Sementara, Emery masih memandangi dirinya dalam cermin. Dia merasa bersalah sekali pagi ini karena sudah tidur dengan Ruben semalam. Tanpa sepengetahuan Sienna. Seandainya saja Sienna tahu, habislah dia.
Siang itu, Emery sudah berdandan rapi dan hendak menemui Sienna di tempat yang sudah dijanjikan. Namun, ketika keluar dari rumah kosannya, seseorang membunyikan klakson mobil tepat di belakang Emery. Sontak saja, Emery terkejut melihat Ruben yang tengah duduk di jok kemudi memanggil Emery untuk segera masuk ke mobilnya.
“Astaga! Mau ngapain lagi dia?” gumam Emery. Dia terpaksa berjalan ke arah Ruben, membuka pintu mobilnya. Lalu, duduk di sebelahnya.
“Ada apa?” tanya Emery. Dia masih sebal dengan sikap Ruben tadi pagi.
“Kamu masih marah, ya?” Ruben memastikannya lagi. Dia melihat raut wajah Emery yang sedari tadi tidak mau memandang ke arahnya.
“Jelas saya marah! Di dunia ini mana ada wanita yang dengan sukarela menyerahkan seluruh harta berharganya untuk pria yang tidak dicintainya,” Emery sewot.
“Jadi, kamu membenciku sekarang? Kamu tidak takut? Aku ini, kan, seniormu,” goda Ruben. Dia berusaha mengembalikan lagi mood Emery yang ambyar.
“Ancaman Anda itu tidak akan mempan lagi untuk saya. Sebaiknya, simpan saja semua bujuk rayu Anda untuk wanita lain. Saya bukan tipe wanita yang sembarangan tidur dengan seorang pria.” Emery menegaskannya pada Ruben. Namun, pria itu hanya tersenyum sekilas menanggapi Emery.
“Baiklah! Kalau itu maumu. Jangan salahkan aku! Jika terjadi sesuatu sama kamu, terus aku nyuekin kamu saat itu.” Ruben lepas tanggung jawab. Sudah dibaikin malah ngelunjak, pikirnya sembari menatap wajah Emery yang masih menahan kesal kepadanya.
Emery menoleh. “Jika terjadi sesuatu yang mengerikan dalam hidup saya, Anda tentunya harus bertanggung jawab. Saya tidak peduli, Anda senior atau atasan saya nantinya. Saya hanya akan berjuang meraih keadilan. Paham?” tegasnya.
Ruben tersenyum lagi mendengar semangat juniornya yang membara bak seorang pejuang kemerdekaan saat ini. Dia juga menyimpan kekagumannya pada Emery. Wanita itu penuh ambisi. Semangatnya membuat Ruben mengacungkan dua jempol.
Ruben segera melajukan kendaraannya dan pergi meninggalkan rumah kos-kosan yang ditempati Emery. Tunggu sebentar! Emery kaget. Ruben hendak membawanya ke mana? Saat ini, Emery, kan, sudah ada janji dengan Sienna.
“Kita mau ke mana?” tanya Emery agak cemas. Dia melihat-lihat sekitarnya.
“Ke hotel,” sahut Ruben.
“A-apa? Ke hotel? Mau ngapain?” Emery terlonjak kaget setelah mengetahui Ruben akan membawanya ke hotel.
“Kenapa kamu sekaget itu? Santai dan bersikaplah biasa saja saat menanggapinya. Lebay banget.” Ekspresi datar ditunjukkan Ruben saat dia menoleh ke arah Emery.
“Maaf, saya tidak mau ikut Anda ke hotel. Cari wanita lain aja! Yang open BO banyak kok di aplikasi,” tolak Emery dengan tegas.
Ruben mengerutkan keningnya. Rupanya Emery salah persepsi. Wanita itu tidak tahu maksud Ruben membawanya ke hotel. Pria itu jadi ingin ketawa. Buruk sekali pemikiran Emery saat ini. Apa dia salah makan? Atau otaknya sedang koslet gara-gara semalam? pikir Ruben.
“Kamu ngomong apa sih? Memangnya kamu pikir aku mau ngajakin kamu ke sana? Otakmu ngeres banget, Emery,” cibir Ruben.
“Trus, ngapain dong kalau bukan untuk itu .…” Emery jadi kikuk dan salah tingkah. Dia grogi sekali di depan Ruben.
