Dara ingin melabrak orang. Siang ini ia ingin makan orang. Ia ingin sekali mematahkan tulang leher orang. Pengin mencakar wajah songong kakak kelasnya yang bernama Alvin. Tapi mana bisa?
Tuh cowok emang belagu banget. Banyak tingkah. Andai aja tadi nggak ada cowok sableng satu itu, palingan ia sekarang bisa lebih dekat lagi dengan Ari.
Pokoknya tuh cowok perlu dimusnahkan. Nyebelin, nyindir kulitnya yang nggak bisa dilihat segala, pakai acara bawa kata-kata giginya terbang semua, lagi. Kan, sialan!
Arrrgggghhhh!
Dara benar-benar kesal. Ia masuk ke dalam rumahnya dengan memasang wajah bak serigala marah.
Para pembantunya bahkan nggak berani mendekat sedikit pun. Apalagi saat ini tuan dan nyonya nggak ada di rumah. Masih di kantor masing-masing. Mereka nggak mau bermasalah dengan Dara dalam keadaan seperti sekarang ini.
Terlihat Dara berjalan dalam hening, tidak teriak-teriak sebagaimana biasanya, namun kali ini lebih menyeramkan. Layaknya malam kelam yang horor dan mencekam.
Ah, mereka nggak mau mendekat. Hanya mengamati tingkah Dara dalam kejauhan.
Di satu sisi Dara sejujurnya sadar seluruh pembantunya sedang memperhatikannya, tapi di sisi lain ia nggak mau diganggu atau lebih ke rasa malas untuk menjawab semua keingintahuan mereka.
Dara tak mau menoleh, tetap berjalan ke arah kamarnya. Membuka pintu lalu menguncinya rapat-rapat. Ia siang ini mau memilih menenangkan diri di kamar. Tak mau diganggu siapa pun.
Baru aja melempar tubuhnya di atas kasur, ia merasakan getaran pelan dalam saku seragamnya. Dara mengambil ponsel itu ogah-ogahan. Terlihat dua pesan dengan waktu berbeda.
Pukul 11.00 WIB.
Detektif Conan: Jam 2 siang ini Kenn ada pertemuan di sebuah restoran SanMaldiv. Kabarnya menjamu salah satu rekanan penting yang sedang berkunjung ke Indonesia.Pukul 14.15 WIB.
Detektif Conan: Posisi Nona Dara ada di mana? Kenn dan tamunya sudah ada di tempat sejak tadi.Dara membelalak. Kok dia baru buka pesan ini sekarang? Harusnya kan dari tadi?
Seketika Dara terduduk kembali. Ia panik. Waktu udah menunjukkan jam dua lewat. Bagaimana bisa ia lupa acara sepenting ini?
Sial! Pasti ini gara-gara emosi yang tengah mencengkeramnya begitu kuat lantaran perkataan Alvin di sekolah. Sampai-sampai apa pun bisa ia lupakan kayak gini.
Dara mengacak rambutnya kasar. Ia mondar-mandir layaknya setrikaan. Dara bingung. Ia nggak tahu harus berbuat apa.
"Gue harus ngapain ya sekarang?" tanya Dara pada diri sendiri, masih berjalan bolak-balik.
Ia meremas-remas jemarinya, mengipas-ngipas wajahnya, gigit-gigit kuku, hingga yang terakhir membenturkan jidatnya ke tembok.
"Aha! Gue harus balas pesan Detektif Conan nih buat nunggu gue dulu."
Dengan segera ia menekan huruf-huruf yang ada di ponsel, lalu mengirimnya.
Dara: Detektif Conan tunggu gue. Ini masih di jalan hehe, muuuaaah 💏💝 *salam cipok*
Astaga ... benar-benar nih anak! Emang jago banget modus, tapi caranya itu membuat mual semua orang. Dia tahu jasa mata-mata yang dikirim Rian itu seorang pemuda yang lumayan keren. Katanya Dara, sambil menyelam minum air. Mumpung ada cowok ganteng harus dibuat seger-segeran. Emangnya es campur?!
