“Ma-maafkan saya, Dokter. Saya tidak sengaja,” ucap Emery. Dia menyesali perbuatannya dan terus mengelap area sensitif itu sambil menelan salivanya bulat-bulat.
“Sudah-sudah! Hentikan!” kata Ruben mencoba menghindarinya. Namun, Emery terus saja mengusap-usap noda di celana Ruben. Dia masih diliputi perasaan bersalahnya.
Ceklek!
“Astaga!” Seseorang membuka pintu ruang kerja Ruben tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Orang itu terkejut melihat perlakuan tidak pantas antara senior dan junior itu dalam satu ruangan.
Emery menoleh dan buru-buru menjelaskan keadaannya. Sebelum menjadi salah paham dan timbul masalah besar.
‘Gawat! Bisa jadi malapetaka ini,’ pikir Emery.
“Ruben, kamu ngapain sama koas itu?” tanya Sean, sepupu Ruben. Dia seorang dokter spesialis anak yang sering mengunjungi Ruben di tempat kerjanya.
Sean kaget mendapati sepupunya itu tengah bersama seorang wanita dan melakukan adegan tidak senonoh di depannya. Tidak! Bukan seperti itu kejadian sebenarnya, Emery sibuk menjelaskan. Namun, Sean malah mencibirnya
“Kalian melakukan hubungan terlarang ya di sini? Apa itu pantas dilakukan dokter spesialis yang begitu disegani semua orang di sini? Sampai bermesraan di tempat kerja dengan koas,” tuduh Sean. Pertanyaan Sean berhasil menyudutkan Emery dan Ruben.
"A-apa?” Emery tidak mengerti maksud ucapan Sean. Hubungan terlarang apa? Dia dan Ruben tidak ada hubungan apa-apa seperti yang dituduhkan Sean saat ini.
“Jaga bicaramu, Brengsek!” Ruben naik pitam.
Jelas sekali Ruben tidak suka melihat Sean mengolok-oloknya. Bahkan, suara Sean yang kencang itu bisa membuat seisi dunia tahu dan salah paham kepadanya.
“Kenapa kamu jadi tersulut emosi gitu? Biasa aja kali. Aku, kan, belum memberitahu ayahmu tentang perbuatan bejatmu itu,” Sean mesam-mesem penuh arti. Senyum licik pun tersungging di sudut bibirnya.
“Dasar penjilat!” umpat Ruben pada Sean.
Tidak lama, Sienna pun memasuki ruang kerja Ruben. Dia memenuhi panggilan seniornya. Setelah masuk, dia juga sama terkejutnya seperti Sean. Dia melihat Emery dan Ruben berduaan di ruang kerja dalam kondisi celana seniornya basah di bagian selangkangannya. Itu, kan, bisa menimbulkan salah paham.
“Emery, apa yang terjadi?” Sienna membelalak kaget. Ekspresi wajahnya mengejutkan para perawat yang tengah lalu lalang dan seketika mereka menjadi pusat perhatian.
“Ti-tidak! Jangan salah paham! Ini tidak seperti yang kalian bayangkan,” jelas Emery. Dia panik sekali karena takut semua orang berburuk sangka kepadanya.
Ruben mengepalkan tinjunya. Dia juga kesal dan akhirnya menyuruh semua orang pergi dari ruangannya.
“Kalian semua pergi dari ruanganku! Aku capek! Kalian menggangguku saja,” usir Ruben. Sembari menggiring Emery, Sean, dan Sienna keluar dari ruang kerjanya.
BRUUUKKK!
Ruben membanting pintu ruangannya, lalu menguncinya dari dalam. Setelah itu, dia rebahan lagi sambil menyelonjorkan kaki dan memejamkan mata.
“Brengsek! Semua orang itu tidak berguna,” umpat Ruben.
Baru saja Ruben memejamkan mata, ponselnya berdering. Panggilan masuk dari direktur rumah sakit. Dia langsung terlonjak kaget dan buru-buru menjawab teleponnya.
