Share

Bab 5

Pamela tidak mau diperlakukan semena-mena seperti dulu lagi, sampai saat ini jika mengingat masa lalu rasa malu itu menggerogoti harga dirinya.

“Zero, Kalau Lo tidak pergi gue akan berteriak biar Lo dihajar oleh warga di sini!” ancam Pamela. Dulu dia memanggil dengan sebutan kakak, karena dia menghormati Zero yang satu tahun lebih tua darinya. Tapi saat ini, panggilan kakak itu sudah tidak pantas lagi untuk Zero.

Sementara Zero terkekeh, justru semakin senang dipanggil tanpa adanya embel-embel Kak.

“Coba saja berteriak, Gue ingin lihat apakah mereka ingin menghajar gue atau malah menikahkan kita berdua sekarang juga!” tantang Zero masih memeluk tubuh Pamela dari belakang dan mengecup lehernya.

Pamela merinding bukan main, dia bisa merasakan hawa panas dari tubuh Zero. Seolah-olah panas itu juga merambat ke tubuhnya sendiri.

“Lo nggak waras, Zero! Dulu Lo sendiri yang bilang jika gue ini tidak ada arti apa-apa bagi Lo, lalu sekarang Lo kenapa seperti ini?” pekik Pamela dengan suara tertahan.

Zero menarik Pamela masuk ke dalam rumah, lalu menutup pintunya dari dalam. Sungguh Pamela kesal sekali, sikap Zero yang kurang ajar dan tidak mengenal rasa takut itu masih belum berubah juga.

“Kalau Lo bisa gue aja bicara baik-baik, maka gue juga akan menggunakan cara yang halus,” ucap Zero menatap serius.

Pamela tidak punya pilihan lain, lebih baik seperti itu. Mereka berdua berbicara dengan cara yang baik-baik. Karena Zero orang yang nekat, dan Pamela tidak mau diapa-apakan seperti dulu. Apalagi Zero yang sekarang adalah versi Zero dewasa, tentu  saja nyalinya akan semakin tinggi.

“Baik, mari silahkan duduk!” jawab Pamela menarik napas berat.

Sudut bibir Zero menyeringai, andaikan sejak tadi Pamela bersikap seperti ini dia juga tidak akan bertindak kurang ajar seperti tadi.

Kini mereka berdua duduk di sofa ruang tamu, Pamela memilih duduk agak menjauh takut sewaktu-waktu Zero menyerangnya. Lelaki di hadapannya itu tidak mudah untuk ditebak.

“Sekarang katakan, mau Lo apa?” tanya Pamela.

“Gue mau Lo—putus dengan Tirta,” jawab Zero tanpa basa-basi.

Kedua mata Pamela langsung melotot, bagaimana bisa lelaki itu tidak tahu diri begini? Tapi beberapa detik kemudian Pamela mencoba bersikap tenang, menunjukkan kalau dirinya bukan gadis lemah.

“Zero, Lo ingat 5 tahun yang lalu? Gue memang pernah mencintai Lo tak peduli bagaimana perilaku Lo. Tapi itu dulu, Zero. Sekarang gue sudah mencintai Tirta, dia adalah lelaki yang bisa membuat gue tersenyum lagi setelah apa yang sudah Lo lakukan. Gue tidak akan pernah bisa memutuskan Tirta, dialah orang yang selalu ada dan mendampingi sampai gue menjadi orang yang seperti ini,” jawab Pamela.

“Berapa yang sudah Tirta berikan pada Lo sampai Lo merasa sudah sukses hm? Gue akan mengembalikan semua yang Tirta kasih pada Lo!” jawab Zero memasang wajah datarnya.

Pamela benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Zero, sangat memuakkan!

“Ini bukan tentang uang, tapi tentang waktu dan semua perhatian, dukungan dan semangat dia yang tidak akan bisa dibayar oleh apapun. Sudahlah Zero, gue  mohon jangan ganggu hidup gue lagi. Tetaplah menjadi Zero dulu yang bahkan tidak menganggap gue sebagai teman,” bujuk Pamela.

Zero terdiam, tapi beberapa detik kemudian tertawa lebar.

Pamela semakin takut, apakah dalam kurun waktu lima tahun ini penyakit mental Zero belum sembuh?

“Apakah secinta itu Lo terhadap Tirta?” tanya Zero memasang wajah datar.

Pamela tak mau diremehkan, dia langsung membalas tatapan Zero dengan berani.

“Iya, gue sangat mencintai Tirta. Lebih dari yang pernah gue rasakan padamu!”

“Oh, begitu. Terus—apakah Tirta juga mencintai Lo?” tanya Zero lagi.

“Tentu saja, dia selalu bersikap baik pada gue. Dia selalu berkata lembut, dia menghargai gue, dan dia lebih mementingkan kenyamanan gue dibanding dirinya sendiri,” tegas Pamela, tanpa Zero tahu di bawah meja jemari Pamela gemetar.

