Share

Kesalahan Emery

“Ma-maafkan saya, Dokter. Saya tidak sengaja,” ucap Emery. Dia menyesali perbuatannya dan terus mengelap area sensitif itu sambil menelan salivanya bulat-bulat.

“Sudah-sudah! Hentikan!” kata Ruben mencoba menghindarinya. Namun, Emery terus saja mengusap-usap noda di celana Ruben. Dia masih diliputi perasaan bersalahnya.

Ceklek!

“Astaga!” Seseorang membuka pintu ruang kerja Ruben tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Orang itu terkejut melihat perlakuan tidak pantas antara senior dan junior itu dalam satu ruangan.

Emery menoleh dan buru-buru menjelaskan keadaannya. Sebelum menjadi salah paham dan timbul masalah besar.

‘Gawat! Bisa jadi malapetaka ini,’ pikir Emery.

“Ruben, kamu ngapain sama koas itu?” tanya Sean, sepupu Ruben. Dia seorang dokter spesialis anak yang sering mengunjungi Ruben di tempat kerjanya.

Sean kaget mendapati sepupunya itu tengah bersama seorang wanita dan melakukan adegan tidak senonoh di depannya. Tidak! Bukan seperti itu kejadian sebenarnya, Emery sibuk menjelaskan. Namun, Sean malah mencibirnya

“Kalian melakukan hubungan terlarang ya di sini? Apa itu pantas dilakukan dokter spesialis yang begitu disegani semua orang di sini? Sampai bermesraan di tempat kerja dengan koas,” tuduh Sean. Pertanyaan Sean berhasil menyudutkan Emery dan Ruben.

"A-apa?” Emery tidak mengerti maksud ucapan Sean. Hubungan terlarang apa? Dia dan Ruben tidak ada hubungan apa-apa seperti yang dituduhkan Sean saat ini.

“Jaga bicaramu, Brengsek!” Ruben naik pitam.

Jelas sekali Ruben tidak suka melihat Sean mengolok-oloknya. Bahkan, suara Sean yang kencang itu bisa membuat seisi dunia tahu dan salah paham kepadanya.

“Kenapa kamu jadi tersulut emosi gitu? Biasa aja kali. Aku, kan, belum memberitahu ayahmu tentang perbuatan bejatmu itu,” Sean mesam-mesem penuh arti. Senyum licik pun tersungging di sudut bibirnya.

“Dasar penjilat!” umpat Ruben pada Sean.

Tidak lama, Sienna pun memasuki ruang kerja Ruben. Dia memenuhi panggilan seniornya. Setelah masuk, dia juga sama terkejutnya seperti Sean. Dia melihat Emery dan Ruben berduaan di ruang kerja dalam kondisi celana seniornya basah di bagian selangkangannya. Itu, kan, bisa menimbulkan salah paham.

“Emery, apa yang terjadi?” Sienna membelalak kaget. Ekspresi wajahnya mengejutkan para perawat yang tengah lalu lalang dan seketika mereka menjadi pusat perhatian.

“Ti-tidak! Jangan salah paham! Ini tidak seperti yang kalian bayangkan,” jelas Emery. Dia panik sekali karena takut semua orang berburuk sangka kepadanya.

Ruben mengepalkan tinjunya. Dia juga kesal dan akhirnya menyuruh semua orang pergi dari ruangannya.

“Kalian semua pergi dari ruanganku! Aku capek! Kalian menggangguku saja,” usir Ruben. Sembari menggiring Emery, Sean, dan Sienna keluar dari ruang kerjanya.

BRUUUKKK!

Ruben membanting pintu ruangannya, lalu menguncinya dari dalam. Setelah itu, dia rebahan lagi sambil menyelonjorkan kaki dan memejamkan mata.

“Brengsek! Semua orang itu tidak berguna,” umpat Ruben.

Baru saja Ruben memejamkan mata, ponselnya berdering. Panggilan masuk dari direktur rumah sakit. Dia langsung terlonjak kaget dan buru-buru menjawab teleponnya.

“Di mana kamu?” tanya direktur rumah sakit.

“Di ruanganku,” jawab Ruben. “Ada apa, Yah?” tanyanya ingin tahu.

“Cepat ke ruangan ayah sebentar!” perintah sang direktur.

“Baik. Aku akan ke sana,” kata Ruben. Setelah menutup telepon, dia lantas segera berganti pakaian.

Pakaian bedah berwarna biru ditanggalkannya. Ruben mengenakan pakaian ganti, kemeja putih dan celana katun berwarna biru navy. Setelah itu, dia juga memakai jas putih kebanggaannya. Untuk segera menghadap direktur rumah sakit.

Selang beberapa menit kemudian, Ruben keluar dari ruangannya dan berlarian menuju ruang kerja direktur memenuhi panggilan sang ayah.

Tok-tok-tok!

Ruben mengetuk pintu dan setelah sekretarisnya mempersilakan, dia pun memasuki ruangannya.

“Ayah, ada apa memanggilku?” tanya Ruben ketika menghampiri direktur di meja kerjanya.

“Apa maksud semua ini?” Direktur melempar lembaran formulir pendaftaran kuliah kedokteran Ruben di New York, Amerika Serikat, tepat di depan wajahnya. “Kamu akan pergi dari sini?” tanyanya agak gusar.

Ruben menyeka darah segar yang kebetulan keluar dari pipi kirinya. Akibat lembaran formulir yang sengaja dilempar sang ayah menggores wajahnya hingga terluka.

