seraya memberitahu Emery.“Bagaimana ini?” Emery cemas. Raut wajahnya makin terlihat pucat usai mendengarkan perkataan Ruben.“Berhati-hatilah! Karena di sini ada banyak sekali pasang mata dan telinga yang sewaktu-waktu bisa bicara dan itu akan membahayakan posisi kita. Kamu mengerti?” Ruben memperingatinya.Emery mengangguk. Kalau begitu dia akan lebih waspada dan berhati-hati lagi dalam bertindak maupun berucap mulai sekarang. Dia tidak akan sembarangan bicara dengan orang lain, atau mencurahkan isi hatinya pada rekan kerja yang lain. Dia sudah berjanji pada Ruben untuk tetap diam, merahasiakan hubungan terlarang mereka.“Satu jam lagi, temui saya
Emery pergi ke rumah Ruben pagi-pagi sekali. Dia harus menemui seniornya itu secepatnya, sebelum Ruben berangkat kerja. Dalam keadaan panik, putus asa, sedih, dia datang sembari membawa bukti-bukti, bahwa dirinya kini telah berbadan dua.“Emery?” Ruben terkejut melihat kedatangan Emery ketika dia membukakan pintu rumahnya.“Ada apa?” tanya Ruben ingin tahu.Emery berkaca-kaca di hadapan Ruben. Mungkin sebentar lagi, gadis itu akan menitikkan air matanya.“Masuklah!” ajak Ruben. Dia mempersilakan Emery masuk ke rumahnya. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan Emery langsung kepadanya.“Kamu mau minum apa?” tawar Ruben.“Saya tidak ingin apa-apa,” tolak Emery dengan nada suara gemetaran.Ruben makin tidak mengerti dengan sikap Emery. Lantas, apa yang diinginkan koas itu sampai harus datang ke rumah Ruben pagi-pagi sekali.“Dokter Ruben ….” Emery menarik napasnya dalam-dalam, sebelum dia mengatakan maksud dan tujuannya datang ke rumah sang senior.“Saya ingin Anda tahu, kalau saya ....” E
Selama berada di ruang operasi baik Ruben maupun Emery, keduanya memusatkan perhatiannya hanya pada pasien. Emery sudah melakukan anestesi atau membius total si pasien, hingga pasien itu kini tertidur pulas.Janin yang tidak berkembang dalam tubuh pasien sudah meninggal beberapa jam yang lalu dan harus segera diangkat dari rahim ibunya. Jika tidak, akan sangat membahayakan sekali bagi pasien.Emery menatap ke arah wajah pasiennya. Tampak wajah sang ibu masih menangis sendu dan terus mengeluarkan air mata walau dalam keadaan tertidur. Obat bius itu ternyata sama sekali tidak berpengaruh pada perasaan pasien itu. Meskipun pasiennya terpejam, hati dan pikirannya tidak ikut tidur.‘Kasihan sekali ibu ini,’ pikir Emery. Dia merasa iba dengan peristiwa pilu yang dialami pasien tersebut.Emery menyeka air mata ibu itu dengan perlahan. Dia turut merasakan kesedihan dalam hati sang ibu.‘Aku pun akan menjadi seorang ibu kelak. Tapi, aku tidak berharap berada di posisi ibu itu saat ini. Tidak!’
