Share

Bab 2

Di sebuah kamar rawat inap rumah sakit, ada seorang gadis yang tengah menjaga mamanya. Dia tidak bisa tidur, takut jika sewaktu-waktu mamanya bangun dan kehausan.

Sambil bermain ponsel, sesekali bibirnya tersenyum kala membalas pesan dari kekasihnya—Tirta.

Gadis itu adalah Pamela, sejak kecil terbiasa kerja keras membantu mamanya yang memiliki usaha toko kue kecil. Dan sekarang dia sudah memiliki banyak toko cabang. Kue miliknya sangat terkenal, semua berkat temannya semasa SMA yang menjadi selebgram dan gencar mempromosikan tokonya.

Pamela tidak pernah melupakan sahabat baiknya yang sangat cantik itu, hingga kini mereka berdua masih berteman sekalipun temannya telah menikah.

Sampai tiba-tiba senyum di bibirnya memudar kala Tirta mengirimkan sebuah foto yang sedang bertemu dengan teman-temannya. Bahkan tangannya gemetar hingga ponselnya terjatuh, untung saja tidak rusak.

Dia … Telah kembali. Ternyata Kak Zero adalah teman SMA Tirta?

Tanpa terasa, tiba-tiba air matanya tumpah. Dadanya sesak dan hatinya berdenyut nyeri. Lima tahun, waktu yang cukup lama tapi nyatanya tidak bisa membuat Pamela bisa melupakan semuanya. Benci … Marah … Tapi, juga terselip rindu.

Jangan bodoh, Pamela. Dia tidak pernah mencintaimu. Dia hanya mengukir luka untukmu. Kamu, tidak ada arti apa-apa baginya. Kenapa kamu masih saja menangisinya? Kamu sudah memiliki Tirta yang mencintaimu dengan tulus. Zero—hanya masa lalu. Kenangan yang tidak perlu diingat lagi.

Pamela merutuki dirinya sendiri dan segera menghapus foto itu, dia sangat membenci mata elang Zero yang tidak pernah berubah, selalu tajam seakan-akan menelanjanginya kala menatapnya.

“Nak, kamu belum tidur? Kenapa menangis?” tanya Hasna yang terbangun dari tidurnya.

“Mama, aku tidak apa-apa. Cuma sedih saja kalau Mama tidak segera sembuh. Aku cuma punya Mama saja di dunia ini,” jawab Pamela lembut.

“Sini sayang, ayo tidur sama Mama. Ranjangnya muat untuk kita berdua. Sejak kamu remaja sudah tidak mau lagi mama kelonin,” bujuk Hasna.

“Iya, Ma,” jawab Pamela patuh.

Dalam pelukan mamanya, tangis Pamela malah semakin tumpah.

“Nak, Mama tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Ayo cerita sama Mama, beritahu Mama semua yang sedang kamu rasakan?” pinta Hasna penuh kasih.

“Tidak apa-apa kok, Ma,” jawab Pamela mencoba untuk tersenyum.

“Mama ini adalah orang yang melahirkan dan membesarkanmu, apa yang kamu rasakan mama juga bisa merasakannya. Ayo, ceritakan sama mama siapa tahu mama bisa memberi saran agar hatimu bisa menjadi lebih tenang,” bujuk Hasna lagi.

Pamela memang bukan tipe gadis yang mudah curhat tentang masalah pribadinya, termasuk dengan sahabat sendiri. Makanya Aurora sebagai adiknya Zero tidak tahu apa-apa.

“Ma … Dia pulang, entah kenapa aku takut, sedih, dan sakit,” cicit Pamela rasanya cukup lega mengatakan semua itu.

“Zero ya? Apa kamu masih mencintainya?”

“Aku tidak mau mencintainya, Ma. Dia jahat,” tangis Pamela lagi.

“Apa dia pernah melakukan sesuatu padamu sampai membuat kamu seperti ini, Nak?” tanya Hasna khawatir.

“Aku menganggap dia sebagai teman masa kecil, dan aku menghormatinya sebagai kakak dari sahabat aku. Tapi dia … selalu semena-mena padaku, Ma. Kadang perhatian, kadang cuek, kadang posesif melarang ini dan itu. Kadang juga marah-marah saat aku dekat dengan lelaki lain. Dia juga pernah—menciumku,” jawab Pamela malu sekaligus kesal.

“Apa dia juga begitu pada gadis lain?” tanya Hasna syok karena baru tahu masalah itu.

“Tidak, Ma. Dia lelaki dingin yang tidak bisa tersentuh oleh siapapun. Dia tidak memiliki teman dekat perempuan. Bahkan dengan teman lelaki juga pilih-pilih dan hanya punya satu dua saja. Dia introvert yang tidak mau membuka mulut kalau tidak disapa duluan,” jawab Pamela apa adanya.

“Berarti, dia mencintaimu,” balas Hasna merasa lega.

