Seperti ada kupu-kupu berterbangan di perutnya, Pamela merasakan hatinya meletup-letup kala Zero menyatakan cinta. Kata yang sudah Pamela tunggu saat lima tahun lalu, sayangnya dulu hanya penghinaan yang Zero berikan.Pamela, memilih untuk diam. Dia tidak mungkin menerima Zero lagi. Dia tidak mau terjebak jeratan lelaki yang tempramen dan posesif parah. Jika dirinya saat ini membuat Zero marah dengan menolaknya, habislah dia.Posisi saat ini, terlalu berbahaya. Zero yang tanpa mengenakan atasan mengukungnya dan terus mencumbu lehernya. Sekuat jiwa, Pamela berusaha untuk bertahan dan tidak terbuai. Biarlah Zero melakukan apapun yang ingin dilakukan asalkan tidak sampai menghilangkan keperawannya.“Pamela … Kenapa diam saja? Lo masih punya perasaan sama gue kan? Ngaku aja,” bisik Zero.Pamela memalingkan wajahnya, sekalipun itu benar dia tidak akan pernah mengakuinya.“Jangan bohong, lihatlah bagaimana tubuh kita? Sangat cocok seolah diciptakan satu sama lain,” balas Zero.“Zero! Jangan
Sepanjang perjalanan pulang, Zero kembali ke setelan pabrik. Diam dan cuek.Sementara Pamela masih belum bisa melupakan kejadian yang semalam. Rasanya gadis itu ingin membenturkan kepalanya di kaca jendela mobil saking malu dan menyesal. Demi apa? Zero sudah sangat keterlaluan.“Zero, Lo nggak mau minta maaf gitu sama gue? Lo udah keterlaluan banget sama gue,” gerutu Pamela.“Memangnya apa yang sudah gue lakuin?” tanya Zero dengan santainya.Kedua mata Pamela terbelalak, bisa-bisanya Zero bersikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara dirinya terus gelisah.“Lo udah lecehin gue, dan gue bisa bawa ke jalur hukum!” ancam Pamela.Tanpa sadar, Pamela sudah melakukan kesalahan. Zero—bukanlah orang yang bisa diancam. Itulah kenapa, Zero ingin memberikan Pamela kepahaman.Zero langsung menepikan mobilnya di pinggir jalan, mana daerah itu sepi karena masih berada di area lereng perbukitan. “Lo—mau apa?” Pekik Pamela waspada, menggeser tubuhnya di ujung pintu mobil.Zero melirik ke s
Kali ini Zero mengantar Pamela sungguhan, sepanjang jalan Pamela hanya bungkam. Mungkin karena waspada jika salah bicara dan berakhir mendapat hukuman lagi.Tak peduli Pamela kini semakin takut padanya, yang terpenting gadis itu dalam kendalinya.“Megang pergelangan tangan terus memangnya kenapa?” tanya Zero datar.“Tangan gue pegal,” cicit Pamela menundukkan kepalanya.“Gue?” pekik Zero memasang wajah sangarnya. “ Aku-kamu, Pamela. Jangan lupa sekarang kita udah resmi jadi sepasang kekasih!” “I—iya.”Zero tersenyum puas, inilah yang lelaki itu mau. Gadisnya—selalu nurut padanya.Zero sengaja melajukan kecepatan mobilnya, mencari sebuah restoran karena mereka belum makan siang.Saat ingin keluar dari mobil, Zero dengan sigap membantu Pamela membuka sabuk pengamannya. Lalu meraih pergelangan kanan gadisnya dan mengurutnya lembut.Untuk sejenak, Pamela merasa bahagia. Zero memang bukan tipe bermulut manis, tapi kalau sekali perhatian tidak nanggung-nangung. “Salah sendiri tadi memilih
Pamela tak pernah mengira akan berada di situasi seperti ini, dimana dirinya memiliki dua kekasih dalam waktu bersamaan. Bahkan, kini mereka berada di dalam satu ruangan.Mana sedari tadi aura yang terpancar dari Zero begitu mengerikan. Seolah-olah akan melahabnya sampai habis.Mama … tolong … Pamela takut sekali. Tubuh Pamela panas, serasa terbakar oleh tatapan cemburu dari Zero.“Kalian kapan mulai latihan sepak bola?” tanya Tirta.“Lusa,” jawab Sander.“Apakah masih sempat kita nongkrong bareng?” tanya Tirta lagi.“Nggak tahu kalau itu, tapi kayaknya nggak bisa,” jawab Sander.“Yang semangat ya, semoga TIMNAS kita bisa menang,” balas Tirta.Saat Sander dan Tirta saling mengobrol, Zero hanya diam saja. Tetapi mereka sama sekali tidak heran, sebab memang Zero sedari dulu seperti itu. Cuma diam mendengarkan.“Pamela, mama kamu katanya sudah sembuh ya? Jadi kapan kalian mau tunangan? Apa langsung mau menikah saja?” tanya Sander yang membuat Pamela semakin gemetar.Aku harus jawab apa?
