Hari minggu harusnya merupakan hari menggembirakan bagi semua anak sekolah. Tetapi buat Dara, minggu ini melambangkan hari yang begitu menyedihkan. Hari kelabu. Hari yang sangat suram baginya.
Bagaimana tidak, setelah kemarin ia memutuskan mundur mengejar Kenn, sampai sekarang efeknya masih terasa. Ia laksana orang yang patah hati beneran.
Tapi ada bedanya. Jika patah hatinya cewek remaja lain, mereka biasanya kebanyakan sedih dan menangis. Melakukan apa pun enggan. Sedangkan Dara itu beda, dia kalau udah frustrasi dan patah hati begini, bakalan kumat gilanya.
Nggak percaya? Lihat aja penampilannya. Kini ia memakai baju bercorak aneh lagi. Aneh banget. Berwarna ungu kombinasi kuning, hijau, cokelat, pink, orange dan banyak lagi campuran lain. Ia juga memakai syal dengan warna senada. Bibir yang diolesi lipstik orange, menggunakan maskara, dan kelopak mata yang dibubuhkan warna ungu dan gold. Oh, jangan lupakan wig kribo cokelat yang ia kenakan, menempel sempurna di kepala.
Dan lebih parahnya lagi, pagi-pagi dengan dandanan sedemikian luar biasa itu, ia udah bertengger di bawah pohon jambu biji di halaman belakang rumahnya. Memasang wajah melas dan nggak berdaya. Sampai-sampai Paijo dan Paijan yang baru datang sontak terlonjak ke belakang.
"Astagfirullah hal adzim ... itu apa, Jan?" tanya Paijo kepada Paijan.
"Allahu akbar! Itu ... bukannya genderuwo, Jo?"
"Ngawur! Itu bukan genderuwo, tapi wewe gombel," bantah Paijo.
"Masa? Eh, sebentar, Jo. Kok kayaknya aku kenal, ya." Paijan perlahan berjalan mendekat. Ia mengambil jalan memutar dari arah samping kolam renang dan berhenti dua meter dari pohon jambu tersebut. "Jo-Jo-Jo, sini!" panggilnya sembari mengayunkan tangan tanpa menoleh.
Paijo mendekat. "Ada apaan?"
"Coba liat betul-betul," kata Paijan sambil membungkuk bersama Paijo. "Itu bukannya—"
"Nona Dara!" seru mereka berbarengan.
Mereka berdua saling menunjuk, lalu memutar kembali ke arah cewek yang sampai saat ini tetap diam dengan tatapan kosong. Oh, bukan-bukan! Bukan tatapan kosong, melainkan seperti tatapan orang yang lagi ngenes dan pasrah. Tapi bukan gitu juga, lebih dominan orang linglung yang kehilangan akal. Ya, pokoknya gitu deh.
"Ini kan masih jam 6 pagi, kenapa Nona Dara udah nongkrong di sini, ya, Jan?"
"Aku juga heran, Jo. Kok bisa-bisanya pake baju kayak gini segala."
Paijo manggut-manggut. "Apa mungkin Nona Dara dapat ilham di mimpi kali, ya. Terus bangunnya dipraktekin langsung."
"Bisa jadi. Tapi masa iya, sampai segitunya," tukas Paijan sambil menggaruk pipinya. "Perasaan aku udah sering mimpi aneh-aneh, tapi juga nggak ada niat buat praktek langsung."
"He-em. Aku juga, Jan."
"Nona Dara aneh, ya."
"Iya."
Mereka mengubah posisi dari membungkuk menjadi jongkok. Sama-sama melihat Dara dan sibuk menilai. Hingga dua pembantu lain berdatangan.
"Kalian ngapain di sini? Lagi ngopi, ya? Kok kopinya nggak ada?" tanya Tukiyem dengan polosnya.
Paijo dan Paijan kontan menoleh ke belakang, mendapati Tukiyem dan Mbok Darmi yang membawa sayur kangkung mentah dan beberapa belanjaan lainnya, menyembul di dalam plastik besar hitam.
"Ngopi dari mananya?! Ini kami mau bersih-bersih kolam, Yem," balas Paijo, agak jengkel juga.