“Di mana kamu?” tanya direktur rumah sakit.
“Di ruanganku,” jawab Ruben. “Ada apa, Yah?” tanyanya ingin tahu.
“Cepat ke ruangan ayah sebentar!” perintah sang direktur.
“Baik. Aku akan ke sana,” kata Ruben. Setelah menutup telepon, dia lantas segera berganti pakaian.
Pakaian bedah berwarna biru ditanggalkannya. Ruben mengenakan pakaian ganti, kemeja putih dan celana katun berwarna biru navy. Setelah itu, dia juga memakai jas putih kebanggaannya. Untuk segera menghadap direktur rumah sakit.
Selang beberapa menit kemudian, Ruben keluar dari ruangannya dan berlarian menuju ruang kerja direktur memenuhi panggilan sang ayah.
Tok-tok-tok!
Ruben mengetuk pintu dan setelah sekretarisnya mempersilakan, dia pun memasuki ruangannya.
“Ayah, ada apa memanggilku?” tanya Ruben ketika menghampiri direktur di meja kerjanya.
“Apa maksud semua ini?” Direktur melempar lembaran formulir pendaftaran kuliah kedokteran Ruben di New York, Amerika Serikat, tepat di depan wajahnya. “Kamu akan pergi dari sini?” tanyanya agak gusar.
Ruben menyeka darah segar yang kebetulan keluar dari pipi kirinya. Akibat lembaran formulir yang sengaja dilempar sang ayah menggores wajahnya hingga terluka.
“Iya, ayah. Aku berencana akan mengambil beasiswa itu. Bukankah itu bagus untuk menunjang karirku?” jelas Ruben dengan enteng.
“Lantas, kenapa kamu tidak memberitahu ayah sebelumnya? Apa susahnya kamu cerita pada ayah tentang rencana studimu di luar negeri?” protes sang direktur pada putra semata wayangnya itu.
“Maafkan aku, Yah. Aku mengambil keputusan itu secara mendadak,” sesal Ruben.
“Apa karena ibumu?” tebak ayahnya.
Ruben tidak berkutik. Dia diam saja ketika ayahnya menyinggung tentang ibunya. Seolah-olah, dia tidak ingin mendengar lagi semua hal tentang ibu kandungnya. Ada masalah keluarga yang tidak bisa dia tolerir dengan ibunya.
“Aku akan segera pergi, ayah. Jadi, tolong jangan mencegahku! Karena keputusanku sudah bulat. Aku tidak ingin menundanya lagi,” kata Ruben bersikeras.
“Terserah kamu saja. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan! Tetapi, setidaknya kamu beritahu ayah dulu. Agar ayah bisa mempersiapkan dokter lain yang bisa menggantikan posisimu untuk sementara. Mengerti?” Ayah menasihatinya.
Ruben mengangguk. Dia akan menuruti nasihat ayahnya. Kalau begitu, jika sudah tidak ada lagi yang ingin disampaikan, dia akan undur diri. Karena sekarang sudah memasuki jam prakteknya. Pasiennya sudah banyak yang menunggunya.
Ruben keluar dari ruangan direktur rumah sakit. Di persimpangan koridor rumah sakit, Sienna menghampirinya.
“Dokter, pasien Anda sudah menunggu,” Sienna memberitahu. Dia bertugas bersama Ruben hari ini.
“Iya, aku tahu,” sahut Ruben agak ketus. Langkahnya yang cepat membuat Sienna kesulitan untuk mengejarnya.
***
Usai jam kerja, Ruben pergi meninggalkan rumah sakit. Dia lelah sekali dan sangat mengantuk. Seluruh badannya terasa pegal-pegal. Ketika tiba di parkiran basemen rumah sakit, Ruben terdiam sejenak. Dia merasa kepalanya pusing dan nyaris jatuh pingsan. Beruntung, saat itu Emery yang tak sengaja melihatnya segera menghampiri.
