"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa ... tidaaaaaaaaaak...." Suara menggelegar itu bersumber dari Dara, cewek peran utama di cerita ini.
Dia lari pontang-panting sambil tak henti-hentinya mengelap bibirnya. Dara malu berat, tanpa menoleh ke kanan kiri ia berlari keluar ruangan dengan kecepatan kilat. Ia tak menghiraukan tatapan aneh dari orang-orang di restoran itu, ia bahkan mendadak tuli saat sang manajer restoran menanyakan keadaannya.
Yang ia pedulikan sekarang cuma nasib bibirnya. Ia pengin nangis, tapi lebih dominan malu. Ngenes dan segala macam wabah terasa menyerangnya sekarang.
Bayangin aja, udah sewa tempat mahal-mahal di restoran elit punya keluarga Tomi, belum lagi pesan semua menu makanan seabrek yang harganya bisa ngalahin beli motor baru, bukannya berhasil malah rencananya gagal total hanya karena ia salah target.
Salah targetnya nggak tanggung-tanggung. Ia salah nyosor orang. Bukan sembarang orang, melainkan sama bapak-bapak yang udah berumur 40-an tahun. Hueek!
Diusapnya kembali bibirnya dengan kasar, sambil mempercepat langkah menuju parkiran mobil.
"Acaranya udah selesai, Non?" tanya Pak Komar yang panik melihat anak dari majikannya keluar restoran dengan tampang mengerikan.
Warna bibir dari lipstik merah yang Dara pakai, cemong sana-sini.
"Pulang, Pak!"
"Sekarang, Non?" tanya Pak Komar lagi. Nggak tahu situasi sedang dalam keadaan darurat.
"Nggak, Pak, masih lama. Tahun depaaan. Jauh kok, jauh." Lalu matanya melotot sembari berkacak pinggang. "Ya ... sekaranglaaah!"
"I-iya, Non." Kalau udah begini, Pak Komar nggak mau ngebantah, bisa-bisa perang drama di mulai lagi.
Beliau lekas membuka pintu mobil untuk Dara, kemudian menstarter dan menjalankannya dalam diam.
"Stop, stop, Pak," seru Dara sembari menepuk-nepuk bahu Pak Komar dari belakang hingga membuat beliau mengerem mendadak.
"Duh, Non, kalau minta berhenti jangan mendadak gini dong, Non. Untung jalan lumayan sepi," kata Pak Komar sambil mengelus dadanya. Takut kena serangan jantung.
Dara cengengesan, tapi cuma bentar. Abis gitu, "Pak, liat tuh ada supermarket. Turun gih, belikan gue tisu. Nih uangnya."
"Beli berapa, Non?"
"Semuanya."
"Eh, nggak salah, Non? Ini kan uangnya seratus ribu. Harga tisu palingan cuma sepuluh ribuan doang, Non."
"Haduh, Pak. Nggak usah banyak ngomong, deh. Gue bilang semua ya semua." Tak ada beberapa detik matanya berubah berkaca-kaca. "Gu-gue, gue ... abis ketiban sial nih, Pak. Kasian amat kan gue? Makanya, cepetan! Huaaaa...."
Tanpa ba-bi-bu, Pak Komar langsung lari terbirit-birit, mematuhi perintahnya. Kasian, beliau sampai hampir kesandung batu di perjalanan. Saking pengin cepat-cepat dapat tuh tisu.
Melihat Pak Komar memasuki mobil sambil membawa sekantong plastik besar, Dara langsung menyambarnya. Ia buka dan mengambil beberapa lembar tisu secara asal dari kemasan.
"Gu-gue apes banget hari ini, hiks," mulai Dara dan dibarengi sesenggukan seraya menghapus warna lipstik dengan tisu di tangannya. "Padahal niat awalnya gue kan mau nyiiiiuum Kenn."
Gleg!
Pak Komar yang lagi fokus menyetir refleks menelan ludahnya dengan memasang muka seperti abis salah minum obat.
"Tapi ... malah kena Paman Agus." Dara bergidik ngeri saat sekelebat bayangan rasa yang sempat ia cicipi tadi. "Uueeek," Dara ingin muntah tapi nggak ada satu pun yang keluar. Ia benar-benar mual mendadak.