"Kalau mau bersih-bersih kolam, ya, cepetan dibersihkan. Jangan males. Pagi-pagi itu harus kerja biar rezekimu nggak dipatok ayam," timpal Mbok Darmi yang mulai mengeluarkan petuahnya. "Lho, itu siapa?"
Paijo mencibir. Nah, kan, Mboh Darmi baru nyadar.
"Ya, Allah, Ya, Gusti Pangeraaaan. Kalian awas! Itu dedemit!" pekik Mbok Darmi kemudian. Sementara Tukiyem langsung mengangkat kedua tangan membaca ayat kursi alquran.
Spontan Paijo serta Paijan berdiri dan buru-buru mendekat ke arah mereka.
"Itu bukan dedemit, Mbok," sahut Paijo.
"Sabar, Yem. Sabar, Mbok," kata Paijan. Ia mulai panik begitu melihat kini Mbok Darmi bergabung mengamini doa Tukiyem. "Itu Nona Dara."
"Nona Dara?" Mbok Darmi mencoba menyipitkan matanya supaya lebih jelas. "Lho-lho-lho-lho, kok jadi gitu?" Beliau kaget dan bingung.
Tukiyem sendiri sekarang udah berhenti berdoa. Cuma ia makin nggak ngerti, lantas mengerutkan dahinya. "Nona Dara lagi apa, ya?"
"Lagi semedi mungkin," celetuk Paijo sambil mengorek telinganya, cuek.
"Nggak mungkinlah, Jo. Atau jangan-jangan ...," Jeda panjang yang diciptakan Mbok Darmi, membuat ketiga orang tersebut segera mungkin merapat ke arah ibu yang berusia 50-an tersebut, "Nona Dara lagi kerasukan."
"Kerasukan??!" kor mereka bertiga kayak paduan suara.
Mbok Darmi mengangguk mantap. "Iya. Kerasukan sama setan penunggu pohon jambu ini."
"Eh, omong-omong soal kerasukan, aku juga punya teman yang pernah kerasukan," ujar Paijo. "Mengaung-ngaung kayak harimau. Hiiiii ... serem."
"Masa, sih?"
"Iya."
"Tetanggaku dulu juga ada, tapi nggak ngaung seperti katamu. Cuma dia nangis-nangis, terus suaranya berubah kayak orang lain," timpal Paijan ikut nimbrung.
Ini emang pembantu pada kurang ajar semua. Bukan nolongin majikan, eh malah sibuk bergosip. Sekarang bahkan mereka duduk-duduk santai sembari membentuk lingkaran.
"Ada yang teriak-teriak gitu nggak?" tanya Tukiyem dengan mimik muka was-was.
"Ya, jelas ada. Malah paling seringan teriak-teriak, Yem."
Mereka kembali bercengkerama seputar kerasukan. Saling berdebat alasan kerasukan, sampai ke hal-hal pernah melihat setan berwujud pocong dan kuntilanak.
Mereka nggak peka gimana perasaan Dara saat ini. Meratapi nasib, ditambah nggak ada yang gubris sama sekali. Dikira enak apa, patah hati?
Hingga tak selang berapa lama, muncullah cowok berkulit putih dengan tampang tenang bersedekap di belakang mereka semua.
"Ada apa ini? Nggak pada kerja?"
"Eh, Den Rian. Kerja, kok, kerja, Den. Ini si Paijo sama Paijan yang mulai duluan," jawab Mbok Darmi.
"Lho kok aku, Mbok?" ujar Paijan nggak terima. "Si Paijo tuh yang mulai, pake acara cerita kerasukan harimau, lagi!"
"Jadi, siapa nih yang bener?" Mata Rian bergerak ke kanan kiri, menyorot mereka satu per satu. Lalu pandangannya terpaku pada sosok cewek yang teronggok di belakang para pembantunya.
Rian maju beberapa langkah seraya menyibak kepala Paijo dan Paijan. "Siapa tuh?"
Di dua detik setelah pertanyaan terakhir Rian, para pembantu itu sontak terkesiap. Mata mereka pada melotot bareng, kesadaran mulai terkumpul kembali.
