Share

Bab 7

Di rumah adiknya, Zero memilih duduk bersama suami adiknya di halaman belakang rumah. Sementara Evelyn dan Aurora bermain entah kemana.

“Zero, setelah pertandingan selesai Lo bakal balik ke Belanda?” tanya Eiffel.

Zero terdiam, pertanyaan yang sepele dari adik iparnya memang. Tetapi saat ini dia juga tidak bisa menjawabnya.

“Kok kelihatan bingung?” sela Eiffel lagi.

“Gue—masih belum bisa memutuskannya,” cicit Zero.

“Lo kaya orang yang banyak pikiran, kalau ada kesulitan bilang saja! Siapa tau gue bisa membantu,” balas Eiffel.

“Gue tidak apa-apa kok, cuma lelah aja.”

Tak lama kemudian muncul Aurora dan Evelyn yang sedang main kejar-kejaran, Zero tersenyum tipis kala melihat kedua adiknya yang cantik dan menggemaskan itu.

“Aurora, udah jadi seorang istri tapi tingkahnya kaya masih gadis kecil aja,” gumam Zero.

“Memangnya kalau sudah menjadi istri harus seperti apa?” balas Eiffel terkekeh.

Zero tahu, jika adik iparnya yang memiliki usia jauh lebih tua darinya itu sangat posesif. Tetapi disisi lain memanjakan Aurora secara ugal-ugalan makanya Aurora menikah muda tetap tidak ada beban karena segala hal sudah ditangani oleh Eiffel. Zero—turut bahagia.

“Kak Zero, ada Kak Pamela di luar,” teriak Evelyn dengan suara imutnya.

“Ngapain?” tanya Zero tersenyum smirk.

“Nggak tahu, aku suruh masuk ke sini tidak mau. Malah menunggu Kak Zero di ruang tamu,” timpal Aurora.

“Oke!” Zero menatap Eiffel, memberi kode untuk pamitan.

Eiffel sebagai lelaki paham akan isyarat itu, lalu merangkul istri dan menggendong Evelyn diajak ke lantai dua.

Zero sendiri dengan santai berjalan ke rumah tamu, sembari memasukkan kedua tangannya ke saku celana kanan dan kiri.

Pamela—nampak resah di sudut sofa. Entah kenapa mengenai gadis itu membuat Zero sangat senang.

“Ehm!”

Pamela langsung menoleh, lalu memberikan ekspresi memelas.

Ah shit, Zero tidak akan pernah lupa dengan mimik wajah itu. Bola mata yang memancarkan ratapan dan sebuah permohonan.

“Kak Zero, gue mohon jangan kasih tahu Tirta masalah foto kita, gue mohon!”

“Kak Zero? Bukannya Lo bilang nggak Sudi ketemu gue dan nyebut gue kakak?” ejek Zero.

“Gue salah, gue minta maaf semalam udah ngeludahin Lo. Gue benar-benar minta maaf, Kak,” cicit Pamela menundukkan kepalanya.

“Gue lebih suka Lo panggil dengan nama aja, dan soal ludah gue juga nggak keberatan. Apalagi kalau gue ambil sendiri dari sumbernya, bibir Lo masih manis seperti dulu,” balas Zero dengan tatapan menggoda.

Pamela nampak marah, tapi tidak berani membalas perkataan Zero. Gadis itu hanya mengepalkan kedua tangannya. Sekalipun di sembunyikan di bawah meja Zero tetap bisa melihatnya.

Cukup lama keduanya saling diam, Pamela sibuk dengan pemikirannya yang rumit sementara Zero asyik menikmati wajah Pamela.

“Sudah selesai? Ini sudah sore, gue mau pulang. Sebentar lagi gue ada janji sama teman,” pancing Zero.

Pamela langsung menatap Zero, kedua matanya sudah berkaca-kaca.

“Gue mohon, Zero. Jangan rusak hubungan gue sama Tirta. Dia lelaki yang baik, gue nggak bisa menyakiti dia,” rengek Pamela.

Fuck, Zero sangat murka. Dia benci ucapan Pamela barusan. Yang dia inginkan adalah Pamela yang memohon kala di bawah kungkungannya. Memohon untuk berhenti saat Zero memompanya dengan penuh tenaga.

“Jadi menurut Lo gue orang buruk sampai gue pantas buat Lo sakiti?” jawab Zero memutar balikkan fakta.

“Buka begitu—”

“Terus apa, hm?” tanya Zero dengan tatapan elangnya yang membuat Pamela selalu merinding.

Air mata Pamela mulai menetes, menatap Zero dengan pandangan penuh luka dan kesakitan.

“Andai dulu, Lo tidak berkata jahat. Andai dulu Lo bilang cinta sama gue. Sudah pasti sampai detik ini gua gak bakal membuka hati untuk yang lain,” tutur Pamela dengan lembut.

“Kalau gue bilang itu sekarang, bagaimana?” Tantang zero.

Tangis Pamela semakin pecah, menyentuh dadanya sendiri yang terasa sesak.

“Jangan! Semua sudah terlambat. Gue—cuma mencintai Tirta,” sergah Pamela panik

Zero langsung mendekat, duduk tepat di sisi Pamela. Baru begitu saja Pamela sudah gemetar saking takutnya.

