Setelah bahasan soal Inez ditutup, Beni dan yang lainnya kembali menikmati hidangan. Mereka memuji banyaknya makanan lezat yang telah dipesankan oleh Sita. Dengan bangga Sita memamerkan segala kasih sayang suaminya atas dukungan apa pun yang ia lakukan dan memberikan semua keinginkannya.
Rumah tangga Sita dipenuhi cinta kasih. Para temannya ikut bahagia untuk Sita. Mereka kembali larut dalam gurauan tanpa menyadari ada salah satu temannya yang masih tenggelam dalam kesedihan.
Rian masih aja mencuri pandang ke arah Inez yang kini udah sendirian lagi di tempat duduknya. Ia bahkan tidak menyentuh makanan di piringnya sama sekali. Nafsu makannya telah hilang semenjak kedatangan cewek itu.
Tapi kemudian suara musik pop yang awalnya dibawakan oleh grup band di atas panggung, tiba-tiba tergantikan oleh DJ seksi yang mengisi acara, menciptakan suasana lebih meriah.
"Wow, nggak nyangka lo datangkan DJ juga, Ta!" seru Evi. Cewek lainnya juga pada heboh.
"Ya, semua buat kalian. Tapi nggak ada minuman beralkohol, suami gue nggak ngizinin."
"No problem, Sita. Yang penting kita seru-seruan sekarang. Yuhuuu, i'm coming!" Yoyok melesat bersama Beni, Prima, Edi dan yang lain turun ke lantai dansa.
Sebagian besar tamu laki-laki dan perempuan menyerbu dan mulai menggila. Sang pria berdansa dengan semangat, sedangkan para wanita mulai meliukkan tubuhnya mengikuti irama.
"Yan, lo nggak ikut gabung?"
"Nggak deh, kalian aja. Nikmati pestanya."
Sita mencibir. "Tumben. Biasanya lo sama Beni suka ke club, menikmati dunia malam dan menjajah cewek cantik di sana."
Rian menunjukkan tampang tengilnya. "Lo diam-diam cari informasi tentang gue, ya?" Tatapannya sangat nakal. "Udah move on belum?"
"Lo ngejek gue?" Ia menggeram sembari mencubit pinggang Rian tanpa melepas tangannya.
"Aduh, duh. Sakit, Ta." Rian meringis kesakitan. "Oke, ampun, gue nggak gitu lagi."
Sita melepas cubitannya sambil menggerutu. "Kalo gue nggak berusaha move on, bisa jamuran gue nunggu lo dari dulu." Ia mengentakkan kakinya ke lantai.
Rian menyeringai lebar. "Sorry, Ta. Dulu gue brengsek banget, ya?"
"Bukannya sampai sekarang lo masih brengsek?!" Sita melotot kejam.
Rian nggak bisa menahan tawa. Detik selanjutnya Rian tergelak dan disusul oleh Sita.
"Ya, udah, gue gabung sama anak-anak dulu." Baru beberapa langkah, Sita terhenti dan membalikkan tubuhnya ke arah Rian. "Gue liat dari tadi lo diam-diam memperhatikan Inez, kayaknya lo perlu ke sana. Hibur dia, Yan."
Cowok itu terkekeh. Ia nggak nyangka Sita mengawasi gerak-geriknya. Rian mengangguk pelan, lalu beranjak ke tempat Inez.
"Hai, masih inget sama gue nggak?" sapa Rian dengan nada suara yang agak tinggi saat dentuman musik itu menggema keras di telinganya. Ia kini sedang berdiri tepat di depan Inez.
Dahi Inez berkerut. Tatapannya masih terlihat takut akan sesuatu. "Lo s-siapa?"
Ia menyematkan senyum manisnya. "Gimana kabar kelinci di rumahnya Pak Samsudin?" Rian berusaha memberi clue.
Seketika wajah Inez tampak berubah. Wajahnya berseri-seri dan senyumnya mengembang. "Lo masih inget?"
Rian mengangguk seraya tersenyum. Lalu ia duduk di dekat Inez. "Gue tau lo sengaja lupa. Lo cuma berniat memancing ingatan gue kan?"
Inez menggigit bibirnya. Sepersekian detik tatapan indah itu menghilang dalam sekejap. Ia hanya diam dan memalingkan pandangannya ke lantai dansa.