“Aku bawa kamu ke hotel untuk menemaniku menghadiri acara lain di sana. Bukan untuk melakukan sesuatu yang tidak-tidak di sana. Ngaco kamu!” jelas Ruben.
“Acara lain itu apa?” ulang Emery. Dia harus tahu dulu maksud dan tujuan Ruben membawanya.
“Acara seminar kedokteran,” terang Ruben.
Oh, begitu rupanya. Sekarang, Emery tahu maksud Ruben mengajaknya pergi ke hotel. Tapi, kan! Dia sudah ada janji lain dengan Sienna. Dia baru menyadarinya sekarang.
Berhenti! Stop! Stop! Emery menghentikan Ruben sesegera mungkin. Saat itu, Ruben kaget dan menepikan kendaraannya di pinggir jalan.
“Aaaahhh! Sial! Kenapa kamu menyuruhku berhenti di tengah jalan? Kalau aku nggak ngerem mendadak bisa-bisa .…” Ruben sewot. Kalimatnya terhenti beberapa saat. Emery langsung menyela pembicaraannya.
“Saya sudah ada janji lain. Jadi, saya tidak bisa menemani Anda ke sana. Maafkan saya,” sesal Emery. Dia bergegas turun dari mobil Ruben. Namun, pria itu tidak mengizinkannya.
“Tunggu! Kamu mau ke mana?” cegah Ruben sembari memegangi tangan Emery dengan erat. “Suruh siapa kamu bisa pergi?”
“Saya udah ada janji makan siang dengan teman,” Emery memberitahu.
“Temanmu? Yang mana?” Ruben curiga. Matanya menyipit dan dia menyudutkan Emery. “Apa temanmu itu seorang pria?” tanyanya lagi.
“Bukan. Maafkan saya sekali lagi. Saya tidak punya banyak waktu lagi. Sudah telat,” Emery langsung turun dari mobil. Lalu, dia naik bus kota.
Emery meninggalkan Ruben begitu saja. Pria itu tersenyum sinis menanggapinya. Sepertinya dia diabaikan oleh juniornya.
“Kurang ajar!” gerutu Ruben sembari memukul stir kemudinya karena gusar.
‘Awas kamu, Emery!’ ancamnya dalam hati. Tiba-tiba, dia kepikiran ide untuk mengerjainya. Senyum licik pun mengembang di sudut bibirnya.
***
Sesampainya Emery di kafe, tempatnya janji temu dengan Sienna, dia terkejut melihat Sienna tergesa-gesa keluar dari kafe. Gawat!
“Emery, syukurlah kamu sudah datang! Kita harus segera pergi,” kata Sienna memberitahunya.
“Ada apa?” Emery ikut panik. Tangannya digandeng Sienna dan tidak lama kemudian taksi online menghampiri mereka di depan kafe.
Sienna belum menjelaskan apa-apa pada Emery. Wanita itu sibuk sekali menelpon. Sampai-sampai, dia melupakan Emery yang berada di sampingnya. Apa hanya Emery yang tidak tahu apa-apa saat ini?
Usai Sienna menelpon, Emery bertanya pada sahabatnya itu. Apa yang terjadi dan mau ke mana mereka pergi? Dua pertanyaan itu yang sedari tadi mengganjal dalam benak Emery. Sejak keduanya keluar dari kafe tanpa sempat makan siang bersama seperti yang sudah dijanjikan.
“Sebenarnya kita mau ke mana sih?” tanya Emery. Sienna menoleh.
“Emangnya kamu nggak tahu? Sekarang ini kita harus menghadiri seminar di hotel,” Sienna memberitahu.
“Oh ya? Haruskah kita juga ikut ke sana? Bukannya ini hari libur kita?” pikir Emery. Kenapa tujuannya sekarang sama seperti Ruben?
“Dokter Ruben memerintahkan koas yang libur hari ini untuk pergi ke sana. Katanya penting sekali untuk koas seperti kita,” terang Sienna.
Emery tidak habis pikir saja. Kenapa jatah liburnya harus diisi dengan mengikuti kegiatan seminar? Tadinya, kan, Emery dan Sienna mau jalan-jalan, ngafe, dan hangout ke mall. Sekarang semua rencananya gagal. Hanya wacana. Gagal total semuanya. Makanan enak yang sudah terbayang di pelupuk mata musnah sudah.