Mereka saling sikut. Gemeteran lutut dan kaki. Menunjuk lewat mata, siapa yang pantas ngomong duluan.
"I-i-itu, Den. N-nona Dara kerrrrrrrasukan," sahut Tukiyem terbata-bata.
Mampus! Padahal mereka bilang kerasukan tadi hanya menduga-duga, ini malah si Tukiyem asal buka suara tanpa dipikir dulu. Paijo dan Paijan langsung tepuk jidat, sedangkan tersangka utama yang mendakwa kerasukan—Mbok Darmi—udah ketar-ketir, takut dipecat saat itu juga.
"Maaf, Den," ucap mereka bersamaan.
Mereka berempat menunduk dalam, sambil berdempet-dempetan kayak anak SD yang sedang dihukum di depan papan tulis.
Rian hanya diam. Menatap adiknya yang kini terlihat mengenaskan. Kayak sejenis manekin yang berjejer di pertokoan. Cuma bedanya ini bernapas dan sesekali mengedip. Itu aja.
Tanpa menghiraukan wajah ketakutan para pembantunya, cowok itu mengamati, mengerutkan alis sembari berpikir. "Kalian tau cara bikin pulih orang kerasukan?"
Lho, kok malah tetap soal kerasukan yang dibahas? Paijo, Paijan, Mbok Darmi dan juga Tukiyem seketika melongo dan mengerjap-ngerjap kayak orang gagu.
"Kok, diem?"
Meskipun heran, Tukiyem tetap berusaha menjawab. "B-baca ayat suci alquran, Den."
"Apaan, tadi udah dibaca tetap nggak ngaruh gitu." Paijo membeo, mulai songong dia.
"I-iya sih, Den, hehe...," ujar Tukiyem, malu-malu biawak.
"Naaaaahhh!!" Mbok Darmi yang tiba-tiba bersuara, mengagetkan semuanya, termasuk Rian yang mengelus-elus dada. "Saya tau, Den."
"Apa, Mbok?"
"Gimana kalo disiram air garam aja, Den? Biasanya gitu juga cepat hilang setannya."
"Ya, udah." Rian mengangguk-anggukkan kepala. "Sana mbok, ambil."
"Sekarang, Den?"
"Iya, emang kapan lagi?"
"Buat Non Dara?"
"Iyaaaa, kalo perlu semua cepetan bantu Mbok Darmi bikin yang banyak," ucap Rian. Melihat mereka masih diam di tempat dengan wajah bingung, terpaksa ia bertepuk tangan sebagai kode perintah. "Ayo, cepat-cepat-cepat!"
"B-baik, Den."
Sepuluh menit kemudian, tidak hanya Paijo, Paijan, Mbok Darmi, Tukiyem yang datang, melainkan Sriani dan Surateni pun datang. Semua pembantu yang berjumlah enam orang dikumpulkan. Masing-masing membawa ember yang berisikan campuran air garam.
Dalam hitungan ketiga dari Rian, semuanya serentak menyiram ke wajah Dara. Otomatis Dara gelagapan layaknya orang yang mau tenggelam.
"INI APAAAAAAA??!!" teriak Dara sembari terbatuk-batuk. "HUEK, ASIN!"
Rian yang menyaksikan itu semua refleks tertawa terbahak-bahak. Berkebalikan dengan para pembantu yang pucat pasi.
"Kak Riiiaaan! Pasti lo yang punya ide nyiram gue, kan?!"
Rian masih sibuk tertawa sembari memegangi perutnya. Sementara Mbok Darmi langsung jadi patung. Keringat bercucuran di bagian pelipisnya.
"Makanya, jadi cewek tuh yang normal dikit. Emangnya lo beneran mau dirasuki sama setan penunggu pohon jambu?" Rian masih aja ketawa ngakak.
Sedari tadi emang dia udah tahu adiknya nggak kerasukan apa pun. Cuma patah hati yang dibawa terlalu berlebihan. Dia juga lagi pengin iseng ngerjain tuh anak supaya rada lurus dikit. Nggak apa-apa kan jika hanya demi kebaikan?
