Kurang 3 bab lagi tamat ya.
Brak!Pintu itu dibuka agak kasar oleh seseorang hingga membuat Inez kaget dan terbangun dari tidurnya. Dan benar saja orang itu penculiknya, cowok brengsek yang juga adalah ayah tirinya Inez.Ari terdiam sejenak. Ia tidak boleh terlalu lama di satu titik jika tidak mau ketahuan, apalagi ada anak sekecil Tio dan Bella. Tempat persembunyian mereka terlalu berisiko dan ia tak mau terjadi sesuatu terhadap mereka semua.Setelah berpikir beberapa saat, ia memutuskan mengajak mereka menjauh dari gudang. Ia meminta Dara menghubungi Rian, juga polisi untuk menyergap si pelaku secepat mungkin.Sementara itu, Inez yang terbangun dari tidurnya menyipitkan mata tatkala sinar matahari pagi masuk melalui pintu yang dibuka dan tepat mengenai netranya."Selamat pagi, Sayang."Mendengar suara menjijikkan yang ia kenal tersebut, seketika Inez tersadar, lalu menoleh ke arah sumber suara. Netranya membelalak panik. Saat Inez hendak bergerak ia merasa tangan dan kakinya tak bisa berfungsi. Sehingga ia haru
"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa ... tidaaaaaaaaaak...." Suara menggelegar itu bersumber dari Dara, cewek peran utama di cerita ini. Dia lari pontang-panting sambil tak henti-hentinya mengelap bibirnya. Dara malu berat, tanpa menoleh ke kanan kiri ia berlari keluar ruangan dengan kecepatan kilat. Ia tak menghiraukan tatapan aneh dari orang-orang di restoran itu, ia bahkan mendadak tuli saat sang manajer restoran menanyakan keadaannya. Yang ia pedulikan sekarang cuma nasib bibirnya. Ia pengin nangis, tapi lebih dominan malu. Ngenes dan segala macam wabah terasa menyerangnya sekarang. Bayangin aja, udah sewa tempat mahal-mahal di restoran elit punya keluarga Tomi, belum lagi pesan semua menu makanan seabrek yang harganya bisa ngalahin beli motor baru, bukannya berhasil malah rencananya gagal total hanya karena ia salah target. Salah targetnya nggak tanggung-tanggung. Ia salah nyosor orang. Bukan sembarang orang, melainkan sama bapak-bapak yang udah berumur 40-an tahun. Hueek! Diusapnya ke
Dok, dok, dok!Terdengar bunyi pintu digedor oleh Dara. Bukan pakai punggung jari tangan, melainkan menggunakan kepalan tangan yang dihantam-hantamkan ke pintu hingga menimbulkan suara yang teramat kencang."Kak Rian, buka!"Dok, dok, dok, dok!"Gue tau lo baru dateng. Lo ada di dalem, kan?!""Nggak!" seru Rian yang kini duduk menyandarkan diri di sofa sembari merenggangkan ikatan dasinya."Nah, tuh lo yang jawab. Kalo bukan lo, terus siapa?"Mendengar itu, Rian tertawa kecil seraya membuka kancing lengan kemejanya lalu ia gulung sampai siku. Sedangkan Dara, ia tengah menempelkan telinganya di daun pintu, menunggu sahutan dari kakaknya."Jelangkung," jawab cowok itu, asal."Hah, mana ada! Kak, buka dong. Gue mau marah, nih!"Mau marah tapi ngomong dulu? Kalau udah begini, emangnya reaksi
"Tom, tunggu!" Suara Dara melejit bak roket, menyerang sesosok cowok yang berjalan beberapa meter di depannya.Cowok yang lagi memainkan kunci mobil di tangannya sontak berhenti dan berbalik ke belakang. Ia mengerutkan dahi begitu melihat sahabat centilnya berlari ke arahnya."Tom, huft, huft, huft....""Lo kenapa? Mau ngelahirin?""Sembarangan! Bentar, gue atur napas dulu. Huft, huft, huft, huft—""Oh, kirain abis ciuman sama Paman Agus, lo bakal langsung ngelahirin anak.""Ngawur! Amit-amit, jangan sampai," pekik Dara, yang membuat Tomi langsung terbahak. "Ikut gue, yuk!""Eh, ke mana dulu?""Udah, ikut aja deh. Penting banget ini, demi hidup dan mati gue."Tomi mencibir, meskipun ia tahu setiap perkataan Dara nggak ada yang bisa dipercaya—kebanyakan suka dilebih-lebihkan—tetapi ia tetap pasrah sa