Pamela sudah lemas tak berdaya setelah berjam-jam digempur oleh Zero. Tubuhnya serasa remuk dan tercabik-cabik. Dia hanya bisa berbaring pasrah, saking lelahnya sampai terlalu lemah untuk mengeluarkan suaranya.Maafin aku, Papa … Mama. Aku tidak bisa menjaga kehormatan aku.Air mata Pamela menetes membasahi pipinya, jiwanya terkoyak oleh perbuatan lelaki yang dulu pernah ditolongnya saat masa kecil.Zero … Kenapa kamu setega ini terhadap aku? Dan bodohnya aku, tetap saja masih mencintaimu. Andai saja waktu bisa aku putar, aku tidak pernah ingin mengenalmu.Sementara Zero semenjak tadi hanya tersenyum sendiri, wajahnya begitu cerah menunjukkan jika lelaki itu tengah bahagia dan sangat puas.Tanpa memikirkan perasaan Pamela, Zero menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Pamela. Lalu mengecup keningnya penuh kasih sayang. Tak cukup dengan itu, Zero juga mengelus-elus perut Pamela yang hanya tertutup selimut. Berharap jika di sana akan tumbuh sebuah kehidupan yang membuat P
“Zero, aku sudah kenyang,” cicit Pamela yang sejak tadi terus disuapi Zero.“Hm.”Pamela terbelalak saat melihat Zero menghabiskan sisa makan miliknya. Bahkan lelaki itu juga menggunakan bekas sendok miliknya.“Ze—ro, apakah kamu tidak jijik makan bekasku?” bisik Pamela mereka heran.“Kenapa harus jijik? Bagian tubuhmu mana yang belum pernah aku jilat?” balas Zero dengan wajah lempengnya.Pamela malu luar biasa, sontak pikirannya langsung terbang kemana-mana dan sialnya Zero mengatakan hal itu dengan santai.AC di restoran menyala, tetapi tubuh Pamela mulai gerah. Tidak bisa dibiarkan, diapun beralasan untuk ke toilet.“Ak-aku ke toilet dulu.”“Jangan lama-lama,” jawab Zero tersenyum tipis.“I—iya.”Mata Zero tidak bisa berpaling dari menatap punggung Pamela yang mulai menjauh, wanitanya itu sangat lucu sekali kala salah tingkah.Shit! Aku jadi pengen masukin dia lagi. Zero nyengir sendiri seperti orang nggak waras saat membayangkan hal yang tidak-tidak. Sampai beberapa pengunjung me
Pamela tidak membawa make up, itulah kenapa saat ini dia bingung karena tidak bisa menutupi bekas kissmark di lehernya. Tentu saja dia akan malu bila bertemu dengan Vicenzo.“Kenapa wajah kamu panik?” tanya Zero.“Bagaimana cara aku menutupi leherku?” cicit Pamela hampir menangis.“Cengeng, gitu aja mau nangis,” gumam Zero beranjak menuju kopernya, lalu mengambil salah satu Hoodie warna hitam.“Te—terima kasih,” ucap Pamela segera mengenakan Hoodie milik Zero yang seperti mau menenggelamkan dirinya. “Vicenzo sudah menunggu di luar, kamu sudah boleh pulang!”“Iya,” jawab Pamela.Tapi saat Pamela hendak beranjak pergi, Zero langsung menahan lengannya.“Apalagi?” tanya Pamela yang nampak sudah lelah.“Mau pergi begitu saja? Tidak mau pamitan dulu?” sela Zero kesal.“Aku pulang dulu, Zero.”“No, aku tak butuh kata-kata, Sayang.”Tanpa basa-basi lagi, Zero menarik pinggang Pamela dalam dekapannya. Lalu mulai melumat bibir lembut Pamela dengan segenap perasaan.Pamela lagi-lagi hanya bisa
Zero baru selesai acara rapat dan makan malam bersama para pemain sepakbola dan kru lainnya. Setelah itu dia kembali ke hotel bersama Sander.“Gue curiga kamar ini udah dijadikan tempat mesum Lo sama Pamela,” cibir Sander.“Enggak ya, gue aja pesan kamar lain,” balas Zero dengan santainya.“Anjir! Jadi kalian benar-benar sudah melakukan itu?” pekik Sander syok bukan main.“Nggak usah ikut campur ke ranah pribadi gue, Sander!” ancam Zero.Sander bergidik ngeri, meski sudah mengenal Zero sejak kecil tapi banyak hal yang misterius dari sosok Zero. Jarang ngomong, tapi sekali membuka mulut bisa nyelekit.Zero memilih mengambil ponsel yang dia charger, sejak tadi memang sengaja dia tinggal karena ketika fokus dengan urusan sepak bola dia tidak mau diganggu.Begitu membuka ponsel, ada banyak notif panggilan tak terjawab dan juga banyaknya pesan. Dari keluarganya yang memberi semangat, ada juga makian dari Tirta. Tapi bukannya takut atau merasa bersalah, Zero malah menyeringai.Good girl, ja