“Dia sengaja kayaknya,” gumam Emery. Sienna memerhatikannya dari tadi.
“Sengaja gimana maksud kamu, Mer?” Sienna tidak mengerti.
Emery menggeleng. Dia segera menyangkalnya. Jangan sampai Sienna tahu, kalau Emery sebelumnya bertemu dengan Ruben dan menyuruhnya menemani di acara seminar kedokteran.
Berbeda dengan Emery, Sienna justru menaruh curiga pada Emery. Sejak kapan Emery bersikap seperti itu di depan sahabatnya sendiri? Ada banyak hal yang Emery sembunyikan dari Sienna akhir-akhir ini. Sienna jadi berburuk sangka pada Emery.
Beberapa menit kemudian, Emery dan Sienna tiba di hotel. Keduanya masuk ke sebuah ballroom hotel untuk menghadiri seminar kedokteran. Astaga! Kenapa harus ke tempat itu sih? Rasanya Emery ingin sekali menyembunyikan wajahnya saat berada di ruangan elit itu. Dia malu sekali ketika harus bertemu dengan Ruben.
“Itu dokter Ruben!” tunjuk Sienna. Emery langsung memalingkan wajahnya.
“Ya ampun! Mau ngapain dia ke sini?” Emery jadi kikuk sendiri ketika Ruben mendekati mereka.
“Kalian sudah datang rupanya,” sapa Ruben pada Emery dan Sienna. “Baguslah!”Ruben menampilkan senyum di depan kedua juniornya itu. Sayangnya, yang balas tersenyum hanya Sienna, sedangkan Emery lebih memilih untuk memalingkan wajah ketimbang membalas senyuman palsu yang ditunjukkan Ruben di hadapannya.Pandangan Ruben saat itu tertuju pada Emery. Sienna sempat memerhatikan gelagat mereka yang kelihatan sangat mencurigakan.“Ehem!” Sienna berdeham, membuyarkan lamunan Ruben dan Emery yang sontak menoleh ke arahnya.“Maaf, Dokter. Apa kami terlambat?” tanya Sienna hati-hati.“Tidak. Kalian datang tepat waktu,” sahut Ruben agak cuek. Pandangannya masih tertuju pada Emery seorang. Jadi, dia tidak begitu menghiraukan perkataan Sienna.“Emery, kamu kenapa?” tanya Ruben sok perhatian. “Kelihatannya kamu lelah sekali. Apa tidurmu nyenyak?”Deg!Kenapa senior sialan itu malah menanyakan keadaan Emery? Jelas-jelas hal itu malah makin memperjelas hubungan mereka. Sienna bisa makin curiga pada me
“Setelah kamu menandatangani perjanjian ini, kuharap kamu tidak membuat masalah lagi denganku di rumah sakit. Jika kamu melakukannya, aku bisa menuntutmu secara hukum. Kamu mengerti?” Ruben memperingatkan Emery cukup keras.Emery menghela napas panjang meski agak berat di lakukannya. Dia jadi tidak berselera makan siang ini. Padahal, perutnya sudah keroncongan menahan lapar. Ruben sengaja merusak moodnya.“Kamu tidak makan? Tidak lapar memangnya?” tawar Ruben sembari mengalihkan pembicaraan.“Tidak, terima kasih,” tolak Emery. Dia terpaksa berbohong di depan Ruben.Sebenarnya, Emery sangat lapar. Tetapi, melihat sikap Ruben yang semena-mena itu kepadanya membuat seisi perutnya terasa mual. Jadi malas makan meskipun hidangan yang tersedia di hadapannya kini terlihat sangat lezat dan menggugah selera. Ya, itu benar. Makanan yang dibuat oleh chef ternama di hotel bintang lima itu bikin ngiler saja, pikir Emery.Semua itu tidak ada artinya sekarang, ketika Emery sudah kehilangan selera ma
