“Dasar pengganggu! Mau tahu aja urusan orang lain,” ucap Ruben agak ketus.
Ruben kesal sekali lantaran Sean masih saja mengganggunya. Tidak hanya di rumah sakit, di rumahnya pun pemuda tengil itu masih saja mengusiknya.
Sean menoleh sebentar ke arah Ruben. Kemudian, dia menerobos masuk untuk melihat-lihat keadaan⸺seisi rumah sepupunya itu. Siapa tahu dia menemukan sesuatu yang aneh dan mencurigakan di sana. Apalagi setelah tahu Emery buru-buru meninggalkan rumah Ruben. Ish! Kepo sekali dia.
Sean pergi ke kamar Ruben. Dia penasaran sekali. Benar saja. Seperti dugaannya. Rupanya mereka sudah menghabiskan malam bersama, pikir Sean sok tahu.
“Kamu sama koas itu ada hubungan apa?” tanya Sean. Nada bicaranya langsung berubah dan agak santai. Tidak seperti waktu di rumah sakit yang harus bicara dengan gaya formal. Karena Ruben adalah atasan Sean di tempatnya bekerja.
“Ah, apa jangan-jangan kalian udah tidur bareng? Iya, kan?” tuduh Sean mantap.
Ruben menoleh ke arahnya dengan tatapan mata sebal. “Kamu datang ke sini hanya untuk mencari tahu tentang hal itu?” cibirnya. “Buang-buang waktu aja kalau gitu.”
“Nggak juga,” sangkal Sean.
“Terus? Masalah buat kamu sekarang?” Ruben makin menunjukkan kekesalannya.
“Aku jadi ingin tahu, apa yang kamu lakukan dengannya semalaman?” Sean makin kepo.
“Bukan urusanmu!” sahut Ruben. Sean tersenyum agak sinis menanggapinya.
Usai dari kamarnya Ruben, Sean duduk di ruang tengah, di sofa panjang warna abu-abu sambil menekan remot tv.
Akhir pekan ini, katanya Sean tidak ada kerjaan dan tidak ada rencana untuk bepergian. Jadi, dia akan menghabiskan waktunya seharian bersama sepupu tercintanya, Ruben.
“Ogah! Pergi sana!” Ruben menolaknya dengan tegas. Setelah tahu niat Sean sebenarnya. Dia masih memiliki kegiatan lain yang lebih berfaedah. Dibandingkan harus menemani Sean seharian di rumahnya.
“Aku masih ada urusan. Jadi, kamu pergi sekarang juga!” usir Ruben sambil menunjuk ke arah pintu keluar.
“Ya ampun! Galak banget sepupuku satu ini. Ckckck,” Sean berdecak.
“Mendingan kamu pergi dari sini, Sean. Kehadiranmu itu tidak pernah diharapkan di rumah ini. Paham?” usir Ruben lagi.
“Sabar, Bro! Aku ke sini, kan, ada niat baik. Silaturahmi dengan keluarga. Kalau kamu bukan keluargaku, malas banget aku berkunjung ke rumah ini,” kata Sean beralasan. Dia sedang membela dirinya sendiri.
Ruben tidak begitu menanggapi pernyataan Sean. Dia berjalan ke dapur dan membuat kopinya sendiri. Saat dia menyeduh kopi, tiba-tiba dia teringat kejadian kemarin siang. Ketika Emery tak sengaja menumpahkan kopi panas ke celananya.
“Gadis bodoh!” gumam Ruben. Dia senyum-senyum sendiri memikirkannya sambil mengaduk-aduk kopi dengan sendok kecil di gelas kopinya.
“Siapa gadis bodoh itu, Bro?” Sean muncul di belakang Ruben dan mengejutkannya secara tiba-tiba. Hampir saja Ruben menumpahkan kopinya ke Sean.
“Cepat kamu menyingkir dariku!” perintah Ruben. Sean tidak peduli. Dia masih memburu Ruben dengan pertanyaan konyolnya, saking penasaran dengan sosok juniornya itu.
“Apa gadis bodoh yang kamu maksud itu … Emery?” terka Sean sembari menggoda sepupunya itu. Ruben tidak menjawab pertanyaannya. Alias bodo amat.
