“Tirta, Lo apa kabar?” sapa Hani.“Baik,” jawab Tirta singkat.“Semenjak bersama Pamela, sepertinya Lo jauh lebih bahagia,” balas Hani tersenyum simpul.“Seperti yang Lo lihat sendiri, dia adalah perempuan setia jadi lelaki mana yang tidak akan bahagia,” sindir Tirta.Hani hanya tersenyum tipis, mereka berdua pun memulai berdansa.“Pamela tidak marah kalau Lo dansa sama gue?” tanya Hani penasaran.“Tidak, dia tahu gue sangat mencintai dia dan gue adalah lelaki setia,” tegas Tirta.Hani nampak menarik napas, lalu menatap Tirta dengan sendu.“Tirta, jujur saja gue selalu mencintai Lo. Tapi gue juga sudah mengikhlaskan Lo bersama Pamela. Hanya saja gue perlu klarifikasi, jika gue tidak pernah selingkuh. Lelaki yang Lo maksud sebagai selingkuhan gue itu adalah sepupu gue sendiri. Gue bilang begini agar kedepannya gue tidak dicap sebagai perempuan tukang selingkuh. Setidaknya saat kita tanpa sengaja berpapasan Lo tidak akan menatap gue dengan pandangan jijik,” ucap Hani panjang lebar.Tir
Sepanjang perjalanan Pamela merasa was-was, bagaimana jika Tirta tahu?Tak lama kemudian ponselnya berbunyi, diapun segera mengangkatnya.[Hallo, Pamela. Kamu dimana?]“Aku sudah pulang naik taksi,” dusta Pamela.[Kenapa tadi tidak memanggilku]“Kamu sepertinya sedang mengobrol serius dengan Hani.”[Aku susul ke rumah kamu ya sekarang?]“jangan, Tirta. Aku capek ingin istirahat. Sebagiannya kamu juga istirahat ya. Besok kita baru ketemu.”[Iya, Sayang]Pamela menatap layar ponselnya, dia—sudah mulai berani berbohong dengan kekasihnya.Saat menatap jalanan, dia kaget karena arahnya bukan ke rumahnya.“Zero, Lo mau bawa gue kemana?” pekik Pamela.“Nggak usah banyak protes!” jawab Zero dingin.Inilah yang paling membuat Pamela gak bisa menerima Zero, selain sikapnya berubah-ubah juga apa-apa tidak bertanya dulu padanya. Beda jauh dengan Tirta yang meski sedang marah tetap bersikap lembut. Tirta melakukan sesuatu juga bertanya terlebih dahulu, sekiranya Pamela keberatan Tirta tidak akan m
Pamela adalah gadis lugu dan polos, dia selalu menjaga diri bahkan saat bersama Tirta belum pernah berciuman bibir. Bersama kekasihnya, paling hanya pelukan, cium pipi dan kening. Karena Tirta adalah pemuda sopan yang jika apa-apa meminta izin terlebih dahulu. Dan sejauh ini, Pamela masih belum siap berciuman bibir dengan Tirta.Satu-satunya lelaki yang mengerjai bibirnya secara brutal adalah Zero, itupun dengan cara pemaksaan.Kini, Pamela tengah dilanda dilema yang begitu besar. Dia merasa sudah berkhianat pada Tirta. Merasa tidak pantas lagi dan tidak bisa menjaga diri untuk kekasihnya.Apalagi saat melihat bagaimana interaksi Hani dan Tirta, Pamela sadar akan sesuatu. Mereka—masih belum usai. Sama halnya dengan dia dan Zero.“Masih pengen basah-basahan sambil ciuman?” sela Zero yang membuyarkan lamunan Pamela.“Ti—tidak!”“Emh, Lo bawa baju ganti apa tidak?” tanya Zero datar.Sontak kedua mata Pamela langsung melotot,” Zero, gue mana bawa baju ganti! Lo yang nyulik gue!” sergah Pa
Seperti ada kupu-kupu berterbangan di perutnya, Pamela merasakan hatinya meletup-letup kala Zero menyatakan cinta. Kata yang sudah Pamela tunggu saat lima tahun lalu, sayangnya dulu hanya penghinaan yang Zero berikan.Pamela, memilih untuk diam. Dia tidak mungkin menerima Zero lagi. Dia tidak mau terjebak jeratan lelaki yang tempramen dan posesif parah. Jika dirinya saat ini membuat Zero marah dengan menolaknya, habislah dia.Posisi saat ini, terlalu berbahaya. Zero yang tanpa mengenakan atasan mengukungnya dan terus mencumbu lehernya. Sekuat jiwa, Pamela berusaha untuk bertahan dan tidak terbuai. Biarlah Zero melakukan apapun yang ingin dilakukan asalkan tidak sampai menghilangkan keperawannya.“Pamela … Kenapa diam saja? Lo masih punya perasaan sama gue kan? Ngaku aja,” bisik Zero.Pamela memalingkan wajahnya, sekalipun itu benar dia tidak akan pernah mengakuinya.“Jangan bohong, lihatlah bagaimana tubuh kita? Sangat cocok seolah diciptakan satu sama lain,” balas Zero.“Zero! Jangan
