Pamela tidak membawa make up, itulah kenapa saat ini dia bingung karena tidak bisa menutupi bekas kissmark di lehernya. Tentu saja dia akan malu bila bertemu dengan Vicenzo.“Kenapa wajah kamu panik?” tanya Zero.“Bagaimana cara aku menutupi leherku?” cicit Pamela hampir menangis.“Cengeng, gitu aja mau nangis,” gumam Zero beranjak menuju kopernya, lalu mengambil salah satu Hoodie warna hitam.“Te—terima kasih,” ucap Pamela segera mengenakan Hoodie milik Zero yang seperti mau menenggelamkan dirinya. “Vicenzo sudah menunggu di luar, kamu sudah boleh pulang!”“Iya,” jawab Pamela.Tapi saat Pamela hendak beranjak pergi, Zero langsung menahan lengannya.“Apalagi?” tanya Pamela yang nampak sudah lelah.“Mau pergi begitu saja? Tidak mau pamitan dulu?” sela Zero kesal.“Aku pulang dulu, Zero.”“No, aku tak butuh kata-kata, Sayang.”Tanpa basa-basi lagi, Zero menarik pinggang Pamela dalam dekapannya. Lalu mulai melumat bibir lembut Pamela dengan segenap perasaan.Pamela lagi-lagi hanya bisa
Zero baru selesai acara rapat dan makan malam bersama para pemain sepakbola dan kru lainnya. Setelah itu dia kembali ke hotel bersama Sander. “Gue curiga kamar ini udah dijadikan tempat mesum Lo sama Pamela,” cibir Sander. “Enggak ya, gue aja pesan kamar lain,” balas Zero dengan santainya. “Anjir! Jadi kalian benar-benar sudah melakukan itu?” pekik Sander syok bukan main. “Nggak usah ikut campur ke ranah pribadi gue, Sander!” ancam Zero. Sander bergidik ngeri, meski sudah mengenal Zero sejak kecil tapi banyak hal yang misterius dari sosok Zero. Jarang ngomong, tapi sekali membuka mulut bisa nyelekit. Zero memilih mengambil ponsel yang dia charger, sejak tadi memang sengaja dia tinggal karena ketika fokus dengan urusan sepak bola dia tidak mau diganggu. Begitu membuka ponsel, ada banyak notif panggilan tak terjawab dan juga banyaknya pesan. Dari keluarganya yang memberi semangat, ada juga makian dari Tirta. Tapi bukannya takut atau merasa bersalah, Zero malah menyeringai.
Seminggu setelah kepulangan Pamela dari rumah sakit, dia sudah berangsur membaik—tapi hanya secara fisik semata. Hani setiap hari juga memberi kabar, mengenai percobaan pendekatan kembali pada Tirta. Mantan kekasihnya itu memang menerima kedatangan Hani, tapi hanya sebatas teman bukan sebagai kekasih. “Tirta, pasti sakit ya? Aku bisa merasakannya di sini, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jika aku menemuimu, yang ada aku hanya akan membuat kamu semakin susah move one. Maafkan aku, Tirta,” gumam Pamela sambil menatap foto kebersamaan dengan Tirta. Nyeri sekali melihat semua ini, bagaimana lelaki baik itu selalu menemaninya dan menyemangatinya untuk bangkit. Bahkan tanpa Tirta Pamela juga tidak akan sesukses ini. “Aku memang perempuan tidak tahu diri, aku bisa apa, Tirta? Aku sungguh tidak bisa berbuat apa-apa.” Setiap kali mengingat Tirta, maka akan timbul rasa benci pada Zero. Apalagi saat mengingat lelaki brengsek itu menyentuhnya di setiap inci tubuhnya, Zero—lelaki yang
