Di sebuah kamar rawat inap rumah sakit, ada seorang gadis yang tengah menjaga mamanya. Dia tidak bisa tidur, takut jika sewaktu-waktu mamanya bangun dan kehausan.Sambil bermain ponsel, sesekali bibirnya tersenyum kala membalas pesan dari kekasihnya—Tirta.Gadis itu adalah Pamela, sejak kecil terbiasa kerja keras membantu mamanya yang memiliki usaha toko kue kecil. Dan sekarang dia sudah memiliki banyak toko cabang. Kue miliknya sangat terkenal, semua berkat temannya semasa SMA yang menjadi selebgram dan gencar mempromosikan tokonya.Pamela tidak pernah melupakan sahabat baiknya yang sangat cantik itu, hingga kini mereka berdua masih berteman sekalipun temannya telah menikah.Sampai tiba-tiba senyum di bibirnya memudar kala Tirta mengirimkan sebuah foto yang sedang bertemu dengan teman-temannya. Bahkan tangannya gemetar hingga ponselnya terjatuh, untung saja tidak rusak.Dia … Telah kembali. Ternyata Kak Zero adalah teman SMA Tirta?Tanpa terasa, tiba-tiba air matanya tumpah. Dadanya
Pagi ini Zero berniat untuk memuaskan diri tidur sebelum latihan sepak bolanya dimulai. Dia ingin menghemat tenaganya sebab dia tahu pelatih timnas memiliki metode pelatihan yang keras.Sampai tiba-tiba dari luar kamar dia mendengar tangisan anak kecil sembari pintunya digedor-gedor.“Kak Zero! Buka pintunya!”Mau tak mau Zero memaksakan diri membuka matanya, dia berjalan malas-malasan dan membukakan pintu lalu menundukkan kepalanya untuk menatap siapa yang sudah mengusiknya pagi-pagi ini.“Evelyn Emma … ada apa?” tanya Zero pada gadis cilik berusia 4,5 tahun itu.“Kak Vicenzo menghabiskan donat aku yang rasa strawberry!” adu Evelyn sambil nangis.“Jangan nangis, tinggal suruh Kak Vicenzo membelikan yang baru,” bujuk Zero.“Nggak mau, pengennya sama Kak Zero saja,” rengek Evelyn.Dulu ada Aurora—adik pertamanya yang begitu manja dan suka merecokinya. Setelah Aurora menikah dan ikut suaminya muncul satu lagi versi kemasan sachet yang tak kalah manjanya.Tak lama kemudian Vicenzo munc
Menjadi seorang atlet, Zero selalu menjaga kesehatan tubuhnya. Dia tidak pernah minum alkohol maupun merokok. Tapi senja ini, di balkon kamarnya dia mulai menghisap nikotin tersebut secara perlahan.Zero sendiri tidak tahu apa yang dia mau, tapi melihat Pamela berada di dalam dekapan lelaki lain membuatnya terbakar api—cemburu.Dia … masih saja merasa takut saat melihat gue. Apakah dulu gue sebegitu mengerikan sampai dia bertingkah gue ini layaknya monster?Tiba-tiba sebuah tangan merebut rokok dan membuangnya begitu saja, Zero hanya melirik tajam ke arah adiknya yang lancang itu.“Sudah gue duga, masa ini akan terjadi juga,” ucap Vicenzo mulai serius.“Maksud Lo?”“Pamela … Lo sampai merokok karena dia kan? Mommy sangat cemas padamu, dia nyuruh gue antar Lo ke psikolog,” timpal Vicenzo.“Kalian jangan berlebihan, gue baik-baik saja,” jawab Zero dingin.“Gue tahu Lo bakal nolak, karena gue rasa yang bisa menjadi obat ya sumbernya sendiri,” balas Vicenzo terkekeh.“Nggak usah sok tahu,