“Jangan bicara sembarangan dan bertindak gegabah! Sepertinya ada seseorang yang tengah mengawasi kita,” tegur Ruben.“Seseorang yang mengawasi kita? Siapa?” Emery jadi ingin tahu. Dia menoleh kanan-kirinya, mencari sesuatu sembari memastikan ucapan Ruben.“Entahlah. Sepertinya tadi ada orang yang mendengarkan pembicaraan kita,” duga Ruben seraya memberitahu Emery.“Bagaimana ini?” Emery cemas. Raut wajahnya makin terlihat pucat usai mendengarkan perkataan Ruben.“Berhati-hatilah! Karena di sini ada banyak sekali pasang mata dan telinga yang sewaktu-waktu bisa bicara dan itu akan membahayakan posisi kita. Kamu mengerti?” Ruben memperingatinya.Emery mengangguk. Kalau begitu dia akan lebih waspada dan berhati-hati lagi dalam bertindak maupun berucap mulai sekarang. Dia tidak akan sembarangan bicara dengan orang lain, atau mencurahkan isi hatinya pada rekan kerja yang lain. Dia sudah berjanji pada Ruben untuk tetap diam, merahasiakan hubungan terlarang mereka.“Satu jam lagi, temui saya
Emery pergi ke rumah Ruben pagi-pagi sekali. Dia harus menemui seniornya itu secepatnya, sebelum Ruben berangkat kerja. Dalam keadaan panik, putus asa, sedih, dia datang sembari membawa bukti-bukti, bahwa dirinya kini telah berbadan dua.“Emery?” Ruben terkejut melihat kedatangan Emery ketika dia membukakan pintu rumahnya.“Ada apa?” tanya Ruben ingin tahu.Emery berkaca-kaca di hadapan Ruben. Mungkin sebentar lagi, gadis itu akan menitikkan air matanya.“Masuklah!” ajak Ruben. Dia mempersilakan Emery masuk ke rumahnya. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan Emery langsung kepadanya.“Kamu mau minum apa?” tawar Ruben.“Saya tidak ingin apa-apa,” tolak Emery dengan nada suara gemetaran.Ruben makin tidak mengerti dengan sikap Emery. Lantas, apa yang diinginkan koas itu sampai harus datang ke rumah Ruben pagi-pagi sekali.“Dokter Ruben ….” Emery menarik napasnya dalam-dalam, sebelum dia mengatakan maksud dan tujuannya datang ke rumah sang senior.“Saya ingin Anda tahu, kalau saya ....” E
Selama berada di ruang operasi baik Ruben maupun Emery, keduanya memusatkan perhatiannya hanya pada pasien. Emery sudah melakukan anestesi atau membius total si pasien, hingga pasien itu kini tertidur pulas.Janin yang tidak berkembang dalam tubuh pasien sudah meninggal beberapa jam yang lalu dan harus segera diangkat dari rahim ibunya. Jika tidak, akan sangat membahayakan sekali bagi pasien.Emery menatap ke arah wajah pasiennya. Tampak wajah sang ibu masih menangis sendu dan terus mengeluarkan air mata walau dalam keadaan tertidur. Obat bius itu ternyata sama sekali tidak berpengaruh pada perasaan pasien itu. Meskipun pasiennya terpejam, hati dan pikirannya tidak ikut tidur.‘Kasihan sekali ibu ini,’ pikir Emery. Dia merasa iba dengan peristiwa pilu yang dialami pasien tersebut.Emery menyeka air mata ibu itu dengan perlahan. Dia turut merasakan kesedihan dalam hati sang ibu.‘Aku pun akan menjadi seorang ibu kelak. Tapi, aku tidak berharap berada di posisi ibu itu saat ini. Tidak!’
