Share

Bab 6

Sebenarnya selama lima tahun di Belanda Zero rutin melakukan terapi. Dia sudah bisa mengontrol emosinya. Siapa kira, bertemu Pamela malah memicu lagi saat perempuan itu bersama lelaki lain. Zero—sangat frustrasi.

Pamela, gue tidak mengira ditinggalkan itu akan sesakit ini. Maafkan gue, pasti 5 tahun lalu itu perkataan gue benar-benar menyakiti Lo. Sekarang gue sadar, Lo adalah seseorang yang gue inginkan untuk mendampingi gue sampai mati.

Setelah meneror Pamela Zero memilih untuk pulang ke rumah, tetapi baru masuk pintu dia sudah dihadang oleh Daddy nya.

“Zero, bibir Lo kenapa?” tanya Syadeva.

“Tidak apa-apa, Dad,” jawab Zero menunduk.

Syadeva terkekeh, lelaki yang sudah memiliki jam terbang tinggi mana mungkin bisa ditipu oleh anak ingusan itu.

“Ayo masuk ke ruang kerja Daddy!” ajak Syadeva.

“Iya, Dad,” jawab Zero patuh.

Zero takut, sekaligus malu. Dia yakin setelah ini akan mendapat ceramah panjang lebar.

“Tadi teman adik kamu yang bernama Pamela menelpon Mommy, untung saja Mommy sudah tidur dan yang mengangkat adalah Daddy."

Zero diam saja, karena tahu apa yang akan diucapkan oleh Daddy nya.

"Pamela—dia mengadu tentang kelakuan kamu. Apakah kamu benar-benar menyukainya?”

Zero tidak menyangka jika Pamela bisa senekat itu sampai melaporkan pada orang tuanya. Ditanya langsung oleh Daddy nya seperti itu membuat Zero gugup.

“Untung yang mengangkat Daddy, kalau Mommy kamu bagaimana? Dia pasti akan kecewa berat sama kamu. Lebih baik kamu jujur, apakah kamu sungguh-sungguh mencintai Pamela? Aku cuma menjadikan dia sebagai mainan saja?” timpal Syadeva lagi.

Zero pada akhirnya menganggukkan kepalanya.

“Aku, baru kali ini jatuh cinta. Tapi, dia sudah punya kekasih, Dad,” ucap Zero.

“Daddy paham perasaanmu, karena Daddy juga dulu seperti kamu. Tapi dulu Daddy mengambil jalan yang salah, Daddy melakukan kesalahan besar sekalipun Mommy kamu mau kembali pada Daddy tapi banyak orang yang terluka. Daddy menyesalinya, dan tidak ingin kamu mengalami hal serupa,” tutur Syadeva berwibawa.

“Dad, dalam seumur hidup ini aku cuma sekali menginginkan seorang perempuan, yaitu Pamela. Mendengar dia yang sudah tidak mencintaiku dan lebih memilih lelaki lain membuat aku mau—gila! Aku juga tidak ingin seperti ini, tapi—aku tidak bisa mengontrolnya," ujar Zero mengungkapkan isi hatinya.

“Daddy paham, Daddy benar-benar paham dengan apa yang kamu rasakan. Tapi cobalah kamu mendekati Pamela dengan cara yang lebih baik. Pamela adalah sahabat adik kamu sendiri. Kalau Aurora tahu dia juga akan marah. Dan kamu besok pagi ke psikolog!" balas Syadeva.

Zero terdiam, apa yang diucapkan oleh Daddy nya ada benarnya juga. Diapun menganggukkan kepalanya tanda paham. Tetapi dalam hati Zero tidak bisa berjanji. Karena—apapun yang terjadi dia harus mendapatkan Pamela kembali.

Setelah Daddy nya mengizinkan Zero untuk pergi, di dalam kamarnya rupanya sudah ada Vicenzo yang menunggu.

“Ngapain Lo di sini?”

“Cuma pengen tahu aja, kakak gue berhasil apa tidak. Tapi dari bibir Lo yang terluka, sepertinya gagal,” jawab Vicenzo terkekeh geli.

“Nggak lucu, pergi sana!” usir Zero.

“Jangan marah-marah, gue punya ide yang bagus untuk Lo!” tegas Vicenzo berubah serius.

“Apa?”

“Sebentar lagi Kak Aurora ulang tahun, gue tadi sudah membujuk dia untuk merayakan di Vila milik kakek Asraf seperti dulu. Dan gue juga membujuk agar Pamela diundang. Nanti di sana, gue akan membuat rencana agar Lo bisa punya kesempatan bersama Pamela,” ujar Vicenzo antusias.

“Pamela nggak bakal ikut, lagian pas ulang tahun Aurora, gue sudah masuk latihan, sepak bola,” jawab Zero.

“Ya Lo izin untuk semalam saja sama pelatih, pasti diizinkan. Tapi Lo harus datang menyusul, pura-pura tidak bisa datang biar Pamela ikut,” bisik Vicenzo.

“Kayaknya cara halus gak bakal bisa bikin Pamela balik,” keluh Zero.

“Masih banyak peluang, jangan nyerah. Lo langsung unboxing aja kalau Pamela rewel!” saran Vicenzo menyesatkan kakaknya sendiri.

“Maksud Lo apa? Lo nyuruh gue hamilin Pamela?” selidik Zero dengan tatapan datar.

“Ya kalau memang itu harus dilakukan kenapa tidak? Kecuali kalau Lo memang merelakan Pamela bersama lelaki lain,” cibir Vicenzo.

“Lo kok punya pikiran begini, apa Lo suka having sex?” selidik Zero.

“Ah tidak dong, gue masih suci tahu!” balas Vicenzo jumawa.