"Resek banget sih lo!" Dara bersungut-sungut nggak terima. Beberapa kali ia mengusap air di wajahnya yang menetes tak mau berhenti.
"Udah, cepetan gih mandi terus ganti baju. Nggak mau kan disemprot mama kalo liat keadaan lo kayak gini?"
Dara memilih bungkam, cemberut seraya memeluk tubuhnya yang menggigil kedinginan.
"Ck, gitu aja ngambek. Gue gitu biar mama nggak tau sama baju aneh yang lo pakai. Makanya sekarang cepetan ganti," lanjutnya sembari terkekeh pelan. "Udah, sana!"
Sesaat Dara menatap cara berpakaiannya. Kalau dipikir-pikir, iya, juga sih. Dulu, tiap ia memakai baju kayak gini, mamanya selalu marah besar. Katanya bukan warna atau desain yang salah, tetapi untuk seukuran remaja sepertinya, beliau merasa kurang pantas.
Mamanya kalau marah nggak bakalan tanggung-tanggung. Super jahat dan judes. Teriakannya bisa bikin takut seisi rumah, lirikan tajamnya mampu membuat lawan lebih milih kabur ketimbang ngelawan, serta senjata pamungkasnya selalu bilang, "Gampar!".
Maksudnya ya itu, gampar pakai si tangan besi. Tangan mamanya tuh sama aja sebesar kaki papanya. Emang sampai sekarang Dara belum ngerasain sih, tapi ya tetap aja sekali bayangin si Dara langsung mau tepar.
Dara akhirnya menghirup udara banyak-banyak. Mau nggak mau ia mengangguk pasrah. Mending nurut apa kata kakaknya, daripada nanti kena sasaran telapak tangan sang mama. Bisa makin gawat, kan?!
***
Sekembalinya Dara, halaman belakang rumah tampak agak sepi. Para pembantu udah pada bubar. Mungkin sekarang sibuk dengan pekerjaan di dapur.Yang ada tinggal Paijo dan Paijan. Mereka terlihat tengah membersihkan lantai juga dinding kolam renang. Sementara Rian, lagi asyik bermain dengan ikan kesayangannya di akuarium yang terletak di sudut kiri halaman.
Dara menghela napas sejenak, lalu memutuskan duduk berselonjor di dekat kolam renang, memilih yang ada sinar matahari pagi menerpa lantai. Tak dihiraukannya meski kali ini ia hanya memakai celana pendek di atas lutut dengan paduan kaus berwarna pink polos.
Semilir angin membawa rambut setengah basahnya yang udah selesai dikeramasi, terombang-ambing. Segarnya angin pagi membuat Dara kontan menengadah seraya memejamkan mata dengan kedua tangan sebagai penyangga.
Dara mengembuskan napasnya kasar. Bibirnya mengerucut kesal. Dia nggak nyangka aja sampai detik ini belum mendapat pacar. Padahal target dia saat MOS berakhir, dia bakalan dapat inceran dua atau tiga cowok keren.
Nah, ini? Boro-boro tiga sekaligus, ngejar satu aja nggak dapat-dapat. Kan dari apa yang ia dengar, masa indah itu ada di SMA. Makanya nggak salah dong ya, ia bercita-cita pengin punya gebetan seabrek? Kan nanti bakalan dipilih yang paling ter-ter-ter, itulah pemenangnya.
Namun, semua tak sesuai rencana Dara. Ia kini sedih, bingung, frustrasi, ngenes dan segala macam perasaan merana bercampur menjadi satu. Pikirannya mumet, acakadut bagaikan rambut kritingnya saat ini yang terurai panjang.
Tanpa sepengetahuan Dara, Nita mendekat ke arah Rian. "Adekmu kenapa?"
Rian menatap mamanya, kemudian beralih ke arah Dara yang masih setia memejamkan mata. Ia mengedikkan bahu. "Biasalah, Ma. Masalah ABG labil."
"Masalah ABG labil gimana maksudnya?"
Cowok yang lagi memberikan makan ikan tersebut berhenti sebentar. "Maksudnya ... dia lagi patah hati, Ma. Biarin ajalah, palingan bentar lagi juga balik kayak biasanya," jawabnya santai, lantas kembali asyik mengamati ikan-ikannya.
