Kali ini Zero mengantar Pamela sungguhan, sepanjang jalan Pamela hanya bungkam. Mungkin karena waspada jika salah bicara dan berakhir mendapat hukuman lagi.Tak peduli Pamela kini semakin takut padanya, yang terpenting gadis itu dalam kendalinya.“Megang pergelangan tangan terus memangnya kenapa?” tanya Zero datar.“Tangan gue pegal,” cicit Pamela menundukkan kepalanya.“Gue?” pekik Zero memasang wajah sangarnya. “ Aku-kamu, Pamela. Jangan lupa sekarang kita udah resmi jadi sepasang kekasih!” “I—iya.”Zero tersenyum puas, inilah yang lelaki itu mau. Gadisnya—selalu nurut padanya.Zero sengaja melajukan kecepatan mobilnya, mencari sebuah restoran karena mereka belum makan siang.Saat ingin keluar dari mobil, Zero dengan sigap membantu Pamela membuka sabuk pengamannya. Lalu meraih pergelangan kanan gadisnya dan mengurutnya lembut.Untuk sejenak, Pamela merasa bahagia. Zero memang bukan tipe bermulut manis, tapi kalau sekali perhatian tidak nanggung-nangung. “Salah sendiri tadi memilih
Pamela tak pernah mengira akan berada di situasi seperti ini, dimana dirinya memiliki dua kekasih dalam waktu bersamaan. Bahkan, kini mereka berada di dalam satu ruangan.Mana sedari tadi aura yang terpancar dari Zero begitu mengerikan. Seolah-olah akan melahabnya sampai habis.Mama … tolong … Pamela takut sekali. Tubuh Pamela panas, serasa terbakar oleh tatapan cemburu dari Zero.“Kalian kapan mulai latihan sepak bola?” tanya Tirta.“Lusa,” jawab Sander.“Apakah masih sempat kita nongkrong bareng?” tanya Tirta lagi.“Nggak tahu kalau itu, tapi kayaknya nggak bisa,” jawab Sander.“Yang semangat ya, semoga TIMNAS kita bisa menang,” balas Tirta.Saat Sander dan Tirta saling mengobrol, Zero hanya diam saja. Tetapi mereka sama sekali tidak heran, sebab memang Zero sedari dulu seperti itu. Cuma diam mendengarkan.“Pamela, mama kamu katanya sudah sembuh ya? Jadi kapan kalian mau tunangan? Apa langsung mau menikah saja?” tanya Sander yang membuat Pamela semakin gemetar.Aku harus jawab apa?
Pamela sudah lemas tak berdaya setelah berjam-jam digempur oleh Zero. Tubuhnya serasa remuk dan tercabik-cabik. Dia hanya bisa berbaring pasrah, saking lelahnya sampai terlalu lemah untuk mengeluarkan suaranya.Maafin aku, Papa … Mama. Aku tidak bisa menjaga kehormatan aku.Air mata Pamela menetes membasahi pipinya, jiwanya terkoyak oleh perbuatan lelaki yang dulu pernah ditolongnya saat masa kecil.Zero … Kenapa kamu setega ini terhadap aku? Dan bodohnya aku, tetap saja masih mencintaimu. Andai saja waktu bisa aku putar, aku tidak pernah ingin mengenalmu.Sementara Zero semenjak tadi hanya tersenyum sendiri, wajahnya begitu cerah menunjukkan jika lelaki itu tengah bahagia dan sangat puas.Tanpa memikirkan perasaan Pamela, Zero menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Pamela. Lalu mengecup keningnya penuh kasih sayang. Tak cukup dengan itu, Zero juga mengelus-elus perut Pamela yang hanya tertutup selimut. Berharap jika di sana akan tumbuh sebuah kehidupan yang membuat P
“Zero, aku sudah kenyang,” cicit Pamela yang sejak tadi terus disuapi Zero.“Hm.”Pamela terbelalak saat melihat Zero menghabiskan sisa makan miliknya. Bahkan lelaki itu juga menggunakan bekas sendok miliknya.“Ze—ro, apakah kamu tidak jijik makan bekasku?” bisik Pamela mereka heran.“Kenapa harus jijik? Bagian tubuhmu mana yang belum pernah aku jilat?” balas Zero dengan wajah lempengnya.Pamela malu luar biasa, sontak pikirannya langsung terbang kemana-mana dan sialnya Zero mengatakan hal itu dengan santai.AC di restoran menyala, tetapi tubuh Pamela mulai gerah. Tidak bisa dibiarkan, diapun beralasan untuk ke toilet.“Ak-aku ke toilet dulu.”“Jangan lama-lama,” jawab Zero tersenyum tipis.“I—iya.”Mata Zero tidak bisa berpaling dari menatap punggung Pamela yang mulai menjauh, wanitanya itu sangat lucu sekali kala salah tingkah.Shit! Aku jadi pengen masukin dia lagi. Zero nyengir sendiri seperti orang nggak waras saat membayangkan hal yang tidak-tidak. Sampai beberapa pengunjung me