“Banyak amat makanannya. Dari siapa?” tanya Sienna. Ketika Emery memasuki ruangannya. Di sana, sudah ada Sienna yang sedang mengerjakan tesisnya.“Nggak tahu dari siapa. Katanya ini untukku,” sahut Emery.“Lah? Kalau nggak jelas pengirimnya, terus kenapa kamu terima gitu aja?” Sienna heran sekaligus penasaran.“Mau nolak nggak enak. Kalau dibiarin, ya … sayang aja. Mubazir, kan, buang-buang makanan,” Emery berdalih.“Iya juga sih. Tapi, makanan itu banyak banget, lho, Mer.”“Kalau kamu mau, kita makan bareng aja. Aku juga nggak bakalan bisa habisin semuanya,” tawar Emery.“Beneran nih, Mer? Kelihatannya enak-enak makanannya. Cepat buka kalau gitu!” Sienna sudah tidak sabaran ingin segera mencicipinya.Di ruangan itu, Emery dan Sienna tampak sedang menikmati makanan kiriman yang entah dari siapa pengirimnya. Itu tidak jadi masalah. Yang penting enak dan perut Emery bisa terisi. Ada paket pizza lengkap dengan toppingnya yang beraneka ragam. Ada salad buah, kentang, jus strawberry dan ma
“Pa-pacaran?” Emery membelalak kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan Sienna kepadanya.“Jujur aja, Mer! Kamu nggak usah menutup-nutupinya lagi dariku. Apa benar kamu dan dokter Ruben ada hubungan yang cukup serius selama ini?” desak Sienna. Dia penasaran sekali hingga menyudutkan Emery dengan pertanyaan itu.Emery benar-benar bingung. Bagaimana dia harus mengakui hubungannya dengan Ruben? Dia sudah bersumpah pada Ruben untuk menutup mulutnya rapat-rapat.“EMERY!” Sienna tidak sabaran.Emery menitikkan air mata di depan sahabatnya itu. Tanpa berkata-kata lagi, Sienna pun langsung bisa mengetahuinya. Dia beranggapan bahwa memang benar saat ini Emery sedang menjalin hubungan khusus dan sangat rahasia dengan Ruben.“Ya ampun, Mer ….” Sienna kembali memeluk sahabatnya itu seraya menepuk-nepuk punggung Emery. Dia berusaha menenangkan Emery yang sedang menangis di pelukannya.“Kejadiannya nggak pernah terduga sama sekali. Aku dan dia hanya melakukannya sekali. Tapi, hasilnya malah posi
“Apa maksudmu, Dokter Ruben?” Emery membelalak kaget setelah mendengar pernyataan tidak masuk akal yang dilontarkan Ruben di depan ayahnya.Wajah Ruben langsung berubah pucat. Dia menoleh perlahan ke arah Emery dengan tatapan rasa bersalah. Namun, dia merasa tidak ingin disalahkan atas apa yang kini tengah menimpa Emery.“Kamu yakin kalau bayi itu bukan anakmu?” Profesor Rudiana sekali lagi memastikannya. Dia langsung bertanya pada Ruben.Jika Ruben menyangkalnya sekali lagi, profesor Rudiana baru akan memercayai ucapan putranya itu.“Ya, aku yakin sekali. Karena aku tidak serendah itu harus meniduri juniorku sendiri. Bahkan, aku dan dia tidak saling mencintai, Yah,” ungkap Ruben. Dia yakin sekali ketika mengatakannya pada sang ayah.“Dokter Ruben!” Emery tidak percaya jika Ruben setega itu mengatakannya di depan ayahnya. Apa dia sedang melempar kesalahannya pada Emery?“Anda tahu betul, malam itu Andalah yang telah menggoda saya. Sampai akhirnya kita tidak sadar dan melakukan hal itu
Hujan mulai turun perlahan, rintik-rintiknya membasahi wajah Sienna yang masih terpaku menatap Sean. Cahaya dari lampu-lampu kecil di sekitar mereka memantul di butir-butir air yang jatuh, menciptakan suasana magis yang tak terduga.“Apa yang dia lakukan?” Sienna terkejut dengan sikap Sean.Sean, meski basah kuyup, tetap bertahan dalam posisinya, berlutut di tanah dengan kotak kecil berisi cincin yang terbuka di tangannya.“Sienna,” kata Sean dengan suara yang serak namun penuh ketulusan, “aku tidak pernah ragu tentang kita. Aku hanya ingin momen ini menjadi sesuatu yang tak akan pernah kamu lupakan. Kamu adalah bagian terbaik dari hidupku, dan aku ingin menghabiskan sisa waktuku bersamamu.”Sienna merasakan hatinya mencair seperti es yang tersentuh sinar matahari. Padahal saat itu sedang turun hujan deras. Air matanya bercampur dengan rintik hujan, tetapi senyumnya mulai merekah, meskipun bibirnya gemetar.&ldqu