“Awalnya aku mengira begitu, Ma. Tapi— ia tidak pernah mencintaiku. Dia lelaki yang tidak memiliki perasaan. Mama ingat saat kenaikan kelas 3 SMA? Saat liburan aku menginap di rumah Kak Zero. Dia—kembali menciumku secara paksa, Ma. Saat itu aku meminta penjelasan, kenapa dia melakukan itu? Karena seseorang tidak akan memperlakukan hal itu pada seorang teman. Tapi—”

“Tapi apa?” tanya Hasna ikut tegang.

“Dia tidak menjawab apapun, Ma. Dia hanya diam. Padahal aku sudah merendahkan diriku sendiri sebagai perempuan menyatakan cinta duluan. Setelah itu dia pergi ke Belanda tanpa sepatah kata. Selama lima tahun ini dia juga tidak mengabariku sama sekali. Dia lelaki brengsek, sudah mencuri ciuman pertamaku!" tangis Pamela sampai sesenggukan.

“Iya, Nak. Anggap saja dia lelaki brengsek dan jangan ingat-ingat Zero lagi jika hanya membuat kamu sedih. Apalagi sekarang kamu sudah punya Tirta. Dia lelaki baik,” bujuk Hasna mengelus kepala putrinya.

“Iya, Ma. Tirta sangat baik. Makanya aku dulu menerimanya. Tapi barusan Tirta mengirimkan foto yang sedang ngobrol dengan kedua temannya. Ternyata salah satu temannya itu ada Kak Zero, Ma. Aku takut, aku tidak mau bertemu dengan dia lagi, Ma,” rengek Pamela.

“Dunia ini sempit, Nak. Apalagi Zero kakaknya Aurora. Dan Zero juga teman dari kekasihmu. Pasti ada kemungkinan kalian akan bertemu lagi. Mama sarankan, tunjukkan padanya kalau kamu bukan Pamela yang dulu. Kamu sudah tidak  lemah dan cengeng seperti dulu. Kamu sudah bisa move on dan hidup bahagia dengan Tirta. Apalagi lima tahun telah berlalu, pastinya dia juga sudah punya gadis lain,” bujuk Hasna menyemangati putrinya.

“Mama benar, apalagi Kak Zero sangat tampan dan dia anak konglomerat. Rasanya mustahil kalau dia tidak punya kekasih, yang mengajar-ngejar dia pasti banyak,” gumam Pamela.

Hasna tersenyum sambil mengelus kepala Pamela, memberikan kekuatan kasih sayang seorang ibu.

“Sudah merasa baikan bukan? Tidak sedih lagi?” tanya Hasna.

“Iya, Ma. Terima kasih,” jawab Pamela.

“Sama-sama, Sayang. Lain kali kalau ada apa-apa jangan dipendam sendiri. Cerita sama Mama okey? Ayo sekarang kita tidur,” bujuk Hasna.

“Iya, Ma.”

Pamela segera memeluk mamanya, seperti saat dirinya masih kecil yang selalu tidur seperti itu. Secara perlahan, Pamela mulai terpejam.

"Pamela, gue sudah pernah bilang kalau Lo jangan dekat dengan lelaki lain! Tapi Lo malah bersama teman gue sendiri?” tegas Zero dengan tatapan tajam.

“Ke-kenapa gue tidak boleh? Kita berdua tidak ada hubungan apa-apa!” jawab Pamela mencoba untuk memberanikan diri.

“Siapa bilang? Lo—milik gue!”

“Tidak, gue milik gue sendiri! Apalagi dulu Lo yang ninggalin gue tanpa sepatah kata! Dan Lima tahun, Lo nggak ngabarin gue sama sekali. Jadi hak gue mau mencintai siapapun,” sergah Pamela.

“Mencintai siapapun? Woah, ternyata Pamela kecil gue udah punya nyali ya sekarang?” cibir Zero dengan tatapan mengejek.

“Pergi, gue benci sama Lo!” teriak Pamela.

“Oh iya? Kira-kira kalau gue hamilin Lo, Tirta masih mau sama Lo nggak ya?” ancam Zero dengan senyuman smirk.

“Tidak! Gue tidak sudi Lo sentuh!” bentak Pamela.

“Tapi gue mau, gimana dong?” balas Zero menaikkan sebelah alisnya.

“Pergi … Pergi!”

Tiba-tiba Pamela terbangun dari tidurnya, keningnya berkeringat dingin dan jantungnya berdetak kencang. Ternyata semua itu adalah—Mimpi.

“Ya ampun, kenapa bisa mimpi seperti ini? Bahkan dalam mimpi saja Kak Zero masih saja menakutkan.”

Pamela mencoba mengecek ponsel, sudah pukul dua dini hari. Dia yang ingin tidur tidak bisa pun mencoba mengirim pesan. Untungnya Tirta belum tidur, lelaki itu langsung menelponnya. Begitulah Tirta, lelaki yang selalu menjaga perasannya berbanding terbalik dari Zero.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status