Ruben langsung menghindar dari pertanyaan Sean. Dia merasa tidak wajib menjawabnya. Abaikan saja kalau begitu, pikirnya. Itu tidak penting sama sekali.
“Jadi, kamu suka sama dia, ya?” tebak Sean. Pertanyaan Sean membuat Ruben hampir menyemburkan kopi panas di depan wajahnya.
“Jangan gila, Sean! Aku sedang minum kopi panas dan kamu terus aja ngoceh kayak bocah. Bawel banget sih jadi orang,” Ruben sewot.
“Kalem, Bro! Kamu nggak harus semarah itu sama aku. Aku, kan, nanyanya baik-baik,” kilah Sean. “Nggak usah sewot gitu,” tambahnya.
Padahal, dari lubuk hatinya yang terdalam, Sean memang sengaja ingin memprovokasi Ruben. Untuk mendapatkan informasi penting, sedekat apa sih sepupunya itu dengan koas bernama Emery.
“Kalau kalian nggak saling suka, lantas kenapa kalian tidur bersama semalam? Iya, nggak? Apa aku salah bertanya hal itu langsung ke kamu?” Sedari tadi Sean ternyata memikirkan hal itu.
“Aku memang menyukainya. Tapi, sebagai juniorku. Tidak lebih,” balas Ruben.
“Kamu yakin nggak cinlok sama dia?” Sean memicingkan kedua matanya. Dia tidak percaya dengan ucapan Ruben.
Ah, mana mungkin. Ruben hanya menyukai Emery sebagai juniornya. Pernyataan Ruben sangatlah tidak meyakinkan. Justru, Sean makin penasaran dengan kelanjutan kisah romansa Ruben dengan Emery.
***
“Emery, kamu di mana?” tanya Sienna ketika menghubungi sahabatnya via ponsel.
Emery masih tertidur nyenyak di ranjangnya. Dia kelihatan lelah sekali setelah pulang ke rumah. Menjawab telepon dari sahabatnya saja masih terdengar ogah-ogahan.
“Ada apa? Aku masih ngantuk, Sienna,” jawab Emery sambil menguap panjang. Dia berhasil meyakinkan Sienna jika dirinya sedang tidur di kamarnya.
“Tadi subuh kutelepon, lho. Tapi, malah seseorang yang menjawabnya. Aku takut terjadi sesuatu sama kamu, Emery,” Sienna memberitahu.
Seketika, Emery membelalakkan matanya. Sienna bilang, seseorang menjawab teleponnya? Siapa? Jangan-jangan itu Ruben, pikir Emery. Dia agak ketakutan mendengar pengakuan Sienna.
“Emery, kamu punya pacar ya akhir-akhir ini? Kok, kamu nggak ngasih tahu aku sih?” protes Sienna di ujung sana.
“Pa-pacar apa?” Emery terlonjak kaget. “Aku … Aku nggak punya pacar,” sangkalnya.
“Terus cowok itu siapa dong? Hantu?” Sienna memastikannya. Jawaban Emery membuatnya ragu-ragu sekarang.
“Bukan siapa-siapa. Memangnya aku ada waktu untuk pacaran? Sementara, pekerjaanku di rumah sakit aja seabrek dan begitu melelahkan kayak gini.” Emery beralasan dan berhasil menutup-nutupinya dari Sienna.
“Kamu yakin?”
“Yakin! Udah deh, percaya aja sama aku. Aku belum punya pacar kok,” Emery meyakinkan sahabatnya sekali lagi. kali ini, Sienna percaya saja.
Emery segera beranjak dari tempat tidurnya. Lalu, dia melihat dirinya sendiri di depan cermin. Tampak kacau sekali. Penampilannya masih sangat berantakan apalagi ditambah kejadian tadi malam. Astaga! Penampilannya yang sekarang terlihat suram dan buruk sekali. Semrawut. Semoganya saja masa depannya tidak ikut-ikutan suram seperti dandanannya saat ini.
“Syukurlah. Kupikir kamu udah punya pacar dan malas bicara denganku lagi,” keluh Sienna.