Pamela tidak mau diperlakukan semena-mena seperti dulu lagi, sampai saat ini jika mengingat masa lalu rasa malu itu menggerogoti harga dirinya.“Zero, Kalau Lo tidak pergi gue akan berteriak biar Lo dihajar oleh warga di sini!” ancam Pamela. Dulu dia memanggil dengan sebutan kakak, karena dia menghormati Zero yang satu tahun lebih tua darinya. Tapi saat ini, panggilan kakak itu sudah tidak pantas lagi untuk Zero.Sementara Zero terkekeh, justru semakin senang dipanggil tanpa adanya embel-embel Kak.“Coba saja berteriak, Gue ingin lihat apakah mereka ingin menghajar gue atau malah menikahkan kita berdua sekarang juga!” tantang Zero masih memeluk tubuh Pamela dari belakang dan mengecup lehernya.Pamela merinding bukan main, dia bisa merasakan hawa panas dari tubuh Zero. Seolah-olah panas itu juga merambat ke tubuhnya sendiri.“Lo nggak waras, Zero! Dulu Lo sendiri yang bilang jika gue ini tidak ada arti apa-apa bagi Lo, lalu sekarang Lo kenapa seperti ini?” pekik Pamela dengan suara ter
Sebenarnya selama lima tahun di Belanda Zero rutin melakukan terapi. Dia sudah bisa mengontrol emosinya. Siapa kira, bertemu Pamela malah memicu lagi saat perempuan itu bersama lelaki lain. Zero—sangat frustrasi.Pamela, gue tidak mengira ditinggalkan itu akan sesakit ini. Maafkan gue, pasti 5 tahun lalu itu perkataan gue benar-benar menyakiti Lo. Sekarang gue sadar, Lo adalah seseorang yang gue inginkan untuk mendampingi gue sampai mati.Setelah meneror Pamela Zero memilih untuk pulang ke rumah, tetapi baru masuk pintu dia sudah dihadang oleh Daddy nya.“Zero, bibir Lo kenapa?” tanya Syadeva.“Tidak apa-apa, Dad,” jawab Zero menunduk.Syadeva terkekeh, lelaki yang sudah memiliki jam terbang tinggi mana mungkin bisa ditipu oleh anak ingusan itu.“Ayo masuk ke ruang kerja Daddy!” ajak Syadeva.“Iya, Dad,” jawab Zero patuh.Zero takut, sekaligus malu. Dia yakin setelah ini akan mendapat ceramah panjang lebar.“Tadi teman adik kamu yang bernama Pamela menelpon Mommy, untung saja Mommy su
Di rumah adiknya, Zero memilih duduk bersama suami adiknya di halaman belakang rumah. Sementara Evelyn dan Aurora bermain entah kemana.“Zero, setelah pertandingan selesai Lo bakal balik ke Belanda?” tanya Eiffel.Zero terdiam, pertanyaan yang sepele dari adik iparnya memang. Tetapi saat ini dia juga tidak bisa menjawabnya.“Kok kelihatan bingung?” sela Eiffel lagi.“Gue—masih belum bisa memutuskannya,” cicit Zero.“Lo kaya orang yang banyak pikiran, kalau ada kesulitan bilang saja! Siapa tau gue bisa membantu,” balas Eiffel.“Gue tidak apa-apa kok, cuma lelah aja.”Tak lama kemudian muncul Aurora dan Evelyn yang sedang main kejar-kejaran, Zero tersenyum tipis kala melihat kedua adiknya yang cantik dan menggemaskan itu.“Aurora, udah jadi seorang istri tapi tingkahnya kaya masih gadis kecil aja,” gumam Zero.“Memangnya kalau sudah menjadi istri harus seperti apa?” balas Eiffel terkekeh.Zero tahu, jika adik iparnya yang memiliki usia jauh lebih tua darinya itu sangat posesif. Tetapi d
Pamela—merasa sangat tertekan. Dia tidak ingin pulang ke rumah, tapi juga bingung mau kemana. Tepat pada saat itu, kekasihnya menelponnya.[Hallo]“Hallo, Tirta.”[Kamu dimana, Sayang? Aku ke rumah kamu kok nggak ada, kata Tante Hasna kamu ke toko. Aku susul juga tidak ada]“Oh, aku sedang berada di rumah Aurora. Ini aku lagi diperjalanan, pengen ke cafe.”[Cafe mana?]“Yang biasa kita ke sana.”[Baiklah, aku akan segera menyusul]Pamela pun segera melajukan mobilnya lebih cepat, mobil pemberian dari Tirta saat mereka jadian tepat satu tahun. Lelaki itu—tak hanya membantu Pamela dalam mengobati luka hatinya. Tapi juga membantu proses kesuksesan dia yang sampai bisa memiliki beberapa toko kue cabang. Lalu, bagaimana bisa dirinya setidak tahu diri itu mau menyakitinya?Zero lelaki yang mesum, kalau gue mau menerima tawaran dia untuk menjadikannya selingkuhan justru akan semakin rumit. Bisa-bisa gue habis di tangan dia. Lebih baik gue jujur saja sama Tirta, yang penting gue masih perawan