Terlihat Dara berlari ke sana kemari mencari serta mengambil pilihan baju, kosmetik dan beberapa alat yang cocok untuk menyamar. Setelah menurutnya semua udah pas dan tepat, ia buru-buru turun ke bawah dan berteriak memanggil sopir pribadinya.
***
Satu jam lebih, mobil Dara baru sampai di dekat area restoran yang ia tuju. Mobilnya kejebak macet di perjalanan. Biasanya jika lalu lintas dalam keadaan normal hanya membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit. Alhasil ketika udah turun ia buru-buru menyeret kakinya ke arah pertemuan di luar restoran.Akan tetapi, orang yang disebut Detektif Conan oleh Dara itu langsung diam di tempat. Beliau tercengang, terkejut bukan main. Atau mungkin bisa dibilang langsung ngedrop, sengedropnya orang yang lagi drop.
Nggak ngedrop gimana, orang yang dilihat bukannya cewek remaja malah terkesan kayak orang-orangan sawah.
Ya, mau gimana, nah si Dara juga gitu. Masa mau ngintip aja dandanannya super nyeleneh. Pakai baju dengan bagian lengannya berumbai-rumbai hitam, celana putih, memakai wig panjang berwarna merah cerah dikombinasikan dengan kupluk hitam yang ada motif bling-bling. Pokoknya berkilauan. Jangan lupakan riasan yang serba gemerlap dibagian kelopak mata hingga membuat semuanya terlihat kontras dan bisa-bisa gagal pengintaian mereka.
Untung dari dua orang yang membantu Dara, ada salah satu di antara mereka berjenis kelamin wanita. Dia cepat tanggap dan meminjamkan jaketnya, juga mengubah segala penampilan Dara yang ia anggap terlalu berlebihan.
Setelah semua beres, Dara diajak ke dalam restoran melalui pintu masuk bagian belakang. Dengan segala perencanaan yang matang, mereka bisa masuk dengan mudah dan duduk agak menjauh dari meja pesanan Kenn.
Dara duduk diam, melihat Kenn sepenuhnya. Kenn yang sedang memakai setelan jas. Memandang Kenn yang menatap serius lawan bicaranya, gerakan Kenn saat minum, ketika cowok itu tersenyum hingga pada momen Kenn yang sekarang berdiri dan memeluk rekanannya sambil tertawa renyah.
Dara menganga, nggak bisa berkutik. Ia sampai meneteskan air liurnya menatap pemandangan indah di depan matanya. Kenn yang terindah. Kenn yang tercakep, terkeren, tertampan sepanjang masa, dan Kenn yang ... ugh! Pokoknya semuanya ada di Kenn.
Pembawaan Kenn emang tenang dan cuek. Menatap sorot matanya aja sering membuat Dara gemeteran tanpa sebab.
Dara benar-benar diserang oleh kekaguman yang membara. Fantasi-fantasi yang ada di kepalanya muncul silih berganti. Kebanyakan khayalam tentang yang nggak pantas disebut hingga membuatnya senyum-senyum sendiri bercampur wajah merona merah.
"Nona Dara, mereka sudah nggak ada."
Eh? Kesadaran Dara seakan-akan tercabut paksa. Matanya mengedar ke seluruh ruangan dan tidak ada batang hidung Kenn sama sekali.
"Tenang, semua masih terkendali. Tamunya sudah pergi, tapi Kenn masih di sini," lanjut lelaki tersebut.
"Kenn ke mana?"
"Saya cek tadi, Kenn berjalan masuk ke toilet," jawab si wanita dewasa.
Seketika Dara mengembuskan napasnya lega. Ia memperbaiki duduknya sembari meraih minuman pesanannya. Ia meneguk dengan pikiran was-was. Sesekali lehernya menengok ke arah papan petunjuk menuju ke toilet.
Ia gugup seandainya menatap wajah Kenn lagi. Pasti nanti abis dari toilet muka Kenn tambah segar dan wah. Benar-benar wah yang bikin ngiler. Apa ya itu namanya ... maksud Dara semakin tampan dan bersinar karena abis cuci muka, gitu.