“Dokter Ruben!” panggil Emery.
Ruben tidak menoleh ke belakang. Dia begitu kelelahan setelah 24 jam menghabiskan waktunya di rumah sakit. Dengan jadwal operasi dan pemeriksaan pasien yang padat. Nyaris tak ada istirahat. Ketika dia ambruk, Emery langsung memapahnya dan membantu memasukkannya ke dalam mobil.
“Kamu ngapain ke sini? Pergi sana!” usir Ruben.
Raut wajahnya terlihat pucat sekali waktu itu. Emery jadi tidak tega. Heran saja, sudah tahu sakit masih berlagu tidak membutuhkan pertolongan orang lain.
“Anda sakit, Dokter? Kalau begitu, biar saya yang mengantar anda saja,” Emery berbaik hati menawarkan bantuan.
“Tidak usah. Bukankah kamu harus mengerjakan tesismu?” Ruben mengalihkan.
“Ah, itu … bisa diatur lagi nanti. Sekarang, Anda duduk saja. Dalam keadaan seperti ini, Anda tidak bisa menyetir sendirian. Nanti, kalau ada apa-apa dengan Anda di jalan bagaimana?” Emery mencemaskannya.
Emery mendorong masuk tubuh Ruben ke jok mobil paling belakang. Beruntung, ada supir pengganti hari ini. Ruben jadi bisa istirahat dengan tenang selama perjalanan pulang sampai ke rumahnya. Tidak lama kemudian, sesampainya mereka di rumah Ruben, Emery membantunya lagi masuk ke kamar. Lalu, membaringkannya di tempat tidur.
"Astaga! Berat sekali tubuhnya. Bahuku rasanya mau copot,” gerutu Emery. Sembari menggerakkan pergelangan tangannya yang pegal.
“Hey, Emery!” panggil Ruben. “Kemarilah!”
Deg!
Emery menoleh sambil memerhatikan Ruben yang terus saja memanggilnya. Dia mendekati tempat tidur seniornya. Tiba-tiba, Ruben menarik tangan Emery lalu mendudukkannya, di sebelahnya.
“Sa-saya harus pergi, Dokter,” kata Emery berpamitan.
“Tadi siang, kamu sudah menyentuhku Emery. Bukankah itu sangat tidak sopan? Kamu sudah keterlaluan pada seniormu,” Ruben memberitahu kesalahan Emery.
Ya ampun! Emery menepuk jidat. Dia juga memalingkan wajah karena malu. Setelah berhasil mengingat kejadian tadi siang. Soal insiden ‘anunya’ senior tersiram kopi panas.
“Kamu harus bertanggung jawab padaku,” tegas Ruben.
Glek!
“Bertanggung jawab apa?” ulang Emery bingung. “Mana bisa saya bertanggung jawab tanpa melihat buktinya,” tantangnya.
“Oh ya? Jadi, kamu ingin bukti?” Ruben balas menantangnya. Emery mengangguk mantap.
Ruben mendorong tubuh Emery hingga terjatuh di tempat tidurnya. Lalu, pria itu kini sudah berada di atas tubuh Emery sembari menatap matanya lekat-lekat.