“Pamela—Gue sayang sama Lo,” gumam Tirta memeluk Sander.“Sadar heh, gue Sander!” pekik Sander memegang Tirta yang memeluknya, takut terjatuh.“Udah Lo bawa dia pulang aja!” titah Zero.“Bantuin gue dong,” rengek Sander.Zero membantu, tapi hanya sampai Tirta masuk ke dalam mobil.“Gue nggak bisa ikut. Ada urusan!” dusta Zero.Sander hanya mencebikkan bibirnya, tapi kalau itu hanya sebuah alasan.Zero segera pulang dan menyerahkan Tirta pada Sander, dia malas mendengar ocehan Tirta yang teler terus membahas tentang Pamela. Dia—cemburu. Andaikan saat itu dia tidak melakukan kesalahan besar sudah pasti Pamela hanya akan mencintai dia seorang.Zero membutuhkan—teman. Dan yang tahu mengenai dirinya hanyalah adiknya sendiri. Saat berhenti di lampu lalu lintas, diapun segera menelpon sang adik sebab biasanya Vicenzo setiap malam suka keluyuran di luar.[Hallo, ada apa, Kak?]“Lo dimana?” tanya Zero malas basa-basi.[Baru pulang, ada apa?]“Jangan tidur dulu, gue mau curhat penting.”[Oke]Z
Senja menghiasi langit, menarik ingatan ke masa lalu. Zero sedang duduk berduaan dengan Daddy nya—Syadeva. Lelaki yang tidak pernah menjadi panutannya tetapi juga tidak bisa untuk dibenci.Meskipun hidup kadang terasa melelahkan, seorang anak tempat untuk pulang tetapkan orang tuanya. Begitu juga sebaliknya, sebagai orang tua tempat untuk kembali adalah istri dan anak-anaknya. Keluarga adalah sebuah kesatuan, yang tidak akan pernah bisa untuk dipisahkan. Darah mengalir deras, menjadi ikatan yang kokoh menyalurkan kasih sayang tanpa diucapkan.“Dad, apakah kamu pernah menyesal memiliki anak aku? Maksudnya—karena aku lahir dari rahim wanita yang tidak kamu cintai?” tanya Zero penasaran.Itu adalah ungkapan hati terdalam dari seorang Zero, yang selama ini dia tutup rapat-rapat.Syadeva nampak terkejut, tetapi sesaat kemudian menarik napas dalam-dalam.“Saat kamu pertama kali datang padaku, usiamu baru tujuh tahun. Tanpa perlu tes DNA, aku sudah yakin jika kamu adalah putraku. Saat itu a
Saat pertandingan Indonesia melawan Korea, keluarga Syadeva pun pergi ke sana semua. Mereka memberikan semangat pada Zero yang memang sejak kecil bercita-cita sebagai pemain sepak bola.Zero berhasil memasukkan dua gol, yang membuat namanya semakin harum karena bisa mengantarkan Indonesia ke semi final.Dari tribun, Pamela menangis haru. Bagaimana tidak?Dulu dirinya melihat Zero memainkan bola di taman komplek, sedangkan kini bermain di lapangan internasional.Usai pertandingan selesai. Zero langsung menghampiri keluarganya yang duduk di tribun.“Yohh hebat!” puji Vicenzo.“Kak Zero keren!” teriak Aurora.“Kak Zero top pokoknya!” timpal Emma.Pamela hanya tersenyum, senyuman bangga.Syadeva dan Zeta pun sampai berkaca-kaca, betapa banyak hal yang telah mereka semua lalui dan kini tinggal memetik manisnya.“Selamat, Nak. Kamu memang selalu membanggakan,” ucap Zeta menangis haru.“Setelah ini kita pesta makan!” ujar Syadeva sembari menepuk putra sulungnya.*Esok harinya, setelah semua