Di Paris, Emery dan Ruben memulai kehidupan baru mereka sebagai keluarga kecil yang bahagia. Mereka tinggal di sebuah apartemen mewah yang menghadap ke arah Menara Eiffel, tempat yang menjadi simbol awal cinta dan harapan baru.“Mommy ….” ucap Ben kecil yang mulai belajar bicara dan berjalan. Emery terkejut dengan pertumbuhan Ben yang berkembang pesat.Ben, yang kini semakin tumbuh ceria dan sehat, membawa warna ke dalam hari-hari mereka.Emery melanjutkan kariernya sebagai dokter di salah satu rumah sakit ternama di Paris bersama suaminya, Ruben. Setiap akhir pekan, jika tidak sibuk menangani pasien di rumah sakit, mereka menghabiskan waktu bersama-sama dengan Ben dan mendokumentasikan semua kegiatannya di sana.Di sela-sela kesibukan mereka, Ruben sering mengajak Emery berjalan-jalan di sepanjang Seine atau menikmati makan malam romantis di bistro kecil. Dalam satu momen manis, mereka duduk di kursi taman, memandangi lampu-lampu kota
Adrian akhirnya memberanikan diri untuk menemui Sean di rumah sakit. Saat dia masuk ke kamar, Sean sedang berbincang ringan dengan Emery.‘Sial! Kenapa Emery ada di sini?’ Adrian jadi segan dan ingin segera mengurungkan niatnya.Ketika melihat Adrian berdiri di pintu, Sean memintanya masuk. Suasana di kamar inap pun menjadi canggung. Adrian dengan raut wajah penuh penyesalan, menyerahkan surat yang dia tulis untuk Sean. Dia meletakkannya di atas meja kecil dekat ranjang pasien.“Emery ….”Emery membuang muka saat Adrian menoleh ke arahnya. Dia masih kesal pada sang direktur. Adrian tahu, perbuatannya mungkin tidak akan pernah bisa termaafkan oleh Emery."Saya tahu permintaan maaf saya tidak cukup," ucap Adrian dengan suara berat. "Tapi, saya ingin kalian tahu, saya benar-benar menyesal atas semua yang terjadi waktu itu."Emery dan Sean kompak terdiam menanggapi permintaan maaf Adrian. Mereka masih tak berkutik
Setelah operasi yang memakan waktu cukup panjang dan kritis, Sean berhasil melewati masa-masa kritisnya. Dokter menyampaikan kabar baik kepada Emery, Ruben, dan Sienna, bahwa kondisi Sean mulai stabil. Namun, dia tetap membutuhkan pemulihan intensif di rumah sakit.“Syukurlah kalau begitu,” ucap Ruben.“Terima kasih, Tuhan.” Emery pun mengucap syukur pada Sang Maha Kuasa atas karunianya, operasi Sean berjalan lancar.“Aku akan memberitahu Sienna,” kata Ruben.“Biar aku saja yang menghubunginya,” tawar Emery.“Baiklah, kalau begitu. Aku akan mengurus kamar inapnya dulu. Jangan lupa, bayi kita,” pesan Ruben dengan tergesa-gesa.Emery mengangguk mantap. Dia mengerti dan bergegas melaksanakan perintah Ruben.Setelah menghubungi Sienna, Emery pun merasa lega. Dia hanya berharap, semoga saja Sean lekas pulih dari luka tembaknya. Dia teringat pesan Sienna untuk Sean.“E
Di guest house tempat Adrian menyembunyikan bayi Ben, ketegangan pun memuncak ketika Sean berhasil menemukan Ben di kamar terkunci. Emery yang menyusul masuk, memeluk putranya dengan penuh emosi. Emery tak kuasa menahan tangisnya setelah menemukan sang putra.Sean menyuruh Emery untuk segera melarikan diri. Berbahaya sekali bagi Emery dan bayi Ben. Namun, usaha mereka untuk melarikan diri terganggu oleh anak buah Adrian, yang membawa senjata dan mengepung mereka.Dalam kekacauan itu, Sean terluka parah akibat sebuah tembakan yang tidak disengaja ketika dia berusaha melindungi Emery dan Ben dari musuh.“Suara itu … siapa yang terluka?” Ruben membelalak kaget.Ruben, yang terlibat perkelahian sengit dengan Adrian di ruang utama, mendengar suara tembakan dan segera berlari ke arah Emery.“Kamu tidak apa-apa?” Ruben memastikan Emery dan putranya tidak kenapa-kenapa.Emery sesenggukkan. “Aku tidak apa-apa. Tap