“Tu-tunggu sebentar!” cegah Emery. Dia merasa belum siap jika Ruben menyerangnya tiba-tiba.“Kita tidak saling mencintai,” Emery beralasan semampunya. Dia dalam posisi terjepit saat ini. Dia harus segera melarikan diri sebelum keduanya beranjak lebih jauh lagi.“Bukankah kamu mau melihatnya?” tantang Ruben.“Ah, itu … tidak jadi saja. Saya harus pergi sekarang,” tolak Emery.“Oke. Pergilah!” usir Ruben. Dia tahu jika diteruskan dirinya bisa khilaf.Ruben beranjak dari tempat tidurnya. Begitu pula dengan Emery. Wanita itu akan pergi meninggalkan Ruben. Sementara, Ruben masih memalingkan wajahnya ketika Emery benar-benar pergi meninggalkan kamarnya. Langkah Emery terhenti sejenak.“Dokter Ruben,” ucap Emery sembari membalikkan tubuh.Ruben menoleh. Tatapannya mulai berubah saat Emery mengoceh di hadapannya. Wanita itu sengaja membangkitkan gairah Ruben malam ini dengan memanggilnya lagi.“Berisik sekali wanita ini,” gumam Ruben gemas.“Saya mohon pada Anda, jangan terlalu menekan Sienna
“Dasar pengganggu! Mau tahu aja urusan orang lain,” ucap Ruben agak ketus.Ruben kesal sekali lantaran Sean masih saja mengganggunya. Tidak hanya di rumah sakit, di rumahnya pun pemuda tengil itu masih saja mengusiknya.Sean menoleh sebentar ke arah Ruben. Kemudian, dia menerobos masuk untuk melihat-lihat keadaan⸺seisi rumah sepupunya itu. Siapa tahu dia menemukan sesuatu yang aneh dan mencurigakan di sana. Apalagi setelah tahu Emery buru-buru meninggalkan rumah Ruben. Ish! Kepo sekali dia.Sean pergi ke kamar Ruben. Dia penasaran sekali. Benar saja. Seperti dugaannya. Rupanya mereka sudah menghabiskan malam bersama, pikir Sean sok tahu.“Kamu sama koas itu ada hubungan apa?” tanya Sean. Nada bicaranya langsung berubah dan agak santai. Tidak seperti waktu di rumah sakit yang harus bicara dengan gaya formal. Karena Ruben adalah atasan Sean di tempatnya bekerja.“Ah, apa jangan-jangan kalian udah tidur bareng? Iya, kan?” tuduh Sean mantap.Ruben menoleh ke arahnya dengan tatapan mata se
Sementara, Emery masih memandangi dirinya dalam cermin. Dia merasa bersalah sekali pagi ini karena sudah tidur dengan Ruben semalam. Tanpa sepengetahuan Sienna. Seandainya saja Sienna tahu, habislah dia.Siang itu, Emery sudah berdandan rapi dan hendak menemui Sienna di tempat yang sudah dijanjikan. Namun, ketika keluar dari rumah kosannya, seseorang membunyikan klakson mobil tepat di belakang Emery. Sontak saja, Emery terkejut melihat Ruben yang tengah duduk di jok kemudi memanggil Emery untuk segera masuk ke mobilnya.“Astaga! Mau ngapain lagi dia?” gumam Emery. Dia terpaksa berjalan ke arah Ruben, membuka pintu mobilnya. Lalu, duduk di sebelahnya.“Ada apa?” tanya Emery. Dia masih sebal dengan sikap Ruben tadi pagi.“Kamu masih marah, ya?” Ruben memastikannya lagi. Dia melihat raut wajah Emery yang sedari tadi tidak mau memandang ke arahnya.“Jelas saya marah! Di dunia ini mana ada wanita yang dengan sukarela menyerahkan seluruh harta berharganya untuk pria yang tidak dicintainya,”