“Tapi gue  tidak peduli semua itu, Pamela. Lo adalah milik gue!” ucap Zero dengan tatapan penuh arti.

“Gue—milik gue sendiri. Dan gue punya hak untuk mencintai siapapun. Lo bukan siapa-siapa gue dan Lo tidak pantas berbicara seperti itu!” sergah Pamela.

Zero semakin tertantang dengan keberanian Pamela, lelaki itu mulai mendekat dan menarik Pamela dalam pangkuannya.

“Fuck, lepasin gue, Zero!”

Kesabaran Pamela sudah habis, berbicara dengan Zero sama sekali tidak ada ujungnya. Dia menampar wajah Zero, tapi bukannya Zero marah malah tertawa senang.

Pamela ingin beranjak tetapi tubuhnya langsung dibanting ke sofa, dan Zero menindihnya.

Kedua tangan Pamela di angkat di atas kepalanya, Pamela—sama sekali tidak bisa berkutik.

“Ngomong-ngomong, sudah diapain aja Lo sama Tirta?” tanya Zero mulai muncul sifat posesifnya.

“Bukan urusan Lo! Lepasin gue, cuih!” bentak Pamela sambil meludahi wajah Zero.

“Oh Shit, gue nggak nolak ludah Lo. Tapi dari sumbernya langsung. Lo pasti kangen sama bibir gue kan?”

Zero langsung mencium bibir Pamela dengan kasar, menyesap dan melumatnya sampai membuat bibir Pamela bengkak.

Demi apapun Pamela tidak rela diperlakukan seperti ini, diapun menggigit bibir Zero sampai berdarah.

“Ah!” pekik Zero kesakitan. Tapi Zero semakin mencengkram kedua tangan Pamela agar tidak bisa melawan lagi.

“Gue benci sama Lo! Gue benci sama Lo!” tangis Pamela pecah.

“Menangislah semakin kencang, Pamela. Agar orang-orang tahu lalu masuk ke sini. Lihatlah posisi kita, sangat cocok untuk diarak warga dan dinikahkan paksa bukan?” ejek Zero.

“Biadab!” maki Pamela yang sudah lemas, sebab cengkraman Zero tidak main-main.

“Sekarang Lo jujur sama gue, apa yang sudah Lo dan Tirta lakukan selama ini hm? Kalau Lo nggak mau jawab, gue bakal cek sendiri—di sini!” ancam  Zero.

Menakutkan, Zero yang sekarang jauh lebih mengerikan. Pamela mengutuk diri sendiri, kenapa dulu bisa-bisanya mencintai pemuda seperti ini?

“Oke, jadi Lo pengen gue cek sendiri,” jawab Zero mulai menggunakan jemarinya meremas paha Pamela.

“Stop! Iya gue jawab! Tirta pemuda baik-baik, dia tidak akan melakukan tindakan menjijikkan kaya Lo! Dia mencintai gue makanya dia menjaga kehormatan gue!” maki Pamela.

Mendengar itu, senyuman Zero langsung lebar.

“Wah, kalau gitu, bagaimana reaksi Tirta setelah tahu kalau kita berdua pernah tidur sekamar di Villa. Kira-kira apa yang akan Tirta pikirkan tentang gadis yang terlihat polos seperti Lo ternyata dulu—pernah gue cumbu sambil basah-basahan di kamar mandi?” cibir Zero tertawa puas.

“Tirta sangat mencintai gue, dan dia akan selalu percaya sama gue,” jawab Pamela percaya diri.

Zero langsung mengambil ponselnya, lalu menunjukkan foto mereka berdua yang tidur seranjang dalam posisi Zero mendekap Pamela.

Sontak saja Pamela kaget bukan main.

“Mari kita uji, seberapa besar cinta Tirta ke Lo setelah gue kirim foto ini ke dia!” tantang Zero.

“Jangan, Zero! Gue mohon!” pekik Pamela menangis putus asa.

“Putuskan Tirta!”

“Gue nggak bisa,” tolak Pamela.” Gue nggak akan bisa menyakiti dia,” timpal Pamela memohon.

“Gue kasih waktu seminggu, kalau Lo tidak mutusin dia siap-siap foto ini gue kirim ke Tirta!”

“Tidak ma— hmpp!”

Pamela terbungkam, mulutnya kembali dicium secara brutal oleh Zero.

“Lo—cuma milik gue! Ingat baik-baik!”

Cup

Setelah mengecup singkat bibir Pamela, Zero beranjak dari tubuh Pamela dan pergi begitu saja.

“Gue benci sama Lo, gue nyesel kenal sama Lo,” tangis Pamela memeluk dirinya sendiri.

Kini, apa yang harus Pamela lakukan? Zero—cowok gila.

Zero sangat takut pada Tante Zeta, gue kayaknya harus lapor padanya agar menasihati Zero.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status