Dara menunduk sambil menggosok-gosok pipinya dengan kedua tangan. Ia merasa geli sendiri bercampur malu. Ternyata Kenn jika pakai jas kantor kadar ketampanannya melonjak drastis. Makin keren dan uhuk.
Astaga ... ia seperti pasien rumah sakit jiwa. Senyam-senyum sendiri, dan susah nih sembuhnya. Kayaknya cuma Kenn yang bakal bisa dijadikan obat buat penyakitnya.
Gimana ya andaikan ia jadi pacarnya Kenn? Gimana ya kalau seumpama Kenn nanti tiba-tiba menghampiri mejanya dan mengucapkan kata cinta untuknya? Respons apa yang bakalan ia berikan?
Dara nggak tahan bayangin lagi. Ia memejamkan matanya kuat seraya tersenyum lebar. Tangannya pun menangkup kedua pipi sambil kaki mengentak-entak lantai dalam duduknya.
'Kyaaaaaaa ... bener-bener nggak nahaaan!'
Kedua orang sewaan yang di dekatnya memasang tampang beda-beda. Yang lelaki terlihat bingung disusul gelengan kepala, sedangkan sang wanita hanya mampu menahan tawa sekuat tenaga.
"Nona Dara waspada, Kenn sekarang berjalan keluar."
"Mana, mana?"
"Tetap tenang. Jangan menunjukkan gerakan mencurigakan," ujar Detektif Conan. "Di sana. Cowok yang barusan keluar dan memakai jaket kulit hitam. Itu Kenn."
"Kok udah ganti baju?" tanya Dara bingung dan juga penasaran.
"Mungkin ia ke toilet tadi emang sengaja mau ganti baju," sahut si wanita dewasa.
Dara manggut-manggut.
"Ayo, sekarang kita keluar!" perintah Detektif Conan, lalu segera diikuti Dara dari belakangnya.
Mereka kembali mengambil jalan bagian belakang, yang udah disiapkan dari awal oleh orang dalam restoran itu sendiri. Tidak mau ambil risiko apa pun. Pintu belakang menurut mereka lebih aman, sehingga tidak ada satu pun yang menaruh curiga ataupun andai kata ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.
Dara akhirnya melihat Kenn. Cowok itu emang udah mengganti jas dan kemejanya dengan baju lain yang dilapisi jaket kulit hitam. Namun, itu tak mengurangi kadar ketampanan seorang Kenn. Malah style tersebut seakan-akan Kenn banget. Cool dan keren abis.
Sayangnya, Kenn kini berjalan tapi diapit oleh dua orang. Yang satu wanita berambut sebahu, sementara yang satunya lagi seorang pria perkasa bertubuh gempal dan berotot. Kepalanya botak, lagi. Menyeramkan. Dara bergidik ngeri. Kelihatannya itu adalah bodyguard-nya Kenn. Tubuh Dara langsung keder.
Rencana baru dalam proses menyelidiki siapa Kenn yang sesungguhnya emang sukses besar. Semua udah terungkap dengan bantuan memakai jasa mata-mata handal. Segalanya diperkuat dengan bukti yang ia lihat sekarang, bagaimana seorang Kenn mampu menangani dalam sebuah pertemuan bisnis.
Namun, semua menjadi berkebalikan sama Dara. Ia tahu betapa tidak seimbangnya antara dia dan Kenn. Betapa terlalu sempurnanya seorang Kenn. Cowok itu ternyata orang yang sangat penting. Memiliki pengaruh besar dalam perusahan IT yang udah tersebar di berbagai negara.
Belum apa-apa Dara udah minder duluan. Bukannya ia nggak mau punya pacar sempurna, tetapi ia kan harus tahu diri juga. Iya, nggak, sih?
..........................***................................