“Kalian sudah datang rupanya,” sapa Ruben pada Emery dan Sienna. “Baguslah!”Ruben menampilkan senyum di depan kedua juniornya itu. Sayangnya, yang balas tersenyum hanya Sienna, sedangkan Emery lebih memilih untuk memalingkan wajah ketimbang membalas senyuman palsu yang ditunjukkan Ruben di hadapannya.Pandangan Ruben saat itu tertuju pada Emery. Sienna sempat memerhatikan gelagat mereka yang kelihatan sangat mencurigakan.“Ehem!” Sienna berdeham, membuyarkan lamunan Ruben dan Emery yang sontak menoleh ke arahnya.“Maaf, Dokter. Apa kami terlambat?” tanya Sienna hati-hati.“Tidak. Kalian datang tepat waktu,” sahut Ruben agak cuek. Pandangannya masih tertuju pada Emery seorang. Jadi, dia tidak begitu menghiraukan perkataan Sienna.“Emery, kamu kenapa?” tanya Ruben sok perhatian. “Kelihatannya kamu lelah sekali. Apa tidurmu nyenyak?”Deg!Kenapa senior sialan itu malah menanyakan keadaan Emery? Jelas-jelas hal itu malah makin memperjelas hubungan mereka. Sienna bisa makin curiga pada me
“Setelah kamu menandatangani perjanjian ini, kuharap kamu tidak membuat masalah lagi denganku di rumah sakit. Jika kamu melakukannya, aku bisa menuntutmu secara hukum. Kamu mengerti?” Ruben memperingatkan Emery cukup keras.Emery menghela napas panjang meski agak berat di lakukannya. Dia jadi tidak berselera makan siang ini. Padahal, perutnya sudah keroncongan menahan lapar. Ruben sengaja merusak moodnya.“Kamu tidak makan? Tidak lapar memangnya?” tawar Ruben sembari mengalihkan pembicaraan.“Tidak, terima kasih,” tolak Emery. Dia terpaksa berbohong di depan Ruben.Sebenarnya, Emery sangat lapar. Tetapi, melihat sikap Ruben yang semena-mena itu kepadanya membuat seisi perutnya terasa mual. Jadi malas makan meskipun hidangan yang tersedia di hadapannya kini terlihat sangat lezat dan menggugah selera. Ya, itu benar. Makanan yang dibuat oleh chef ternama di hotel bintang lima itu bikin ngiler saja, pikir Emery.Semua itu tidak ada artinya sekarang, ketika Emery sudah kehilangan selera ma
“Jangan bicara sembarangan dan bertindak gegabah! Sepertinya ada seseorang yang tengah mengawasi kita,” tegur Ruben.“Seseorang yang mengawasi kita? Siapa?” Emery jadi ingin tahu. Dia menoleh kanan-kirinya, mencari sesuatu sembari memastikan ucapan Ruben.“Entahlah. Sepertinya tadi ada orang yang mendengarkan pembicaraan kita,” duga Ruben seraya memberitahu Emery.“Bagaimana ini?” Emery cemas. Raut wajahnya makin terlihat pucat usai mendengarkan perkataan Ruben.“Berhati-hatilah! Karena di sini ada banyak sekali pasang mata dan telinga yang sewaktu-waktu bisa bicara dan itu akan membahayakan posisi kita. Kamu mengerti?” Ruben memperingatinya.Emery mengangguk. Kalau begitu dia akan lebih waspada dan berhati-hati lagi dalam bertindak maupun berucap mulai sekarang. Dia tidak akan sembarangan bicara dengan orang lain, atau mencurahkan isi hatinya pada rekan kerja yang lain. Dia sudah berjanji pada Ruben untuk tetap diam, merahasiakan hubungan terlarang mereka.“Satu jam lagi, temui saya