“Gerak dikit, gue akan cium Lo di sini sampai pingsan!" ancam Zero yang langsung merubuhkan dirinya di pelukan Pamela.

Ancaman itu, serasa Dejavu. Dulu—Zero juga pernah berkaca seperti itu kala lima tahun yang lalu di sebuah taman.

“Nyaman sekali, dan gue baru sadar ada pelukan lain yang lebih nyaman dari Mommy, yaitu pelukan Lo,” gumam Zero menyembunyikan wajahnya di dada Zeta.

“Zero, jangan begini. Nanti ada Aurora dan suaminya!”

“Diam!” balas Zero dengan nada rendah.

***

Siapa bilang hati tidak pernah salah? Justru hati kadang bertindak bodoh. Lihatlah Pamela saat ini. Sudah jelas Zero pernah menyakitinya begitu dalam, tetapi hatinya masih berdebar-debar kala lelaki itu mendekatinya.

Dan Pamela membencinya, andaikan bisa dia akan mencabut hatinya sendiri lalu membuangnya. Rasanya sungguh sakit sekali, apalagi aroma parfum dari tubuh Zero saat masuk ke indra penciumannya. Pamela merasa familiar.. Tubuh dan aroma Zero—selalu masuk dalam mimpi buruknya.

“Pamela …”

“Apa yang mau Lo lakuin?” tanya Pamela terbata-bata.

“Detak jantung Lo, tak pernah berubah saat di dekat gue,” cibir Zero.

“I—tu karena gue takut. Lo jangan salah paham,” sela Pamela.

Zero langsung beranjak dari pelukan Pamela, dia duduk tepat di hadapannya.

“Kenapa Lo setakut itu sama gue, hm?” tanya Zero dengan nada datar.

“Gue mohon, jangan ganggu gue lagi!” cicit Pamela. “Apa perlu gue bersujud di kedua kaki Lo? Biar Lo mau melepaskan gue dan membiaskan gue hidup tenang dengan Tirta?”

Zero langsung memasang aura mengerikan, demi seorang Tirta sampai mau berbuat sejauh ini? Tapi beberapa detik malah tertawa lepas.

Pamela langsung menutup kedua telinganya dan memejamkan matanya, Zero ini bukan manusia pada umumnya. Saat kelihatan tenang dan tertawa bukan sebuah hal baik.

Tiba-tiba Zero semakin dekat lagi, menyentuh kedua tangan Pamela dan menurunkannya secara perlahan dari kuping Pamela.

“Pamela … kenapa Lo berkata seolah-olah gue ini orang yang jahat? Gue padahal tidak ngapa-ngapain, Lo sendiri yang datang kemari bukan?” tanya Zero Berubah lembut.

Pamela menggigit bibirnya sendiri, lalu membuka kedua matanya.

“Tapi Lo mau ketemu Tirta dan menunjukkan foto itu padanya kan?” tanya Pamela sesenggukan.

“Memang iya,” jawab Zero dengan tenang, lalu menyeringai.

“Kenapa Lo perlakukan gue seperti ini, Zero? Salah gue apa?” tanya Pamela dengan nada putus asa.

“Lo—nggak punya salah kok. Hanya saja gue gak akan pernah melepaskan apa yang gue inginkan,” jawab Zero.

“Gue nggak bisa, Zero. Gue sungguh nggak bisa menyakiti Tirta,” balas Pamela dengan lirih, merasakan napasnya yang mulai tercekat.

“Kalau gitu, gue akan memberi Lo dua pilihan.”

“Apa?”

“Jadikan gue selingkuhan Lo, maka gue nggak akan membocorkan apapun pada Tirta.”

“Hah? Lo nggak waras?”

“Kedua—tolak gue, maka gue akan selalu mengusik kalian. Dan lihat saja, Tirta akan tahu semua hal tentang kita, dari gue yang pernah mencium Lo, gue yang pernah tidur satu kamar sama Lo, dan gue yang pernah merasakan lembutnya—”

“Stop!” Pamela gak kuat lagi, setiap ucapan Zero seperti sebuah penghinaan.

Tiba-tiba Zero melirik arlojinya, lalu beranjak dari sofa dengan santai.

“Sudah saatnya gue pulang, malam ini adalah penentuannya. Malam ini gue akan ke Villa tempat dimana pertama kali kita ciuman lima tahun lalu. Kalau Lo ke sana, berarti Lo setuju menjadi selingkuhan gue. Tapi jika tidak, itu foto bahkan video kita akan gue kirimkan ke Tirta,” ucap Zero memasang wajah dingin.

“Video apa?” pekik Pamela syok.

“Video kita, Lo tahu siapa orang yang memotret kita? Dia—Vicenzo. Tak hanya itu, dia juga meletakkan kamera sehingga saat Lo mencium bibir gue dengan penuh gairah itu terekam dengan jelas. Ah, pasti Tirta akan menyesal kenapa memperlakukan Lo seperti gadis polos. Karena faktanya Lo jago ciuman bahkan di saat pertama kalinya mencoba,” sarkas Zero.

“Vicenzo—”

Adiknya Aurora yang satu itu tak kalah iblisnya, kelihatan aja dari luar manis tapi kelakuannya sama-sama seperti iblis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status