Share

Bab 3

Pagi ini Zero berniat untuk memuaskan diri tidur sebelum latihan sepak bolanya dimulai. Dia ingin menghemat tenaganya sebab dia tahu pelatih timnas memiliki metode pelatihan yang keras.

Sampai tiba-tiba dari luar kamar dia mendengar tangisan anak kecil sembari pintunya digedor-gedor.

“Kak Zero! Buka pintunya!”

Mau tak mau Zero memaksakan diri membuka matanya, dia berjalan malas-malasan dan membukakan pintu lalu menundukkan kepalanya untuk menatap siapa yang sudah mengusiknya pagi-pagi ini.

“Evelyn Emma … ada apa?” tanya Zero pada gadis cilik berusia 4,5 tahun itu.

“Kak Vicenzo  menghabiskan  donat aku yang rasa strawberry!” adu Evelyn sambil nangis.

“Jangan nangis, tinggal suruh Kak Vicenzo membelikan yang baru,” bujuk Zero.

“Nggak mau, pengennya sama Kak Zero saja,” rengek Evelyn.

Dulu ada Aurora—adik pertamanya yang begitu manja dan suka merecokinya. Setelah Aurora menikah dan ikut suaminya muncul satu lagi versi kemasan sachet yang tak kalah manjanya.

Tak lama kemudian Vicenzo muncul, tertawa lirih seolah tidak berdosa.

“Lo yang bikin ulah, kenapa jadinya gue yang harus tanggung jawab?” sengit Zero menatap tajam pada adik lelakinya.

“Gue udah nawarin, tapi dianya nggak mau. Pengennya sama Kak Zero katanya,” jawab Vicenzo dengan santainya.

“Yasudah, Kak Zero mandi dan siap-siap dulu. Evelyn tunggu di luar ya?” bujuk Zero mengalah.

“Hore!” teriak gadis cilik itu sangat bahagia. Lalu saat bertatapan dengan Vicenzo langsung menjulurkan lidahnya. “Kak Vicenzo jelek!”

“Nyenyenyenyenye,” balas Vicenzo tak mau kalah.

Zero hanya menarik napas melihat tingkah kedua adiknya. Apalagi Vicenzo yang saat ini sudah kelas 3 SMA tapi setiap dekat dengan Evelyn tidak ada sikap dewasa sama sekali.

Zero pun bergegas untuk mandi, setelah siap diapun segera keluar dari kamar dan menemui keluarganya yang sudah menunggu di ruang makan.

“Pagi semua,” sapa Zero.

“Pagi."

“Kok sudah rapi, mau kemana?” sela Syadeva.

“Nganterin Evelyn beli donat, Dad,” jawab Zero datar.

Sontak Syadeva langsung melirik ke putra ketiganya, memberikan lirikan yang tajam.” Kamu pasti isengin adik kamu lagi ya? Udah besar beli sendiri kalau pengen, kaya nggak punya duit aja!” tegur Syadeva, pasalnya hal seperti ini terjadi hampir tiap hari.

“Hehe … maaf,” cicit Vicenzo terkekeh gemas menatap adik perempuannya.

“Nggak mau maafin, Kak Vicenzo jahat!” sergah Evelyn memalingkan wajahnya.

“Cih, yakin ngatain Kak Vicenzo jahat? Padahal siang ini rencananya mau ngajakin ke Timezone. Tapi kayaknya nggak jadi deh,” goda Vicenzo.

“Ah mau—sama Kak Aurora juga kan?” pekik Evelyn langsung berubah drastis sikapnya.

“Hm.”

“Kok Hem? Iya tidak?”sela Evelyn manja.

“Iya, Cantik,” balas Vicenzo gemas sekali.

“Kak Zero ikut, ya?” bujuk Evelyn pada Zero.

“Tidak, Kak Zero nggak suka ke tempat begituan. Nanti beli donatnya sekalian sama Kak Aurora dan Kak Vicenzo saja ya?” sela Zero.

Evelyn nampak berpikir sejenak, lalu menganggukkan kepalanya. Dan Zero tersenyum lega, saat ini lelaki itu memang tengah malas untuk kemana-mana dan lebih ingin memilih istirahat total.

“Zero, bagaimana tidurmu, apakah nyenyak?” sapa Zeta.

“Lumayan, Mom,” jawab Zero.

“Oh iya, kamu ingat dengan teman masa kecil kamu? Pamela—katanya mamanya sakit. Mama belum jenguk dia, apa kamu mau ikut?” tanya Zeta.

Deg!

Pamela …

Setelah 5 tahun berlalu, akhirnya dia mendengar satu nama keramat itu disebut. Yang mendengar adalah telinga, tapi yang bereaksi adalah dadanya—bergemuruh hebat.

“Zero, ditanya kok malah bengong?” sela Zeta.