“Banyak amat makanannya. Dari siapa?” tanya Sienna. Ketika Emery memasuki ruangannya. Di sana, sudah ada Sienna yang sedang mengerjakan tesisnya.“Nggak tahu dari siapa. Katanya ini untukku,” sahut Emery.“Lah? Kalau nggak jelas pengirimnya, terus kenapa kamu terima gitu aja?” Sienna heran sekaligus penasaran.“Mau nolak nggak enak. Kalau dibiarin, ya … sayang aja. Mubazir, kan, buang-buang makanan,” Emery berdalih.“Iya juga sih. Tapi, makanan itu banyak banget, lho, Mer.”“Kalau kamu mau, kita makan bareng aja. Aku juga nggak bakalan bisa habisin semuanya,” tawar Emery.“Beneran nih, Mer? Kelihatannya enak-enak makanannya. Cepat buka kalau gitu!” Sienna sudah tidak sabaran ingin segera mencicipinya.Di ruangan itu, Emery dan Sienna tampak sedang menikmati makanan kiriman yang entah dari siapa pengirimnya. Itu tidak jadi masalah. Yang penting enak dan perut Emery bisa terisi. Ada paket pizza lengkap dengan toppingnya yang beraneka ragam. Ada salad buah, kentang, jus strawberry dan ma
“Pa-pacaran?” Emery membelalak kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan Sienna kepadanya.“Jujur aja, Mer! Kamu nggak usah menutup-nutupinya lagi dariku. Apa benar kamu dan dokter Ruben ada hubungan yang cukup serius selama ini?” desak Sienna. Dia penasaran sekali hingga menyudutkan Emery dengan pertanyaan itu.Emery benar-benar bingung. Bagaimana dia harus mengakui hubungannya dengan Ruben? Dia sudah bersumpah pada Ruben untuk menutup mulutnya rapat-rapat.“EMERY!” Sienna tidak sabaran.Emery menitikkan air mata di depan sahabatnya itu. Tanpa berkata-kata lagi, Sienna pun langsung bisa mengetahuinya. Dia beranggapan bahwa memang benar saat ini Emery sedang menjalin hubungan khusus dan sangat rahasia dengan Ruben.“Ya ampun, Mer ….” Sienna kembali memeluk sahabatnya itu seraya menepuk-nepuk punggung Emery. Dia berusaha menenangkan Emery yang sedang menangis di pelukannya.“Kejadiannya nggak pernah terduga sama sekali. Aku dan dia hanya melakukannya sekali. Tapi, hasilnya malah posi
“Apa maksudmu, Dokter Ruben?” Emery membelalak kaget setelah mendengar pernyataan tidak masuk akal yang dilontarkan Ruben di depan ayahnya.Wajah Ruben langsung berubah pucat. Dia menoleh perlahan ke arah Emery dengan tatapan rasa bersalah. Namun, dia merasa tidak ingin disalahkan atas apa yang kini tengah menimpa Emery.“Kamu yakin kalau bayi itu bukan anakmu?” Profesor Rudiana sekali lagi memastikannya. Dia langsung bertanya pada Ruben.Jika Ruben menyangkalnya sekali lagi, profesor Rudiana baru akan memercayai ucapan putranya itu.“Ya, aku yakin sekali. Karena aku tidak serendah itu harus meniduri juniorku sendiri. Bahkan, aku dan dia tidak saling mencintai, Yah,” ungkap Ruben. Dia yakin sekali ketika mengatakannya pada sang ayah.“Dokter Ruben!” Emery tidak percaya jika Ruben setega itu mengatakannya di depan ayahnya. Apa dia sedang melempar kesalahannya pada Emery?“Anda tahu betul, malam itu Andalah yang telah menggoda saya. Sampai akhirnya kita tidak sadar dan melakukan hal itu
“Belum bisa dipastikan gejala yang dialami putri Anda adalah baby blues sindrom. Kita tunggu saja hasil pemeriksaan dari dokter Sienna,” hibur Emery menenangkan hati nyonya itu.“Saya ingin tahu tentang penyakit itu, Dokter Emery. Tolonglah!” mohon nyonya itu.“Baby blues sindrom adalah gangguan kesehatan mental yang dialami wanita setelah melahirkan. Gangguan ini ditandai dengan munculnya perubahan suasana hati, seperti gundah dan sedih secara berlebihan,” jelas Emery.“Apa itu bisa dikatakan sebuah penyakit?”“Tentu saja bukan. Baby blues sindrom sering terjadi pada wanita yang sudah melahirkan karena mengalami perubahan hormon dan sulitnya beradaptasi. Umumnya terjadi di hari ketiga atau keempat setelah melahirkan dan akan berlangsung selama 14 hari ke depan.”“Bagaimana cara mengenalinya, Dok?”“Putri Anda akan sangat kelelahan karena terjaga sepanjang malam. K