Nita tidak membalas ucapan Rian. Ia termangu menilik putrinya kali ini. Keheningan tercipta tiap anak itu diam. Tidak segempar dan seheboh biasanya. Meski ia tahu sebentar lagi anak itu akan kembali heboh, tapi tetap aja jika melihat kondisi Dara seperti ini, kasihan juga.
Meski anak itu sering buat ulah dengan berbagai macam perilaku dia yang tak terduga, suka lebay, hobi bikin drama dan berisiknya minta ampun, akan tetapi tetap aja beliau akan lebih memilih anaknya yang seperti biasanya. Rumah terasa hidup dengan kekonyolan Dara yang tiada habisnya.
Nita berjalan lebih dekat ke arah Dara. Hanya terpaut beberapa jengkal. Ia berdiri sembari melipat tangannya di depan dada.
Melihat hal itu, Paijan yang pertama kali sadar segera memberikan sinyal dengan berdeham beberapa kali untuk membangunkan Dara. Tetapi tidak ada respons apa pun. Giliran Paijo yang berakting terbatuk-batuk ala iklan di televisi, lumayan manjur sih. Dara bereaksi, namun, hanya sekadar mengambil sandal lalu dilemparkannya ke arah Paijo.
PLETAK!
"Wadoh, sakit, Non!"
"Berisik!" teriak Dara lalu kembali menutup rapat matanya.
"Non, Non Dara," panggil Paijan.
Dara geregetan dan terpaksa membuka matanya lagi. "Apaan lagi, sih?!"
"Itu, Non, ituuu...." Jari telunjuk Paijan mengarah ke satu arah, Dara mengikutinya dan terlihatlah sang mama sedang menatap lurus-lurus ke arahnya.
Dara cengengesan nggak jelas. "Halo, Ma. Hehe...."
Tanpa ekspresi Nita bertanya, "Kamu ada acara apa hari ini?"
"Nggak ada." Dara manyun, penginnya sih nangis. "Palingan meratapi nasib aja, Ma."
"Ya, udah. Kalo gitu kamu nanti siang ikut mama ke acara arisan di Jeng—"
"Nggak mau!" potong Dara langsung. "Males tau, Ma."
"Siapa suruh motong ucapan orangtua?" Nita melotot garang. "Nggak sopan!"
Dara mengerucutkan bibirnya sambil menatap mamanya dengan tampang nelangsa. "Maaf, Ma. Abis orang lagi patah hati malah mama kasih ide membosankan gitu."
"Kamu belum tau aja tiap orangtua di sana selalu bawa anak cowoknya yang ganteng-ganteng."
Seketika Dara mengubah duduknya jadi bersila. "Yang bener, Ma?" Matanya berkilat-kilat begitu mendengar kata cowok ganteng.
Rian yang memperhatikan diam-diam hanya tersenyum geli.
Mamanya sendiri setelah mendengar semangatnya nada bicara Dara, diam-diam tersenyum tipis. Kelihatannya tuh anak udah mulai kembali lagi.
Tanpa mikir panjang, Nita pura-pura berbalik mau pergi. "Tapi kan kamunya terlanjur bilang nggak mau. Ya, udah, nggak usah ikut."
Dara menggeleng-geleng panik. "T-t-tunggu-tunggu, Ma."
"Ogah, kan kamu bilang nggak mau."
"MAMAAAAAA ... IKUUUUUUUUT!!"
........................***............................