“Lo masih SMA, jangan aneh-aneh,” bujuk Zero memperingatkan.

“Iya, tahu. Lagian tanpa gue bertindak cewek udah antri sama gue. Tinggal tunjukkan jari aja gue bisa dapatkan mana yang gue inginkan.”

Zero percaya saja, karena adiknya sangat tampan, genius, memiliki segudang bakat.

Setelah adiknya keluar, Zero kembali membuka layar ponselnya dan melihat fotonya yang tengah tidur memeluk Pamela.

Pamela … haruskah gue melakukan itu pada Lo?

***

Semalaman Pamela menangis, luka yang dikira sudah sembuh kini menganga semakin lebar. Kedatangan Zero seperti merusak pertahanan yang dia bangun bersama Tirta. Sebuah fakta yang paling Pamela benci, jantungnya masih berdebar-debar hebat kala bertemu dengan Zero.

Padahal perlakukan Zero padanya sangat tidak pantas, tapi yang namanya cinta pertama bisa membuat seseorang begitu buta dan bodoh.

Esok harinya kedua matanya dan bibirnya sedikit membengkak. Pamela terpaksa memakai masker dan kacamata untuk menutupi dari pandangan mamanya.

“Nak, kamu kenapa berpenampilan aneh begini” tanya Hasna curiga.

“Aku flu dan sakit mata, Ma. Ini lagi mau ke dokter untuk periksa,” dusta Pamela.

“Loh kok bisa? Padahal semalam kamu baik-baik saja?” pekik Hasna khawatir.

“Aku juga tidak tau, Ma. Kalau gitu aku pergi dulu ya, Ma!” pamit Pamela.

“Hati-hati, Nak.”

“Iya, Ma. Nandi saat makan siang aku akan pulang. Mama mau minta dibelikan apa?”

“Nasi Padang saja, Nak.”

“Siap, Ma.”

Pamela terpaksa berbohong, dia tidak pergi ke rumah sakit melainkan ke toko roti. Di sana dia meminta bantuan pada salah satu karyawannya untuk mengompres matanya agar lekas membaik.

Ternyata cara itu cukup ampuh, matanya mulai membaik sayangnya bibirnya masih nampak jelas.

Tapi memang sudah nasib sial, tiba-tiba muncul Zero dan Evelyn Emma. Mana Evelyn sangat lengket dengannya.

Saat Pamela hendak kabur ke dalam, gadis cilik itu sudah menyerukan namanya.

“Kak Pemala!” teriak Evelyn dengan keras.

Mau tak mau Pamela pun menoleh, lalu memberikan senyuman yang manis untuk adik sahabatnya.

“Hallo, cantik. Kamu mau beli apa?” sapa Pamela pura-pura tersenyum tanpa menoleh ke arah Zero.

“Mau beli dessert untuk Kak Aurora, aku dan Kak Zero mau main ke sana. Apa Kak Pamela mau ikut?"  jawab Evelyn dengan riang.

“Tidak, Sayang. Kakak hari ini harus kerja. Kamu mau berapa box?” tanya Pamela ramah.

“Lima. Yang ini, ini, ini, ini dan ini."

“Oke.”

Pamela menyuruh karyawannya untuk membungkus dan menerima uang dari  Zero. Sementara Pamela memilih berinteraksi dengan Evelyn dan menganggap Zero tidak ada.

Meski begitu, sekujur tubuh Pamela merasa merinding dan bisa tahu kalau Zero menatapnya.

“Bibir Kak Pamela kenapa? Digigit semut seperti Kak Zero ya?” tanya Evelyn dengan polosnya.

“Ah iya,” jawab Pamela mulai gugup saat teringat peristiwa tadi malam. Sialnya Zero mode ganas semakin menambah pesonanya—berdemage.

“Makanya lain kali hati-hati, tuh lihatlah bibir Kak Zero malah sampai lecet. Kata Kak Zero semut nya besar dan galak! Hih … serem,” cicit Evelyn memberikan ekspresi ketakutan.

Pamela semakin meringis, andaikan Evelyn tahu jika semut yang kakaknya maksud adalah dirinya.

“Evelyn, sudah ngobrolnya? Ayo kita sudah ditunggu Kak Aurora!” ucap Zero lembut yang mampu membuyarkan lamunan Pamela.

“Ah iya, Kak,” jawab Evelyn patuh dan berlari mendekati Zero.

“Bye, Kak Pamela.”

“Bye."

Pamela melirik sekilas pada Zero, lelaki itu nampak sangat tampan dan keren dengan kaos hitam dan jaket putih.

“Kami permisi dulu, Pamela,” pamit Zero dengan ramah dan manis.

“I—ya,” jawab Pamela kaget.

Hah? Barusan dia menyapaku dengan sopan? Kenapa dia berubah. Apakah dia sudah dinasehati Tante Zeta makanya berubah? Semoga saja bisa begini terus untuk selamanya.

Beberapa detik kemudian  Pamela dibuat  syok kala Zero yang mau masuk ke mobil menerima telpon dari seseorang. Dari jarak beberapa meter, Pamela bisa mendengar suara Zero.

“Tirta, nanti malam kita bisa bertemu di kafe Lo? Gue mau menunjukkan foto sama Lo!”

Pamela yang mendengarnya langsung syok.

Hah? Foto? Apakah foto yang semalam?

“Zero! Zero!”

Pamela berlari keluar untuk memanggil lelaki tersebut, tapi sayang Zero sudah menjalankan mobilnya.

Pamela resah, dia sangat takut kalau Zero nekat memberikan foto itu pada Tirta. Pamela pun memutuskan menyusul Zero yang katanya mau ke rumah Aurora.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status