Emery pergi ke rumah Ruben pagi-pagi sekali. Dia harus menemui seniornya itu secepatnya, sebelum Ruben berangkat kerja. Dalam keadaan panik, putus asa, sedih, dia datang sembari membawa bukti-bukti, bahwa dirinya kini telah berbadan dua.“Emery?” Ruben terkejut melihat kedatangan Emery ketika dia membukakan pintu rumahnya.“Ada apa?” tanya Ruben ingin tahu.Emery berkaca-kaca di hadapan Ruben. Mungkin sebentar lagi, gadis itu akan menitikkan air matanya.“Masuklah!” ajak Ruben. Dia mempersilakan Emery masuk ke rumahnya. Sepertinya ada yang ingin dibicarakan Emery langsung kepadanya.“Kamu mau minum apa?” tawar Ruben.“Saya tidak ingin apa-apa,” tolak Emery dengan nada suara gemetaran.Ruben makin tidak mengerti dengan sikap Emery. Lantas, apa yang diinginkan koas itu sampai harus datang ke rumah Ruben pagi-pagi sekali.“Dokter Ruben ….” Emery menarik napasnya dalam-dalam, sebelum dia mengatakan maksud dan tujuannya datang ke rumah sang senior.“Saya ingin Anda tahu, kalau saya ....” E
Selama berada di ruang operasi baik Ruben maupun Emery, keduanya memusatkan perhatiannya hanya pada pasien. Emery sudah melakukan anestesi atau membius total si pasien, hingga pasien itu kini tertidur pulas.Janin yang tidak berkembang dalam tubuh pasien sudah meninggal beberapa jam yang lalu dan harus segera diangkat dari rahim ibunya. Jika tidak, akan sangat membahayakan sekali bagi pasien.Emery menatap ke arah wajah pasiennya. Tampak wajah sang ibu masih menangis sendu dan terus mengeluarkan air mata walau dalam keadaan tertidur. Obat bius itu ternyata sama sekali tidak berpengaruh pada perasaan pasien itu. Meskipun pasiennya terpejam, hati dan pikirannya tidak ikut tidur.‘Kasihan sekali ibu ini,’ pikir Emery. Dia merasa iba dengan peristiwa pilu yang dialami pasien tersebut.Emery menyeka air mata ibu itu dengan perlahan. Dia turut merasakan kesedihan dalam hati sang ibu.‘Aku pun akan menjadi seorang ibu kelak. Tapi, aku tidak berharap berada di posisi ibu itu saat ini. Tidak!’
“Maafkan aku,” sesal Sean. Dia tak sengaja mencium bibir Sienna.Sean sibuk menjelaskan bahwa insiden ciuman itu benar-benar di luar kendalinya. Tidak seharusnya dia melakukan hal itu pada Sienna. Tapi, keadaan memaksanya.Ketika Sean hendak membenarkan posisi sabuk pengaman, tiba-tiba tangannya tergelincir saking tidak fokus memerhatikan bibir Sienna yang ranum. Dia ingin menahan tubuhnya, namun sudah tidak bisa. Refleks, bibirnya malah menyentuh bibir Sienna.“Tidak perlu meminta maaf padaku.” Sienna agak kecewa mengetahuinya. Dia kira, Sean benar-benar ingin menciumnya. Ternyata tidak.“Aku tidak ingin kamu salah sangka padaku,” sangkal Sean.“Tidak. Aku tidak berkata begitu kok,” bantah Sienna.Keduanya kini dalam posisi canggung. Masing-masing menahan malu dan tidak tahu harus berkata apalagi. Sean lekas duduk di joknya. Lalu, dia melajukan mobilnya menuju rumah Sienna. Sementara itu, jari
“Mau ke mana?” tanya Sienna.“Pokoknya ikut aku dulu aja!” balas Sean agak memaksa.Mau tidak mau Sienna pun akhirnya menuruti perintah Sean. Dia mengikuti Sean, saat dokter spesialis anak itu menarik lengannya dan membawanya pergi menjauhi Emery.“Sean, hentikan!” kata Sienna. “Kamu menarik tanganku dan itu sakit sekali.”“Oh, maafkan aku,” sesal Sean. “Aku tidak sengaja.”“Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu menyeretku pergi?” protes Sienna.“Aku ingin bicara.”“Ya udah, ngomong aja. Apa yang ingin kamu bicarakan denganku? Aku buru-buru harus memeriksa pasien di bangsal VIP,” kata Sienna beralasan.“Apa Ruben menghubungimu?” Sean mencari tahu. Sienna menggeleng.“Tidak. Kenapa memangnya?” Sienna heran. “Dokter Ruben tidak pernah menghubungiku lagi sejak mereka bercerai.”&ld