Dering ponsel Rian terdengar saat ia baru saja memarkirkan mobilnya di depan sebuah hotel berbintang. Ia turun dari mobil sambil meraih ponsel dari sakunya."Halo?""Woy, udah sampai mana, lo?" teriak suara dari seberang telepon, hingga membuat Rian sedikit menjauhkan ponsel dari jangkauan telinganya. "Nih, banyak yang pada nanyain lo, terutama para cewek.""Kenapa pada nanyain gue?" tanya Rian sambil mengerutkan dahinya. "Harusnya lo yang mujur saat nggak ada gue," imbuhnya sembari berjalan dengan sebelah tangan berada di balik saku celananya."Mujur dari mananya? Bukannya mujur tapi babak belur gue kena cubitan dari tadi karena lo nggak dateng-dateng."Rian seketika tergelak. "Gue udah di area parkir hotel. Lo tenang aja, Ben. Penyelamat lo bakal datang bentar lagi."Beni—sahabat Rian sejak duduk di SMA—mengeluarkan sumpah serapah karena kepedean Rian yang nggak pernah berubah dari dulu.Rian makin ketawa kenceng,
Rian seketika terdiam. Menatap perempuan yang berdiri beberapa meter darinya.Dia ... cewek yang pernah ia lihat saat mengejar kelinci di depan rumah kecil Pak Samsudin dan istrinya—rumah yang emang khusus untuk penjaga sekolah—tempatnya berada di bagian belakang gedung olahraga.Dia ... cewek yang begitu riang ketika bercerita dengannya sambil memakan nasi bekal yang ia bawa tanpa mempertanyakan siapa namanya.Dia ... adik kelas yang ia kenal di seminggu terakhir SMA-nya.Dia ... satu-satunya cewek yang membuat Rian berpikir ulang untuk tidak menjadikannya pacar dan mencoba untuk mempertahankan kepolosannya.Dan dia ... cewek yang membuatnya membodohkan diri sendiri karena menyesal tidak mengenalnya sedari dulu.Akan tetapi, dari semua yang ia ingat, cewek itu bukan seperti cewek yang ada di bayangannya walaupun wajah itu tetap sama dan lebih dewasa. Tatapannya kini terlihat sendu, tidak memancarkan cahaya yang b
Setelah bahasan soal Inez ditutup, Beni dan yang lainnya kembali menikmati hidangan. Mereka memuji banyaknya makanan lezat yang telah dipesankan oleh Sita. Dengan bangga Sita memamerkan segala kasih sayang suaminya atas dukungan apa pun yang ia lakukan dan memberikan semua keinginkannya.Rumah tangga Sita dipenuhi cinta kasih. Para temannya ikut bahagia untuk Sita. Mereka kembali larut dalam gurauan tanpa menyadari ada salah satu temannya yang masih tenggelam dalam kesedihan.Rian masih aja mencuri pandang ke arah Inez yang kini udah sendirian lagi di tempat duduknya. Ia bahkan tidak menyentuh makanan di piringnya sama sekali. Nafsu makannya telah hilang semenjak kedatangan cewek itu.Tapi kemudian suara musik pop yang awalnya dibawakan oleh grup band di atas panggung, tiba-tiba tergantikan oleh DJ seksi yang mengisi acara, menciptakan suasana lebih meriah."Wow, nggak nyangka lo datangkan DJ juga, Ta!" seru Evi. Cewek lainnya juga pada heboh."Ya,
Hari minggu harusnya merupakan hari menggembirakan bagi semua anak sekolah. Tetapi buat Dara, minggu ini melambangkan hari yang begitu menyedihkan. Hari kelabu. Hari yang sangat suram baginya.Bagaimana tidak, setelah kemarin ia memutuskan mundur mengejar Kenn, sampai sekarang efeknya masih terasa. Ia laksana orang yang patah hati beneran.Tapi ada bedanya. Jika patah hatinya cewek remaja lain, mereka biasanya kebanyakan sedih dan menangis. Melakukan apa pun enggan. Sedangkan Dara itu beda, dia kalau udah frustrasi dan patah hati begini, bakalan kumat gilanya.Nggak percaya? Lihat aja penampilannya. Kini ia memakai baju bercorak aneh lagi. Aneh banget. Berwarna ungu kombinasi kuning, hijau, cokelat, pink, orange dan banyak lagi campuran lain. Ia juga memakai syal dengan warna senada. Bibir yang diolesi lipstik orange, menggunakan maskara, dan kelopak mata yang dibubuhkan warna ungu dan gold