Sepanjang perjalanan pulang, Zero kembali ke setelan pabrik. Diam dan cuek.Sementara Pamela masih belum bisa melupakan kejadian yang semalam. Rasanya gadis itu ingin membenturkan kepalanya di kaca jendela mobil saking malu dan menyesal. Demi apa? Zero sudah sangat keterlaluan.“Zero, Lo nggak mau minta maaf gitu sama gue? Lo udah keterlaluan banget sama gue,” gerutu Pamela.“Memangnya apa yang sudah gue lakuin?” tanya Zero dengan santainya.Kedua mata Pamela terbelalak, bisa-bisanya Zero bersikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara dirinya terus gelisah.“Lo udah lecehin gue, dan gue bisa bawa ke jalur hukum!” ancam Pamela.Tanpa sadar, Pamela sudah melakukan kesalahan. Zero—bukanlah orang yang bisa diancam. Itulah kenapa, Zero ingin memberikan Pamela kepahaman.Zero langsung menepikan mobilnya di pinggir jalan, mana daerah itu sepi karena masih berada di area lereng perbukitan. “Lo—mau apa?” Pekik Pamela waspada, menggeser tubuhnya di ujung pintu mobil.Zero melirik ke s
Kali ini Zero mengantar Pamela sungguhan, sepanjang jalan Pamela hanya bungkam. Mungkin karena waspada jika salah bicara dan berakhir mendapat hukuman lagi.Tak peduli Pamela kini semakin takut padanya, yang terpenting gadis itu dalam kendalinya.“Megang pergelangan tangan terus memangnya kenapa?” tanya Zero datar.“Tangan gue pegal,” cicit Pamela menundukkan kepalanya.“Gue?” pekik Zero memasang wajah sangarnya. “ Aku-kamu, Pamela. Jangan lupa sekarang kita udah resmi jadi sepasang kekasih!” “I—iya.”Zero tersenyum puas, inilah yang lelaki itu mau. Gadisnya—selalu nurut padanya.Zero sengaja melajukan kecepatan mobilnya, mencari sebuah restoran karena mereka belum makan siang.Saat ingin keluar dari mobil, Zero dengan sigap membantu Pamela membuka sabuk pengamannya. Lalu meraih pergelangan kanan gadisnya dan mengurutnya lembut.Untuk sejenak, Pamela merasa bahagia. Zero memang bukan tipe bermulut manis, tapi kalau sekali perhatian tidak nanggung-nangung. “Salah sendiri tadi memilih
Pamela tak pernah mengira akan berada di situasi seperti ini, dimana dirinya memiliki dua kekasih dalam waktu bersamaan. Bahkan, kini mereka berada di dalam satu ruangan.Mana sedari tadi aura yang terpancar dari Zero begitu mengerikan. Seolah-olah akan melahabnya sampai habis.Mama … tolong … Pamela takut sekali. Tubuh Pamela panas, serasa terbakar oleh tatapan cemburu dari Zero.“Kalian kapan mulai latihan sepak bola?” tanya Tirta.“Lusa,” jawab Sander.“Apakah masih sempat kita nongkrong bareng?” tanya Tirta lagi.“Nggak tahu kalau itu, tapi kayaknya nggak bisa,” jawab Sander.“Yang semangat ya, semoga TIMNAS kita bisa menang,” balas Tirta.Saat Sander dan Tirta saling mengobrol, Zero hanya diam saja. Tetapi mereka sama sekali tidak heran, sebab memang Zero sedari dulu seperti itu. Cuma diam mendengarkan.“Pamela, mama kamu katanya sudah sembuh ya? Jadi kapan kalian mau tunangan? Apa langsung mau menikah saja?” tanya Sander yang membuat Pamela semakin gemetar.Aku harus jawab apa?