Buru-buru ia mengobrak-abrik tas tangannya, lantas mencomot kaca kecil. Ia ambil lagi segenggam tisu dan mengusap bibirnya di depan kaca yang ia bawa. Lagi, lagi dan lagi, sampai-sampai nggak terasa udah abis dua kemasan tisu.
"Aaaaaah, ini mah abis berapa banyak tisu pun nggak akan mempan, nih. Hilang sih hilang, tapi kan rasanya masih tetap. Huuaaaaa...." Dara mencak-mencak, menangis, meratapi nasib buruknya. "Keeeenn, lo tadi kenapa harus pindah duduk, sih?! Kenapa bukan lo yang gue cium?? Huuaaaaa."
Dara mewek, menumpahkan isi hatinya, masa bodoh sopirnya mau mendengarkan apa nggak.
"Gue suka banget sama lo, Kenn. Dari sekian banyak cowok yang gue temui, gue rasa cuma lo yang super keren. Pokoknya ganteng level dewa!" ujarnya bersemangat ketika mengucapkan kalimat terakhir. "Oh, Keeenn, lo nggak tau betapa gue termehek-mehek sama lo. Gue dandan seseksi ini buat siapa coba? Buat lo. Gaun merah mentereng ini juga demi siapa coba? Ya, demi lo. Liat, semua sia-sia," lanjutnya, lalu menarik sepasang kaus kaki yang berada di balik dadanya.
Ia menatap kaus kaki itu dengan miris. Ia goyang-goyangkan dan mengerang. Padahal udah ia siapkan matang-matang, tapi malah berantakan semua.
Sementara Pak Komar, beliau memilih menjadi batu, tak mengeluarkan sepatah kata pun dan berusaha secepat mungkin agar lekas sampai di rumah. Kepalanya udah pusing, pening mendengar perkataan ceplas-ceplos dari majikan kecilnya.
***
Sesampainya di halaman depan rumah, Dara berteriak sekencang-kencangnya, meneriaki semua nama pembantu yang berjumlah enam orang."Gue mau kalian semua carikan kembang tujuh rupa. Sekarang!"
"Baik, Non," kompak mereka semua, meskipun kenyataannya pertanyaan-pertanyaan pada berjubel di kepala.
Para pembantu itu hanya bisa balik badan memunggungi Dara, nggak jalan, tetapi saling sikut satu sama lain serta bisik-bisik sendiri.
"Memangnya buat apaan sih kembang tujuh rupa?" tanya Tukiyem, gadis desa yang polosnya kebangetan.
"Nggak tau, mungkin buat manggil jin." Ini jawaban ngawur Paijo.
"Oh, buat sesajeeeen...." Nah ini nih, si Mbok Darmi yang apa-apa selalu dikaitkan dengan berbau-bau kejawen.
"Buat persembahan gitu, ya?"
"Kayaknya bukan. Aku yakin buat keramasan. Itu tuh siraman untuk calon pengantin." Sriani yang sok tau ikut angkat bicara.
Dara sih mau aja jadi pengantin tapi juga bukan hari ini. Ya, kali, usianya kan masih 16 tahun. Ini aja masih jomblo, ngejar pangeran juga belum kesampaian.
"Oh, aku tau. Palingan buat nyantet orang."
"YA, BUAT NYANTET LO PADA!" sembur Dara saat itu juga sambil melotot murka. Lagian, bisik-bisik tapi suaranya nggak dikecilin sama sekali. Dikira telinga dia budek, apa!
Serta-merta mereka semua berbalik dengan tampang cengengesan, ada yang garuk-garuk kepala sama lengan. Memasang wajah tanpa dosa.
"Ya, udah sana! Ngapain kalian pringas-pringis? Pokoknya malam ini harus dapet. CEPETAN!!"
"I-iya, Non." Setelahnya, para pembantu itu lari kocar-kacir.
Sebenarnya kalau boleh jujur, mereka nggak ada satu pun yang takut sama omelan Dara, bisa dibilang itu lebih normal untuk ukuran manusia. Masalahnya, majikannya ini kalau udah kumat bakal bikin repot semua warga rumah. Ia sering melakukan tindakan di luar nalar. Maksudnya, di luar batas wajar. Tuh anak bisa ceramah sepanjang hari non stop. Dan mereka, nggak ada satu pun mau kebagian diceramahin Dara yang terkenal lebay dan bikin sakit kepala.