Satu jam lebih Dara mencatok rambut keritingnya dibantu oleh Tukiyem. Kini rambutnya terlihat lurus dan lembut. Nggak sia-sia juga ia tadi sampai mengobrak-abrik majalah fashion kebanggaannya, membaca halaman berisikan tentang memadukan busana serta makeup secara benar.Lihat, sekarang ia tampak sempurna dengan gaun warna biru tua motif berkerut di lengan dan beberapa bagian lekukan tubuh yang tepat. Riasannya juga lebih natural dan nggak terlalu mencolok. Sehingga penampilannya kini terlihat cute dan manis.Jika Dara lagi normal emang kayak gitu, dandanan pun mengikuti kenormalannya. Nggak menyimpang dan masih dalam kaidah yang lurus.Setelah berpose ini itu ala model di depan cermin, Dara akhirnya tersenyum lebar. Ia udah puas dengan penampilannya, dan kali ini ia juga udah siap berkelana mencari gebetan baru yang super keren dan tampan."Mamaaaa, aku udah siaaaap!" teria
"Uh, gagal lagi deh dapet cowok tampan!" gerutu Dara sambil mengentak-entakkan telapak kakinya ke lantai.Iya, dia emang nggak pakai alas kaki apa pun. Sepatunya yang ia lempar ke sembarang tempat itu juga dibiarkan begitu aja. Nggak tahu ada di mana. Ia tinggal keluar dengan membawa kekesalan sampai ke ubun-ubun.Cewek itu sekarang ada di luar, di depan pagar tinggi sebagai pintu masuk utama. Bibirnya mengerucut sebal, kedua tangannya terlipat di depan dada. Berdiri seraya menatap jalan raya yang dilalui berbagai macam kendaraan."Masih lama nggak sih acaranya?" tanyanya pada diri sendiri. Sesekali ia melihat jam tangan. "Kalo tau gini mending gue tadi nggak ikutan mama ke sini deh."Ia cemberut. Tangannya mencengkeram asal tanaman pucuk merah di sampingnya, lalu ia cabut beberapa daun dan diremas-remas hingga tak berbentuk."Aduh-aduh, panas." Telapak kakinya kepanasan. Otomatis ia berje
Bunyi genderang perang berdentum-dentum di pikiran Dara. Sorak-sorai beramai-ramai mengobarkan semangat kemenangan. Nyanyian perasaan pun ikut mengalun seakan memberikan tambahan energi, mendorong suasana hati kian hidup.Ya, sang pencinta sekarang kelihatannya telah kembali. Harum bunga mekar pun kini tengah mengurai, menebarkan pesona hingga sang gelombang putus asa musnah, hilang dan bergantikan kekuatan dengan harapan baru.Patah hati? Nggak ada! Sedih? Udah lupa! Yang ada saat ini hanya rasa bahagia yang begitu menggelora. Perasaan Dara meledak-ledak, bergolak hebat, hampir menyaingi gejolak semangat pemuda dalam memberantas pemberontakan.Emang gitu. Dara emang lagi bahagia. Hanya karena ia berhasil memperoleh nomor HP kakak kelas incarannya—Ari.Dara yakin, kali ini ia akan berhasil menggaet gebetannya. Kenn dan Ari tentu berbeda.Jika sama Kenn, belum apa-apa Dara udah do
Rian berjalan ogah-ogahan. Bukan bermaksud untuk tidak sopan pada tamu yang datang untuk berkunjung, melainkan emang hari ini dia males ngapa-ngapain selain di rumah dan kumpul keluarga. Ia bahkan hari ini udah janji pada dirinya sendiri mau ngajak papanya main catur bersama. Mumpung libur kerja, ia nggak mau keluar dan melakukan sesuatu yang membosankan di luar.Padahal kalau dipikir-pikir tiap minggu atau libur kerja gini, dia biasanya ada aja kegiatan di luar. Dari pergi ke gym, belanja kebutuhan khusus pria, atau bahkan ngopi di kafe yang secangkir harganya ratusan ribu rupiah.Nah, sekarang aneh banget, kan?Ya, emang aneh. Keanehan itu muncul setelah pulang dari acara reuni. Lebih tepatnya usai pertemuannya dengan Inez.Rian menarik tubuhnya tetap jalan ke ruang tamu. Ada kepala menyembul dari balik sofa. Punggungnya yang tegak dan potongan rambut klimis ala mafia yang selalu ditata rapi ke belakang sontak membuat Rian memasang wajah makin males.