Pamela sudah lemas tak berdaya setelah berjam-jam digempur oleh Zero. Tubuhnya serasa remuk dan tercabik-cabik. Dia hanya bisa berbaring pasrah, saking lelahnya sampai terlalu lemah untuk mengeluarkan suaranya.Maafin aku, Papa … Mama. Aku tidak bisa menjaga kehormatan aku.Air mata Pamela menetes membasahi pipinya, jiwanya terkoyak oleh perbuatan lelaki yang dulu pernah ditolongnya saat masa kecil.Zero … Kenapa kamu setega ini terhadap aku? Dan bodohnya aku, tetap saja masih mencintaimu. Andai saja waktu bisa aku putar, aku tidak pernah ingin mengenalmu.Sementara Zero semenjak tadi hanya tersenyum sendiri, wajahnya begitu cerah menunjukkan jika lelaki itu tengah bahagia dan sangat puas.Tanpa memikirkan perasaan Pamela, Zero menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Pamela. Lalu mengecup keningnya penuh kasih sayang. Tak cukup dengan itu, Zero juga mengelus-elus perut Pamela yang hanya tertutup selimut. Berharap jika di sana akan tumbuh sebuah kehidupan yang membuat P
Senja menghiasi langit, menarik ingatan ke masa lalu. Zero sedang duduk berduaan dengan Daddy nya—Syadeva. Lelaki yang tidak pernah menjadi panutannya tetapi juga tidak bisa untuk dibenci.Meskipun hidup kadang terasa melelahkan, seorang anak tempat untuk pulang tetapkan orang tuanya. Begitu juga sebaliknya, sebagai orang tua tempat untuk kembali adalah istri dan anak-anaknya. Keluarga adalah sebuah kesatuan, yang tidak akan pernah bisa untuk dipisahkan. Darah mengalir deras, menjadi ikatan yang kokoh menyalurkan kasih sayang tanpa diucapkan.“Dad, apakah kamu pernah menyesal memiliki anak aku? Maksudnya—karena aku lahir dari rahim wanita yang tidak kamu cintai?” tanya Zero penasaran.Itu adalah ungkapan hati terdalam dari seorang Zero, yang selama ini dia tutup rapat-rapat.Syadeva nampak terkejut, tetapi sesaat kemudian menarik napas dalam-dalam.“Saat kamu pertama kali datang padaku, usiamu baru tujuh tahun. Tanpa perlu tes DNA, aku sudah yakin jika kamu adalah putraku. Saat itu a
Saat pertandingan Indonesia melawan Korea, keluarga Syadeva pun pergi ke sana semua. Mereka memberikan semangat pada Zero yang memang sejak kecil bercita-cita sebagai pemain sepak bola.Zero berhasil memasukkan dua gol, yang membuat namanya semakin harum karena bisa mengantarkan Indonesia ke semi final.Dari tribun, Pamela menangis haru. Bagaimana tidak?Dulu dirinya melihat Zero memainkan bola di taman komplek, sedangkan kini bermain di lapangan internasional.Usai pertandingan selesai. Zero langsung menghampiri keluarganya yang duduk di tribun.“Yohh hebat!” puji Vicenzo.“Kak Zero keren!” teriak Aurora.“Kak Zero top pokoknya!” timpal Emma.Pamela hanya tersenyum, senyuman bangga.Syadeva dan Zeta pun sampai berkaca-kaca, betapa banyak hal yang telah mereka semua lalui dan kini tinggal memetik manisnya.“Selamat, Nak. Kamu memang selalu membanggakan,” ucap Zeta menangis haru.“Setelah ini kita pesta makan!” ujar Syadeva sembari menepuk putra sulungnya.*Esok harinya, setelah semua