Emery tiba di rumah ayah mertuanya, profesor Rudiana. Setelah memastikan ayah mertuanya tidur dan bisa beristirahat dengan baik juga nyaman, Emery bisa merasa tenang. Sebelum pulang, Emery dan Sean pergi ke restoran terdekat. Mereka hendak makan malam bersama.“Kenapa kamu memilih restoran ini?” Emery tertegun. Karena Sean mengajaknya makan malam di restoran yang sama, ketika mereka putus waktu itu.“Karena aku ingin mengenang hari terakhir kita bersama. Waktu itu aku marah sekali sama kamu dan melempar kalung itu ke dasar kolam,” kenang Sean.“Apa kamu mencari kalung itu sampai sekarang?” tanya Emery. Sean menoleh.Sean hanya menampilkan senyum sekilas. Kemudian, dia jalan duluan sambil memilih tempat duduk.“Aku masih menyimpannya. Aku hendak memberikannya waktu itu. Tapi, kamu pasti akan menolaknya. Jadi, aku menyimpannya di kamarku, di rumah orang tuaku,” jelas Emery. Dia duduk berhadap-hadapan de
“Sebelum menikah dengan Ruben, Emery adalah tunangan saya,” kata Sean memberitahunya.“Benarkah?” Sienna baru tahu tentang hal itu. “Apa sekarang Anda sudah mencari penggantinya?”“Saya tidak tertarik pada wanita lain,” tegas Sean.“Jangan seperti itu! Anda akan dianggap egois sekali jika tidak memberikan kesempatan pada wanita lain untuk mengisi kekosongan di hati Anda,” kata Sienna menyarankan.“Menurutmu seperti itu?” Sean mengerutkan keningnya.“Ya. Anda tidak akan pernah tahu siapa yang menjadi pendamping hidup Anda, yang menurut Tuhan itu baik untuk Anda.”Sean tak berkutik lagi usai mendengarkan pembicaraan Sienna. Selang beberapa detik kemudian, Sienna turun dari mobil Sean seraya mengucapkan terima kasih karena sudah mengantarnya pulang.“Sampai jumpa lagi besok,” ucap Sienna sambil tersenyum ramah. Namun, Sean hanya membalasnya de
Emery dan Sean jalan bersama di sekitar taman rumah sakit. Emery terdiam cukup lama. Sampai akhirnya mereka menemukan tempat duduk, keduanya duduk-duduk santai di sana.“Bagaimana perasaanmu sekarang?” Sean memulai pembicaraan terlebih dahulu.“Perasaanku?” ulang Emery agak bingung. “Biasa saja. Tidak ada yang istimewa.”“Apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak sedang memikirkan pasienmu tapi tentang Ruben, kan?” tebak Sean.Emery menoleh ke arah Sean yang sok tahu. Lalu, dia menampilkan senyum sekilas. “Kamu sudah tahu aku memikirkannya. Lalu, kenapa kamu menanyakannya lagi?”“Aku hanya ingin memastikan saja. Sepertinya kamu cinta banget sama sepupuku itu.”Emery tersenyum lagi. Sean balas tersenyum menanggapinya. Setidaknya dia senang karena sudah bisa menghibur hati Emery yang sedang bersedih.Sean merogoh saku jas dokternya. Sepertinya dia menyimpan sesuatu di sana
“Apa?” Tuan Milano mengerutkan kening mendengar permohonan Emery.“Saya tidak ingin Anda mengirimnya ke negara perang itu. Bisakah Anda menggantinya dengan hukuman lain?” Emery bernegosiasi.“Maaf, Dokter Emery. Saya tidak bisa melakukannya. Kami sudah menandatangani dan menyepakatinya. Hari ini saya akan menyerahkan surat perjanjian itu ke markas besar tentara perdamaian negara.”“Tuan Milano, tolonglah! Saya mohon pada Anda,” rengek Emery. “Anda tidak bisa membiarkan seorang direktur utama di rumah sakit Anda pergi begitu saja menjadi dokter relawan di negara perang itu.”“Dengarkan saya, Dokter Emery! Saya tidak pernah memaksa dokter Ruben untuk pergi ke sana. Dia sendiri yang dengan sukarela menawarkan dirinya untuk pergi ke sana. Bahkan, dia menggantikan posisi hukumanmu.”“Mohon pertimbangkanlah lagi, Tuan!” Emery masih pasang wajah memelas di depan Tuan Milan
