“Zero, aku sudah kenyang,” cicit Pamela yang sejak tadi terus disuapi Zero.“Hm.”Pamela terbelalak saat melihat Zero menghabiskan sisa makan miliknya. Bahkan lelaki itu juga menggunakan bekas sendok miliknya.“Ze—ro, apakah kamu tidak jijik makan bekasku?” bisik Pamela mereka heran.“Kenapa harus jijik? Bagian tubuhmu mana yang belum pernah aku jilat?” balas Zero dengan wajah lempengnya.Pamela malu luar biasa, sontak pikirannya langsung terbang kemana-mana dan sialnya Zero mengatakan hal itu dengan santai.AC di restoran menyala, tetapi tubuh Pamela mulai gerah. Tidak bisa dibiarkan, diapun beralasan untuk ke toilet.“Ak-aku ke toilet dulu.”“Jangan lama-lama,” jawab Zero tersenyum tipis.“I—iya.”Mata Zero tidak bisa berpaling dari menatap punggung Pamela yang mulai menjauh, wanitanya itu sangat lucu sekali kala salah tingkah.Shit! Aku jadi pengen masukin dia lagi. Zero nyengir sendiri seperti orang nggak waras saat membayangkan hal yang tidak-tidak. Sampai beberapa pengunjung me
Pamela tidak membawa make up, itulah kenapa saat ini dia bingung karena tidak bisa menutupi bekas kissmark di lehernya. Tentu saja dia akan malu bila bertemu dengan Vicenzo.“Kenapa wajah kamu panik?” tanya Zero.“Bagaimana cara aku menutupi leherku?” cicit Pamela hampir menangis.“Cengeng, gitu aja mau nangis,” gumam Zero beranjak menuju kopernya, lalu mengambil salah satu Hoodie warna hitam.“Te—terima kasih,” ucap Pamela segera mengenakan Hoodie milik Zero yang seperti mau menenggelamkan dirinya. “Vicenzo sudah menunggu di luar, kamu sudah boleh pulang!”“Iya,” jawab Pamela.Tapi saat Pamela hendak beranjak pergi, Zero langsung menahan lengannya.“Apalagi?” tanya Pamela yang nampak sudah lelah.“Mau pergi begitu saja? Tidak mau pamitan dulu?” sela Zero kesal.“Aku pulang dulu, Zero.”“No, aku tak butuh kata-kata, Sayang.”Tanpa basa-basi lagi, Zero menarik pinggang Pamela dalam dekapannya. Lalu mulai melumat bibir lembut Pamela dengan segenap perasaan.Pamela lagi-lagi hanya bisa
Zero baru selesai acara rapat dan makan malam bersama para pemain sepakbola dan kru lainnya. Setelah itu dia kembali ke hotel bersama Sander.“Gue curiga kamar ini udah dijadikan tempat mesum Lo sama Pamela,” cibir Sander.“Enggak ya, gue aja pesan kamar lain,” balas Zero dengan santainya.“Anjir! Jadi kalian benar-benar sudah melakukan itu?” pekik Sander syok bukan main.“Nggak usah ikut campur ke ranah pribadi gue, Sander!” ancam Zero.Sander bergidik ngeri, meski sudah mengenal Zero sejak kecil tapi banyak hal yang misterius dari sosok Zero. Jarang ngomong, tapi sekali membuka mulut bisa nyelekit.Zero memilih mengambil ponsel yang dia charger, sejak tadi memang sengaja dia tinggal karena ketika fokus dengan urusan sepak bola dia tidak mau diganggu.Begitu membuka ponsel, ada banyak notif panggilan tak terjawab dan juga banyaknya pesan. Dari keluarganya yang memberi semangat, ada juga makian dari Tirta. Tapi bukannya takut atau merasa bersalah, Zero malah menyeringai.Good girl, ja
Seminggu setelah kepulangan Pamela dari rumah sakit, dia sudah berangsur membaik—tapi hanya secara fisik semata. Hani setiap hari juga memberi kabar, mengenai percobaan pendekatan kembali pada Tirta. Mantan kekasihnya itu memang menerima kedatangan Hani, tapi hanya sebatas teman bukan sebagai kekasih. “Tirta, pasti sakit ya? Aku bisa merasakannya di sini, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jika aku menemuimu, yang ada aku hanya akan membuat kamu semakin susah move one. Maafkan aku, Tirta,” gumam Pamela sambil menatap foto kebersamaan dengan Tirta. Nyeri sekali melihat semua ini, bagaimana lelaki baik itu selalu menemaninya dan menyemangatinya untuk bangkit. Bahkan tanpa Tirta Pamela juga tidak akan sesukses ini. “Aku memang perempuan tidak tahu diri, aku bisa apa, Tirta? Aku sungguh tidak bisa berbuat apa-apa.” Setiap kali mengingat Tirta, maka akan timbul rasa benci pada Zero. Apalagi saat mengingat lelaki brengsek itu menyentuhnya di setiap inci tubuhnya, Zero—lelaki yang