Satu jam lebih Dara mencatok rambut keritingnya dibantu oleh Tukiyem. Kini rambutnya terlihat lurus dan lembut. Nggak sia-sia juga ia tadi sampai mengobrak-abrik majalah fashion kebanggaannya, membaca halaman berisikan tentang memadukan busana serta makeup secara benar.Lihat, sekarang ia tampak sempurna dengan gaun warna biru tua motif berkerut di lengan dan beberapa bagian lekukan tubuh yang tepat. Riasannya juga lebih natural dan nggak terlalu mencolok. Sehingga penampilannya kini terlihat cute dan manis.Jika Dara lagi normal emang kayak gitu, dandanan pun mengikuti kenormalannya. Nggak menyimpang dan masih dalam kaidah yang lurus.Setelah berpose ini itu ala model di depan cermin, Dara akhirnya tersenyum lebar. Ia udah puas dengan penampilannya, dan kali ini ia juga udah siap berkelana mencari gebetan baru yang super keren dan tampan."Mamaaaa, aku udah siaaaap!" teria
"Uh, gagal lagi deh dapet cowok tampan!" gerutu Dara sambil mengentak-entakkan telapak kakinya ke lantai.Iya, dia emang nggak pakai alas kaki apa pun. Sepatunya yang ia lempar ke sembarang tempat itu juga dibiarkan begitu aja. Nggak tahu ada di mana. Ia tinggal keluar dengan membawa kekesalan sampai ke ubun-ubun.Cewek itu sekarang ada di luar, di depan pagar tinggi sebagai pintu masuk utama. Bibirnya mengerucut sebal, kedua tangannya terlipat di depan dada. Berdiri seraya menatap jalan raya yang dilalui berbagai macam kendaraan."Masih lama nggak sih acaranya?" tanyanya pada diri sendiri. Sesekali ia melihat jam tangan. "Kalo tau gini mending gue tadi nggak ikutan mama ke sini deh."Ia cemberut. Tangannya mencengkeram asal tanaman pucuk merah di sampingnya, lalu ia cabut beberapa daun dan diremas-remas hingga tak berbentuk."Aduh-aduh, panas." Telapak kakinya kepanasan. Otomatis ia berje
Bunyi genderang perang berdentum-dentum di pikiran Dara. Sorak-sorai beramai-ramai mengobarkan semangat kemenangan. Nyanyian perasaan pun ikut mengalun seakan memberikan tambahan energi, mendorong suasana hati kian hidup.Ya, sang pencinta sekarang kelihatannya telah kembali. Harum bunga mekar pun kini tengah mengurai, menebarkan pesona hingga sang gelombang putus asa musnah, hilang dan bergantikan kekuatan dengan harapan baru.Patah hati? Nggak ada! Sedih? Udah lupa! Yang ada saat ini hanya rasa bahagia yang begitu menggelora. Perasaan Dara meledak-ledak, bergolak hebat, hampir menyaingi gejolak semangat pemuda dalam memberantas pemberontakan.Emang gitu. Dara emang lagi bahagia. Hanya karena ia berhasil memperoleh nomor HP kakak kelas incarannya—Ari.Dara yakin, kali ini ia akan berhasil menggaet gebetannya. Kenn dan Ari tentu berbeda.Jika sama Kenn, belum apa-apa Dara udah do
Rian berjalan ogah-ogahan. Bukan bermaksud untuk tidak sopan pada tamu yang datang untuk berkunjung, melainkan emang hari ini dia males ngapa-ngapain selain di rumah dan kumpul keluarga. Ia bahkan hari ini udah janji pada dirinya sendiri mau ngajak papanya main catur bersama. Mumpung libur kerja, ia nggak mau keluar dan melakukan sesuatu yang membosankan di luar.Padahal kalau dipikir-pikir tiap minggu atau libur kerja gini, dia biasanya ada aja kegiatan di luar. Dari pergi ke gym, belanja kebutuhan khusus pria, atau bahkan ngopi di kafe yang secangkir harganya ratusan ribu rupiah.Nah, sekarang aneh banget, kan?Ya, emang aneh. Keanehan itu muncul setelah pulang dari acara reuni. Lebih tepatnya usai pertemuannya dengan Inez.Rian menarik tubuhnya tetap jalan ke ruang tamu. Ada kepala menyembul dari balik sofa. Punggungnya yang tegak dan potongan rambut klimis ala mafia yang selalu ditata rapi ke belakang sontak membuat Rian memasang wajah makin males.
