Share

Bab 4

Menjadi seorang atlet, Zero selalu menjaga kesehatan tubuhnya. Dia tidak pernah minum alkohol maupun merokok. Tapi senja ini, di balkon kamarnya dia mulai menghisap nikotin tersebut secara perlahan.

Zero sendiri tidak tahu apa yang dia mau, tapi melihat Pamela berada di dalam dekapan lelaki lain membuatnya terbakar api—cemburu.

Dia … masih saja merasa takut saat melihat gue. Apakah dulu gue sebegitu mengerikan sampai dia bertingkah gue ini layaknya monster?

Tiba-tiba sebuah tangan merebut rokok dan membuangnya begitu saja, Zero hanya melirik tajam ke arah adiknya yang lancang itu.

“Sudah gue duga, masa ini akan terjadi juga,” ucap Vicenzo mulai serius.

“Maksud Lo?”

“Pamela … Lo sampai merokok karena dia kan? Mommy sangat cemas padamu, dia nyuruh gue antar Lo ke psikolog,” timpal Vicenzo.

“Kalian jangan berlebihan, gue baik-baik saja,” jawab Zero dingin.

“Gue tahu Lo bakal nolak, karena gue rasa yang bisa menjadi obat ya sumbernya sendiri,” balas Vicenzo terkekeh.

“Nggak usah sok tahu,” cibir Zero.

“Mending gue, dari pada Lo yang suka denial dan akhirnya menyesal. Lo nyesek kan tahu Pamela mau menikah dengan teman sendiri? Dulu gue bilang apa sama Lo, kalau cinta katakan cinta. Tapi Lo malah memilih meninggalkan dia,” balas Vicenzo, adiknya yang satu itu memang tidak pernah mau kalah dalam hal apapun termasuk adu mulut.

“Gue nggak minat nikah,” gumam Zero.

“Itu pilihan hidup Lo, tapi jangan usik kebahagiaan Pamela dengan kekasihnya.”

“Gue gak akan mengusiknya,” gumam Zero meyakinkan diri sendiri.

“Gue nggak percaya, darah iblis Daddy mengalir deras dalam diri kita. Bedanya cara main gue jauh lebih berkelas di banding Lo,” cibir Vicenzo.

Zero terdiam, sama sekali tidak marah dengan ucapan adiknya. Karena apa yang dia pikirkan dengan apa yang dikatakan jauh berbanding terbalik. Zero—saat ingin ingin Pamela memohon ampun dan berada di dalam kendalinya.

“Saran gue, kalau Lo memang tidak mau kehilangan Pamela untuk selamanya maka rebutlah dia kembali. Entah kenapa gue selalu yakin dia masih mencintai Lo. Tapi, dari sifat Pamela yang memiliki hati lembut dia tidak akan bisa melukai kekasihnya yang sudah baik dan menemaninya selama ini,” turu Vicenzo.

Zero terdiam, meresapi ucapan adiknya membuat kepalanya berdenyut nyeri. Zero kembali mengambil rokok dan memasukkan ke mulutnya, tetapi saat ingin menyalakan api Vicenzo dengan gesit merebut koreknya.

“Jangan merusak diri sendiri, Lo seorang atlet jagalah kesehatan dengan baik!” ucap Vicenzo tegas.

“Gue—harus bagaimana?” tanya Zero akhirnya runtuh sudah semua gengsinya.

Vicenzo tersenyum, lalu merangkul kakaknya.

“Perempuan itu butuh sebuah pengakuan, minta maaflah padanya dan katakan kalau kamu mencintainya. Buktikan jika kamu jauh lebih mencintai Pamela di banding Tirta.”

“Kalau Pamela yang tidak mau? Seperti yang tadi Lo bilang. Dia terlalu baik, dia tidak akan mungkin melukai Tirta,” sela Zero.

“Pakai ancaman dikit,” cicit Vicenzo tersenyum jahil, lalu menunjukkan sebuah foto yang diambil lima tahun lalu kala mereka liburan di Villa saat ulang tahun Aurora.

Zero mengambil alih ponsel adiknya, sudut bibirnya tersenyum tipis kala melihat foto dia yang tengah memeluk Pamela. Mereka tidur—seranjang. Meski tidak melakukan hal-hal yang diluar batas, tapi itu adalah kali pertama Zero mencium bibir Pamela.

Shit … gue kangen sama bibir Pamela.

“Lo sudah tahu apa yang harus dilakukan dengan foto ini kan?” sela Vicenzo.

“Hm, Lo kok bisa punya ini?” tanya Zero heran.

“My name is Vicenzo.”

Zero hanya mengangguk-angguk saja, tak heran dengan tingkah usil adiknya. Diapun segera mengirim foto tersebut ke nomornya sendiri.