Lagu-lagu remix hits dari DJ yang terlihat cantik dengan headphone di kepalanya, membuat Beni dan teman-temannya mengangkat tangan dan terus bergoyang. Alunan musik yang menggema dan dentuman bass yang keras mendatangkan semangat mereka menjadi membara sembari bergoyang tiada henti.
Inez tidak merespons Rian. Ia hanya melihat datar lantai dansa yang riuh dipenuhi orang yang memperlihatkan kebolehannya.
Mendadak hatinya terasa perih. Sakit, sedih. Ia begitu kosong walaupun di tempat keramaian. Andai aja semua masih sama kayak dulu, ia mungkin nggak harus mengalami kondisi seperti ini.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Rian begitu melihat tatapan kosong dan menyedihkannya wajah itu.
Tubuh Inez tersentak dan kembali menatap Rian seraya mengerjap-ngerjapkan matanya lucu.
Rian membeku. Mata cewek itu masih tampak sama, masih tetap sama indahnya seperti dulu. Kerjapan lucu matanya mengingatkannya ketika ia tersenyum geli akan kepolosan Inez. Bulu mata lentik itu juga masih membuatnya terpesona.
"Gu-gue nggak apa-apa," jawab Inez terbata-bata.
Belum juga Rian berkata lagi, Inez udah keburu beranjak dari duduknya dan berjalan cepat ke luar ruangan.
"Nez, tunggu!" panggil Rian.
Akan tetapi Inez memilih mengabaikan teriakan Rian. Ia terus berjalan tanpa melihat ke belakang.
Rian melangkahkan kaki lebar-lebar, mengejar perempuan yang memakai gaun biru berenda itu dan segera menahan tangannya. "Lo mau ke mana?"
"Gue mau pulang," ucap Inez dengan gelisah.
Rian sangat cemas, sehingga tanpa berpikir panjang ia berkata, "Udah malem. Gue antar lo pulang, ya?"
Inez memandang ketulusan dari wajah Rian. Namun, sejurus kemudian ia menggelengkan kepalanya. "Gu-gue bisa pulang sendiri," ujar Inez gugup tetapi kalah akan rasa paniknya. "Lo bisa lepasin tangan gue."
Tatapan Rian tertuju pada tangannya yang masih menggenggam tangan Inez. Ia menyerah, perlahan Rian melepaskan tangannya dengan hati nurani yang diselimuti keengganan. Sedangkan Inez mengambil kesempatan untuk berlari tanpa melihat ke arahnya lagi.
Rian berdiri dalam diam. Menatap lurus tubuh Inez yang makin mengecil dalam jarak pandangnya. Seolah ada yang mencubit jantungnya, ia merasakan sakit di sana. Ia takut kehilangan kesempatan lagi untuk bertemu Inez setelah tujuh tahun lamanya.
Dering ponsel miliknya mengalihkan pikirannya sesaat. Ia mengangkat ponselnya dan mendengar nada suara yang sopan tapi formal di seberang telepon.
"Tuan Rian, Nona Dara sudah keluar restoran dari beberapa menit yang lalu."
Mendengar itu, ada kecemasan di mata Rian begitu mengingat adiknya. "Gimana keadaannya?"
"Nona Dara sepertinya ... sangat sedih, Tuan."
"Oke, thanks, ya. Sisa uangnya udah gue transfer ke rekening perusahaan kalian."
"Baik, Tuan. Terima kasih sudah menggunakan jasa kami."
Selepas Rian mematikan sambungan telepon, ia bergegas pulang ke rumah dan memutuskan mengirimkan pesan di ponsel Beni untuk cabut terlebih dulu.
***
Setibanya di rumah, Dara nggak masuk ke dalam kamarnya tapi langsung menuju ke kamar Rian. Ia berjalan menunduk sembari menyeret tali panjang dari tas kecilnya yang ia biarkan beradu dengan lantai.Cewek yang udah memakai pakaiannya seperti semula itu masuk dan terdiam di depan pintu kamar layaknya zombi yang bosan hidup.
"Astagfirullah!" seru Rian yang terjengkang dari kursi kerjanya. "Gue kira lo hantu!!"
"Gueee ... lebih dari sekadar hantu, Kaaaak," jawab Dara super lemas. Seolah tenaganya udah terkuras habis.