Saat Pamela terbangun, Zero sudah tidak ada di sisinya. Pantas saja dirinya merasa dingin sekalipun tubuhnya sudah diselimuti. Tapi mau tak mau dia mengakui, pelukan Zero lebih hangat dari selimut yang tebal.“Dia datang dan pergi seenaknya sendiri, selalu saja begitu. Aku rasa sampai kapanpun sifatnya tidak akan pernah berubah,” keluh Pamela dalam hati.Saat dia ingin bangun, seluruh tubuhnya terasa pegal.“Ah, punggung aku sakit,” gumam Pamela tak bisa bangun dari ranjangnya.”Zero sudah keterlaluan, dia benar-benar menyebalkan!” timpalnya terus mengumpat.Jam masih menunjukkan pukul enam pagi, itulah kenapa Pamela memutuskan untuk tidur lagi. Dia benar-benar butuh—istirahat.Tetapi saat Pamela menutup matanya, justru dia terbayang bagaimana tampan dan seksinya Zero kala berada di atas tubuhnya. Bahkan suara erangan Zero yang memanggil namanya terus terngiang-ngiang.“Tidak! Aku benci Zero!” teriak Pamela frustasi.Niat hati ingin terus membenci lelaki tersebut, tak bisa dipungkiri p
Malam ini Zero seperti perangko, terus mendusel-dusel tubuhnya Pamela layaknya kucing kecil.“Zero, aku gerah. Bisakah kamu sedikit geser dariku?” pinta Pamela.“Bukankah ini yang kamu mau? Perhatian dan kasih sayang dariku,”balas Zero memasang wajah tanpa dosanya.Pamela menarik napas, bukan ini yang dia maksud. Perhatian yang Pamela ingin adalah Zero yang setiap saat memberi kabar, bukan sekedar menemui ketika ingin melampiaskan nafsunya saja.Bel berbunyi, Zero segera melepaskan diri dari Pamela lalu membukakan pintu. Tak lama setelah itu diapun kembali sambil menenteng makanan pesanannya.“Ayo makan, kamu butuh nutrisi yang banyak agar malam ini punya energi untuk mengimbangiku,” ajak Zero yang seketika membuat Pamela menengang.“Zero, sungguh hanya itu yang kamu harapkan dariku?” tanya Pamela sungguh kecewa.“Aku cuma bercanda,” balas Zero terkekeh geli. Sementara Pamela sama sekali tidak tertawa, baginya hal itu bukan sesuatu yang lucu.“Mau aku suapin?” tawar Zero lagi.“Aku bi
Pamela menangis dalam pelukan mamanya, sedih? Jangan ditanya lagi. Sekalipun dulunya dia sering bilang tidak sudi mengandung anaknya Zero faktanya ketika tahu dirinya hamil dan keguguran Pamela sangat menyesal.Hari ini sebenarnya Pamela memang sedang tidak enak badan, tetapi demi memenuhi undangan ke pernikahan Tirta dan Hani dia nekat mengendarai mobilnya. Sepulang dari acara, Pamela yang sudah terlalu lelah hilang fokus dan pada akhirnya dia banting stir menabrak trotoar dari pada menabrak pengendara lain. Dari segi fisik luar memang tidak ada luka yang serius, tetapi karena guncangan yang hebat membuatnya mengalami pendarahan dan anak yang dikandungnya tidak bisa diselamatkan.Usai Zero memarahinya, lelaki itu pergi begitu saja keluar dari kamar inapnya.“Jangan sedih lagi, Nak. Ada mama yang akan selalu menemanimu,” bujuk Hasna.“Ma, Zero membenciku. Dia menyalahkan aku. Setelah aku berpikir, memang aku bersalah telah membunuh anakku sendiri,” jawab Pamela.“Semua ini sudah takdi
Ketika Pamela bangun dari tidurnya, lagi-lagi Zero sudah tidak ada disisinya. Lelaki yang kini menjadi suaminya itu memang selalu datang dan pergi sesuka hati.Entah pernikahan macam apa yang sedang dia jalani, padahal ini adalah mimpi yang sudah dia bangun sejak lama. Bisa hidup bersama dengan Zero. Tetapi dia sungguh lelah, ingin dia sesekali dimengerti juga oleh suaminya.“Keinginan, memang tidak selalu seperti yang diharapkan. Menikah dengan orang yang aku cintai juga tidak menjamin sebuah kebahagiaan. Rasanya aku seperti mencintai dengan sepihak. Zero … apakah kamu sungguh mencintai aku juga?”Saat dirinya hendak mandi, tiba-tiba pintu kamar terbuka lalu muncul sosok Zero yang membawakan dirinya nampan berisi nasi goreng dan segelas susu.Sontak saja tubuh Pamela mematung, Zero masih sini.“Kenapa melihat aku seperti melihat hantu, hm?” tanya Zero tersenyum. Iya, lelaki itu tersenyum. Sesuatu yang teramat jarang Zero lakukan.“Aku kira kamu sudah kembali ke hotel,” jawab Pamela