Emery tersenyum agak dipaksakan. “Ya, enggaklah! Aku masih jadi sahabatmu, kok,” kata Emery meyakinkan Sienna lagi. Hingga sahabatnya itu kembali terhibur oleh kata-katanya.
“Tapi, yang tadi itu … aku benar-benar mendengarnya jelas banget, lho. Yang menjawab teleponmu itu seorang pria. Kupikir itu pacarmu. Karena setahuku, kakakmu berada di luar kota, kan? Dan tidak mungkin kakakmu tidur seranjang denganmu,” Sienna dengan detail menjelaskannya.
Kembali, Emery menampilkan senyum terpaksa di depan cermin. Itu karena Sienna menginterogasi kegiatannya secara terperinci.
“Oh, mungkin itu … suaraku yang lagi dalam penyamaran. Kamu tahu, kan, kalau aku senang bercanda,” sangkal Emery lagi. Dia berusaha melawak meskipun kedengarannya sangat tidak lucu.
Garing sih. Tapi, mau bagaimana lagi. Itu cara terakhir Emery untuk menyangkalnya. Jika tidak begitu, bisa gawat. Mungkin Sienna mulai mencurigainya.
Sienna tidak boleh tahu, jika semalam Emery menghabiskan waktunya bersama Ruben, senior mereka. Jangan sampai ketahuan juga jika kedua muda-mudi itu sudah melakukan hubungan terlarang di luar nikah. Astaga! Itu kesalahan fatal yang sudah Emery lakukan. Dia dan Ruben dalam keadaan khilaf semalam. Sekarang, dia begitu menyesalinya.
“Emery, kita ketemuan sekarang. Kita makan siang bareng yuk! Di kafe biasa aja. Setelah itu kita hang out ke mall,” ajak Sienna dengan antusias.
“Kenapa? Kamu lagi bete, ya?” tebak Emery. Sienna terdiam cukup lama. Emery berhasil menebaknya kalau begitu.
Emery tahu, kalau sahabatnya itu sering kali bermasalah dengan Ruben, seniornya. Dia sampai hapal betul. Semua keluhan dan unek-unek yang akan disampaikan Sienna tak jauh dari Ruben.
“Aku tunggu kamu jam 1 siang, ya. Kita ketemu di sana,” putus Sienna. Dia menutup teleponnya duluan.
“Jam 1?” Emery membelalak kaget. Sekarang saja sudah jam 12.45 WIB. Kok mendadak sih janjiannya? Aish! Emery harus bergegas sekarang juga.
Sementara, Emery masih memandangi dirinya dalam cermin. Dia merasa bersalah sekali pagi ini karena sudah tidur dengan Ruben semalam. Tanpa sepengetahuan Sienna. Seandainya saja Sienna tahu, habislah dia.Siang itu, Emery sudah berdandan rapi dan hendak menemui Sienna di tempat yang sudah dijanjikan. Namun, ketika keluar dari rumah kosannya, seseorang membunyikan klakson mobil tepat di belakang Emery. Sontak saja, Emery terkejut melihat Ruben yang tengah duduk di jok kemudi memanggil Emery untuk segera masuk ke mobilnya.“Astaga! Mau ngapain lagi dia?” gumam Emery. Dia terpaksa berjalan ke arah Ruben, membuka pintu mobilnya. Lalu, duduk di sebelahnya.“Ada apa?” tanya Emery. Dia masih sebal dengan sikap Ruben tadi pagi.“Kamu masih marah, ya?” Ruben memastikannya lagi. Dia melihat raut wajah Emery yang sedari tadi tidak mau memandang ke arahnya.“Jelas saya marah! Di dunia ini mana ada wanita yang dengan sukarela menyerahkan seluruh harta berharganya untuk pria yang tidak dicintainya,”