Rian yang udah tiba duluan di rumah daripada Dara, kini tertawa pelan. "Ada apa lagi? Bukannya lo abis ketemu Kenn?"
"Iya, lebih tepatnya gue yang nguntit Kenn," sahutnya sambil menyeret kakinya, lalu menghempaskan punggungnya di sandaran sofa. "Gue ... udah tau siapa Kenn sekarang."
"Terus?" tanya Rian sembari berjalan dan duduk di sebelah adiknya.
"Dia cowok perfect, Kak. Malahan udah di atas batas perfect." Dara menarik napas berat. "Karena itu juga gue merasa nggak cocok sama Kenn."
"Nah, baru nyadar lo? Hahaha...."
Dara berdecak sebal. Bukan prihatin malah ketawa. Asem!
"Cowok itu selain keren, ganteng, cool, dia juga bener-bener jenius. Bukan cuma di sekolah, tapi juga di luar," lanjutnya lagi. "Dia punya banyak bawahan, bodyguard yang sekali pukul gue pasti bakalan semaput, Kak."
Rian ketawa ngakak mendengar perkataan terakhir adiknya. Sementara cewek itu hanya melirik sekilas. Tanpa mengomentari apa pun. Biar dipuas-puasin aja lah kakak satu-satunya itu tertawa. Biar seneng, biar bahagia dunia akhirat.
Dara menghela napas sejenak. Terlihat sekali masih ingin mengeluarkan unek-uneknya. "Gue sih seneng-seneng aja punya cowok sesempurna Kenn, tapi yang jadi permasalahan di sini gue yang harus ngejar dulu, sedangkan Kenn nggak punya tanda-tanda rasa suka sedikit pun sama gue. Iya kalo abis gue tembak Kenn bakal jawab juga suka gue, nah kalo dia bilang nggak suka gue terus nyuruh bodyguard-nya turun tangan, bisa mampus gue, Kak. Apalagi sesudah gue tau bokapnyaaaaaa—"
"Bokapnya kenapa?" potong Rian begitu mendapati jeda cukup panjang dari nada terakhir yang Dara ucapkan.
Dara belum melanjutkan ucapannya. Ia masih terlihat ragu dan sedih. Lebih dominan syok.
Sesungguhnya kalau boleh jujur, Rian udah tahu semuanya tentang Kenn. Karena selain jasa mata-mata yang ia sewa memberikan informasi pada Dara, sebelumnya udah ia minta kirim terlebih dulu kepadanya. Rian bukan maksud apa-apa, ia hanya ingin memantau perkembangan dan mengetahui apa yang akan adiknya lakukan selanjutnya begitu semua udah terlihat jelas begini.
Terdengar tarikan napas panjang dari Dara. "Bokapnya ternyataaa ... pemilik SMA Bakti Airlangga. Tempat sekolah gue, Kak."
"Lho, malah enak dong."
"Enak apaan! Kalo gue salah apalagi berani asal nembak cowok yang kelihatan banget nggak suka sama gue, bisa-bisa gue langsung didepak tuh dari sekolah itu nanti." Tiba-tiba Dara meraih kupluknya dan diusap-usapkan ke wajah, lalu ia lemparkan ke atas meja di depannya dengan kasar. "Gue frustrasi banget, nih."
"Coba liat gue," ujar Rian. Ia terkekeh saat melihat Dara yang menghadapnya sambil manyun. "Ada beberapa hal di dunia ini yang bisa kita upayakan, tetapi bukan berarti harus jadi milik kita," imbuhnya, kemudian mengacak puncak kepala Dara pelan. "Lo ngerti maksud kakak, kan?"
Dara mengangguk lesu. "Gue ngerti."
"Bagus."
Dara menunduk, menekuk wajahnya makin dalam. Lalu tak selang berapa lama, ia memutar tubuh ke posisi semula dan berteriak histeris, "Sekarang gue beneran nyerah ngejar lo, Kenn! GUE N.Y.E.R.A.H. NYERAH. Huuuuaaaaaaaa!!!"
............................***...............................