Setiap selesai latihan, Zero langsung ke rumah sakit. Untung saja pelatihnya sangat baik, memberi dirinya toleransi ketika istrinya mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit.Pamela sedang tidak baik-baik saja, karena sudah dua hari ini mamanya belum sadar dari komanya. Sampai di kamar inap, Zero langsung menghampiri sang istri dan mengecup keningnya.“Sudah makan?” tanya Zero.“Sudah, tadi Aurora sadang kemari menyuapiku,” jawab Pamela. “ Kamu sendiri sudah makan?” “Belum, selesai latihan aku langsung mandi dan bergegas kemari.”“Ada banyak makanan, Daddy dan Mommy yang membelinya.”“Oke, aku makan dulu!” jawab Zero.Dia memang lapar, karena aktifitas pelatihan yang berat sangat menguras tenaganya.Sambil mengunyah makannya, Zero sesekali melirik ke istrinya. Wajahnya pucat, pancaran kesedihan terlihat nyata di kedua netranya. Sungguh, Zero tidak tahan melihat semua ini.“Zero.”“Iya?”“Kenapa kamu terus menatap aku?” tanya Pamela.“Kamu cantik,” balas Zero memberikan senyum
“Hancurkan saja karirnya, buat dia merasa malu untuk keluar rumah!”Meskipun masih tertidur, aku samar-samar Pamela bersama dengarkan suaminya sedang berbicara di telepon dengan seseorang. Ucapan yang berkesan mengancam dan mengerikan itu, sempat membuat Pamela segera terbangun.“Zero, kamu sedang telponan dengan siapa?” tanya Pamela.Zero nampak kaget, lalu mengecup keningnya dengan lembut.“Bukan siapa-siapa, kalau kamu ngantuk sebaiknya tidur aja lagi,” bujuk Zero kalem.“Ini jam berapa sih?”“Jam lima sore, tidurlah. Aku tahu kamu lelah.”“Emangnya kamu tidak lelah? Kenapa kamu juga tidak tidur?” sela Pamela.Zero mendekatkan wajahnya, lalu mengecup bibir sang istri dengan gemas. “Karena aku kuat,” bisik Zero menyeringai. Pamela langsung mendorong dada suaminya, lalu beranjak dari ranjang menuju ke kamar mandi.“Aku ikut!” pekik Zero.“No!” tolak Pamela langsung menutup pintu kamar mandi. Jangan sampai suaminya itu dibiarkan masuk, kisah 3 jam kemudian baru bisa keluar.Usai man
Zero baru saja selesai melaksanakan shooting untuk iklan langsung bergegas menuju ke lokasi yang lain.Sebagai pemain sepak bola yang populer, dia memang diburu sebagai model iklan. Zero yang introvert pun mencoba untuk bersosialisasi, demi masa depannya membangun bisnis karena dia tahu tidak akan selamanya menjadi pemain sepak bola. Sebab semua ada masanya.Saat sedang istirahat, dia iseng membuka ponselnya. Dia penasaran apakah ada pesan dari sang istri? Dia kecewa, tak ada satupun pesan dari Pamela. Yang ada justru notif dari akun sosmednya.“Ini iklan dua Minggu yang lalu, sialan kenapa mereka semua menghujat istriku?” geram Zero murka.Dia yakin saat ini pasti istrinya sedang sedih dan juga insecure. Zero pun segera menelpon adiknya.[Hallo]“Hallo, Lo lagi apa?”[Masih di sekolah, kenapa?]“Tolong kondisikan yang lagi rame itu, kasihan Pamela.”[Memangnya apa yang lagi rame? Gue lagi jarang buka sosmed, sibuk mau lomba basket]“Pamela dihujat gara-gara gue main iklan sama Zaski
Zero mengalah, tidak ingin terjadi hal-hal yang akan semakin membuat istrinya marah. Zero pun memutuskan untuk tidur duluan, meskipun dia sendiri tidak benar-benar bisa terlelap. Sampai beberapa saat kemudian dia mendengar suara langkah kaki mendekat, Zero segera memejamkan mata pura-pura tidur. Akan tetapi dia bisa merasakan, tubuh istrinya yang rebahan di sisinya. Bahkan dia juga bisa menghirup aroma parfum Pamela yang manis.“Zero, aku tahu kamu belum tidur!” gumam Pamela.Zero langsung membuka mata, kemudian memeluk istrinya dan mengecup pipinya.“Bagaimana mungkin aku bisa tidur, Aku selalu ingin didekatmu seperti ini,” jawab Zero dengan nada lembut.“Boleh aku minta sesuatu padamu?” tanya Pamela serius.“Boleh, silakan mau minta apa. Asal jangan tentang perpisahan di antara kita,” balas Zero.“Aku mohon, minta maaflah dengan Tirta. Bisakah kita hidup dengan rukun? Apalagi sekarang Tirta sudah memiliki istri, akupun juga sudah bersuami. Aku berjanji tidak akan pernah melakukan