“Kalian sudah datang rupanya,” sapa Ruben pada Emery dan Sienna. “Baguslah!”Ruben menampilkan senyum di depan kedua juniornya itu. Sayangnya, yang balas tersenyum hanya Sienna, sedangkan Emery lebih memilih untuk memalingkan wajah ketimbang membalas senyuman palsu yang ditunjukkan Ruben di hadapannya.Pandangan Ruben saat itu tertuju pada Emery. Sienna sempat memerhatikan gelagat mereka yang kelihatan sangat mencurigakan.“Ehem!” Sienna berdeham, membuyarkan lamunan Ruben dan Emery yang sontak menoleh ke arahnya.“Maaf, Dokter. Apa kami terlambat?” tanya Sienna hati-hati.“Tidak. Kalian datang tepat waktu,” sahut Ruben agak cuek. Pandangannya masih tertuju pada Emery seorang. Jadi, dia tidak begitu menghiraukan perkataan Sienna.“Emery, kamu kenapa?” tanya Ruben sok perhatian. “Kelihatannya kamu lelah sekali. Apa tidurmu nyenyak?”Deg!Kenapa senior sialan itu malah menanyakan keadaan Emery? Jelas-jelas hal itu malah makin memperjelas hubungan mereka. Sienna bisa makin curiga pada me
“Setelah kamu menandatangani perjanjian ini, kuharap kamu tidak membuat masalah lagi denganku di rumah sakit. Jika kamu melakukannya, aku bisa menuntutmu secara hukum. Kamu mengerti?” Ruben memperingatkan Emery cukup keras.Emery menghela napas panjang meski agak berat di lakukannya. Dia jadi tidak berselera makan siang ini. Padahal, perutnya sudah keroncongan menahan lapar. Ruben sengaja merusak moodnya.“Kamu tidak makan? Tidak lapar memangnya?” tawar Ruben sembari mengalihkan pembicaraan.“Tidak, terima kasih,” tolak Emery. Dia terpaksa berbohong di depan Ruben.Sebenarnya, Emery sangat lapar. Tetapi, melihat sikap Ruben yang semena-mena itu kepadanya membuat seisi perutnya terasa mual. Jadi malas makan meskipun hidangan yang tersedia di hadapannya kini terlihat sangat lezat dan menggugah selera. Ya, itu benar. Makanan yang dibuat oleh chef ternama di hotel bintang lima itu bikin ngiler saja, pikir Emery.Semua itu tidak ada artinya sekarang, ketika Emery sudah kehilangan selera ma
“Jangan bicara sembarangan dan bertindak gegabah! Sepertinya ada seseorang yang tengah mengawasi kita,” tegur Ruben.“Seseorang yang mengawasi kita? Siapa?” Emery jadi ingin tahu. Dia menoleh kanan-kirinya, mencari sesuatu sembari memastikan ucapan Ruben.“Entahlah. Sepertinya tadi ada orang yang mendengarkan pembicaraan kita,” duga Ruben seraya memberitahu Emery.“Bagaimana ini?” Emery cemas. Raut wajahnya makin terlihat pucat usai mendengarkan perkataan Ruben.“Berhati-hatilah! Karena di sini ada banyak sekali pasang mata dan telinga yang sewaktu-waktu bisa bicara dan itu akan membahayakan posisi kita. Kamu mengerti?” Ruben memperingatinya.Emery mengangguk. Kalau begitu dia akan lebih waspada dan berhati-hati lagi dalam bertindak maupun berucap mulai sekarang. Dia tidak akan sembarangan bicara dengan orang lain, atau mencurahkan isi hatinya pada rekan kerja yang lain. Dia sudah berjanji pada Ruben untuk tetap diam, merahasiakan hubungan terlarang mereka.“Satu jam lagi, temui saya
Emery pergi ke rumah Ruben pagi-pagi sekali. Dia harus menemui seniornya itu secepatnya, sebelum Ruben berangkat kerja. Dalam keadaan panik, putus asa, sedih, dia datang sembari membawa bukti-bukti, bahwa dirinya kini telah berbadan dua.“Emery?” Ruben terkejut melihat kedatangan Emery ketika dia membukakan pintu rumahnya.“Ada apa?” tanya Ruben ingin tahu.Emery berkaca-kaca di hadapan Ruben. Mungkin sebentar lagi, gadis itu akan menitikkan air matanya.“Masuklah!” ajak Ruben. Dia mempersilakan Emery masuk ke rumahnya. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan Emery langsung kepadanya.“Kamu mau minum apa?” tawar Ruben.“Saya tidak ingin apa-apa,” tolak Emery dengan nada suara gemetaran.Ruben makin tidak mengerti dengan sikap Emery. Lantas, apa yang diinginkan koas itu sampai harus datang ke rumah Ruben pagi-pagi sekali.“Dokter Ruben ….” Emery menarik napasnya dalam-dalam, sebelum dia mengatakan maksud dan tujuannya datang ke rumah sang senior.“Saya ingin Anda tahu, kalau saya ....” E