Sejak pagi ini, Pamela memilih untuk membuat kreasi kue baru dari pada memikirkan suaminya. Dia sengaja tidak menonaktifkan ponselnya, untuk memberi pelajaran pada Zero.Siang harinya Aurora datang berkunjung bersama Zeta dan Emma. Membuat Pamela cukup terhibur.“Kebetulan kalian kemari, aku sedang membuat kue,” sapa Pamela ramah.“Wah, pantas saja dari tadi ada aroma wangi. Aku mau nyoba!” pekik Emma antusias. “Baiklah, ini khusus pelanggan setia aku yang paling istimewa,” balas Pamela lagi.“Aku juga mau dong,” sela Aurora.“Boleh, silakan dimakan sepuasnya. Aku akan membuatkan kalian teh manis dulu ya,” pamit Pamela.Hari ini ibunya sedang kontrol ke rumah sakit, bersama salah satu ART nya. Sementara ART yang satunya sedang belanja stok bahan makan untuk Minggu depan. Makanya Pamela yang membuatkan minuman sendiri untuk keluarga suaminya. Ketika Pamela ke dapur, Zeta mengikutinya.“Pamela, kamu pasti sedang sedih bukan? Tapi Mommy yakin, kalau Zero tidak akan pernah selingkuh da
Senja menghiasi langit, menarik ingatan ke masa lalu. Zero sedang duduk berduaan dengan Daddy nya—Syadeva. Lelaki yang tidak pernah menjadi panutannya tetapi juga tidak bisa untuk dibenci.Meskipun hidup kadang terasa melelahkan, seorang anak tempat untuk pulang tetapkan orang tuanya. Begitu juga sebaliknya, sebagai orang tua tempat untuk kembali adalah istri dan anak-anaknya. Keluarga adalah sebuah kesatuan, yang tidak akan pernah bisa untuk dipisahkan. Darah mengalir deras, menjadi ikatan yang kokoh menyalurkan kasih sayang tanpa diucapkan.“Dad, apakah kamu pernah menyesal memiliki anak aku? Maksudnya—karena aku lahir dari rahim wanita yang tidak kamu cintai?” tanya Zero penasaran.Itu adalah ungkapan hati terdalam dari seorang Zero, yang selama ini dia tutup rapat-rapat.Syadeva nampak terkejut, tetapi sesaat kemudian menarik napas dalam-dalam.“Saat kamu pertama kali datang padaku, usiamu baru tujuh tahun. Tanpa perlu tes DNA, aku sudah yakin jika kamu adalah putraku. Saat itu a
Saat pertandingan Indonesia melawan Korea, keluarga Syadeva pun pergi ke sana semua. Mereka memberikan semangat pada Zero yang memang sejak kecil bercita-cita sebagai pemain sepak bola.Zero berhasil memasukkan dua gol, yang membuat namanya semakin harum karena bisa mengantarkan Indonesia ke semi final.Dari tribun, Pamela menangis haru. Bagaimana tidak?Dulu dirinya melihat Zero memainkan bola di taman komplek, sedangkan kini bermain di lapangan internasional.Usai pertandingan selesai. Zero langsung menghampiri keluarganya yang duduk di tribun.“Yohh hebat!” puji Vicenzo.“Kak Zero keren!” teriak Aurora.“Kak Zero top pokoknya!” timpal Emma.Pamela hanya tersenyum, senyuman bangga.Syadeva dan Zeta pun sampai berkaca-kaca, betapa banyak hal yang telah mereka semua lalui dan kini tinggal memetik manisnya.“Selamat, Nak. Kamu memang selalu membanggakan,” ucap Zeta menangis haru.“Setelah ini kita pesta makan!” ujar Syadeva sembari menepuk putra sulungnya.*Esok harinya, setelah semua