Kurang dari lima menit, Dara baru masuk ke kelas X-1 dan mendapati Udin udah bertengger di samping Frel—sahabat karibnya—yang sepertinya tanpa cewek itu sadari begitu melihat Frel tengah asyik mengerjakan soal di buku paket pelajaran.Mengingat jam pertama ada pelajaran matematika, mungkin ia lagi mencoba mengisi beberapa pertanyaan tersebut. Sahabatnya itu emang kayak gitu, dari kecil Frel tergolong sangat cerdas mengenai semua pelajaran eksak. Makanya, Dara nggak kaget sahabat baiknya itu bisa masuk di sekolah elit ini lewat jalur beasiswa prestasi yang kebanyakan diisi oleh jajaran anak-anak dari kalangan teratas.Mumpung Frel masih belum nyadar, cepat-cepat Dara duduk di bangkunya Udin yang bersebelahan dengan Daniel, si cowok berwajah hitam dan berperut gendut hingga para teman di kelas sering menyebutnya "Kuda Nil"."Ra, lo ngapain minta tukar bangku sama Udin?""Ssttttt, kuda nil diem. B
Dara ingin melabrak orang. Siang ini ia ingin makan orang. Ia ingin sekali mematahkan tulang leher orang. Pengin mencakar wajah songong kakak kelasnya yang bernama Alvin. Tapi mana bisa?Tuh cowok emang belagu banget. Banyak tingkah. Andai aja tadi nggak ada cowok sableng satu itu, palingan ia sekarang bisa lebih dekat lagi dengan Ari.Pokoknya tuh cowok perlu dimusnahkan. Nyebelin, nyindir kulitnya yang nggak bisa dilihat segala, pakai acara bawa kata-kata giginya terbang semua, lagi. Kan, sialan!Arrrgggghhhh!Dara benar-benar kesal. Ia masuk ke dalam rumahnya dengan memasang wajah bak serigala marah.Para pembantunya bahkan nggak berani mendekat sedikit pun. Apalagi saat ini tuan dan nyonya nggak ada di rumah. Masih di kantor masing-masing. Mereka nggak mau bermasalah dengan Dara dalam keadaan seperti sekarang ini.Terlihat Dara berjalan dalam hening, tidak ter
Dering ponsel Rian terdengar saat ia baru saja memarkirkan mobilnya di depan sebuah hotel berbintang. Ia turun dari mobil sambil meraih ponsel dari sakunya."Halo?""Woy, udah sampai mana, lo?" teriak suara dari seberang telepon, hingga membuat Rian sedikit menjauhkan ponsel dari jangkauan telinganya. "Nih, banyak yang pada nanyain lo, terutama para cewek.""Kenapa pada nanyain gue?" tanya Rian sambil mengerutkan dahinya. "Harusnya lo yang mujur saat nggak ada gue," imbuhnya sembari berjalan dengan sebelah tangan berada di balik saku celananya."Mujur dari mananya? Bukannya mujur tapi babak belur gue kena cubitan dari tadi karena lo nggak dateng-dateng."Rian seketika tergelak. "Gue udah di area parkir hotel. Lo tenang aja, Ben. Penyelamat lo bakal datang bentar lagi."Beni—sahabat Rian sejak duduk di SMA—mengeluarkan sumpah serapah karena kepedean Rian yang nggak pernah berubah dari dulu.Rian makin ketawa kenceng,
Rian seketika terdiam. Menatap perempuan yang berdiri beberapa meter darinya.Dia ... cewek yang pernah ia lihat saat mengejar kelinci di depan rumah kecil Pak Samsudin dan istrinya—rumah yang emang khusus untuk penjaga sekolah—tempatnya berada di bagian belakang gedung olahraga.Dia ... cewek yang begitu riang ketika bercerita dengannya sambil memakan nasi bekal yang ia bawa tanpa mempertanyakan siapa namanya.Dia ... adik kelas yang ia kenal di seminggu terakhir SMA-nya.Dia ... satu-satunya cewek yang membuat Rian berpikir ulang untuk tidak menjadikannya pacar dan mencoba untuk mempertahankan kepolosannya.Dan dia ... cewek yang membuatnya membodohkan diri sendiri karena menyesal tidak mengenalnya sedari dulu.Akan tetapi, dari semua yang ia ingat, cewek itu bukan seperti cewek yang ada di bayangannya walaupun wajah itu tetap sama dan lebih dewasa. Tatapannya kini terlihat sendu, tidak memancarkan cahaya yang b