Hari minggu harusnya merupakan hari menggembirakan bagi semua anak sekolah. Tetapi buat Dara, minggu ini melambangkan hari yang begitu menyedihkan. Hari kelabu. Hari yang sangat suram baginya.Bagaimana tidak, setelah kemarin ia memutuskan mundur mengejar Kenn, sampai sekarang efeknya masih terasa. Ia laksana orang yang patah hati beneran.Tapi ada bedanya. Jika patah hatinya cewek remaja lain, mereka biasanya kebanyakan sedih dan menangis. Melakukan apa pun enggan. Sedangkan Dara itu beda, dia kalau udah frustrasi dan patah hati begini, bakalan kumat gilanya.Nggak percaya? Lihat aja penampilannya. Kini ia memakai baju bercorak aneh lagi. Aneh banget. Berwarna ungu kombinasi kuning, hijau, cokelat, pink, orange dan banyak lagi campuran lain. Ia juga memakai syal dengan warna senada. Bibir yang diolesi lipstik orange, menggunakan maskara, dan kelopak mata yang dibubuhkan warna ungu dan gold
Satu jam lebih Dara mencatok rambut keritingnya dibantu oleh Tukiyem. Kini rambutnya terlihat lurus dan lembut. Nggak sia-sia juga ia tadi sampai mengobrak-abrik majalah fashion kebanggaannya, membaca halaman berisikan tentang memadukan busana serta makeup secara benar.Lihat, sekarang ia tampak sempurna dengan gaun warna biru tua motif berkerut di lengan dan beberapa bagian lekukan tubuh yang tepat. Riasannya juga lebih natural dan nggak terlalu mencolok. Sehingga penampilannya kini terlihat cute dan manis.Jika Dara lagi normal emang kayak gitu, dandanan pun mengikuti kenormalannya. Nggak menyimpang dan masih dalam kaidah yang lurus.Setelah berpose ini itu ala model di depan cermin, Dara akhirnya tersenyum lebar. Ia udah puas dengan penampilannya, dan kali ini ia juga udah siap berkelana mencari gebetan baru yang super keren dan tampan."Mamaaaa, aku udah siaaaap!" teria
"Uh, gagal lagi deh dapet cowok tampan!" gerutu Dara sambil mengentak-entakkan telapak kakinya ke lantai.Iya, dia emang nggak pakai alas kaki apa pun. Sepatunya yang ia lempar ke sembarang tempat itu juga dibiarkan begitu aja. Nggak tahu ada di mana. Ia tinggal keluar dengan membawa kekesalan sampai ke ubun-ubun.Cewek itu sekarang ada di luar, di depan pagar tinggi sebagai pintu masuk utama. Bibirnya mengerucut sebal, kedua tangannya terlipat di depan dada. Berdiri seraya menatap jalan raya yang dilalui berbagai macam kendaraan."Masih lama nggak sih acaranya?" tanyanya pada diri sendiri. Sesekali ia melihat jam tangan. "Kalo tau gini mending gue tadi nggak ikutan mama ke sini deh."Ia cemberut. Tangannya mencengkeram asal tanaman pucuk merah di sampingnya, lalu ia cabut beberapa daun dan diremas-remas hingga tak berbentuk."Aduh-aduh, panas." Telapak kakinya kepanasan. Otomatis ia berje
Bunyi genderang perang berdentum-dentum di pikiran Dara. Sorak-sorai beramai-ramai mengobarkan semangat kemenangan. Nyanyian perasaan pun ikut mengalun seakan memberikan tambahan energi, mendorong suasana hati kian hidup.Ya, sang pencinta sekarang kelihatannya telah kembali. Harum bunga mekar pun kini tengah mengurai, menebarkan pesona hingga sang gelombang putus asa musnah, hilang dan bergantikan kekuatan dengan harapan baru.Patah hati? Nggak ada! Sedih? Udah lupa! Yang ada saat ini hanya rasa bahagia yang begitu menggelora. Perasaan Dara meledak-ledak, bergolak hebat, hampir menyaingi gejolak semangat pemuda dalam memberantas pemberontakan.Emang gitu. Dara emang lagi bahagia. Hanya karena ia berhasil memperoleh nomor HP kakak kelas incarannya—Ari.Dara yakin, kali ini ia akan berhasil menggaet gebetannya. Kenn dan Ari tentu berbeda.Jika sama Kenn, belum apa-apa Dara udah do
Rian berjalan ogah-ogahan. Bukan bermaksud untuk tidak sopan pada tamu yang datang untuk berkunjung, melainkan emang hari ini dia males ngapa-ngapain selain di rumah dan kumpul keluarga. Ia bahkan hari ini udah janji pada dirinya sendiri mau ngajak papanya main catur bersama. Mumpung libur kerja, ia nggak mau keluar dan melakukan sesuatu yang membosankan di luar.Padahal kalau dipikir-pikir tiap minggu atau libur kerja gini, dia biasanya ada aja kegiatan di luar. Dari pergi ke gym, belanja kebutuhan khusus pria, atau bahkan ngopi di kafe yang secangkir harganya ratusan ribu rupiah.Nah, sekarang aneh banget, kan?Ya, emang aneh. Keanehan itu muncul setelah pulang dari acara reuni. Lebih tepatnya usai pertemuannya dengan Inez.Rian menarik tubuhnya tetap jalan ke ruang tamu. Ada kepala menyembul dari balik sofa. Punggungnya yang tegak dan potongan rambut klimis ala mafia yang selalu ditata rapi ke belakang sontak membuat Rian memasang wajah makin males.