Setiap selesai latihan, Zero langsung ke rumah sakit. Untung saja pelatihnya sangat baik, memberi dirinya toleransi ketika istrinya mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit.Pamela sedang tidak baik-baik saja, karena sudah dua hari ini mamanya belum sadar dari komanya. Sampai di kamar inap, Zero langsung menghampiri sang istri dan mengecup keningnya.“Sudah makan?” tanya Zero.“Sudah, tadi Aurora sadang kemari menyuapiku,” jawab Pamela. “ Kamu sendiri sudah makan?” “Belum, selesai latihan aku langsung mandi dan bergegas kemari.”“Ada banyak makanan, Daddy dan Mommy yang membelinya.”“Oke, aku makan dulu!” jawab Zero.Dia memang lapar, karena aktifitas pelatihan yang berat sangat menguras tenaganya.Sambil mengunyah makannya, Zero sesekali melirik ke istrinya. Wajahnya pucat, pancaran kesedihan terlihat nyata di kedua netranya. Sungguh, Zero tidak tahan melihat semua ini.“Zero.”“Iya?”“Kenapa kamu terus menatap aku?” tanya Pamela.“Kamu cantik,” balas Zero memberikan senyum
“Hancurkan saja karirnya, buat dia merasa malu untuk keluar rumah!”Meskipun masih tertidur, aku samar-samar Pamela bersama dengarkan suaminya sedang berbicara di telepon dengan seseorang. Ucapan yang berkesan mengancam dan mengerikan itu, sempat membuat Pamela segera terbangun.“Zero, kamu sedang telponan dengan siapa?” tanya Pamela.Zero nampak kaget, lalu mengecup keningnya dengan lembut.“Bukan siapa-siapa, kalau kamu ngantuk sebaiknya tidur aja lagi,” bujuk Zero kalem.“Ini jam berapa sih?”“Jam lima sore, tidurlah. Aku tahu kamu lelah.”“Emangnya kamu tidak lelah? Kenapa kamu juga tidak tidur?” sela Pamela.Zero mendekatkan wajahnya, lalu mengecup bibir sang istri dengan gemas. “Karena aku kuat,” bisik Zero menyeringai. Pamela langsung mendorong dada suaminya, lalu beranjak dari ranjang menuju ke kamar mandi.“Aku ikut!” pekik Zero.“No!” tolak Pamela langsung menutup pintu kamar mandi. Jangan sampai suaminya itu dibiarkan masuk, kisah 3 jam kemudian baru bisa keluar.Usai man
Zero baru saja selesai melaksanakan shooting untuk iklan langsung bergegas menuju ke lokasi yang lain.Sebagai pemain sepak bola yang populer, dia memang diburu sebagai model iklan. Zero yang introvert pun mencoba untuk bersosialisasi, demi masa depannya membangun bisnis karena dia tahu tidak akan selamanya menjadi pemain sepak bola. Sebab semua ada masanya.Saat sedang istirahat, dia iseng membuka ponselnya. Dia penasaran apakah ada pesan dari sang istri? Dia kecewa, tak ada satupun pesan dari Pamela. Yang ada justru notif dari akun sosmednya.“Ini iklan dua Minggu yang lalu, sialan kenapa mereka semua menghujat istriku?” geram Zero murka.Dia yakin saat ini pasti istrinya sedang sedih dan juga insecure. Zero pun segera menelpon adiknya.[Hallo]“Hallo, Lo lagi apa?”[Masih di sekolah, kenapa?]“Tolong kondisikan yang lagi rame itu, kasihan Pamela.”[Memangnya apa yang lagi rame? Gue lagi jarang buka sosmed, sibuk mau lomba basket]“Pamela dihujat gara-gara gue main iklan sama Zaski
Zero mengalah, tidak ingin terjadi hal-hal yang akan semakin membuat istrinya marah. Zero pun memutuskan untuk tidur duluan, meskipun dia sendiri tidak benar-benar bisa terlelap. Sampai beberapa saat kemudian dia mendengar suara langkah kaki mendekat, Zero segera memejamkan mata pura-pura tidur. Akan tetapi dia bisa merasakan, tubuh istrinya yang rebahan di sisinya. Bahkan dia juga bisa menghirup aroma parfum Pamela yang manis.“Zero, aku tahu kamu belum tidur!” gumam Pamela.Zero langsung membuka mata, kemudian memeluk istrinya dan mengecup pipinya.“Bagaimana mungkin aku bisa tidur, Aku selalu ingin didekatmu seperti ini,” jawab Zero dengan nada lembut.“Boleh aku minta sesuatu padamu?” tanya Pamela serius.“Boleh, silakan mau minta apa. Asal jangan tentang perpisahan di antara kita,” balas Zero.“Aku mohon, minta maaflah dengan Tirta. Bisakah kita hidup dengan rukun? Apalagi sekarang Tirta sudah memiliki istri, akupun juga sudah bersuami. Aku berjanji tidak akan pernah melakukan