“Iya, Mom. Emh, tapi kenapa tidak berangkat bareng Aurora saja?” tanya Zero balik.

“Kemarin dia sudah bersama suaminya.”

“Oh oke”

Bagaimanapun juga dia memiliki hutang budi pada  Hasna. Tetangga baik yang pernah memberinya makan kala kelaparan. Jika mengingat semua itu, ada perasaan sesal juga, akan kesalahannya di masa lalu.

Usai sarapan pagi, nampak Evelyn Emma yang sudah menarik-narik Vicenzo untuk segera berangkat ke Timezone. Sementara Syadeva yang terburu-buru mau ada rapat pagi. Sekalipun Zero selama ini kuliah di Belanda, tapi setiap hari orang rumah selalu video call dan enam bulan sekali liburan ke sana. Itulah kenapa, Zero tidak merasa asing dan tetap dekat dengan adik-adiknya.

***

Zero merasa sedikit enggan untuk bertemu dengan Pamela, tapi dia juga merasa rindu dan penasaran kira-kira bagaimana kabar sahabat kecilnya itu.

Tetapi sesampainya di sana, Zero malah syok dengan adanya Tirta yang nampak begitu dekat Hasna.

“Selamat pagi, bagaimana kabarnya, apakah sudah baikan?” sapa Zeta ramah sambil meletakkan bingkisan oleh-oleh ke meja.

“Selamat pagi, wah mommy nya Aurora ya? Sudah mulai baikan, sore ini sudah diizinkan untuk pulang,” balas Hasna, tapi beberapa saat kemudian mata Hasna melirik ke arah Zero.

“Pagi, Tante. Semoga lekas sembuh,” timpal Zero canggung.

“Iya, terima kasih. Kamu—Nak Zero?”

“Iya, Tante,” jawab Zero yang masih ngelag, apalagi dengan adanya Tirta di sini. Karena setahu dia Pamela tidak punya saudara lain.

“Zero, gue nggak nyangka Lo bisa kenal dengan Tante Hasna,” sapa Tirta ramah.

“I—iya, gue dulu saat kecil tetangga sebelah rumah dengan Tante Hasna,” jawab Zero.

“Wah, jadi Lo kenal dengan calon istri gue dong? Dunia ini sempit sekali!” pekik Tirta yang seperti petir yang menyambar ke telinga Zero.

Tiba-tiba Pamela yang baru membelikan makanan sangat syok dengan kehadiran Zero, saking kagetnya sampai bungkusan yang dipegangnya jatuh.

“Sayang, kamu tidak apa-apa?” ucap Tirta langsung melesat menunduk, mengecek kaki Pamela lalu mengambil bungkusan makanan tersebut.

“Ti—tidak apa-apa,” jawab Pamela gemetar ketakutan.

Zero hanya menatap pemandangan itu, gadis mungil yang dulu lugu dan polos kini nampak semakin dewasa dan tambah cantik.

“Pamela, mari sini sapa Mommy nya Aurora dan Zero—teman kecil kamu,” timpal Hasna.

“Hallo, Tante Zeta. Terima kasih sudah repot-repot kemari menjenguk Mama,” sapa Pamela.

“Tidak repot, sebenarnya kemarin mau ke sini bareng Aurora tapi ada urusan mendadak jadi tertunda,” jawab Zeta yang memang sudah mengenal baik Pamela.

“Kak Zero—apa kabar?” sapa Pamela tak berani menatap mata elang lelaki itu.

“Baik,” jawab Zero yang jauh lebih bisa mengontrol ekspresinya, bersikap tenang.

Pamela … rupanya calon istri Tirta ya.

Seharusnya Zero bahagia dengan kabar ini, bukankah itu yang dulu dia inginkan? Melihat Pamela bahagia dengan lelaki lain? Tetapi—melihat fakta itu justru membuat perasannya memburuk.

Zero mengira dirinya sudah sembuh dari penyakit mentalnya, karena selama di Belanda dia sudah tidak bersikap impulsif. Tapi saat ini, begitu melihat tangan Tirta yang merangkul pinggang Pamela pikiran untuk mengukung dan membuat Pamela menangis di bawah kendalinya muncul kembali.

“Sayang, kamu kok nggak pernah bilang kalau kenal dengan Zero? Dia ini teman aku saat SMA loh,” sela Tirta memecah keheningan.

“Aku tidak tahu kalau kalian berteman, apalagi Kak Zero lulus SMA langsung ke Belanda dan kami tidak pernah berkomunikasi lagi,” jawab Pamela memaksakan diri untuk tersenyum.

“Oalah, tadinya niat aku mau ngenalin kamu ke teman aku saat acara reunian di SMA aku. Eh, ternyata kamu sudah kenal duluan malahan,” balas Tirta terkekeh.

Pamela menundukkan kepalanya, sementara Zero memasang wajah datarnya.

Situasi macam apa ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status