Selama berada di ruang operasi baik Ruben maupun Emery, keduanya memusatkan perhatiannya hanya pada pasien. Emery sudah melakukan anestesi atau membius total si pasien, hingga pasien itu kini tertidur pulas.Janin yang tidak berkembang dalam tubuh pasien sudah meninggal beberapa jam yang lalu dan harus segera diangkat dari rahim ibunya. Jika tidak, akan sangat membahayakan sekali bagi pasien.Emery menatap ke arah wajah pasiennya. Tampak wajah sang ibu masih menangis sendu dan terus mengeluarkan air mata walau dalam keadaan tertidur. Obat bius itu ternyata sama sekali tidak berpengaruh pada perasaan pasien itu. Meskipun pasiennya terpejam, hati dan pikirannya tidak ikut tidur.‘Kasihan sekali ibu ini,’ pikir Emery. Dia merasa iba dengan peristiwa pilu yang dialami pasien tersebut.Emery menyeka air mata ibu itu dengan perlahan. Dia turut merasakan kesedihan dalam hati sang ibu.‘Aku pun akan menjadi seorang ibu kelak. Tapi, aku tidak berharap berada di posisi ibu itu saat ini. Tidak!’
“Banyak amat makanannya. Dari siapa?” tanya Sienna. Ketika Emery memasuki ruangannya. Di sana, sudah ada Sienna yang sedang mengerjakan tesisnya.“Nggak tahu dari siapa. Katanya ini untukku,” sahut Emery.“Lah? Kalau nggak jelas pengirimnya, terus kenapa kamu terima gitu aja?” Sienna heran sekaligus penasaran.“Mau nolak nggak enak. Kalau dibiarin, ya … sayang aja. Mubazir, kan, buang-buang makanan,” Emery berdalih.“Iya juga sih. Tapi, makanan itu banyak banget, lho, Mer.”“Kalau kamu mau, kita makan bareng aja. Aku juga nggak bakalan bisa habisin semuanya,” tawar Emery.“Beneran nih, Mer? Kelihatannya enak-enak makanannya. Cepat buka kalau gitu!” Sienna sudah tidak sabaran ingin segera mencicipinya.Di ruangan itu, Emery dan Sienna tampak sedang menikmati makanan kiriman yang entah dari siapa pengirimnya. Itu tidak jadi masalah. Yang penting enak dan perut Emery bisa terisi. Ada paket pizza lengkap dengan toppingnya yang beraneka ragam. Ada salad buah, kentang, jus strawberry dan ma
“Pa-pacaran?” Emery membelalak kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan Sienna kepadanya.“Jujur aja, Mer! Kamu nggak usah menutup-nutupinya lagi dariku. Apa benar kamu dan dokter Ruben ada hubungan yang cukup serius selama ini?” desak Sienna. Dia penasaran sekali hingga menyudutkan Emery dengan pertanyaan itu.Emery benar-benar bingung. Bagaimana dia harus mengakui hubungannya dengan Ruben? Dia sudah bersumpah pada Ruben untuk menutup mulutnya rapat-rapat.“EMERY!” Sienna tidak sabaran.Emery menitikkan air mata di depan sahabatnya itu. Tanpa berkata-kata lagi, Sienna pun langsung bisa mengetahuinya. Dia beranggapan bahwa memang benar saat ini Emery sedang menjalin hubungan khusus dan sangat rahasia dengan Ruben.“Ya ampun, Mer ….” Sienna kembali memeluk sahabatnya itu seraya menepuk-nepuk punggung Emery. Dia berusaha menenangkan Emery yang sedang menangis di pelukannya.“Kejadiannya nggak pernah terduga sama sekali. Aku dan dia hanya melakukannya sekali. Tapi, hasilnya malah posi