“Iya, aku tahu itu. Kamu nggak usah ngegas gitu, Ruben,” balas Sean. “Tidak diberitahu pun aku sudah tahu.”“Aku hanya mengingatkanmu aja, Sean. Barangkali kamu sudah lupa. Kalau Emery hanya milikku seorang,” kata Ruben dengan bangga.“Cuih! Seenaknya saja ngaku-ngaku dia milikmu. Jika dia milikmu lantas kenapa kamu melepasnya pergi. Bodoh!” ejek Sean.“Aku tidak melepasnya. Dianya aja yang banyak pertimbangan,” Ruben membela diri.“Terang aja dia banyak pertimbangan. Sikapmu aja kayak bunglon, sering berubah-ubah nggak karuan.”“Sudah hentikan! Aku nggak mau kita bertengkar.”“Lalu, kamu menelponku hanya untuk menanyakan hal ini aja?”“Sean, aku mohon sama kamu. Bantu aku untuk mengawasinya. Cuma kamu satu-satunya keluargaku yang bisa kuandalkan di sana. Kamu mau, kan, membantuku?” pinta Ruben dengan nada memelas.&ldquo
“Sean?” Emery membuka kaca mobil dan berbincang sebentar dengan Sean.“Apa kamu sedang terburu-buru? Aku ingin mentraktirmu minum kopi. Gimana?” tawar Sean.“Aku minta maaf, Sean. Aku harus segera menjemput Ben di daycare. Lain kali saja, oke?” tolak Emery dengan ramah.“Oh, oke. Tidak apa-apa. Hati-hati saat berkendara!” Sean menasihati. Emery mengangguk mantap.Tak lama setelah berpamitan dengan Sean, Emery melajukan mobilnya meninggalkan gedung rumah sakit.***“Kamu yakin tidak ingin ikut denganku?” Ruben memastikannya kembali. Siapa tahu Emery berubah pikiran di saat-saat terakhir mereka berpisah di bandara.“Aku akan menunggumu,” kata Emery.“Kamu yakin bisa menungguku?” Ruben takut sekali. “Kamu tidak akan berpaling dan jalan sama pria lain, kan?”“Pria lain, siapa maksudmu?” Emery tersinggung dengan ucapan
Emery mulai menyadari perhatian dari kedua pria tersebut, yang masing-masing menunjukkan rasa cinta dengan cara yang berbeda. Ruben adalah sosok romantis yang penuh tekad. Meski terkadang, dia sangat menyebalkan dengan sikap plin-plannya yang seperti bunglon, sering berubah-ubah.Sementara, Adrian adalah pribadi yang tenang dan suportif. Seperti katanya, dia selalu ada setiap kali Emery membutuhkan pertolongan atau teman untuk bercerita. Kali ini, Emery benar-benar mengalami dilema. Dia berada diposisi sulit karena harus memilih antara dua pilihan. Impian masaa depan bersama Ruben atau kenyamanan emosional yang ditawarkan oleh Adrian.“Nak, kamu akan memilih yang mana seandainya kamu menjadi Ibu?” tanya Emery saat dia memerhatikan bayi Ben yang sedang menyusui.Bayi Ben hanya tersenyum menanggapi cerita Emery. Seolah-olah balita mungil itu mengerti bahwa yang bisa menjawab pertanyaan itu adalah ibunya sendiri.“Sekarang, kamu juga membua