Brak!Pintu itu dibuka agak kasar oleh seseorang hingga membuat Inez kaget dan terbangun dari tidurnya. Dan benar saja orang itu penculiknya, cowok brengsek yang juga adalah ayah tirinya Inez.Ari terdiam sejenak. Ia tidak boleh terlalu lama di satu titik jika tidak mau ketahuan, apalagi ada anak sekecil Tio dan Bella. Tempat persembunyian mereka terlalu berisiko dan ia tak mau terjadi sesuatu terhadap mereka semua.Setelah berpikir beberapa saat, ia memutuskan mengajak mereka menjauh dari gudang. Ia meminta Dara menghubungi Rian, juga polisi untuk menyergap si pelaku secepat mungkin.Sementara itu, Inez yang terbangun dari tidurnya menyipitkan mata tatkala sinar matahari pagi masuk melalui pintu yang dibuka dan tepat mengenai netranya."Selamat pagi, Sayang."Mendengar suara menjijikkan yang ia kenal tersebut, seketika Inez tersadar, lalu menoleh ke arah sumber suara. Netranya membelalak panik. Saat Inez hendak bergerak ia merasa tangan dan kakinya tak bisa berfungsi. Sehingga ia haru
Hari ini demi sang kakak, Dara terpaksa bolos sekolah. Mau bagaimana lagi, semalam kakaknya pulang larut malam dalam kondisi yang mengenaskan. Baju kantor yang kusut, bau dan kotor. Belum lagi rambut yang acak-acakan dan dengan wajahnya yang begitu menyedihkan.Saat ia menyerbu kamarnya dan memaksa Rian untuk bicara, ternyata hal yang mengejutkan terjadi. Calon kakak iparnya diculik.Oh, tidak! Itu memang hanya pemikiran Dara, akan tetapi begitu sang kakak menceritakan awal mula Inez menghilang, tentu saja semua berpusat pada kemungkinan tersebut. Dan Dara sangat yakin calon kakak iparnya yang cantik itu pasti diculik oleh pria brengsek yang telah memerkosanya dulu.Membayangkan kenangan buruk dari calon kakak iparnya itu lagi, Dara merasakan kesedihan yang mendalam. Menurutnya memori tersebut sangat kejam dan memilukan.Maka dari itu, pagi-pagi meski ia pamitnya pergi sekolah—saat ia tiba di depan gerbang dan setelah menyuruh sopir pribadinya pulang—nyatanya ia tidak masuk melainkan m
Rian segera memarkirkan mobilnya di depan minimarket begitu melihat mobil yang ditumpangi Desi dan Dina telah berjalan menjauh. Cowok itu sontak berlari mengejar Devita yang berjalan tak seberapa jauh darinya.Rian sengaja menunggu sampai Devita berbelok, di sebuah gang yang cukup sepi ia memanggil Devita yang kini menoleh ke arahnya."Tante, selamat malam," sapa Rian dengan sopan saat sudah tepat di depan Devita, dan memang saat ini waktu menunjukkan pukul 6.00 malam."Nak Rian? Malam juga. Ada apa kok malam-malam ke sini?" jawab Devita, dahinya berkerut bingung."Begini, Tante. Saya cuma mau tanya, apa ... Inez sudah pulang ke rumah?"Ada sekilas kilatan kaget terlintas di mata itu. "Bukannya Inez bersama Nak Rian?" tanya balik Devita. Tiba-tiba pandangannya meredup dan berubah sedih. "Semenjak Inez memutuskan pergi dari rumah, sampai sekarang dia nggak pernah pulang, Nak," lanjutnya, lalu berubah panik. "Katakan sama tante, apa terjadi sesuatu dengan Inez?"Sejenak Rian terlihat rag