Pamela dan Hani sudah berusaha untuk mencairkan suasana, mereka berdua terus membahas hal-hal random berharap suami mereka akan ikut tertawa. Tetapi nyatanya mereka masih mempertahankan wajah dingin mereka. Bahkan Pamela yang mengenal Tirta sebagai lelaki paling sabar, baru kali ini lihat mantan kekasihnya itu terlihat jutek.“Enak banget makan di sini, lain kali kita ke sini lagi yuk? Kita janjian biar bersama,” ajak Hani.“Iya, gue juga pengen ke sini lagi,” jawab Pamela.“Aku mau ke toilet,” pamit Tirta pada istrinya.“Iya, jangan lama-lama ya,” balas Hani.“Aku juga mau ke toilet,” sela Zero.Pamela tidak langsung mengingat, kenapa suaminya itu secara tiba-tiba mau ke toilet setelah Tirta? Tetapi tanpa Pamela memberi izin, suaminya itu pergi begitu saja. “Duh, gue khawatir mereka akan berantem,” cicit Hani.“Itulah yang saat ini sedang gue pikirkan,” jawab Pamela resah.“Lo tahu, sekalipun Tirta sangat baik sama gue tetapi saat tengah malam gue melihat dia selalu merenung di ba
Sejak pagi ini, Pamela memilih untuk membuat kreasi kue baru dari pada memikirkan suaminya. Dia sengaja tidak menonaktifkan ponselnya, untuk memberi pelajaran pada Zero.Siang harinya Aurora datang berkunjung bersama Zeta dan Emma. Membuat Pamela cukup terhibur.“Kebetulan kalian kemari, aku sedang membuat kue,” sapa Pamela ramah.“Wah, pantas saja dari tadi ada aroma wangi. Aku mau nyoba!” pekik Emma antusias. “Baiklah, ini khusus pelanggan setia aku yang paling istimewa,” balas Pamela lagi.“Aku juga mau dong,” sela Aurora.“Boleh, silakan dimakan sepuasnya. Aku akan membuatkan kalian teh manis dulu ya,” pamit Pamela.Hari ini ibunya sedang kontrol ke rumah sakit, bersama salah satu ART nya. Sementara ART yang satunya sedang belanja stok bahan makan untuk Minggu depan. Makanya Pamela yang membuatkan minuman sendiri untuk keluarga suaminya. Ketika Pamela ke dapur, Zeta mengikutinya.“Pamela, kamu pasti sedang sedih bukan? Tapi Mommy yakin, kalau Zero tidak akan pernah selingkuh da
Ketika Pamela bangun dari tidurnya, lagi-lagi Zero sudah tidak ada disisinya. Lelaki yang kini menjadi suaminya itu memang selalu datang dan pergi sesuka hati.Entah pernikahan macam apa yang sedang dia jalani, padahal ini adalah mimpi yang sudah dia bangun sejak lama. Bisa hidup bersama dengan Zero. Tetapi dia sungguh lelah, ingin dia sesekali dimengerti juga oleh suaminya.“Keinginan, memang tidak selalu seperti yang diharapkan. Menikah dengan orang yang aku cintai juga tidak menjamin sebuah kebahagiaan. Rasanya aku seperti mencintai dengan sepihak. Zero … apakah kamu sungguh mencintai aku juga?”Saat dirinya hendak mandi, tiba-tiba pintu kamar terbuka lalu muncul sosok Zero yang membawakan dirinya nampan berisi nasi goreng dan segelas susu.Sontak saja tubuh Pamela mematung, Zero masih sini.“Kenapa melihat aku seperti melihat hantu, hm?” tanya Zero tersenyum. Iya, lelaki itu tersenyum. Sesuatu yang teramat jarang Zero lakukan.“Aku kira kamu sudah kembali ke hotel,” jawab Pamela