“Huft, dulunya foto itu mau gue jadikan ancaman buat Lo. Malah malah sekarang jadi senjata Lo.”

“Terima kasih,” jawab Zero tersenyum senang.

***

Pamela baru saja menyuapi mamanya dan pembantunya meminum obat. Sore ini mamanya sudah diizinkan untuk pulang.

“Mama sebaiknya segera tidur, biar lekas pulih,” tutur Pamela.

“Iya, mama bisa ke kamar sendiri. Kamu sebaiknya temenin Nak Tirta makan dulu,” balas Hasna. Lalu perempuan setengah baya itu menatap calon menantunya. “ Nak Tirta, terima kasih untuk hari ini ya? Kamu makanlah yang banyak.”

“Iya, Tante. Sama-sama. Tante Jangan sungkan begitu, karena bagi aku Tante sudah seperti mama sendiri,” balas Tirta.

Hasna tersenyum senang, lalu berjalan secara perlahan menuju ke kamarnya.

Kini di mau makan itu hanya ada Pamela dan Tirta, mereka makan dengan tenang dan setelah itu duduk berduaan di ruang keluarga.

“Mama kamu kan sudah mulai baikan, tapi kenapa wajah kamu sedih begini? Apakah kamu punya masalah?” tanya Tirta yang selalu peka dan perhatian.

“Aku tidak sedih, hanya sedikit lelah saja,” jawab Pamela tersenyum.

Tirta memeluk Pamela, lalu mengecup keningnya.

“Aku tahu, kamu pasti capek kan? Ya sudah kalau gitu istirahatlah aku gak akan ganggu lagi,” pamit Tirta.

“Iya.”

Dia pun segera beranjak Untuk mengantarkan sang kekasih sampai di depan pintu. Tetapi sebelum Tirta benar-benar pergi, Pamela memeluk lelaki tersebut dari belakang.

Tirta nampak senang, lalu mengelus lengan Pamela merasakan dekapan hangat itu.

“Tumben manja, tapi aku senang,” ujar Tirta sambil membalikkan tubuhnya dan membalas pelukan itu.

“Terima kasih, Tirta,” cicit Pamela.

“Untuk apa?”

“Semuanya,” jawab Pamela  langsung melepaskan pelukannya dan menatap mata lelaki tersebut. “ Ya sudah, sekarang kamu pulanglah dan hati-hari di jalan.”

“Iya,” balas Tirta kembali mengecup kening Pamela.

Tepat setelah mobil milik Tirta pergi, lalu muncul mobil lain yang terparkir di depan rumahnya. Pamela—merasa tidak asing dengan mobil itu. Seperti milik Daddy nya Aurora.

Tapi setelah menikah orang yang berada di dalam mobil itu keluar, seketika Pamela langsung mematung. Wajahnya pucat dan tubuhnya tidak bisa bergerak saking syok nya.

“Hay, Pamela …” sapa Zero.

Bibir Zero tersenyum, tapi justru semakin membuat Pamela takut. Reflek, dia ingin berlari masuk ke dalam rumah. Tetapi langkah Zero jauh lebih cepat dan menahan lengannya.

“Tidakkah Lo senang melihat—teman kecil Lo?” bisik Zero.

“Mau apa kemari?” pekik Pamela mencoba memberanikan diri.

“Gue tamu, sebaiknya Lo persilakan masuk dulu,” balas Zero lembut.

“Nggak mau! Bukankah Lo nggak butuh teman? Dan Lo juga tidak pernah menganggap gue teman?” sergah Pamela.

“Ah iya, gue lupa. Hubungan kita kan bukan teman—melainkan…”

“Melainkan apa? Cukup Kak Zero, sebaiknya Lo pergi!” usir Pamela tak tahan lagi.

“Kenapa sikap Lo berlebihan seperti ini, apakah Lo masih belum bisa move on dari gue?” goda Zero.

“Jangan mimpi, gue udah udah punya Tirta dan gue hanya mencintainya!”

Pamela reflek berteriak di depan wajah Zero, sementara lelaki itu yang sejak tadi tersenyum tiba-tiba berubah dingin. Mata itu—menyorot kedua netra Pamela dengan tajam.

Saat Pamela ingin menghempaskan cekalan Zero, justru lelaki itu malah menarinya dalam dekapannya.

“Apakah, Tirta yang Lo cintai itu pernah tidur bersama Lo sama seperti yang kita lakukan dulu?” bisik Zero sambil menggigit daun kuping Pamela yang sontak membuat Pamela langsung gemetar dan meneteskan air matanya.

“Jangan bicara sembarangan!”

“Tapi gue ada buktinya, gimana dong?” tantang Zero.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status