"Ada apa sih, Ra? Malem-malem teriak-teriak kayak apaan aja. Tadi mama denger kamu minta kembang tujuh rupa, buat apaan coba?" tanya Nita—sang mama—tiba-tiba datang dari dalam.
"Haduh, Mamaaa. Anak cantikmu yang super duper seksi, baik hati, ramah, tidak sombong dan juga manisnya yang nggak ketulungan ini lagi ketiban sial, Ma."
"Udah, udaaaah. Mama udah pusing, denger ocehan kamu makin tambah pusing. Jawab yang bener, jangan ngelantur ke sana kemari."
"Ih, Mama. Nggak banget, deh," gerutunya kesal. "Dara tuh butuh sesuatu yang bikin apa ya, emm ... kayak—"
"Buat apa?!" potong sang mama dengan suara yang nggak ada lembut-lembutnya. Tatapannya memicing ke arah Dara seraya melipat kedua tangan di depan dada.
Sedangkan Dara sontak mengentakkan kakinya ke lantai, menghirup udara panjang lalu diembuskan dengan gaya lebay.
Ia menatap sang mama sejenak, kemudian melengos sambil manyun. "Buat menyucikan diri, Ma...," sahutnya sembari menyeret kakinya ke dalam rumah, dengan tak lupa membawa plastik yang berisi tisu di tangan kanannya.
Mendengar jawaban Dara, Nita hanya geleng-geleng kepala. Ia menghela napas dalam. Terkadang bertanya-tanya sendiri, dulu waktu hamil ia ngidam apa sampai punya anak sedemikian luar biasa.
Tapi jika dipikir-pikir, jawaban Dara tadi ada benarnya juga. Ia niatnya emang menyucikan diri dengan kembang tujuh rupa, cuma bedanya bukan tubuhnya, melainkan di bibirnya.
Dara nekat ingin menyucikan bibirnya agar kembali seperti semula. Biar bersih dan suci lagi. Biar nggak ada sesuatu apa pun dari Paman Agus melekat di bibirnya. Ih, amit-amit!
Di dalam kamar, sambil menunggu pesanan kembangnya datang, ia mengaduk-aduk meja riasnya yang berisikan berbagai macam alat kosmetik. Dara mengambil pensil bibir dan ia oleskan pada bibirnya. Tak selang berapa lama ia berganti memoleskan scrub bibir, dihapus lagi pakai tisu, ganti dengan masker bibir, hapus lagi, yang terakhir ia mengganti dengan lip gloss.
Tak ada beberapa detik Dara cepat-cepat berlari ke kamar mandi, menggosok-gosokkan bibirnya dengan sabun cuci muka serta air dari semua bekas kosmetik yang telah ia gunakan.
Sungguh, Dara frustrasi. Pokoknya ia bernafsu ingin membebaskan bibirnya dari segala macam musibah. Musibah yang nggak dia inginkan. Termasuk pencemaran racun dari bibir si paman yang udah mempunyai anak dua.
"Udah ilang belum ya, bekas bibirnya?" tanya Dara dengan dirinya sendiri di depan kaca. Ia monyong-monyongkan tuh bibir, mencoba meneliti kira-kira masih ada apa nggak bekas bibir Paman Agus yang menempel di sana. "Kayaknya udah, deh."
Namun, tahu-tahu bayangan kejadian saat dia sendiri yang mencium Paman Agus—yang dikira Kenn—dengan penuh perasaan di tempat gelap, mencecap-cecap kayak minum kecap, itu kembali melayang-layang di kepalanya, Dara kontan berteriak histeris. "Ampuuuun! Tuh bapak-bapak nggak capek apa ngejar gue terus?!"
Ia menggebrak wastafel di depannya. "Auw, sakiiiit!" ringisnya kesakitan.
Dara udah nggak tahan lagi, ia berbalik ke kamar dan loncat ke kasur, bergelung di selimut sambil teriak-teriak kayak orang gila.
Tok, tok, tok!
"Non Dara, Non. Buka pintunya, Non." Suara gedar-gedor dari luar membuatnya spontan menghentikan kelakuan abnormalnya.
"Siapaaaa...?"
"Saya, Non. Tukiyem."