“Adrian,” desis Laura. Wanita itu datang menghampiri Adrian perlahan-lahan.Adrian hanya sekilas meliriknya. Tanpa berbasa-basi, pria itu memilih untuk meninggalkannya di tengah-tengah pesta yang sedang berlangsung. Dia buru-buru pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri.Adrian tidak mengira bahwa dirinya terjebak dalam perjodohan yang dirancang oleh ayahnya sendiri, Tuan Milano dengan Laura, putri dari seorang wali kota. Perasaannya begitu hancur. Hatinya masih terpaut pada Emery, wanita yang kini berada di sisi Ruben.Meski menerima perjodohan demi menjaga reputasi keluarga, Adrian tidak bisa melepaskan obsesinya terhadap Emery. Sikapnya yang dingin dan egois membuat Laura merasa diabaikan malam itu, meski dia berusaha sebaik mungkin, menjalankan perannya sebagai tunangan yang sempurna di mata tamu undangan yang datang.“Sial!” rutuk Adrian. Dia tancap gas maksimal dan membuat kendaraannya mengebut di jalan raya pada malam ha
Ruben mulai geram dengan tingkah Adrian yang begitu berambisi dan terobsesi pada Emery. Adrian sudah terang-terangan menunjukkannya di hadapan Tuan Milano, orang tuanya.“Saya sudah bilang, saya akan mempertahankan Emery, apa pun yang terjadi,” tegas Adrian.“Apa?” Ruben hampir tersulut emosi mendengar pernyataan Adrian yang sudah memprovokasinya.“Dokter Ruben, pulanglah dulu! Saya akan bicara lagi dengan putra saya terkait kepindahan Emery. Saya akan menghubungimu lagi nanti,” kata Tuan Milano melerai pertengkaran antara Ruben dan Adrian.“Itu benar, Dokter Ruben! Kami akan memikirkan cara lain untuk membujuk putra kami,” bela Nyonya Milano.“Baik. Kalau begitu, saya permisi undur diri. Selamat siang, Tuan, Nyonya,” pamit Ruben. Sebelum dia benar-benar pergi meninggalkan kediaman Tuan Milano, dia sempat melihat sorot mata Adrian yang mulai mengisyaratkan untuk mengajaknya perang mempereb
Sean dan Sienna tak berkutik lagi di hadapan Adrian. Mereka terlihat segan dan tidak bisa mengiyakannya.“Tidak apa-apa jika memang itu benar. Saya akan mendukung kalian,” kata Adrian.“Benarkah itu, Dok?” Sienna langsung antusias menaggapinya.“Tentu. Silakan saja! Itu hak kalian. Rumah sakit tidak berhak melarang-larang orang yang sedang jatuh cinta,” kata Adrian. Pernyataannya membuat Sean dan Sienna cukup senang.“Oh, iya. Kapan kalian akan berangkat?” Adrian mengalihkan pembicaraan.“Besok pagi,” sahut Sean.“Begitu rupanya. Selamat bertugas dan kalian harus kembali dengan selamat. Kudoakan semoga hubungan kalian bisa langgeng hingga ke jenjang pernikahan,” kata Adrian mendoakan mereka dengan setulus hati.“Amin,” ucap Sean dan Sienna bersamaan. Eh! Tumben sekali mereka kompak.Adrian terkejut merespon mereka. “Baiklah, aku permisi du
Sienna tergoda untuk mengambil ponsel Sean dan menjawab teleponnya. “Emery, ada apa pagi-pagi menelpon pacarku?”“Maaf, bukankah ini telepon Sean? Lalu, kamu … bukankah kamu Sienna?” sahut suara pria di seberang sana.Ups! Sienna gelagapan. Ternyata suara di seberang sana adalah suara Ruben, dokter senior di rumah sakit tempatnya bekerja, dahulu.“Oh, maaf Dokter Ruben. Kupikir tadi yang menelpon Emery,” ucap Sienna penuh penyesalan. Dia malu sekali karena sudah salah sangka dan salah orang.“Aku meminjam ponsel istriku karena ponselku mati total,” jelas Ruben.“Begitu rupanya.” Sienna mengerti. Namun, dia tidak bisa menyembunyikan rasa malunya karena sudah berburuk sangka.“Lalu, bagaimana denganmu? Kenapa telepon Sean ada padamu? Tadi, dia bilang dia sedang keluar dan menginap di rumah temannya. Apa jangan-jangan, kalian menginap bersama?” terka Ruben.&l