Sore hari sekitar pukul 16.45 Rian tiba di depan rumah kontrakan yang bergaya minimalis, tentu saja menemui pujaan hatinya. Ia buru-buru memarkir mobil dan turun sambil membawa dua buket bunga yaitu mawar merah dan bunga tulip putih. Inilah alasan mengapa ia telat datang. Sepulang kerja bukannya langsung menemui sang pacar sesuai janjinya, ia malah mendatangi toko bunga terlebih dahulu.Cowok itu tak tahu pacarnya menyukai bunga apa, karena ia takut salah sehingga ia memilih dua macam bunga sekaligus agar nanti sang kekasih bisa memilih sendiri di antara kedua bunga tersebut. Setahu Rian dari pengalaman dia sebagai playboy selama ini—dari banyaknya cewek yang ia kencani—mereka lebih dominan menyukai bunga mawar dan tulip putih. Tapi jika nanti Inez tidak menyukai keduanya, ia akan dengan senang hati mengantar cewek yang dicintainya itu langsung ke toko bunga untuk memilih bunga kesukaannya secara langsung. Jangan lupa ia juga membelikan cokelat berbentuk hati untuk Inez dan berharap g
Menilik raut wajah dan gelagat aneh dari kekasihnya, membuat Rian tak kuasa menahan rasa penasarannya."Siapa, Sayang?" tanya Rian.Inez tersentak."Oh, nggak siapa-siapa kok." Gugup menghinggapi. Ia menggenggam ponselnya kuat-kuat. "Cuma iklan nggak penting," lanjutnya sembari berusaha tersenyum senatural mungkin.Inez tak mau memberitahukan kepada Rian, bukan bermaksud apa-apa, ia hanya tak ingin membuatnya khawatir. Ia sudah terlalu banyak membebani dan merepotkan Rian.Meski Inez berusaha keras menampilkan wajah senormal apa pun, tetap saja senyum kaku dan gestur tubuhnya tak bisa membohongi Rian. Lelaki itu hanya tersenyum tipis, mencoba mengerti dan tak mau memaksa kekasihnya untuk jujur padanya. Ia yakin Inez mempunyai alasan sendiri, ketika saatnya tiba ia percaya bahwa kekasihnya akan mengutarakan semuanya."Ya udah gue cabut dulu," ujar Rian, berdiri seraya merapikan kemejanya."Kok cepat banget?" Inez berkata cepat seraya ikut berdiri, menatap kecewa ke arah cowok yang dici
Andin terperangah mendengar Ari bertanya kepadanya bahwa siapa cewek yang pantas untuk menjadi pacarnya? Dan apakah itu dirinya?Andin terdiam sambil berpikir. Apakah ia harus mengiyakan?Tentu saja siapa cewek yang nggak ingin punya pacar sebaik Ari. Selain baik, cowok itu sangat setia.Sejak ia bertemu Ari di tempat karaoke yang dipesan Alvin dan menyuruhnya serta teman-temannya untuk menjebak Ari waktu itu, ia sudah sangat terkesan dengan kesetiaannya yang notabene tidak tergoda sama sekali atas rayuan mereka. Bahkan bisa dikatakan rencana mereka gagal total.Tapi bagi Andin, jarang ada cowok yang begitu setia akan pasangannya dan tidak tergoda satu pun oleh banyaknya cewek cantik yang mengelilinginya. Apalagi menurutnya, Ari terlihat tampan, kalem dan begitu menghargai cewek.Andin membasahi bibirnya gugup. "Ar, bukan gitu maksud gue—""Lalu apa?"Tatapan Ari masih begitu dingin. Ia sebenarnya tidak mempunyai kecurigaan apa pun terhadapnya, bahwa perubahan sikap Dara ada sangkut p