Brak!Suara bantingan pintu mobil terdengar cukup keras."Ar, lo marah?"Tanpa menghiraukan pertanyaan dari sahabat gilanya tersebut, Ari terus berjalan ke arah pintu masuk rumahnya dengan membawa kekesalan yang menggunung."Ar, beneran lo marah? Serius?"Lagi-lagi Ari nggak menjawab apa pun. Ia malah semakin mempercepat langkah sembari mencengkeram kuat kepalan tangan. Rasanya ia ingin sekali menonjok orang saat ini juga."Ah, masa gitu doang marah? Cemen lo, Ar!"Sontak Ari berhenti tepat saat kakinya menapak di anak tangga pertama. Ia kemudian berbalik dengan tampang murka."Gitu doang, lo bilang?!" Ari mendelik, sedangkan Alvin nyengir tanpa dosa. "Gara-gara tingkah lo, kita semua diusir dari bioskop. Berkat ulah lo juga, cewek-cewek ganjen itu ... argh, udahlah!" Ari kembali berbalik sembari memijat pelipisnya. Kepalanya nyut
Ari mengumpat dan merutuk di dalam kamarnya. Ia sampai menyebutkan binatang apa aja yang berada di kebun binatang gara-gara si Alvin.Ia tak habis pikir, bisa-bisanya Alvin melontarkan pertanyaan sampah macam gitu. Homo? Shit!Jika tadi tak mengingat cowok brengsek itu adalah salah satu sahabatnya dari dulu—jauh sebelum mengenal Kevan—ia yakin kepalan tangannya ini udah mendarat di mulut bocor Alvin."Alvin, brengsek! Makhluk nggak tau diuntung! Kampret lo! sialan! Mulut sampah! Playboy sarap!!"Sembari mondar-mandir, ia mengutuk Alvin sejadi-jadinya. Mengeluarkan kata-kata keji dan memaki tuh cowok dengan membabi buta."Gue bukan homo. Gue cowok tulen. Gue juga doyan cewek, tap-tapi ... arghhh!"Ari melempar jaketnya kasar ke atas kasur. Giginya gemeretak, serasa ingin meremukkan apa pun di hadapannya.Tok ... tok ... tok
Di kelas X-1 tampak seorang guru sedang mengajar pelajaran sosiologi. Beliau berdiri di bagian depan sambil menerangkan dengan datar dan lesu. Eh, bukan, maksudnya mungkin pembawaan beliau emang seperti itu, jadinya para siswa-siswi di dalamnya pun banyak yang terlihat lesu juga. Ada yang menguap lebar-lebar, lemas sok tak berdaya, ada yang lagi mancing kotoran di hidung, ngorek-ngorek telinga, bahkan ada juga yang menelungkupkan wajah di atas meja dengan kurang ajarnya.Meski begitu, sang guru tetap tak menghiraukan pemandangan para muridnya. Beliau tetap melanjutkan dan beberapa kali mengulang bacaan sebuah buku pelajaran di salah satu tangannya."Ra, kasian ya Pak Susilo, udah jelasin panjang lebar, yang dijelasin malah banyak yang nggak mau denger," gerutu Frel sambil duduk bertopang dagu. "Lagian kenapa Pak Susilo sabar banget, ya? Emang sih pelajaran sosiologi agak bikin bosan, apalagi yang dijelasin soal definisi masyarakat, syarat-
08127777XXXX: Kak, tik-itik-itik-itik. Hihihi.'Lha, ini maksudnya apa?'08127777XXXX: Geli nggak gue gelitikin? Hehe.'Sarap nih cewek. Mana bisa geli kalo cuma ngebaca doang. Wah, kembarannya Alvin ini.'08127777XXXX: Semalem gue susah tidur loh mikirin Kak Ari *kyaaa jadi malu*'Sinting! Emang gue pikirin?!'08127777XXXX: Kak, kangen sama gue nggak?'Nggak! PD gila lo.'08127777XXXX: Bilang aja kangen, nggak usah maluuuuu.Dari semua pesan tersebut nggak ada yang dibalas Ari. Ia hanya menjawab jengkel di dalam hati. Apalagi usai membaca pesan terakhir. Yang ada Ari sontak melotot dan bawaannya pengin ngunyah sandal."Kenapa lo?" tanya Alvin begitu melihat ekspresi Ari yang ta