Pamela tidak membawa make up, itulah kenapa saat ini dia bingung karena tidak bisa menutupi bekas kissmark di lehernya. Tentu saja dia akan malu bila bertemu dengan Vicenzo.“Kenapa wajah kamu panik?” tanya Zero.“Bagaimana cara aku menutupi leherku?” cicit Pamela hampir menangis.“Cengeng, gitu aja mau nangis,” gumam Zero beranjak menuju kopernya, lalu mengambil salah satu Hoodie warna hitam.“Te—terima kasih,” ucap Pamela segera mengenakan Hoodie milik Zero yang seperti mau menenggelamkan dirinya. “Vicenzo sudah menunggu di luar, kamu sudah boleh pulang!”“Iya,” jawab Pamela.Tapi saat Pamela hendak beranjak pergi, Zero langsung menahan lengannya.“Apalagi?” tanya Pamela yang nampak sudah lelah.“Mau pergi begitu saja? Tidak mau pamitan dulu?” sela Zero kesal.“Aku pulang dulu, Zero.”“No, aku tak butuh kata-kata, Sayang.”Tanpa basa-basi lagi, Zero menarik pinggang Pamela dalam dekapannya. Lalu mulai melumat bibir lembut Pamela dengan segenap perasaan.Pamela lagi-lagi hanya bisa
Zero baru selesai acara rapat dan makan malam bersama para pemain sepakbola dan kru lainnya. Setelah itu dia kembali ke hotel bersama Sander.“Gue curiga kamar ini udah dijadikan tempat mesum Lo sama Pamela,” cibir Sander.“Enggak ya, gue aja pesan kamar lain,” balas Zero dengan santainya.“Anjir! Jadi kalian benar-benar sudah melakukan itu?” pekik Sander syok bukan main.“Nggak usah ikut campur ke ranah pribadi gue, Sander!” ancam Zero.Sander bergidik ngeri, meski sudah mengenal Zero sejak kecil tapi banyak hal yang misterius dari sosok Zero. Jarang ngomong, tapi sekali membuka mulut bisa nyelekit.Zero memilih mengambil ponsel yang dia charger, sejak tadi memang sengaja dia tinggal karena ketika fokus dengan urusan sepak bola dia tidak mau diganggu.Begitu membuka ponsel, ada banyak notif panggilan tak terjawab dan juga banyaknya pesan. Dari keluarganya yang memberi semangat, ada juga makian dari Tirta. Tapi bukannya takut atau merasa bersalah, Zero malah menyeringai.Good girl, ja
Seminggu setelah kepulangan Pamela dari rumah sakit, dia sudah berangsur membaik—tapi hanya secara fisik semata. Hani setiap hari juga memberi kabar, mengenai percobaan pendekatan kembali pada Tirta. Mantan kekasihnya itu memang menerima kedatangan Hani, tapi hanya sebatas teman bukan sebagai kekasih. “Tirta, pasti sakit ya? Aku bisa merasakannya di sini, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Jika aku menemuimu, yang ada aku hanya akan membuat kamu semakin susah move one. Maafkan aku, Tirta,” gumam Pamela sambil menatap foto kebersamaan dengan Tirta. Nyeri sekali melihat semua ini, bagaimana lelaki baik itu selalu menemaninya dan menyemangatinya untuk bangkit. Bahkan tanpa Tirta Pamela juga tidak akan sesukses ini. “Aku memang perempuan tidak tahu diri, aku bisa apa, Tirta? Aku sungguh tidak bisa berbuat apa-apa.” Setiap kali mengingat Tirta, maka akan timbul rasa benci pada Zero. Apalagi saat mengingat lelaki brengsek itu menyentuhnya di setiap inci tubuhnya, Zero—lelaki yang
"Bagus Lo pakai pakaian kurang bahan gitu? Mau caper sama siapa, hah?" gertak Zero menatap tajam."Ehm, ini Aurora yang dandanin gue," cicit Pamela menundukkan kepalanya."Lain kali kalau adek gue ngajarin aneh-aneh Lo harus nolak! Gue nggak suka lihat Lo jadi pusat perhatian cowok-cowok!""I—iya, Zero."Zero melepaskan Hoodie warna abu-abunya, lalu melempar ke wajah Pamela.***"Gue udah pernah bilang, Pamela. Jangan dekat-dekat sama cowok lain!" tegas Zero."Dia anaknya langganan toko kue mama, gue cuma ngasih kembalian soalnya kemarin mamanya keburu-buru pergi," jawab Pamela mencoba menjelaskan."Nggak usah banyak alasan! Lo bisa kan tinggal transfer aja nggak usah pakai ketemuan begitu!" sergah Zero."Lo kenapa sih? Kita ini cuma temen, gue mau sama siapapun juga bukan urusan Lo," balas Pamela uang muka merasa jengah."Oh ... Sudah berani melawan rupanya," gumam Zero menyeringai, tanpa basa-basi langsung menarik tengkuk Pamela dan membungkam mulut gadis itu secara paksa."Hemph