“Iya, ayah. Aku berencana akan mengambil beasiswa itu. Bukankah itu bagus untuk menunjang karirku?” jelas Ruben dengan enteng.

“Lantas, kenapa kamu tidak memberitahu ayah sebelumnya? Apa susahnya kamu cerita pada ayah tentang rencana studimu di luar negeri?” protes sang direktur pada putra semata wayangnya itu.

“Maafkan aku, Yah. Aku mengambil keputusan itu secara mendadak,” sesal Ruben.

“Apa karena ibumu?” tebak ayahnya.

Ruben tidak berkutik. Dia diam saja ketika ayahnya menyinggung tentang ibunya. Seolah-olah, dia tidak ingin mendengar lagi semua hal tentang ibu kandungnya. Ada masalah keluarga yang tidak bisa dia tolerir dengan ibunya.

“Aku akan segera pergi, ayah. Jadi, tolong jangan mencegahku! Karena keputusanku sudah bulat. Aku tidak ingin menundanya lagi,” kata Ruben bersikeras.

“Terserah kamu saja. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan! Tetapi, setidaknya kamu beritahu ayah dulu. Agar ayah bisa mempersiapkan dokter lain yang bisa menggantikan posisimu untuk sementara. Mengerti?” Ayah menasihatinya.

Ruben mengangguk. Dia akan menuruti nasihat ayahnya. Kalau begitu, jika sudah tidak ada lagi yang ingin disampaikan, dia akan undur diri. Karena sekarang sudah memasuki jam prakteknya. Pasiennya sudah banyak yang menunggunya.

Ruben keluar dari ruangan direktur rumah sakit. Di persimpangan koridor rumah sakit, Sienna menghampirinya.

“Dokter, pasien Anda sudah menunggu,” Sienna memberitahu. Dia bertugas bersama Ruben hari ini.

“Iya, aku tahu,” sahut Ruben agak ketus. Langkahnya yang cepat membuat Sienna kesulitan untuk mengejarnya.

***

Usai jam kerja, Ruben pergi meninggalkan rumah sakit. Dia lelah sekali dan sangat mengantuk. Seluruh badannya terasa pegal-pegal. Ketika tiba di parkiran basemen rumah sakit, Ruben terdiam sejenak. Dia merasa kepalanya pusing dan nyaris jatuh pingsan. Beruntung, saat itu Emery yang tak sengaja melihatnya segera menghampiri.

“Dokter Ruben!” panggil Emery.

Ruben tidak menoleh ke belakang. Dia begitu kelelahan setelah 24 jam menghabiskan waktunya di rumah sakit. Dengan jadwal operasi dan pemeriksaan pasien yang padat. Nyaris tak ada istirahat. Ketika dia ambruk, Emery langsung memapahnya dan membantu memasukkannya ke dalam mobil.

“Kamu ngapain ke sini? Pergi sana!” usir Ruben.

Raut wajahnya terlihat pucat sekali waktu itu. Emery jadi tidak tega. Heran saja, sudah tahu sakit masih berlagu tidak membutuhkan pertolongan orang lain.

“Anda sakit, Dokter? Kalau begitu, biar saya yang mengantar anda saja,” Emery berbaik hati menawarkan bantuan.

“Tidak usah. Bukankah kamu harus mengerjakan tesismu?” Ruben mengalihkan.

“Ah, itu … bisa diatur lagi nanti. Sekarang, Anda duduk saja. Dalam keadaan seperti ini, Anda tidak bisa menyetir sendirian. Nanti, kalau ada apa-apa dengan Anda di jalan bagaimana?” Emery mencemaskannya.

Emery mendorong masuk tubuh Ruben ke jok mobil paling belakang. Beruntung, ada supir pengganti hari ini. Ruben jadi bisa istirahat dengan tenang selama perjalanan pulang sampai ke rumahnya. Tidak lama kemudian, sesampainya mereka di rumah Ruben, Emery membantunya lagi masuk ke kamar. Lalu, membaringkannya di tempat tidur.

"Astaga! Berat sekali tubuhnya. Bahuku rasanya mau copot,” gerutu Emery. Sembari menggerakkan pergelangan tangannya yang pegal.

“Hey, Emery!” panggil Ruben. “Kemarilah!”

Deg!

Emery menoleh sambil memerhatikan Ruben yang terus saja memanggilnya. Dia mendekati tempat tidur seniornya. Tiba-tiba, Ruben menarik tangan Emery lalu mendudukkannya, di sebelahnya.

“Sa-saya harus pergi, Dokter,” kata Emery berpamitan.

“Tadi siang, kamu sudah menyentuhku Emery. Bukankah itu sangat tidak sopan? Kamu sudah keterlaluan pada seniormu,” Ruben memberitahu kesalahan Emery.

Ya ampun! Emery menepuk jidat. Dia juga memalingkan wajah karena malu. Setelah berhasil mengingat kejadian tadi siang. Soal insiden ‘anunya’ senior tersiram kopi panas.

“Kamu harus bertanggung jawab padaku,” tegas Ruben.

Glek!

“Bertanggung jawab apa?” ulang Emery bingung. “Mana bisa saya bertanggung jawab tanpa melihat buktinya,” tantangnya.

“Oh ya? Jadi, kamu ingin bukti?” Ruben balas menantangnya. Emery mengangguk mantap.

Ruben mendorong tubuh Emery hingga terjatuh di tempat tidurnya. Lalu, pria itu kini sudah berada di atas tubuh Emery sembari menatap matanya lekat-lekat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status