Satu jam lebih Dara mencatok rambut keritingnya dibantu oleh Tukiyem. Kini rambutnya terlihat lurus dan lembut. Nggak sia-sia juga ia tadi sampai mengobrak-abrik majalah fashion kebanggaannya, membaca halaman berisikan tentang memadukan busana serta makeup secara benar.
Lihat, sekarang ia tampak sempurna dengan gaun warna biru tua motif berkerut di lengan dan beberapa bagian lekukan tubuh yang tepat. Riasannya juga lebih natural dan nggak terlalu mencolok. Sehingga penampilannya kini terlihat cute dan manis.
Jika Dara lagi normal emang kayak gitu, dandanan pun mengikuti kenormalannya. Nggak menyimpang dan masih dalam kaidah yang lurus.
Setelah berpose ini itu ala model di depan cermin, Dara akhirnya tersenyum lebar. Ia udah puas dengan penampilannya, dan kali ini ia juga udah siap berkelana mencari gebetan baru yang super keren dan tampan.
"Mamaaaa, aku udah siaaaap!" teria
"Uh, gagal lagi deh dapet cowok tampan!" gerutu Dara sambil mengentak-entakkan telapak kakinya ke lantai.Iya, dia emang nggak pakai alas kaki apa pun. Sepatunya yang ia lempar ke sembarang tempat itu juga dibiarkan begitu aja. Nggak tahu ada di mana. Ia tinggal keluar dengan membawa kekesalan sampai ke ubun-ubun.Cewek itu sekarang ada di luar, di depan pagar tinggi sebagai pintu masuk utama. Bibirnya mengerucut sebal, kedua tangannya terlipat di depan dada. Berdiri seraya menatap jalan raya yang dilalui berbagai macam kendaraan."Masih lama nggak sih acaranya?" tanyanya pada diri sendiri. Sesekali ia melihat jam tangan. "Kalo tau gini mending gue tadi nggak ikutan mama ke sini deh."Ia cemberut. Tangannya mencengkeram asal tanaman pucuk merah di sampingnya, lalu ia cabut beberapa daun dan diremas-remas hingga tak berbentuk."Aduh-aduh, panas." Telapak kakinya kepanasan. Otomatis ia berje
Bunyi genderang perang berdentum-dentum di pikiran Dara. Sorak-sorai beramai-ramai mengobarkan semangat kemenangan. Nyanyian perasaan pun ikut mengalun seakan memberikan tambahan energi, mendorong suasana hati kian hidup.Ya, sang pencinta sekarang kelihatannya telah kembali. Harum bunga mekar pun kini tengah mengurai, menebarkan pesona hingga sang gelombang putus asa musnah, hilang dan bergantikan kekuatan dengan harapan baru.Patah hati? Nggak ada! Sedih? Udah lupa! Yang ada saat ini hanya rasa bahagia yang begitu menggelora. Perasaan Dara meledak-ledak, bergolak hebat, hampir menyaingi gejolak semangat pemuda dalam memberantas pemberontakan.Emang gitu. Dara emang lagi bahagia. Hanya karena ia berhasil memperoleh nomor HP kakak kelas incarannya—Ari.Dara yakin, kali ini ia akan berhasil menggaet gebetannya. Kenn dan Ari tentu berbeda.Jika sama Kenn, belum apa-apa Dara udah do
Rian berjalan ogah-ogahan. Bukan bermaksud untuk tidak sopan pada tamu yang datang untuk berkunjung, melainkan emang hari ini dia males ngapa-ngapain selain di rumah dan kumpul keluarga. Ia bahkan hari ini udah janji pada dirinya sendiri mau ngajak papanya main catur bersama. Mumpung libur kerja, ia nggak mau keluar dan melakukan sesuatu yang membosankan di luar.Padahal kalau dipikir-pikir tiap minggu atau libur kerja gini, dia biasanya ada aja kegiatan di luar. Dari pergi ke gym, belanja kebutuhan khusus pria, atau bahkan ngopi di kafe yang secangkir harganya ratusan ribu rupiah.Nah, sekarang aneh banget, kan?Ya, emang aneh. Keanehan itu muncul setelah pulang dari acara reuni. Lebih tepatnya usai pertemuannya dengan Inez.Rian menarik tubuhnya tetap jalan ke ruang tamu. Ada kepala menyembul dari balik sofa. Punggungnya yang tegak dan potongan rambut klimis ala mafia yang selalu ditata rapi ke belakang sontak membuat Rian memasang wajah makin males.