“Beri aku waktu!” pinta Emery.“Apa? Waktu?” Ruben membelalak.Emery mengangguk mantap. “Aku masih mempertimbangkannya. Jika aku menikah sekarang, lalu bagaimana dengan Ben Joshua, anak kita?”“Memangnya kenapa dengan dia?” Ruben agak heran. “Bukankah itu bagus untuk perkembangan dia? Dia memiliki keluarga yang lengkap ada orang tua yang akan merawat dia.”“Maksudku, jika Ben dibawa ke luar negeri, aku khawatir dia belum bisa beradaptasi,” kata Emery beralasan.“Dia anak yang pintar. Aku tahu itu. Dia akan lebih cepat beradaptasi di sana. Aku yakin itu,” Ruben berpendapat.Emery kehabisan ide. Bagaimana caranya dia harus menjawab pertanyaan Ruben soal lamaran itu?“Emery ….” Ruben meraih tangan Emery dan coba membujuknya kembali.“Aku ingin melihatmu membuktikan lagi cintamu. Kamu tahu, kan, sejak kamu meragukan kehamilanku hatiku sangat sakit. Saat itu aku berpikir, aku tidak bisa lagi bersama orang yang selalu berprasangka buruk padaku. Apalagi menuduhku yang tidak-tidak,” jelas Eme
“Jangan menggangguku! Aku mau tidur,” balas Emery yang tidak mau berbalik ke arah Ruben.“Sayang, kamu mengabaikan aku?” Ruben protes. Dia tidak terima Emery bersikap tidak peduli lagi kepadanya.“Ayolah!” bujuk Ruben.Emery tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya kelelahan setelah seharian mengurus bayi Ben. Dia butuh banyak istirahat.“Sudah kubilang, jika kamu terus menggangguku, aku terpaksa menendangmu dari kamarku. Kamu mau aku melakukannya?” ancam Emery meski kedua matanya terpejam.Ruben pun akhirnya menyerah. Jika itu yang diinginkan Emery, dia memilih untuk mengalah saja. Dia tidak mau ambil risiko seandainya Emery marah hanya karena masalah sepele seperti itu. Dia turun dari ranjang Emery dan kembali ke sofa bed tempatnya tidur.‘Malam ini kelabu sekali bagiku,’ ujar Ruben dalam hati.***Beberapa bulan kemudian, Emery pergi ke rumah sakit tempat dia bekerja
“Ruben, hentikan!” tegas Emery. “Aku tidak mau berdebat soal ini.”“Kenapa? Jadi, sekarang kamu lebih mementingkan jabatan di rumah sakit itu dibandingkan kebahagiaan kita berdua dan anak kita?” Ruben sewot.“Aku belum memutuskan apa-apa,” gumam Emery.“Lalu, kenapa kamu mengangguk? Itu sama artinya kamu menyetujui tawaran dari Adrian.”“Itu hanya gerakan refleks saja,” sangkal Emery.“Kamu tidak bisa dipercaya.” Ruben melangkah pergi karena tidak puas mendengar jawaban dari Emery.Ruben pergi sambil mendengkus kesal. Dia meninggalkan rumah dan lekas menyalakan mesin mobil. Tak lama waktu berselang, mobilnya melaju kencang meninggalkan kediaman Emery.“Dia masih sama seperti dulu. Pemarah dan emosinya sangat labil. Dia tidak pernah bisa mendengarkan penjelasanku,” keluh Emery sembari mengelus dada.Terkadang keragu-raguan itu yang me
Pagi tiba. Ruben terbangun dari tidurnya. Dia mendapati dirinya tengah berbaring di atas sofa, di ruang tamu rumah Emery.“Apa semalam aku ketiduran di sini, ya?” Ruben lupa-lupa ingat. Yang dia ingat semalam … hanya kecupan dan bisa mencuri-curi waktu bermesraan dengan Emery dikala putranya tertidur pulas.Ruben senyum-senyum sendiri mengingat kejadian semalam. Tanpa disadarinya, Emery keluar dari kamarnya dan hendak membawa putranya meninggalkan rumah.“Emery, kamu mau ke mana dengan Ben Joshua?” tanya Ruben. Dia bangkit dari sofa.“Aku mau ke klinik dokter anak. Hari ini jadwal imunisasi anakku,” sahut Emery.“Pagi ini?” Ruben memastikannya. Emery mengangguk.“Tunggu sebentar! Beri aku waktu lima menit untuk mandi. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke klinik.” Ruben segera beranjak dari sofa dan lekas ke kamar mandi.Emery dibuatnya melongo dengan sikap Ruben yang m