"Ada apa, Yem?" Suara Dara mengudara sembari menyingkap selimut sampai batas perut.
"Non, ini kembang tujuh rupa udah dapet."
Seketika ia bangun dari tidur, lalu segera mungkin membuka pintu kamar. "Mana? Mana?"
Si Tukiyem buru-buru menyerahkan bungkusan plastik itu kepada majikannya."Ini, Non."
"Dapet dari mana, nih?" tanya Dara sambil membuka plastik itu dengan semangat membabi buta.
"Temannya Paijo ternyata jualan kembang kayak ginian, Non. Cuma ... karena udah malem, kembangnya agak layu, Non."
"Oh, nggak apa-apa. Nggak masalah. Yang penting dapet." Dara tersenyum tiga jari. "Bentar, lo di sini dulu ya," tambahnya seraya masuk ke dalam lagi dan mengambil uang seratus ribuan sebanyak enam lembar. "Ini, buat kalian pada. Dibagi ya."
Mata Tukiyem membola, ia mengangguk-anggukkan kepala antusias. "M-makas—"
BLAM!
Pintu keburu ditutup. "Sama-sama!" teriak Dara dari dalam kamar, terus ngacir ke kamar mandi untuk selesaikan ritual menyucikan diri atas nama bibir.
Beberapa menit kemudian, terlihat Dara keluar dari kamar mandi. Wajahnya cerah secerah lampu petromaks, senyum semringah tak luntur dari bibirnya. Sang kekuatan memancar pada gerak-gerik tubuh yang kelewat membara, seakan hari ini adalah hari di mana telah dilahirkannya kembali bibir yang suci dari hadas dan najis.
"Huft, akhirnya ... suci juga nih bibir. Udah wangi nih, udah wangi. Secara, baru dimandikan oleh keharuman kembang tujuh rupa yang berbeda-beda. Haruuuum...." Dara mulai kumat, ia meniup-niupkan napas dari mulutnya. Memonyong-monyongkan bibir, sesekali ia belai lembut bagaikan iklan seprai yang mejeng di layar kaca. "Kayak hidup lagi, gitu," tambahnya sembari senyum-senyum sendiri. Mulai sedeng nih anak. Nggak waras!
Tiba-tiba, terdengarlah suara nyanyian serta siulan dari luar kamarnya. Ia hafal banget siapa yang baru pulang kerja malam-malam gini. Kebiasaan. Ada tiga kemungkinan tuh anak pulang malam. Pertama, ia lagi dapat proyek besar dan rapatnya baru selesai. Kedua, nggak ada apa-apa, cuma sekadar malas-malasan terus ketiduran di kantor. Ketiga, apa lagi kalau bukan abis dari kantor terus mampir ke cewek-cewek mainannya yang seabrek.
Dan Dara nggak peduli kakaknya itu dalam tahap pakai alasan yang pertama, kedua atau ketiga. Yang ia pedulikan sekarang harkat dan martabatnya kini udah jatuh terinjak-injak.
Mengingat lagi siapa dalang dari rencana busuk itu, Dara langsung geram setengah mati. Kebetulan. Kali ini ia nggak akan lepasin tuh setan buluk dengan mudah.
Cklek.
Bunyi pintu di sebelah kamarnya terdengar samar, bersamaan dengan emosi Dara yang naik ke ubun-ubun. Ia menggertakkan gigi dengan napas yang tak beraturan. Mata menajam, kedua tangan terkepal erat, hidung kembang kempis diiringi aura gelap yang kian memancar.
Dara mulai bersiap mengeluarkan seluruh kekuatan yang ia punya. Menghirup udara sebanyak-banyaknya, dan....
"KAK RIIIIIAAAAAANNNN!!!!!"
...........................***...............................
NB :Untuk yang penasaran si Dara sampai salah nyosor Paman Agus, yang belum tahu kalian bisa baca JUDUL : FREL. Disana ada awal mula Dara membuat rencana laknat untuk Kenn dan apa saja yang telah dilakukan Dara untuk Kenn.