Pamela dan Hani sudah berusaha untuk mencairkan suasana, mereka berdua terus membahas hal-hal random berharap suami mereka akan ikut tertawa. Tetapi nyatanya mereka masih mempertahankan wajah dingin mereka. Bahkan Pamela yang mengenal Tirta sebagai lelaki paling sabar, baru kali ini lihat mantan kekasihnya itu terlihat jutek.“Enak banget makan di sini, lain kali kita ke sini lagi yuk? Kita janjian biar bersama,” ajak Hani.“Iya, gue juga pengen ke sini lagi,” jawab Pamela.“Aku mau ke toilet,” pamit Tirta pada istrinya.“Iya, jangan lama-lama ya,” balas Hani.“Aku juga mau ke toilet,” sela Zero.Pamela tidak langsung mengingat, kenapa suaminya itu secara tiba-tiba mau ke toilet setelah Tirta? Tetapi tanpa Pamela memberi izin, suaminya itu pergi begitu saja. “Duh, gue khawatir mereka akan berantem,” cicit Hani.“Itulah yang saat ini sedang gue pikirkan,” jawab Pamela resah.“Lo tahu, sekalipun Tirta sangat baik sama gue tetapi saat tengah malam gue melihat dia selalu merenung di ba
Sejak pagi ini, Pamela memilih untuk membuat kreasi kue baru dari pada memikirkan suaminya. Dia sengaja tidak menonaktifkan ponselnya, untuk memberi pelajaran pada Zero.Siang harinya Aurora datang berkunjung bersama Zeta dan Emma. Membuat Pamela cukup terhibur.“Kebetulan kalian kemari, aku sedang membuat kue,” sapa Pamela ramah.“Wah, pantas saja dari tadi ada aroma wangi. Aku mau nyoba!” pekik Emma antusias. “Baiklah, ini khusus pelanggan setia aku yang paling istimewa,” balas Pamela lagi.“Aku juga mau dong,” sela Aurora.“Boleh, silakan dimakan sepuasnya. Aku akan membuatkan kalian teh manis dulu ya,” pamit Pamela.Hari ini ibunya sedang kontrol ke rumah sakit, bersama salah satu ART nya. Sementara ART yang satunya sedang belanja stok bahan makan untuk Minggu depan. Makanya Pamela yang membuatkan minuman sendiri untuk keluarga suaminya. Ketika Pamela ke dapur, Zeta mengikutinya.“Pamela, kamu pasti sedang sedih bukan? Tapi Mommy yakin, kalau Zero tidak akan pernah selingkuh da
Ketika Pamela bangun dari tidurnya, lagi-lagi Zero sudah tidak ada disisinya. Lelaki yang kini menjadi suaminya itu memang selalu datang dan pergi sesuka hati.Entah pernikahan macam apa yang sedang dia jalani, padahal ini adalah mimpi yang sudah dia bangun sejak lama. Bisa hidup bersama dengan Zero. Tetapi dia sungguh lelah, ingin dia sesekali dimengerti juga oleh suaminya.“Keinginan, memang tidak selalu seperti yang diharapkan. Menikah dengan orang yang aku cintai juga tidak menjamin sebuah kebahagiaan. Rasanya aku seperti mencintai dengan sepihak. Zero … apakah kamu sungguh mencintai aku juga?”Saat dirinya hendak mandi, tiba-tiba pintu kamar terbuka lalu muncul sosok Zero yang membawakan dirinya nampan berisi nasi goreng dan segelas susu.Sontak saja tubuh Pamela mematung, Zero masih sini.“Kenapa melihat aku seperti melihat hantu, hm?” tanya Zero tersenyum. Iya, lelaki itu tersenyum. Sesuatu yang teramat jarang Zero lakukan.“Aku kira kamu sudah kembali ke hotel,” jawab Pamela