"Bagus Lo pakai pakaian kurang bahan gitu? Mau caper sama siapa, hah?" gertak Zero menatap tajam."Ehm, ini Aurora yang dandanin gue," cicit Pamela menundukkan kepalanya."Lain kali kalau adek gue ngajarin aneh-aneh Lo harus nolak! Gue nggak suka lihat Lo jadi pusat perhatian cowok-cowok!""I—iya, Zero."Zero melepaskan Hoodie warna abu-abunya, lalu melempar ke wajah Pamela.***"Gue udah pernah bilang, Pamela. Jangan dekat-dekat sama cowok lain!" tegas Zero."Dia anaknya langganan toko kue mama, gue cuma ngasih kembalian soalnya kemarin mamanya keburu-buru pergi," jawab Pamela mencoba menjelaskan."Nggak usah banyak alasan! Lo bisa kan tinggal transfer aja nggak usah pakai ketemuan begitu!" sergah Zero."Lo kenapa sih? Kita ini cuma temen, gue mau sama siapapun juga bukan urusan Lo," balas Pamela uang muka merasa jengah."Oh ... Sudah berani melawan rupanya," gumam Zero menyeringai, tanpa basa-basi langsung menarik tengkuk Pamela dan membungkam mulut gadis itu secara paksa."Hemph
Di sebuah kamar rawat inap rumah sakit, ada seorang gadis yang tengah menjaga mamanya. Dia tidak bisa tidur, takut jika sewaktu-waktu mamanya bangun dan kehausan.Sambil bermain ponsel, sesekali bibirnya tersenyum kala membalas pesan dari kekasihnya—Tirta.Gadis itu adalah Pamela, sejak kecil terbiasa kerja keras membantu mamanya yang memiliki usaha toko kue kecil. Dan sekarang dia sudah memiliki banyak toko cabang. Kue miliknya sangat terkenal, semua berkat temannya semasa SMA yang menjadi selebgram dan gencar mempromosikan tokonya.Pamela tidak pernah melupakan sahabat baiknya yang sangat cantik itu, hingga kini mereka berdua masih berteman sekalipun temannya telah menikah.Sampai tiba-tiba senyum di bibirnya memudar kala Tirta mengirimkan sebuah foto yang sedang bertemu dengan teman-temannya. Bahkan tangannya gemetar hingga ponselnya terjatuh, untung saja tidak rusak.Dia … Telah kembali. Ternyata Kak Zero adalah teman SMA Tirta?Tanpa terasa, tiba-tiba air matanya tumpah. Dadanya
Pagi ini Zero berniat untuk memuaskan diri tidur sebelum latihan sepak bolanya dimulai. Dia ingin menghemat tenaganya sebab dia tahu pelatih timnas memiliki metode pelatihan yang keras.Sampai tiba-tiba dari luar kamar dia mendengar tangisan anak kecil sembari pintunya digedor-gedor.“Kak Zero! Buka pintunya!”Mau tak mau Zero memaksakan diri membuka matanya, dia berjalan malas-malasan dan membukakan pintu lalu menundukkan kepalanya untuk menatap siapa yang sudah mengusiknya pagi-pagi ini.“Evelyn Emma … ada apa?” tanya Zero pada gadis cilik berusia 4,5 tahun itu.“Kak Vicenzo menghabiskan donat aku yang rasa strawberry!” adu Evelyn sambil nangis.“Jangan nangis, tinggal suruh Kak Vicenzo membelikan yang baru,” bujuk Zero.“Nggak mau, pengennya sama Kak Zero saja,” rengek Evelyn.Dulu ada Aurora—adik pertamanya yang begitu manja dan suka merecokinya. Setelah Aurora menikah dan ikut suaminya muncul satu lagi versi kemasan sachet yang tak kalah manjanya.Tak lama kemudian Vicenzo munc
Menjadi seorang atlet, Zero selalu menjaga kesehatan tubuhnya. Dia tidak pernah minum alkohol maupun merokok. Tapi senja ini, di balkon kamarnya dia mulai menghisap nikotin tersebut secara perlahan.Zero sendiri tidak tahu apa yang dia mau, tapi melihat Pamela berada di dalam dekapan lelaki lain membuatnya terbakar api—cemburu.Dia … masih saja merasa takut saat melihat gue. Apakah dulu gue sebegitu mengerikan sampai dia bertingkah gue ini layaknya monster?Tiba-tiba sebuah tangan merebut rokok dan membuangnya begitu saja, Zero hanya melirik tajam ke arah adiknya yang lancang itu.“Sudah gue duga, masa ini akan terjadi juga,” ucap Vicenzo mulai serius.“Maksud Lo?”“Pamela … Lo sampai merokok karena dia kan? Mommy sangat cemas padamu, dia nyuruh gue antar Lo ke psikolog,” timpal Vicenzo.“Kalian jangan berlebihan, gue baik-baik saja,” jawab Zero dingin.“Gue tahu Lo bakal nolak, karena gue rasa yang bisa menjadi obat ya sumbernya sendiri,” balas Vicenzo terkekeh.“Nggak usah sok tahu,