Dok, dok, dok!Terdengar bunyi pintu digedor oleh Dara. Bukan pakai punggung jari tangan, melainkan menggunakan kepalan tangan yang dihantam-hantamkan ke pintu hingga menimbulkan suara yang teramat kencang."Kak Rian, buka!"Dok, dok, dok, dok!"Gue tau lo baru dateng. Lo ada di dalem, kan?!""Nggak!" seru Rian yang kini duduk menyandarkan diri di sofa sembari merenggangkan ikatan dasinya."Nah, tuh lo yang jawab. Kalo bukan lo, terus siapa?"Mendengar itu, Rian tertawa kecil seraya membuka kancing lengan kemejanya lalu ia gulung sampai siku. Sedangkan Dara, ia tengah menempelkan telinganya di daun pintu, menunggu sahutan dari kakaknya."Jelangkung," jawab cowok itu, asal."Hah, mana ada! Kak, buka dong. Gue mau marah, nih!"Mau marah tapi ngomong dulu? Kalau udah begini, emangnya reaksi
"Tom, tunggu!" Suara Dara melejit bak roket, menyerang sesosok cowok yang berjalan beberapa meter di depannya.Cowok yang lagi memainkan kunci mobil di tangannya sontak berhenti dan berbalik ke belakang. Ia mengerutkan dahi begitu melihat sahabat centilnya berlari ke arahnya."Tom, huft, huft, huft....""Lo kenapa? Mau ngelahirin?""Sembarangan! Bentar, gue atur napas dulu. Huft, huft, huft, huft—""Oh, kirain abis ciuman sama Paman Agus, lo bakal langsung ngelahirin anak.""Ngawur! Amit-amit, jangan sampai," pekik Dara, yang membuat Tomi langsung terbahak. "Ikut gue, yuk!""Eh, ke mana dulu?""Udah, ikut aja deh. Penting banget ini, demi hidup dan mati gue."Tomi mencibir, meskipun ia tahu setiap perkataan Dara nggak ada yang bisa dipercaya—kebanyakan suka dilebih-lebihkan—tetapi ia tetap pasrah sa
Kurang dari lima menit, Dara baru masuk ke kelas X-1 dan mendapati Udin udah bertengger di samping Frel—sahabat karibnya—yang sepertinya tanpa cewek itu sadari begitu melihat Frel tengah asyik mengerjakan soal di buku paket pelajaran.Mengingat jam pertama ada pelajaran matematika, mungkin ia lagi mencoba mengisi beberapa pertanyaan tersebut. Sahabatnya itu emang kayak gitu, dari kecil Frel tergolong sangat cerdas mengenai semua pelajaran eksak. Makanya, Dara nggak kaget sahabat baiknya itu bisa masuk di sekolah elit ini lewat jalur beasiswa prestasi yang kebanyakan diisi oleh jajaran anak-anak dari kalangan teratas.Mumpung Frel masih belum nyadar, cepat-cepat Dara duduk di bangkunya Udin yang bersebelahan dengan Daniel, si cowok berwajah hitam dan berperut gendut hingga para teman di kelas sering menyebutnya "Kuda Nil"."Ra, lo ngapain minta tukar bangku sama Udin?""Ssttttt, kuda nil diem. B
Dara ingin melabrak orang. Siang ini ia ingin makan orang. Ia ingin sekali mematahkan tulang leher orang. Pengin mencakar wajah songong kakak kelasnya yang bernama Alvin. Tapi mana bisa?Tuh cowok emang belagu banget. Banyak tingkah. Andai aja tadi nggak ada cowok sableng satu itu, palingan ia sekarang bisa lebih dekat lagi dengan Ari.Pokoknya tuh cowok perlu dimusnahkan. Nyebelin, nyindir kulitnya yang nggak bisa dilihat segala, pakai acara bawa kata-kata giginya terbang semua, lagi. Kan, sialan!Arrrgggghhhh!Dara benar-benar kesal. Ia masuk ke dalam rumahnya dengan memasang wajah bak serigala marah.Para pembantunya bahkan nggak berani mendekat sedikit pun. Apalagi saat ini tuan dan nyonya nggak ada di rumah. Masih di kantor masing-masing. Mereka nggak mau bermasalah dengan Dara dalam keadaan seperti sekarang ini.Terlihat Dara berjalan dalam hening, tidak ter