Brak!Suara bantingan pintu mobil terdengar cukup keras."Ar, lo marah?"Tanpa menghiraukan pertanyaan dari sahabat gilanya tersebut, Ari terus berjalan ke arah pintu masuk rumahnya dengan membawa kekesalan yang menggunung."Ar, beneran lo marah? Serius?"Lagi-lagi Ari nggak menjawab apa pun. Ia malah semakin mempercepat langkah sembari mencengkeram kuat kepalan tangan. Rasanya ia ingin sekali menonjok orang saat ini juga."Ah, masa gitu doang marah? Cemen lo, Ar!"Sontak Ari berhenti tepat saat kakinya menapak di anak tangga pertama. Ia kemudian berbalik dengan tampang murka."Gitu doang, lo bilang?!" Ari mendelik, sedangkan Alvin nyengir tanpa dosa. "Gara-gara tingkah lo, kita semua diusir dari bioskop. Berkat ulah lo juga, cewek-cewek ganjen itu ... argh, udahlah!" Ari kembali berbalik sembari memijat pelipisnya. Kepalanya nyut
Ari mengumpat dan merutuk di dalam kamarnya. Ia sampai menyebutkan binatang apa aja yang berada di kebun binatang gara-gara si Alvin.Ia tak habis pikir, bisa-bisanya Alvin melontarkan pertanyaan sampah macam gitu. Homo? Shit!Jika tadi tak mengingat cowok brengsek itu adalah salah satu sahabatnya dari dulu—jauh sebelum mengenal Kevan—ia yakin kepalan tangannya ini udah mendarat di mulut bocor Alvin."Alvin, brengsek! Makhluk nggak tau diuntung! Kampret lo! sialan! Mulut sampah! Playboy sarap!!"Sembari mondar-mandir, ia mengutuk Alvin sejadi-jadinya. Mengeluarkan kata-kata keji dan memaki tuh cowok dengan membabi buta."Gue bukan homo. Gue cowok tulen. Gue juga doyan cewek, tap-tapi ... arghhh!"Ari melempar jaketnya kasar ke atas kasur. Giginya gemeretak, serasa ingin meremukkan apa pun di hadapannya.Tok ... tok ... tok
Di kelas X-1 tampak seorang guru sedang mengajar pelajaran sosiologi. Beliau berdiri di bagian depan sambil menerangkan dengan datar dan lesu. Eh, bukan, maksudnya mungkin pembawaan beliau emang seperti itu, jadinya para siswa-siswi di dalamnya pun banyak yang terlihat lesu juga. Ada yang menguap lebar-lebar, lemas sok tak berdaya, ada yang lagi mancing kotoran di hidung, ngorek-ngorek telinga, bahkan ada juga yang menelungkupkan wajah di atas meja dengan kurang ajarnya.Meski begitu, sang guru tetap tak menghiraukan pemandangan para muridnya. Beliau tetap melanjutkan dan beberapa kali mengulang bacaan sebuah buku pelajaran di salah satu tangannya."Ra, kasian ya Pak Susilo, udah jelasin panjang lebar, yang dijelasin malah banyak yang nggak mau denger," gerutu Frel sambil duduk bertopang dagu. "Lagian kenapa Pak Susilo sabar banget, ya? Emang sih pelajaran sosiologi agak bikin bosan, apalagi yang dijelasin soal definisi masyarakat, syarat-