Setiap selesai latihan, Zero langsung ke rumah sakit. Untung saja pelatihnya sangat baik, memberi dirinya toleransi ketika istrinya mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit.Pamela sedang tidak baik-baik saja, karena sudah dua hari ini mamanya belum sadar dari komanya. Sampai di kamar inap, Zero langsung menghampiri sang istri dan mengecup keningnya.“Sudah makan?” tanya Zero.“Sudah, tadi Aurora sadang kemari menyuapiku,” jawab Pamela. “ Kamu sendiri sudah makan?” “Belum, selesai latihan aku langsung mandi dan bergegas kemari.”“Ada banyak makanan, Daddy dan Mommy yang membelinya.”“Oke, aku makan dulu!” jawab Zero.Dia memang lapar, karena aktifitas pelatihan yang berat sangat menguras tenaganya.Sambil mengunyah makannya, Zero sesekali melirik ke istrinya. Wajahnya pucat, pancaran kesedihan terlihat nyata di kedua netranya. Sungguh, Zero tidak tahan melihat semua ini.“Zero.”“Iya?”“Kenapa kamu terus menatap aku?” tanya Pamela.“Kamu cantik,” balas Zero memberikan senyum
“Hancurkan saja karirnya, buat dia merasa malu untuk keluar rumah!”Meskipun masih tertidur, aku samar-samar Pamela bersama dengarkan suaminya sedang berbicara di telepon dengan seseorang. Ucapan yang berkesan mengancam dan mengerikan itu, sempat membuat Pamela segera terbangun.“Zero, kamu sedang telponan dengan siapa?” tanya Pamela.Zero nampak kaget, lalu mengecup keningnya dengan lembut.“Bukan siapa-siapa, kalau kamu ngantuk sebaiknya tidur aja lagi,” bujuk Zero kalem.“Ini jam berapa sih?”“Jam lima sore, tidurlah. Aku tahu kamu lelah.”“Emangnya kamu tidak lelah? Kenapa kamu juga tidak tidur?” sela Pamela.Zero mendekatkan wajahnya, lalu mengecup bibir sang istri dengan gemas. “Karena aku kuat,” bisik Zero menyeringai. Pamela langsung mendorong dada suaminya, lalu beranjak dari ranjang menuju ke kamar mandi.“Aku ikut!” pekik Zero.“No!” tolak Pamela langsung menutup pintu kamar mandi. Jangan sampai suaminya itu dibiarkan masuk, kisah 3 jam kemudian baru bisa keluar.Usai man
Zero baru saja selesai melaksanakan shooting untuk iklan langsung bergegas menuju ke lokasi yang lain.Sebagai pemain sepak bola yang populer, dia memang diburu sebagai model iklan. Zero yang introvert pun mencoba untuk bersosialisasi, demi masa depannya membangun bisnis karena dia tahu tidak akan selamanya menjadi pemain sepak bola. Sebab semua ada masanya.Saat sedang istirahat, dia iseng membuka ponselnya. Dia penasaran apakah ada pesan dari sang istri? Dia kecewa, tak ada satupun pesan dari Pamela. Yang ada justru notif dari akun sosmednya.“Ini iklan dua Minggu yang lalu, sialan kenapa mereka semua menghujat istriku?” geram Zero murka.Dia yakin saat ini pasti istrinya sedang sedih dan juga insecure. Zero pun segera menelpon adiknya.[Hallo]“Hallo, Lo lagi apa?”[Masih di sekolah, kenapa?]“Tolong kondisikan yang lagi rame itu, kasihan Pamela.”[Memangnya apa yang lagi rame? Gue lagi jarang buka sosmed, sibuk mau lomba basket]“Pamela dihujat gara-gara gue main iklan sama Zaski
Zero mengalah, tidak ingin terjadi hal-hal yang akan semakin membuat istrinya marah. Zero pun memutuskan untuk tidur duluan, meskipun dia sendiri tidak benar-benar bisa terlelap. Sampai beberapa saat kemudian dia mendengar suara langkah kaki mendekat, Zero segera memejamkan mata pura-pura tidur. Akan tetapi dia bisa merasakan, tubuh istrinya yang rebahan di sisinya. Bahkan dia juga bisa menghirup aroma parfum Pamela yang manis.“Zero, aku tahu kamu belum tidur!” gumam Pamela.Zero langsung membuka mata, kemudian memeluk istrinya dan mengecup pipinya.“Bagaimana mungkin aku bisa tidur, Aku selalu ingin didekatmu seperti ini,” jawab Zero dengan nada lembut.“Boleh aku minta sesuatu padamu?” tanya Pamela serius.“Boleh, silakan mau minta apa. Asal jangan tentang perpisahan di antara kita,” balas Zero.“Aku mohon, minta maaflah dengan Tirta. Bisakah kita hidup dengan rukun? Apalagi sekarang Tirta sudah memiliki istri, akupun juga sudah bersuami. Aku berjanji tidak akan pernah melakukan