Brak!Suara bantingan pintu mobil terdengar cukup keras."Ar, lo marah?"Tanpa menghiraukan pertanyaan dari sahabat gilanya tersebut, Ari terus berjalan ke arah pintu masuk rumahnya dengan membawa kekesalan yang menggunung."Ar, beneran lo marah? Serius?"Lagi-lagi Ari nggak menjawab apa pun. Ia malah semakin mempercepat langkah sembari mencengkeram kuat kepalan tangan. Rasanya ia ingin sekali menonjok orang saat ini juga."Ah, masa gitu doang marah? Cemen lo, Ar!"Sontak Ari berhenti tepat saat kakinya menapak di anak tangga pertama. Ia kemudian berbalik dengan tampang murka."Gitu doang, lo bilang?!" Ari mendelik, sedangkan Alvin nyengir tanpa dosa. "Gara-gara tingkah lo, kita semua diusir dari bioskop. Berkat ulah lo juga, cewek-cewek ganjen itu ... argh, udahlah!" Ari kembali berbalik sembari memijat pelipisnya. Kepalanya nyut
Ari mengumpat dan merutuk di dalam kamarnya. Ia sampai menyebutkan binatang apa aja yang berada di kebun binatang gara-gara si Alvin.Ia tak habis pikir, bisa-bisanya Alvin melontarkan pertanyaan sampah macam gitu. Homo? Shit!Jika tadi tak mengingat cowok brengsek itu adalah salah satu sahabatnya dari dulu—jauh sebelum mengenal Kevan—ia yakin kepalan tangannya ini udah mendarat di mulut bocor Alvin."Alvin, brengsek! Makhluk nggak tau diuntung! Kampret lo! sialan! Mulut sampah! Playboy sarap!!"Sembari mondar-mandir, ia mengutuk Alvin sejadi-jadinya. Mengeluarkan kata-kata keji dan memaki tuh cowok dengan membabi buta."Gue bukan homo. Gue cowok tulen. Gue juga doyan cewek, tap-tapi ... arghhh!"Ari melempar jaketnya kasar ke atas kasur. Giginya gemeretak, serasa ingin meremukkan apa pun di hadapannya.Tok ... tok ... tok
Di kelas X-1 tampak seorang guru sedang mengajar pelajaran sosiologi. Beliau berdiri di bagian depan sambil menerangkan dengan datar dan lesu. Eh, bukan, maksudnya mungkin pembawaan beliau emang seperti itu, jadinya para siswa-siswi di dalamnya pun banyak yang terlihat lesu juga. Ada yang menguap lebar-lebar, lemas sok tak berdaya, ada yang lagi mancing kotoran di hidung, ngorek-ngorek telinga, bahkan ada juga yang menelungkupkan wajah di atas meja dengan kurang ajarnya.Meski begitu, sang guru tetap tak menghiraukan pemandangan para muridnya. Beliau tetap melanjutkan dan beberapa kali mengulang bacaan sebuah buku pelajaran di salah satu tangannya."Ra, kasian ya Pak Susilo, udah jelasin panjang lebar, yang dijelasin malah banyak yang nggak mau denger," gerutu Frel sambil duduk bertopang dagu. "Lagian kenapa Pak Susilo sabar banget, ya? Emang sih pelajaran sosiologi agak bikin bosan, apalagi yang dijelasin soal definisi masyarakat, syarat-
08127777XXXX: Kak, tik-itik-itik-itik. Hihihi.'Lha, ini maksudnya apa?'08127777XXXX: Geli nggak gue gelitikin? Hehe.'Sarap nih cewek. Mana bisa geli kalo cuma ngebaca doang. Wah, kembarannya Alvin ini.'08127777XXXX: Semalem gue susah tidur loh mikirin Kak Ari *kyaaa jadi malu*'Sinting! Emang gue pikirin?!'08127777XXXX: Kak, kangen sama gue nggak?'Nggak! PD gila lo.'08127777XXXX: Bilang aja kangen, nggak usah maluuuuu.Dari semua pesan tersebut nggak ada yang dibalas Ari. Ia hanya menjawab jengkel di dalam hati. Apalagi usai membaca pesan terakhir. Yang ada Ari sontak melotot dan bawaannya pengin ngunyah sandal."Kenapa lo?" tanya Alvin begitu melihat ekspresi Ari yang ta
Di sebuah meja makan sederhana, seorang ibu memberikan beberapa pertanyaan kepada anak perempuannya, tetapi selalu diabaikan. Anak itu makan dengan diam. Sesekali hanya menjawab dengan anggukan ataupun gelengan.Sang ibu mendesah berat. "Kamu sampai kapan menghukum mama seperti ini?"Si anak terus aja diam. Ia tidak lagi nyaman dengan pertanyaan ibunya. Setelah beberapa suapan kecil, ia lebih memilih mengakhiri acara makannya tanpa menghabiskannya. Perempuan itu meminum air di gelas beberapa teguk, kemudian mengangkat piringnya untuk dibawa ke dapur."Nez, aku tahu mama salah," ucapnya. Melihat anaknya yang terdiam mematung, sang ibu berucap kembali meskipun ragu. "Tolong, maafin mama. Mama nggak tau akan jadi begini.""Mama dulu juga mengatakan hal sama di depan papa, tapi saat papa memutuskan bunuh diri karena ketidaksanggupannya menghukum istrinya, justru mama menambah pengkhianatan itu dengan menikahi lelaki biadab selingkuhan mama," ujar Inez datar,