Dering ponsel Rian terdengar saat ia baru saja memarkirkan mobilnya di depan sebuah hotel berbintang. Ia turun dari mobil sambil meraih ponsel dari sakunya."Halo?""Woy, udah sampai mana, lo?" teriak suara dari seberang telepon, hingga membuat Rian sedikit menjauhkan ponsel dari jangkauan telinganya. "Nih, banyak yang pada nanyain lo, terutama para cewek.""Kenapa pada nanyain gue?" tanya Rian sambil mengerutkan dahinya. "Harusnya lo yang mujur saat nggak ada gue," imbuhnya sembari berjalan dengan sebelah tangan berada di balik saku celananya."Mujur dari mananya? Bukannya mujur tapi babak belur gue kena cubitan dari tadi karena lo nggak dateng-dateng."Rian seketika tergelak. "Gue udah di area parkir hotel. Lo tenang aja, Ben. Penyelamat lo bakal datang bentar lagi."Beni—sahabat Rian sejak duduk di SMA—mengeluarkan sumpah serapah karena kepedean Rian yang nggak pernah berubah dari dulu.Rian makin ketawa kenceng,
Rian seketika terdiam. Menatap perempuan yang berdiri beberapa meter darinya.Dia ... cewek yang pernah ia lihat saat mengejar kelinci di depan rumah kecil Pak Samsudin dan istrinya—rumah yang emang khusus untuk penjaga sekolah—tempatnya berada di bagian belakang gedung olahraga.Dia ... cewek yang begitu riang ketika bercerita dengannya sambil memakan nasi bekal yang ia bawa tanpa mempertanyakan siapa namanya.Dia ... adik kelas yang ia kenal di seminggu terakhir SMA-nya.Dia ... satu-satunya cewek yang membuat Rian berpikir ulang untuk tidak menjadikannya pacar dan mencoba untuk mempertahankan kepolosannya.Dan dia ... cewek yang membuatnya membodohkan diri sendiri karena menyesal tidak mengenalnya sedari dulu.Akan tetapi, dari semua yang ia ingat, cewek itu bukan seperti cewek yang ada di bayangannya walaupun wajah itu tetap sama dan lebih dewasa. Tatapannya kini terlihat sendu, tidak memancarkan cahaya yang b
Setelah bahasan soal Inez ditutup, Beni dan yang lainnya kembali menikmati hidangan. Mereka memuji banyaknya makanan lezat yang telah dipesankan oleh Sita. Dengan bangga Sita memamerkan segala kasih sayang suaminya atas dukungan apa pun yang ia lakukan dan memberikan semua keinginkannya.Rumah tangga Sita dipenuhi cinta kasih. Para temannya ikut bahagia untuk Sita. Mereka kembali larut dalam gurauan tanpa menyadari ada salah satu temannya yang masih tenggelam dalam kesedihan.Rian masih aja mencuri pandang ke arah Inez yang kini udah sendirian lagi di tempat duduknya. Ia bahkan tidak menyentuh makanan di piringnya sama sekali. Nafsu makannya telah hilang semenjak kedatangan cewek itu.Tapi kemudian suara musik pop yang awalnya dibawakan oleh grup band di atas panggung, tiba-tiba tergantikan oleh DJ seksi yang mengisi acara, menciptakan suasana lebih meriah."Wow, nggak nyangka lo datangkan DJ juga, Ta!" seru Evi. Cewek lainnya juga pada heboh."Ya,
Hari minggu harusnya merupakan hari menggembirakan bagi semua anak sekolah. Tetapi buat Dara, minggu ini melambangkan hari yang begitu menyedihkan. Hari kelabu. Hari yang sangat suram baginya.Bagaimana tidak, setelah kemarin ia memutuskan mundur mengejar Kenn, sampai sekarang efeknya masih terasa. Ia laksana orang yang patah hati beneran.Tapi ada bedanya. Jika patah hatinya cewek remaja lain, mereka biasanya kebanyakan sedih dan menangis. Melakukan apa pun enggan. Sedangkan Dara itu beda, dia kalau udah frustrasi dan patah hati begini, bakalan kumat gilanya.Nggak percaya? Lihat aja penampilannya. Kini ia memakai baju bercorak aneh lagi. Aneh banget. Berwarna ungu kombinasi kuning, hijau, cokelat, pink, orange dan banyak lagi campuran lain. Ia juga memakai syal dengan warna senada. Bibir yang diolesi lipstik orange, menggunakan maskara, dan kelopak mata yang dibubuhkan warna ungu dan gold