Pamela dan Hani sudah berusaha untuk mencairkan suasana, mereka berdua terus membahas hal-hal random berharap suami mereka akan ikut tertawa. Tetapi nyatanya mereka masih mempertahankan wajah dingin mereka. Bahkan Pamela yang mengenal Tirta sebagai lelaki paling sabar, baru kali ini lihat mantan kekasihnya itu terlihat jutek.“Enak banget makan di sini, lain kali kita ke sini lagi yuk? Kita janjian biar bersama,” ajak Hani.“Iya, gue juga pengen ke sini lagi,” jawab Pamela.“Aku mau ke toilet,” pamit Tirta pada istrinya.“Iya, jangan lama-lama ya,” balas Hani.“Aku juga mau ke toilet,” sela Zero.Pamela tidak langsung mengingat, kenapa suaminya itu secara tiba-tiba mau ke toilet setelah Tirta? Tetapi tanpa Pamela memberi izin, suaminya itu pergi begitu saja. “Duh, gue khawatir mereka akan berantem,” cicit Hani.“Itulah yang saat ini sedang gue pikirkan,” jawab Pamela resah.“Lo tahu, sekalipun Tirta sangat baik sama gue tetapi saat tengah malam gue melihat dia selalu merenung di ba
Sejak pagi ini, Pamela memilih untuk membuat kreasi kue baru dari pada memikirkan suaminya. Dia sengaja tidak menonaktifkan ponselnya, untuk memberi pelajaran pada Zero.Siang harinya Aurora datang berkunjung bersama Zeta dan Emma. Membuat Pamela cukup terhibur.“Kebetulan kalian kemari, aku sedang membuat kue,” sapa Pamela ramah.“Wah, pantas saja dari tadi ada aroma wangi. Aku mau nyoba!” pekik Emma antusias. “Baiklah, ini khusus pelanggan setia aku yang paling istimewa,” balas Pamela lagi.“Aku juga mau dong,” sela Aurora.“Boleh, silakan dimakan sepuasnya. Aku akan membuatkan kalian teh manis dulu ya,” pamit Pamela.Hari ini ibunya sedang kontrol ke rumah sakit, bersama salah satu ART nya. Sementara ART yang satunya sedang belanja stok bahan makan untuk Minggu depan. Makanya Pamela yang membuatkan minuman sendiri untuk keluarga suaminya. Ketika Pamela ke dapur, Zeta mengikutinya.“Pamela, kamu pasti sedang sedih bukan? Tapi Mommy yakin, kalau Zero tidak akan pernah selingkuh da
Ketika Pamela bangun dari tidurnya, lagi-lagi Zero sudah tidak ada disisinya. Lelaki yang kini menjadi suaminya itu memang selalu datang dan pergi sesuka hati.Entah pernikahan macam apa yang sedang dia jalani, padahal ini adalah mimpi yang sudah dia bangun sejak lama. Bisa hidup bersama dengan Zero. Tetapi dia sungguh lelah, ingin dia sesekali dimengerti juga oleh suaminya.“Keinginan, memang tidak selalu seperti yang diharapkan. Menikah dengan orang yang aku cintai juga tidak menjamin sebuah kebahagiaan. Rasanya aku seperti mencintai dengan sepihak. Zero … apakah kamu sungguh mencintai aku juga?”Saat dirinya hendak mandi, tiba-tiba pintu kamar terbuka lalu muncul sosok Zero yang membawakan dirinya nampan berisi nasi goreng dan segelas susu.Sontak saja tubuh Pamela mematung, Zero masih sini.“Kenapa melihat aku seperti melihat hantu, hm?” tanya Zero tersenyum. Iya, lelaki itu tersenyum. Sesuatu yang teramat jarang Zero lakukan.“Aku kira kamu sudah kembali ke hotel,” jawab Pamela