Sejak Dara berani berkata jujur di depan Rian, Inez, dan Ari waktu itu, kini hubungan keduanya makin adem ayem dan sejahtera. Dara tak lagi menuntut Ari untuk menciumnya ataupun melakukan sesuatu yang nyeleneh, di mana Dara selalu ingin menerkam Ari dengan khayalan tingkat tingginya.Ari juga merasa aman tatkala melihat perubahan Dara sekarang. Sejujurnya inilah yang diinginkan Ari dalam sebuah hubungan. Seperti air mengalir, tak harus terburu-buru seolah dikejar sesuatu. Bahkan Ari sangat bersyukur karena kini ia tak pernah mengalami mimpi buruk lagi.Dara yang sekarang adalah cewek yang lumayan terkendali. Ia tak pernah lagi meminta hal-hal yang tak disukai Ari, tidak memaksa melakukan suatu hal yang berlebihan dalam berpacaran. Walaupun dalam mengungkapkan sesuatu masih dengan gaya lebay, tetapi itu tak membuat Ari muak atau menjauhinya. Bisa dibilang ia udah mulai terbiasa dengan tingkah absurd Dara. Selama itu masih dalam batas wajar, Ari rasa semua bisa diterima.Siang ini tampa
"Kamu nggak akan meninggalkanku kan, Sayang? Kamu nggak akan mengkhianatiku, kan?""Kenapa? Apa kamu takut aku akan mengkhianatimu seperti kamu mengkhianati suamimu yang dulu?"Devita terperangah. Hatinya mendadak getir. Ia meneguk ludahnya kasar, lalu mengangguk pelan.Fery mendengkus. Ia mengangkat tangannya, menjepit dagu Devita sambil tersenyum sinis. "Tenang saja. Aku nggak akan meninggalkanmu selama kamu menuruti semua yang aku mau."Setelahnya, ia beranjak keluar dari kamar, meninggalkan Devita yang menatapnya sedih.Melewati dapur, Fery melihat Inez sedang meraih teko di meja makan. Gadis itu menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya. Gerakan gadis itu sangat tenang dan terlihat tak menyadari kedatangannya. Tiba-tiba Fery tertegun. Ia merasa leher jenjang itu sangat mulus, indah dan cantik. Setiap tegukan yang Inez minum, Fery merasa tubuhnya bereaksi tak normal.Ini adalah reaksi kesekian kalinya tiap ia menatap Inez. Dari dulu dan sampai sekarang, tidak pernah berubah.
"Halo, Tante," sapa Rian ramah. "Halo juga, Nak Rian. Makasih sudah antar Inez pulang. Tante benar-benar khawatir, nggak biasanya Inez keluar pagi-pagi sekali." "Sama-sama. Apa tante nggak tau? Dalam minggu ini Inez mendapatkan shift pagi untuk menggantikan temannya yang lagi cuti kerja. Mungkin juga nanti bisa sampai lembur." "Benarkah? Inez belum mengatakannya pada Tante," kata Devita sambil menatap Inez yang saat ini tampak memalingkan mukanya ke arah lain, menghindari tatapan beliau. Dalam hal ini Rian sengaja berbohong untuk mengantisipasi Inez jika ingin keluar pagi lagi. Itu supaya kekasihnya mempunyai alasan kuat agar terhindar dari kecurigaan sang mama tentang rentetan pertanyaan yang tidak ingin didengar gadis itu. Tentu saja juga untuk mengurangi interaksi antara Inez dan ayah tiri brengseknya. "Melihat kini tante disibukkan oleh seseorang yang telah kembali ke rumah, mungkin Inez belum ada kesempatan untuk menyampaikannya sama tante." "Jadi begitu," balas Devita gugup