“Aku akan pergi sekarang,” kata Emery hendak meninggalkan ruangan Ruben.“Nanti kita bicara lagi di rumah, Sayang,” balas Ruben.Sienna agak tidak senang dengan pembicaraan mereka. Ruben dan Emery kini sudah berani memamerkan kemesraannya di hadapan rekan-rekan kerjanya yang lain. Ruben mungkin merasa sudah tidak menjadi masalah lagi. Namun, bagi Sienna tetap saja jadi risih melihatnya.“Saya akan meletakkan dokumen yang Anda butuhkan di meja. Permisi,” kata Sienna yang bergegas pergi meninggalkan ruang kerja Ruben.“Terima kasih,” ucap Ruben.Sienna menyusul Emery. Kebetulan sekali, Emery belum terlalu jauh melangkah. Sehingga dia bisa mengikutinya dari belakang Emery.Emery berhenti di sebuah mesin soft drink. Dia mencari koin di saku jas dokternya. Sayang sekali, dia tidak membawa uang koin. Lantas, Sienna yang memasukkan koin tersebut dan memberikan soft drink itu pada Emery.“
Ruben mengikuti Tuan Milano di belakangnya. Pagi ini, Tuan Milano ingin bicara serius dengan Ruben, terkait masalah pernikahannya dengan Emery. Ruben sudah siap menerima dan menanggung segala risikonya.Jika Emery dulu pernah rela berkorban untuknya, apa salahnya Ruben melakukan hal yang sama saat ini untuk istrinya. Agar impas.“Dokter Ruben!” panggil Tuan Milano.“Iya, Tuan,” sahut Ruben dengan tegas.“Kamu tahu, kan, alasan kenapa saya memanggilmu ke sini?”“Saya tahu, Tuan.”“Bagus. Jadi, saya tidak akan menjelaskannya lagi jika kamu sudah tahu maksud arah pembicaraan kita kali ini.”Tuan Milano mengungkit kembali kesalahan Ruben dan Emery yang telah melanggar peraturan rumah sakit. Dalam surat perjanjian antara pegawai dengan pihak rumah sakit tidak diperbolehkan berhubungan atau menjalin asmara dengan sesama rekan kantor. Jika hal itu tidak bisa dihindarkan, maka solusi
“Tidak apa-apa, lupakan saja. Ada apa? Sepertinya ada yang ingin kamu bicarakan denganku. Katakan saja!” Profesor Rudiana bangkit dari tidurnya dan duduk perlahan-lahan sambil menyandarkan tubuhnya di belakang tumpukan bantal.Ruben membantu ayahnya supaya duduknya lebih nyaman lagi. Setelah itu, dia duduk di samping tempat tidur sang ayah sambil menarik napas panjang sebelum berbicara serius dengannya.“Ayah, aku ingin minta maaf padamu,” ucap Ruben memulai pembicaraan. Profesor Rudiana menoleh ke arahnya.“Kelihatannya pembicaraanmu serius sekali,” kata profesor Rudiana menimpalinya. “Apa ini soal pernikahanmu dengan wanita itu?” terkanya.“Iya, itu benar, Yah. Aku sangat mencintainya. Karena itulah aku menikahinya,” ungkap Ruben. Dia mengatakan yang sebenarnya dari lubuk hatinya paling dalam.Profesor Rudiana tersenyum agak sinis. “Kamu hanya mencintai wanita itu. Apa tidak ada wa
Emery terisak. Sean sudah menduga, saat ini mantan kekasihnya itu sedang tidak baik-baik saja. Sean memahami situasi sulit yang tengah dihadapi Emery akhir-akhir ini. Setelah pernikahannya terungkap di hadapan publik, seluruh rekan dokter dan perawat tahu apa yang selama ini dia dan Ruben sembunyikan.“Menangislah, Emery! Jika itu membuatmu merasa lebih baik. Aku tidak akan mencegahmu untuk meluapkan semua perasaanmu saat ini,” kata Sean bersimpati.Emery menangis sekencang-kencangnya. Setelah Sean mempersilakannya. Sepertinya Emery sudah tidak bisa lagi menahan unek-unek dalam hati dan beban pikiran yang mendominasi seluruh pikirannya.Ketika Emery meluapkan semua rasa sedihnya, Sean hanya duduk diam mendengarkannya saja. Dia tidak akan menyela, mengkritik, atau menyuruhnya berhenti menangis. Dia tidak akan melakukannya.Sesampainya di depan rumah Emery, Sean masih bungkam. Dia menunggu Emery mengatakan sesuatu kepadanya. Emery menyeka air matanya. Sudah waktunya dia turun dari mobil